Bagian 1
Kalau benar dunia hanya dicipta untuk orang-orang beruntung, ke mana orang-orang yang kebebasannya terpasung harus dibuang? Benarkah kebenaran hanya diucapkan oleh orang yang paling menang dan lantang? Sementara yang digadang-gadang olehnya hanya kesempurnaan titipan Tuhan. Tidakkah sadar dia telah berhutang?
***
Brak!
Seorang gadis kecil terjatuh dari sepedanya. Bingkai roda yang sudah tidak rata, sangatlah berbahaya jika terus digunakan. Sepeda akan mudah oleng dan membuat pemakainya terjatuh. Gadis itu mendirikan sepedanya kembali.
Dia tidak menangis dan berusaha berdiri sambil menepuk-nepuk gaunnya yang lusuh dan kotor karena terjatuh. Melihat senja mulai turun, gadis itu bergegas kembali ke rumah. Mengayuh sepedanya sekuat tenaga dengan kaki-kaki kecilnya. Benar, sore itu dia harus mengaji. Sesampainya di rumah, dia harus mandi dan bersiap diri.
Lututnya perih. Ternyata ada lecet di sana. Gadis itu berlari kecil ke ruangan Ibunya. Di mana sang Ibu tengah bekerja mengais receh lewat pekerjaan-pekerjaan yang njelimet. Merangkai bulu mata, melinting rokok lokal, dan menganyam besek jika ada pesanan. Pekerjaan-pekerjaan yang dibayar receh, mulai dari tiga ratus, lima ratus hingga seribu rupiah setiap satuannya.
"Bu, ada obat merah?" tanya sang gadis.
Sang Ibu langsung terhenti dari kegiatannya dan segera menghampiri anaknya. Memintanya duduk dan melihat kakinya yang lecet.
"Sebentar Zahra,"
Zahra mengangguk. Dia menunggu sang Ibu yang sedang mencari sesuatu di dalam laci meja. Obat merah. Dengan sabar, sang Ibu mengoleskan obat merah menggunakan jemarinya. Zahra, gadis itu meringis merasakan perih.
"Terima kasih, Bu,"
"Tentu saja, Nak. Hati-hati di jalan. Apa perlu Ibu mengantarmu ke rumah Pak Arman?" tanya Sang Ibu.
Zahra menatap Ibunya dengan berbinar. Setiap hari Zahra memang harus mengaji di rumah Pak Arman, guru ngaji yang sekaligus imam di masjid dekat rumahnya. Anak-anak seusianya sering diantar oleh orang tua mereka, terutama Ibu mereka dan biasanya mereka menunggu anak-anak mengaji sambil gibah.
"Tidak Bu, Zahra berani sendiri. Zahra akan segera khatam dan Zahra bisa ibadah di rumah saja setelah itu," ucap Zahra.
Ibunya mengelus puncak kepala Zahra dan mengecupnya. Zahra tidak mengucapkan apa-apa dan segera pergi. Di sepanjang jalan dia berdoa agar sampai di rumah Pak Arman dengan baik-baik saja. Zahra kecil merasa kalau dia tidak berdoa maka dia akan menyesal.
"Hei Zahra! Sini! Main dulu!" teriak gadis berjilbab kuning. Dia Hana, teman ngaji sekaligus teman sekolah Zahra.
"Baiklah, sebentar!" Zahra bersemangat dan segera memarkir sepeda kecilnya lalu bergabung dengan teman-temannya.
Mereka bermain petak umpet dan juga polisi kejar maling. Saat itu Zahra kebagian menjadi maling. Zahra yang lincah sangat sulit untuk ditangkap oleh teman-temannya. Termasuk oleh Hana yang menjadi polisi. Zahra berlari sambil tertawa renyah. Begitu pula teman-temannya yang lain. Bahkan banyak yang mengejek karena Hana gendut dan mudah lelah. Zahra terus menghindar. Bermain bersama teman-teman rasanya menyenangkan.
Brukk!
Hingga kesialan itu terjadi.
"Aaaaa! Sakittt! Huwaaaa!" semuanya berhenti.
Hana terjatuh dan kakinya terkilir. Dahinya lebam entah terantuk apa. Zahra segera mendekat dan berusaha membantu. Ada lecet, tetapi lukanya kotor karena tanah. Zahra tahu kalau itu akan membuat infeksi jika tidak segera dibersihkan.
Tanpa meminta bantuan orang lain, Zahra menarik Hana ke tempat wudhu yang tidak jauh dari sana. Zahra membersihkan luka Hana dengan air mengalir. Hana menangis cukup kencang tetapi tidak menolak bantuan Zahra.
"Nah, sudah bersih Hana. Setelah ini, kamu bisa minta Ibumu untuk diberi obat merah," ucap Zahra sembari berusaha menenangkan tangis Hana.
"Hana!! Hana! Kamu kenapa, Nak?" seorang wanita hampir paruh baya menghampiri Hana yang masih sesenggukan.
"Ha-hana jatuh, Bu," ucap Hana patah-patah.
Ibu itu langsung mendelik tajam ke arah Zahra. Zahra hanya bergeming dan menatap Ibu itu dengan tatapan bertanya-tanya.
"Pasti kamu! Pasti kamu yang membuat anak saya jatuh! Kamu mendorongnya? Atau kamu menakutinya sampai dia oleng saat lari dan terjatuh?" tanya Ibu Hana dengan suara keras.
