Sepuluh

Setelah meminta tolong pada Kak Bila, entah kenapa aku menyesali perbuatanku ini. Aku merasa agak sedikit memaksa Kak Bila untuk mencari tahu tentang Wind. Apalagi aku tiba-tiba saja mendatangi Kak Bila di kelasnya dan langsung meminta bantuan seperti itu. Takutnya Kak Bila akan menganggapku tidak sopan dan terlalu sombong pada kakak kelas.

Aku juga belum membicarakan hal ini pada Inggit. Lagi-lagi aku takut akan penilaian orang terhadapku. Apalagi Inggit sedikit meragukan sosok Wind, walaupun sahabatku itu sempat memuji puisi buatannya.

Di dalam kamar, pikiranku menjadi gusar. Segala pemikiran berkecamuk. Seolah kekuatan jahat dan kekuatan baik sedang bertempur di dalam kepalaku. Saling berusaha agar bisa memenangkan peperangan pikiran yang semakin sengit.

Tidak ingin terlalu memikirkannya, aku pun mencari kegiatan lain untuk mengalihkan pikiranku. Akhirnya, mataku tertuju pada beberapa buku yang aku beli di toko buku bekas tempo hari.

Buku-buku tersebut masih berada di atas meja belajarku dan belum aku sentuh sama sekali setelah aku membelinya. Aku mengambil satu buku di tumpukan paling atas. Membaca Kumpulan puisi milik salah satu penyair terkenal di Indonesia.

Kalau membandingkan puisi ini dengan puisi milik Wind, tentu sangatlah berbeda jauh. Bagaikan langit dan bumi yang memiliki jarak tak terhitung jauhnya. Namun tetap saja, baik itu puisi buatan Wind ataupun penyair ini, keduanya sama-sama menyentuh hatiku.

Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa kata-kata yang dirangkai indah bisa membuat seseorang jatuh hati. Aku benar-benar terbuai dengan rangkaian kata magis bernada melankolis. Namun tidak melulu perihal asmara, ada kekuatan lain yang bernama perjuangan, bertahan hidup, juga ledakan amarah pada para penguasa.

Memang benar, sebuah tulisan akan lebih tajam dari pedang. Lebih bisa menyentuh hati ketimbang omong kosong di bibir para pembual. Lebih bisa menenangkan jiwa-jiwa yang kesepian karena kerinduan yang mendalam.

Setelah membaca hampir setengah bagian buku, aku menghentikan aktivitasku. Tiba-tiba sebuah pemikiran melintas di dalam benak. Andaikata Kak Bila berhasil mencari tahu tentang Wind, apa langkah selanjutnya yang harus aku ambil?

Memikirkan hal ini, aku jadi berharap kalau Kak Bila tidak berhasil mencari tahu tentang Wind. Aku tidak ingin berutang budi karena Kak Bila berhasil mengorek informasi pribadi penyair yang aku kagumi itu. Tidak ingin juga karena hal ini membuatku jadi buta akan hal-hal di sekitarku.

Namun, lebih dari setengah hatiku sangat berharap kalau Kak Bila berhasil mengorek informasi dari anak-anak mading. Keberhasilan yang pada akhirnya membuatku tahu siapa sosok sebenarnya dari orang yang memakai nama samaran Wind itu.

Mungkin karena aku merasakan gejolak di dalam batinku, Tuhan pun mengabulkan harapanku. Ya, harapan yang tidak dominan aku inginkan. Karena dua hari kemudian, Kak Bila tiba-tiba mengajakku untuk berbincang di taman sekolah. Berdua saja.

"Maaf, Vin, Kakak nggak berhasil mengorek informasi dari anak mading." Kalimat Kak Bila dengan nada penuh penyesalan itu adalah hal pertama yang aku dengar setelah kami duduk di bangku taman.

Aku tidak bisa mengekspresikan dengan jelas seperti apa perasaanku saat mendengarnya. Walaupun terasa sulit, aku pun berusaha mengembangkan senyumku. Bagaimanapun juga, Kak Bila sudah berusaha menolongku agar bisa mendapatkan informasi mengenai Wind.

"Iya, Kak. Nggak pa-pa kok. Nanti aku bilangin ke temenku," sahutku sambil menepuk punggung tangan Kak Bila. Mencoba meyakinkannya kalau kabar buruk ini bukanlah sebuah persoalan yang serius.

"Aku beneran nggak nyangka, anak-anak mading segitu pelitnya ngasih informasi tentang orang-orang yang ngirim karya ke mereka. Padahal ujung-ujungnya kita tahu juga karya siapa yang dipajang di mading," dumel Kak Bila.

