Tujuh Belas
Aku akhirnya tahu di mana kelas Taufan Malik. Tadi, saat aku hendak ke laboratorium Kimia, aku tidak sengaja melihat Taufan Malik yang sedang belajar di kelasnya. Kelas 3 IPA 2 ternyata menjadi tempatnya menuntut ilmu.
Sayangnya, saat melewati kelas 3 IPA 2, Inggit tidak ada di sampingku. Kalau saja saat itu aku dan Inggit sedang berjalan bersisian, mungkin aku sudah memberitahunya siapa laki-laki yang aku sukai. Sepertinya, memang belum sekarang Inggit tahu seperti apa sosok Taufan Malik.
Namun sedikit demi sedikit, aku mulai berbagi cerita seperti apa perasaanku terhadap Taufan Malik. Setiap aku bercerita, Inggit akan dengan serius mendengarkan. Tidak jarang juga menimpali dengan maksud menggodaku yang baru pertama kali jatuh cinta.
Perlahan-lahan, aku juga mulai mengorek informasi dari Ririn. Sama seperti yang Kak Bila katakan, informasi pengirim karya dengan nama samaran akan lebih sulit didapatkan.
"Bukan gue nggak mau kasih tahu, tapi emang kami yang anggota ekskul mading aja sama sekali nggak tahu siapa Wind itu sebenarnya. Cuma setahu gue, puisi dia itu selalu diterima sama Kak Malik," ungkap Ririn.
"Kak Malik?" tanyaku, karena merasa familiar dengan nama tersebut.
"Iya, Kak Taufan Malik. Nah, itu orangnya."
Telunjuk Ririn mengarah pada satu sosok familiar. Waktunya begitu tepat. Di saat aku dan Ririn sedang bercerita, Taufan Malik baru saja keluar dari kelasnya.
"Taufan Malik yang itu?" tanyaku tidak percaya.
"Iya, yang itu. Tapi sekarang udah nggak jadi anggota ekskul lagi. Cuma beberapa bulan di awal semester ganjil aja," ucap Ririn. "Nah, kalau sekarang, karena udah punya jalur istilahnya, jadi puisi dari Wind ini masuk gitu aja ke meja redaksi ekskul mading. Cuma ya mesti diseleksi juga buat dipajang di mading."
Aku menggeleng tidak percaya. Benar-benar tidak menyangka jika sosok yang memegang kunci jawaban dari pertanyaanku sangatlah dekat. Bahkan tepat di depan mataku.
Pantas saja Kak Bila tidak pernah membahas Taufan Malik sebagai anggota ekskul mading, karena memang laki-laki itu hanya beberapa bulan saja di sana. Apalagi Taufan Malik yang merupakan murid pindahan, tentu tidak seberapa dekat dengan siswa yang sama-sama masuk di tahun ajaran yang sama.
"Ternyata gue cuma muter-muter di satu lingkaran aja. Kalau gue tahu Taufan Malik adalah orang yang bisa jawab pertanyaan gue, kenapa gue mesti capek-capek ngelibatin Kak Bila dan Ririn?"
Aku tertawa pelan. Sama sekali tidak menyangka akan kemungkinan di depan mata. Lupakan Ririn dan Kak Bila, kali ini aku harus mengincar Taufan Malik agar bisa mendapatkan jawabanku. Kalau kali ini aku masih tidak mendapatkan nama asli dari Wind, takdir begitu kejam padaku.
Aku tentu tidak melupakan jasa Kak Bila dan Ririn. Aku berterima kasih kepada dua orang tersebut yang sudah mau susah payah aku repotkan. Ditambah dari Ririn jugalah aku tahu kalau Taufan Malik adalah sang juru kunci dari pertanyaan ini.
Karena itu, saat ada kesempatan, aku akan menanyai Taufan Malik mengenai identitas Wind. Namun, kapan kesempatan itu datang, aku tentu tidak bisa memastikan. Apalagi kalau membayangkan aku akan duluan mengajak Taufan Malik mengobrol, membuatku semakin gugup.
Debaran jantungku melebihi batas normal hanya dengan memikirkannya. Namun, aku harap, saat aku mengajukan pertanyaan, Taufan Malik tidak akan berpikir yang macam-macam padaku. Aku hanya ingin tahu siapa Wind sebenarnya karena aku mengagumi puisinya. Untuk sosok nyata yang aku sukai, tentu Taufan Malik jawabannya.
Kesempatan itu ternyata datang lebih cepat dari yang aku kira. Di saat aku sedang berdiri di depan mading, Taufan Malik tiba-tiba saja berdiri di sampingku. Aku cukup terkejut dengan kehadirannya yang tiba-tiba. Degupan jantungku semakin bertambah hanya dengan melihat senyuman di wajahnya.
Aku tahu, Taufan Malik hanya bersikap sopan padaku karena kami sudah saling kenal. Namun tetap saja, aku tidak bisa mengontrol debaran jantungku setiap kali ada dia di dekatku. Aku sepertinya benar-benar telah terlalu dalam jatuh hati pada Taufan Malik.
