Tiga Belas
Taufan Malik tidak terlihat batang hidungnya saat aku celingukan ke kanan dan kiri di depan pintu toilet. Sebenarnya aku sedikit kecewa karena tidak melihat sosok laki-laki yang terakhir aku temui sebelum masuk ke toilet itu. Karena aku berharap dia akan menungguku di depan pintu toilet, seperti kisah-kisah asmara di film.
Namun, di satu sisi aku merasa lega. Karena ini kali pertama aku memperlihatkan ekspresi terburukku di depan laki-laki yang baru aku kenal. Apalagi laki-laki itu adalah Taufan Malik. Laki-laki yang mungkin saat ini mulai aku sukai.
Meski sudah tidak sekusut tadi, tetapi aku masih merasa mataku membengkak karena menangis tanpa henti. Untungnya sampai bel jam pulang berbunyi, aku bisa menghindari orang-orang, termasuk Inggit. Alhasil, saat akhirnya mereka bertatap muka denganku, yang mereka lihat adalah ekspresiku yang biasa.
Saat ini, aku duduk sendirian di halte bus. Inggit sudah pulang lebih dulu. Padahal aku berharap bus tujuanku yang datang lebih dulu, ketimbang bus tujuan Inggit. Namun, hal tersebut tidak masalah karena memang saat ini yang aku butuhkan adalah waktu untuk sendirian.
Seperti sedang memahami isi hatiku, semesta kini membuatku duduk sendirian di halte. Tadi memang ada beberapa siswa yang juga menunggu bus di halte. Namun mereka malah pergi entah ke mana, meninggalkan aku yang benar-benar sendirian di halte, tanpa teman.
Aku menghela napas panjang. Merasa hari ini terlalu berat untuk aku jalani ketimbang hari-hari yang lain. Untuk pertama kalinya, aku menangis di sekolah dan menyadari kalau aku begitu lemah karena tidak memiliki keahlian khusus. Kemampuanku benar-benar biasa saja, baik itu di akademik, ataupun di non akademik.
Rasanya, aku ingin segera menghilang dari muka bumi ini. Namun aku mesti ke mana? Aku tidak ada tempat tujuan yang lain, selain pulang ke rumah. Lagi-lagi aku merasa sedih karena pemikiranku yang sangat konyol.
Mungkin kasihan melihat aku yang sudah sangat putus asa, Tuhan pun mengirimkan bus tujuanku agar aku cepat pulang dan beristirahat. Ditambah bus yang tidak seramai biasanya, membuatku lebih mudah untuk beristirahat sejenak. Memilih kursi kosong di dekat jendela, aku hanya melempar pandangan ke luar. Sama sekali tidak berminat dengan situasi di dalam bus.
Tak lama, bus pun melaju meninggalkan halte.
***
Seperti yang Inggit janjikan padaku kemarin, tim basket putri kelas kami berhasil melangkah ke babak selanjutnya. Sebenarnya aku ingin mengucapkan selamat kepada Inggit, tetapi aku sempat ragu karena takut Inggit akan mengolok-olokku lagi seperti kemarin. Walaupun bercanda, tetap saja aku jadi kesal dengannya.
Namun saat melihat Inggit yang tersenyum lebar ke arahku setelah dinyatakan lolos babak selanjutnya, kekesalan itu langsung sirna. Tanpa ragu aku memeluk Inggit dan mengucapkan selamat padanya.
Ketakutanku pun tidak terbukti karena Inggit sama sekali tidak mengungkit masalah kemarin. Malah Inggit mengatakan sesuatu yang tidak pernah aku bayangkan. Kata-kata yang membuatku tidak bisa membalas dan hanya bisa tersenyum tipis.
"Kemenangan ini buat lo. Nggak usah sedih lagi kayak kemarin. Dan juga gue mau minta maaf udah ngomong kasar ke elo. Pasti lo kesel banget sama gue kemarin."
Inggit dan teman satu timnya pun kembali ke kelas untuk beristirahat. Meski Inggit sudah mengajakku, tetapi aku menolak dengan halus dan memilih untuk tetap di pinggir lapangan untuk menonton perlombaan yang lain.