Saking dongkolnya, wajah Kak Bila kini memerah. Kedua lengannya ia lipat di depan dada. Semakin menggambarkan perasaan kesalnya setelah gagal merayu anak mading agar berbagi secuil informasi.

"Iya, Kak, nggak masalah. Aku ngerti kok kenapa mereka bersikap kaya gitu," kataku.

"Tapi kan setidaknya kasih tahu dikit gitu. Atau bilang aja dia anak kelas berapa. Jenis kelaminnya apa. Ini malah nggak bilang apa-apa, terus pake bentak-bentak segala."

Aku terdiam. Benar-benar tidak tahu apa yang telah Kak Bila alami hanya demi memenuhi permintaanku itu. Aku sungguh tidak menyangka, gara-gara permintaan konyolku itu, Kak Bila harus menerima bentakan dari anak-anak ekskul mading.

Aku sendiri tidak menyadari kalau aku bisa seegois ini dan tidak memikirkan orang-orang di sekitarku. Dalam hal ini, aku merasa bersalah dengan Kak Bila. Andai saja aku tidak meminta tolong dengannya, mungkin tidak ada insiden adu mulut antara Kak Bila dengan anggota ekskul mading.

"Kak, maafin aku, ya. Gara-gara aku, Kak Bila jadi berantem sama anak ekskul mading," sahutku penuh penyesalan.

"Udah, nggak pa-pa. Kejadiannya udah lewat juga. Lagian, ya, salah mereka juga, sih. Setidaknya kalau nggak masu ngasih tahu, kan bisa dibicarain baik-baik. Ini malah makin nyolot."

Aku bisa merasakan amarah Kak Bila kembali terpancing. Tidak ingin semakin merunyamkan masalah, buru-buru aku meredakan amarah Kak Bila.

"Iya, Kak. Kayak kata Kak Bila, kejadiannya udah lewat. Jadi nggak usah dipikirin lagi sikap nggak baik dari anak-anak mading ke Kakak."

Kak Bila mencoba mengatur pernapasannya. Kali ini sepertinya Kak Bila sudah berhasil menekan amarahnya.

"Iya, aku udah nggak marah lagi. Cuma nggak bakal lupa aja sama perlakuan mereka ke aku."

Untuk kali ini, aku tidak banyak berkomentar. Memilih diam adalah pilihan terbaik untuk saat ini.

"Lagian, Kak, kayaknya Wind sengaja pake nama samaran gitu biar nggak ada yang tahu identitas aslinya dia."

"Iya, bisa jadi. Untuk hal menjaga kerahasiaan kayak gini, aku salut sama anak-anak ekskul mading. Tapi nggak salut sama sekali sama kesombongan mereka. Mentang-mentang bisa leluasa mengatur isi mading. Dih, nggak banget!"

Aku hanya bisa tersenyum. Membiarkan Kak Bila mengeluarkan uneg-unegnya. Setelah menyampaikan seluruh hasil pencariannya dan berbincang sedikit denganku, akhirnya aku dan Kak Bila pun berpisah. Kak Bila masih harus pergi ke ruang OSIS karena akan rapat, sedangkan aku kembali ke kelas karena bel masuk sudah berbunyi.

Aku merasa kecewa, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Mungkin untuk saat ini, identitas asli Wind belum boleh aku ketahui. Mungkin saat ini, aku hanya boleh sebatas mengagumi karya-karyanya saja, tanpa perlu tahu seperti apa wajah dan nama aslinya.

Dalam perjalanan menuju ke kelas, aku melangkah dengan gontai. Benar-benar tidak bersemangat lagi melanjutkan kegiatan belajar dan mengajar. Ternyata aku seberharap itu Kak Bila bisa memberikan aku informasi mengenai Wind.

Kalau Kak Bila yang anggota OSIS saja tidak berhasil mendapatkan informasi mengenai Wind, apa kabar aku yang tidak ikut organisasi apa pun di sekolah? Lewat jalur apa lagi aku harus mendapatkan informasi mengenai Wind?

Aku sangat ingin mengetahui nama asli Wind. Ingin tahu dia orangnya seperti apa. Ingin tahu apakah wajahnya bisa membuatku meleleh, seperti halnya puisi-puisi yang telah ia buat.

Aku benar-benar ingin tahu semua itu. Namun sepertinya, saat ini Tuhan belum mengizinkan.


***


Semoga suka, ya dengan bab ini.


xoxo


Winda Zizty

10 Agustus 2024


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top