"Lagi ngeliatin apa, Vin?" tanyanya.
"Ah, ini, lagi baca puisi," jawabku, sedikit gugup.
"Oh gitu."
Dari sudut mataku, aku bisa merasakan Taufan Malik turut membaca puisi di mading. Meski bukan puisi milik Wind, aku tetap senang karena kali ini ada sosok Taufan Malik yang membaca puisi tersebut bersamaku.
"Kamu suka baca puisi?" tanya Taufan Malik setelah selesai memindai keseluruhan isi mading.
Aku mengangguk tanpa ragu. Senyuman Taufan Malik ternyata menular hingga membuatku ikut tersenyum.
"Lumayan. Aku juga punya penulis favoritku." Entah kenapa saat mengatakannya, ada perasaan bangga dalam dadaku.
"Oh, ya? Siapa?"
Pertanyaan Taufan Malik merupakan jalan menuju kunci jawaban yang aku inginkan. Karena itu, tanpa ragu aku mengatakan kalau Wind adalah penulis favoritku.
"Wind? Angin?" Taufan Malik tampak mengerutkan dahinya.
Lagi, aku mengangguk.
"Kayaknya nama samarannya emang punya arti kayak gitu. Aku juga nggak tahu kenapa dia milih Wind buat dijadiin nama pena."
"Tapi aku nggak pernah dengar penulis yang namanya Wind," ucap Taufan Malik.
"Saat ini dia mungkin belum terkenal, tapi aku yakin, suatu hari nanti puisi punya dia bakal punya tempat di hati orang-orang."
"Dia penulis puisi? Penyair?"
"Hu'um. Dan kamu tahu nggak, kalau Wind itu suka nulis puisi buat mading kita?"
Kali ini aku menoleh. Menatap wajah Taufan Malik yang juga ternyata tengah memandangiku.
"Dia sekolah di sini?" tanyanya.
"Sepertinya begitu. Karena sampai saat ini, aku belum dapet informasi tentang identitas asli Wind."
"Kamu sesuka itu dengan puisinya?"
Entah kenapa, aku seperti sedang diinterogasi oleh Taufan Malik. Namun pertanyaan-pertanyaan yang ia ajukan, sama sekali tidak membuatku risi. Malahan, aku semakin bersemangat membanggakan Wind di depan orang yang aku sukai. Berharap dengan demikian, Taufan Malik juga akan menyukai karya-karya Wind seperti aku.
Lagi pula, aku juga setidaknya tahu, Taufan Malik juga memiliki ketertarikan yang sama denganku terhadap puisi. Kebersamaan kami yang ternyata cukup untuk membuat kenangan itu membuatku sedikit banyak memahami bahwa aku dan Taufan Malik bisa menjadi dekat karena puisi.
"Iya, aku sesuka itu sama puisi-puisi Wind. Bahkan setiap hari Jum'at aku selalu berdiri di depan mading kayak gini buat baca puisinya. Aku tahu, nggak setiap saat puisi dia yang bakal dipajang, tapi menanti hari untuk bisa baca puisinya itu buat aku adalah kebahagiaan tersendiri yang nggak bisa aku ungkapin pake kata-kata."
"Kenapa kamu bisa suka sama puisi dia? Kamu aja nggak tahu siapa dan di mana orangnya. Bagaimana orangnya pun kamu nggak tahu, 'kan?"
Aku tersenyum. Pertanyaan ini sering aku dengar dari Inggit. Tentu aku sudah kebal.
"Aku memang belum pernah ketemu sama orangnya. Nggak tahu juga dia siapa, tapi kata-kata yang dia rangkai sudah cukup buatku. Walaupun aku memang pengen ketemu dan tahu siapa orangnya, tapi hal itu nggak lantas membuat rasa sukaku akan karyanya memudar."
"Kenapa gitu?" Taufan Malik terdengar penasaran.
"Puisi dia seperti sedang berbicara. Mengutarakan isi hatinya melalui kata-kata yang nggak semua orang bisa mengerti."
"Jadi, menurutmu, kamu menjadi salah satu orang yang mengerti apa maksud dari puisi-puisinya?"
"Nggak juga," jawabku. "Karena setiap orang pasti mempunyai pandangan masing-masing dalam memahami sebuah karya. Begitu juga dengan pemahamanku terhadap puisi-puisi yang Wind tulis."
"Kalau gitu, gimana pemahaman kamu terhadap puisi dia?"
"Menurutku, puisi Wind itu adalah surat cinta," ucapku tanpa ragu dan penuh keyakinan.
"Surat cinta?"
Aku mengangguk.
"Anggap saja aku sebagai orang yang dia cintai dan puisi yang Wind tulis adalah surat cinta untukku. Walaupun sebenarnya aku nggak tahu, surat cinta ini ditujukan untuk siapa. Namun aku yakin seratus persen kalau Wind sedang mencintai seseorang. Karena itulah, saat membacanya, aku seolah merasakan sedang membaca surat cinta dari Wind."