Zahra tersentak, dia menggeleng. Bibirnya bergetar, takut dan bingung hendak menjawab apa. Otaknya seperti blank saat dibentak demikian.
"Hana, jangan main sama Zahra. Dia itu kan nggak punya bapak! Pasti dia tidak dididik dengan benar! Ibunya juga bukan orang baik-baik, Zahra jangan sakiti Hana dan membuat repot orang lain! Jangan main dengan Hana lagi!" Ibu Hana menarik Hana menjauh dari sana.
Zahra termangu.
"Zahra, kamu beneran nggak punya bapak?" tanya temannya yang lain.
Zahra hanya diam.
"Lalu bagaimana Ibumu bisa hamil kamu? Kamu anak haram?" tanya teman yang lainnya lagi.
Zahra menggigit bibir bingung hendak menjawab apa.
"Katanya, Ibumu calon penghuni neraka kalau benar seperti itu," ucap anak yang lebih tua dua tiga tahun dari mereka.
Mereka kebanyakan langsung percaya dan segera meninggalkan Zahra. Zahra tidak diajak main lagi. Zahra sendirian. Dia memutuskan untuk menunggu waktu mengaji tiba di serambi rumah Pak Arman.
Tentu saja sambil merenung tidak menentu.
Saat itulah, Pak Arman keluar dan menemukan Zahra yang membisu seperti patung. Siswa ngajinya yang riang dan antusias belajar agama kini tampak murung, Pak Arman jelas merasa jika anak itu sedang diliputi masalah.
"Zahra kenapa?" tanya Pak Arman.
"Zahra hanya sedih Pak. Zahra sering mendengar pengajian. Zahra sudah nalar. Dan Zahra sering bertanya-tanya," Zahra menggigit bibirnya dan mengusap wajahnya.
"Zahra bisa tanya apapun ke saya, terutama hal-hal yang tidak kamu mengerti. Kalau belum bisa menjawab, Bapak akan menjadikannya sebagai PR," ucap Pak Arman sambil tersenyum.
Senyum hangat yang sering membuat Zahra bertanya-tanya. Seperti apakah kalau dia punya ayah? Apakah orang itu akan seperti Pak Arman? Ah, tentu saja tidak mungkin. Dia saja tidak punya ayah. Artinya, laki-laki yang pernah bersama Ibunya adalah lelaki yang berkhianat.
"Pak, apakah Ibu saya bisa dimaafkan oleh Allah?" tanya Zahra.
Pak Arman menaikkan sebelah alisnya.
"Bapak tahu sendiri, kalau Ibu saya tidak punya suami tetapi punya anak. Dan anak itu adalah saya. Kata orang-orang Ibu melakukan dosa besar. Apakah Ibu bisa dimaafkan? Bagaimana kalau Ibu tidak dimaafkan oleh Allah?" tanya Zahra.
Pak Arman mencoba tersenyum.
"Zahra, Allah itu Maha Pengampun. Jika Ibumu bertobat, maka insyaallah Allah mengampuni Ibumu. Saat ini, Ibunya Zahra kan bekerja di pekerjaan yang halal. Bahkan Ibunya Zahra mampu mendidik anak seperti Zahra yang baik hati. Selain itu, apa Zahra tahu kalau keberadaan Zahra juga bisa membantu Ibu Zahra dimaafkan Allah?" ucap Pak Arman.
"Benarkah? Bagaimana caranya?" tanya Zahra dengan mata yang berbinar.
"Tentu saja benar, Zahra. Zahra menjadi orang yang baik, taat beragama, suka menolong, taat sama Ibu Zahra, menghormati orang tua, rajin belajar, dapat prestasi, atau suatu saat nanti Zahra jadi seorang pendakwah, Zahra menjadi guru. Yang jelas, selama Zahra berusaha menjadi orang baik dan rendah hati, Zahra telah membantu Ibu Zahra untuk bertobat dan mengurangi dosanya," jelas Pak Arman.
"Mengapa bisa begitu, Pak?" tanya Zahra penasaran.
"Karena kamu adalah anak perempuan, Zahra. Kamu tahu kenapa Nabi Muhammad hanya memiliki anak-anak perempuan? Karena anak perempuan istimewa. Di zaman dulu anak-anak perempuan tidak diharapkan. Tapi Nabi mengajarkan, bahwa memelihara anak perempuan dengan baik adalah salah satu ibadah yang dicintai Allah,"
"Soal Ibumu di masa lalu, bisa jadi itu adalah jalan yang memang harus dilaluinya. Di mana Ibumu dianugerahi putri seperti Zahra yang bisa membawanya kembali ke jalan yang benar," Pak Arman beranjak berdiri dari duduknya.
"Zahra, Allah mengingat hambanya ketika hambanya juga mengingat Tuhannya,"
Pak Arman melangkah turun dan bertepuk tangan menyita perhatian anak didiknya yang tengah berlarian di halaman.
"Ayo, anak-anak sekarang waktunya ngaji! Jangan main terus!"
Zahra ikut berdiri dan menatap punggung Pak Arman. Hatinya merasakan sesuatu yang sejuk dan teringat Sang Ibu.
"Dan hak Allah menerangkan jalan yang lurus, dan di antaranya ada (jalan) yang menyimpang. Dan jika Dia menghendaki, tentu Dia memberi petunjuk kamu semua (ke jalan yang benar). (QS. An-Nahl 16: Ayat 9)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top