"Beneran nggak mau ikut ke kelas?" tanya Inggit. Sepertinya ia tidak yakin saat aku mengatakan ingin tetap di pinggir lapangan.
"Iya, mau nonton perlombaan yang lain."
"Nggak pa-pa nonton sendirian? Mau gue temenin?"
Aku menggeleng. "Gue udah gede kali. Nggak masalah nonton sendirian. Lagian kita juga masih di sekolah, bukan nonton di tempat asing."
Inggit terdiam sejenak, lalu mengangguk dan berkata, "Ya udah kalo gitu. Gue ke kelas duluan, ya. Kalo lo udah selesai nontonnya, kita ke kantin bareng. Eh, atau lo langsung ke kantin aja? Nanti gue tunggu lo di sana."
Aku mengangguk. "Iya, siap! Kalau gue nggak dateng-dateng ke kantin, lo balik ke kelas aja."
"Oke deh kalo gitu."
Aku sungguh tidak berbohong apalagi menghindari Inggit. Karena saat ini sampai sekitar lima belas menit kemudian, aku memang masih berada di pinggir lapangan sambil menonton perlombaan basket putra. Namun karena bosan dan matahari mulai terik, aku pun pergi dari sana.
Namun, tujuanku bukan ke kantin, seperti yang sudah aku dan Inggit janjikan. Kakiku melangkah begitu saja menuju perpustakaan. Udara dingin dari AC dan sinar matahari begitu kontras. Begitu memasuki perpustakaan, aku rasanya seperti terlahir kembali setelah terbebas dari sengatan matahari di luar sana.
Seperti yang aku duga, dari semua tempat di sekolah, perpustakaan seperti menjadi pilihan terakhir bagi para siswa untuk dikunjungi. Memang ada beberapa kelompok yang memilih perpustakaan sebagai tempat bergosip. Namun karena dilarang terlalu berisik di dalam perpustakaan, kantin tetaplah menjadi tempat favorit untuk berbagi cerita.
Aku asal mengambil buku di rak terdekat. Saat sudah menemukan tempat duduk, barulah aku sadar kalau buku yang aku ambil secara sembarangan adalah buku kumpulan rumus Matematika.
Aku benar-benar tidak habis pikir dengan keberuntungan yang aku miliki. Dari sekian banyak buku di perpustakaan, kenapa harus buku kumpulan rumus Matematika yang sembarangan aku ambil?
Namun karena sudah terlalu lelah dan malas berdiri untuk mengambil buku yang lain, aku terpaksa membuka buku kumpulan rumus Matematika itu. Melihat-lihat rumus Matematika dengan sedikit minat.
Meski tidak membenci mata pelajaran apa pun, tetapi dalam kondisi yang seperti ini, aku sedang tidak ingin terlalu menggunakan otakku. Aku memang perlu membaca buku-buku pelajaran, seperti halnya buku kumpulan rumus Matematika ini, tetapi tidak di saat seperti sekarang. Tidak di saat suasana hatiku sedang tidak baik-baik saja.
Alhasil, buku kumpulan rumus Matematika itu hanya aku bolak-balik tanpa minat. Ada kalanya, aku akan serius mendalami rumus. Mencoba mengingat-ingat rumus tersebut dan mempelajarinya dari contoh soal dan pembahasan yang tersedia. Namun tetap saja, hatiku sedang tidak baik-baik saja dan ragaku seolah berada di tempat yang berbeda.
Aku hendak beranjak dari dudukku, tetapi suara kursi yang digeser tepat di sebelahku, membuatku seketika menoleh. Aku tidak bisa berkata-kata dengan mata yang terbeliak. Sama sekali tidak percaya dengan apa yang aku lihat di depan mataku.
Taufan Malik. Ia kini duduk tepat di samping kananku dengan membawa beberapa buku untuk laki-laki itu baca. Entah disengaja atau tidak, Taufan Malik pun menoleh dan memberikan senyuman sopan padaku.
"Kita ketemu lagi," katanya dengan nada ceria.
"Ah, iya," balasku pelan, sedikit berbisik.