"Jadi, karena itu kamu suka sama puisinya?" selidik Taufan Malik.
"Mungkin. Tapi, aku benar-benar suka sama puisinya Wind."
Taufan Malik terdiam. Namun aku bisa melihat senyum tipis terbit di wajahnya. Aku tidak bisa melihat secara keseluruhan seperti apa ekspresi Taufan Malik saat ini, karena ia sudah mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Tidak ada lagi perbincangan di antara kami, tetapi baik aku ataupun Taufan Malik seolah sama-sama enggan beranjak dari depan mading. Saat itulah, aku teringat sesuatu. Tidak ingin melewatkannya, aku pun langsung mengutarakan isi kepalaku. Kali ini, aku yakin akan mendapatkan apa yang aku mau.
"Kamu beneran nggak tahu atau nggak pernah dengar gitu nama Wind?" tanyaku penuh selidik.
"Nggak pernah. Baru tahu dari kamu," jawabnya.
Keningku berkerut mendengarnya.
"Tapi, dari sumber yang aku percaya, katanya kamu orang yang menerima puisi-puisi dari Wind sebelum diseleksi sama anak-anak ekskul mading. Apa sumberku yang salah kasih informasi?" ucapku. "Kamu pernah jadi anggota ekskul mading, 'kan?"
Taufan Malik terdiam cukup lama. Namun saat ia menoleh ke arahku sambil tersenyum, secara tiba-tiba Taufan Malik malah mengacak pelan puncak kepalaku.
"Sepertinya kamu bener-bener pengen tahu identitas asli Wind sampai nyari tahu kayak gini, ya?"
"Karena aku memang sesuka itu sama puisinya dan pengen tahu siapa orangnya," ungkapku.
"Aku kayaknya nggak bisa bohong sama kamu deh," kata Taufan Malik. "Benar. Aku memang yang menerima puisi-puisi Wind sebelum dipajang di mading."
Mataku membulat saking senangnya mendengar pengakuan Taufan Malik. Akhirnya kunci jawabanku akan segera aku dapatkan.
"Jadi, kamu tahu siapa Wind? Benar. 'kan?"
"Kalau aku jawab tahu, kamu mau gimana emang?"
"Ya, setidaknya aku tahu dia siapa. Itu aja udah cukup buatku."
Taufan Malik tampak menimbang-nimbang. Kali ini, apa ia akan pura-pura tidak tahu seperti tadi? Atau malah akan mengatakan sejujur-jujurnya mengenai sosok Wind?
"Kalau aku bilang kamu sebenarnya sudah pernah ketemu dan ngobrol sama Wind, apa kamu percaya?"
Aku terbeliak kaget.
"Aku pernah ketemu dan ngobrol sama dia?" tanyaku tak percaya. "Kapan? Di mana? Kok aku nggak tahu? Kok bisa?"
Taufan Malik tertawa pelan. Laki-laki itu kembali menyentuh puncak kepalaku.
"Karena kamu nggak tahu siapa Wind, makanya kamu nggak tahu kalau pernah ketemu dan ngobrol sama dia."
"Jadi, siapa Wind? Kapan aku pernah ngobrol sama dia? Kenapa kamu bisa tahu?" Aku terus-terusan mengajukan pertanyaan. Entah pertanyaan yang mana yang akan Taufan Malik jawab.
"Kalau aku bilang aku adalah Wind, apa kamu bakalan percaya?"
Aku nyaris tersedak ludahku sendiri saat mendengarnya. Aku hendak percaya, tetapi ekspresi geli di wajah Taufan Malik membuatku mengurungkan niat.
"Kamu serius? Pasti main-main aja nih."
"Aku nggak bohong. Beneran."
"Kamu ... adalah Wind?" ucapku tak yakin.
Taufan Malik mengangguk. Kali ini ekspresinya tidak lagi jenaka.
"Jadi ... kamu beneran Wind? Nggak bohong, 'kan?"
"Iya, aku beneran Wind. Taufan Malik yang kamu kenal dan berdiri di hadapan kamu ini adalah Wind. Penulis yang puisi-puisinya kamu sukai itu."
Sebuah fakta mengejutkan yang aku dengar hari ini membuatku menatap Taufan Malik tanpa berkedip. Dulu, aku hanya menyimpan angan-angan kalau Taufan Malik adalah Wind supaya aku bisa fokus untuk menyukai satu orang saja. Namun, siapa sangka Tuhan ternyata telah menjawab harapanku seperti ini.
***
Akhirnya Davina tahu siapa Wind yang sebenarnya!
Siapa yang berhasil nebak?
Bentar lagi Your Poem bakalan ending. Tungguin kejutan lain di bab selanjutnya, ya.
xoxo
Winda Zizty
20 Agustus 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top