"Kamu lagi baca buku apa?" tanyanya. Kepalanya sedikit terangkat ke bilik bacaku. Mungkin hendak mengetahui judul buku yang saat ini aku baca.
"Ehm, kumpulan rumus Matematika," jawabku seraya mengangkat buku yang aku baca. Menuntaskan rasa penasarannya.
Taufan Malik manggut-manggut setelah aku memperlihatkan buku kumpulan rumus Matematika yang aku ambil. Kali ini, tanpa ditanya, ia malah memperlihatkan buku-buku yang ia bawa ke bilik bacanya.
"Aku lagi baca novel. Mumpung lagi nggak ada aktivitas belajar, jadi mau nyegerin pikiran dengan baca novel," ungkapnya tanpa aku minta.
"Oh gitu."
Aku benar-benar tidak tahu bagaimana membalas ucapan Taufan Malik. Di satu sisi aku merasa senang karena laki-laki inilah yang duduk tepat di sebelahku. Namun sisi lain yang lebih dominan adalah, rasa gugupku karena laki-laki itu adalah Taufan Malik. Aku benar-benar merasa gugup bisa memiliki momen berdua dengan Taufan Malik seperti ini.
Bahkan aku bisa merasakan dengan jelas betapa cepatnya jantungku berdetak hanya karena kehadiran seorang Taufan Malik. Meski saat ini tidak ada lagi kata yang terjalin di antara kami, aku tetap merasa senang karena laki-laki itu adalah Taufan Malik, bukan orang lain.
Melihat Taufan Malik sudah fokus bacaannya, aku pun kembali meneruskan aktivitas membacaku yang sempat terhenti. Meski tanpa niat yang tulus dan sepenuh hati untuk menuntaskan bacaanku.
Namun, lagi-lagi suara Taufan Malik menginterupsiku. Mengalun lembut dan pelan, nyaris seperti lambaian angin di sore hari yang menyejukkan.
"Oh iya, waktu itu aku lupa nanya," celetuknya, "nama kamu siapa? Kamu sudah tahu namaku, tapi aku belum tahu nama kamu."
Mataku tertuju lurus pada netra matanya yang hitam kelam. Begitu indah dengan kilau bak mutiara yang tertimpa cahaya matahari dari celah jendela.
"Davina," jawabku.
"Kelas berapa? Aku kelas 2 IPA 3."
Ingin aku menjawab, "Aku tahu." Namun tentu saja tidak akan aku biarkan Taufan Malik mengetahui bahwa sebelum ini aku sudah menandainya di dalam hati dan benakku. Diam-diam mengamatinya dari balik jendela kelasku.
"Kelas 1-2."
"Berarti kamu adik kelasku dong."
Mata Taufan Malik berbinar begitu terang. Seperti bertemu teman yang sudah lama ia nantikan kehadirannya.
Aku mengangguk sambil tersenyum tipis.
"Iya." Aku berusaha menenangkan degupan jantungku yang menggila. "Berarti aku manggil kamu 'Kakak' dong. Karena kamu kakak kelasku dan aku adik kelas."
Taufan Malik menggeleng sambil mengibaskan tangannya, tanda tidak setuju. Tubuhnya kini sudah sepenuhnya berputar ke arahku. Sengaja menghadapku agar lebih leluasa untuk mengonrol. Tentu saja dengan volume lebih rendah dari biasanya, karena saat ini kami berada di perpustakaan.
"Nggak usah panggil 'Kak' segala. Panggil Malik aja."
"Tapi, kan, kamu lebih tua," ucapku.
Taufan Malik menggeleng lagi. "Nggak usah. Walaupun aku lebih tua, aku lebih nyaman dipanggil Malik kayak biasa. Lagian, panggilan kayak gitu malah bikin kita jadi berjarak karena perbedaan usia yang nggak seberapa."
"Jadi ... aku panggil Malik aja?" tanyaku, memastikan.
Taufan Malik mengangguk tanpa ragu. "Iya, panggil Malik aja."
***
Pokoknya, semoga kalian suka sama cerita ini. Walaupun pembacanya masih sedikit banget.
xoxo
Winda Zizty
13 Agustus 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top