Sembilan Belas

Aku baru saja turun dari bus saat aku melihat Kak Gisel berada di dekat taman komplek perumahanku. Kak Gisel tidak sendirian duduk di bangku taman, ada laki-laki yang menemaninya. Dengan posisi duduknya yang menyamping, aku tidak tahu siapa laki-laki itu.

Hati dan pikiranku saling beradu. Menyuruhku agar tidak ikut campur urusan Kak Gisel. Sedangkan ada bisikan lain yang membuatku penasaran dan harus mencari tahu siapa laki-laki yang saat ini tengah mengobrol dengan Kak Gisel. Apalagi dari yang aku lihat, Kak Gisel tampak sedih dan mengunci mulutnya rapat-rapat.

Susah payah menahan diri, akhirnya aku kalah akan ego yang lebih menguasai. Berjalan diam-diam bak kucing yang sudah menandai tikus buruannya, aku mendekati Kak Gisel dan teman laki-lakinya. Tentu saja aku berjalan dari arah belakang yang tidak akan ketahuan oleh mereka berdua.

Setiap derap langkah yang aku ambil, berbanding lurus dengan degupan jantungku. Adrenalinku semakin terpancing karena kini melihat Kak Gisel menangis. Pikiranku semakin melanglang buana dipenuhi tanda tanya saat laki-laki itu memeluk Kak Gisel.

Jarak antara aku dan Kak Gisel kira-kira tinggal satu meter lagi, tetapi apa yang kini tertangkap netraku, membuatku terpaksa menghentikan langkah. Antara percaya dan tidak, aku mendapati sosok laki-laki yang cukup familier sedang memeluk Kak Gisel. Tidak hanya memeluk, tetapi juga mencium puncak kepala Kak Gisel seraya menenangkannya.

Aku terdiam tak berkutik. Mataku telah terkunci ke satu titik, tanpa berkedip. Dadaku begitu sesak, hingga aku tidak bisa menggambarkan seperti apa rasa sakit yang aku alami. Bahkan kini, rasa-rasanya jantungku telah jatuh ke bawah.

"Ma—Malik?" gumamku tak percaya.

Aku merasa duniaku telah berhenti berputar. Wajah laki-laki yang sedang memeluk Kak Gisel sama persis dengan milik Taufan Malik. Bahkan suaranya pun terdengar mirip di telingaku. Suara yang berulang kali menyerukan kalimat yang sama. Berusaha menghentikan tangis Kak Gisel yang semakin menjadi.

"Ini bukan salah kamu. Tidak ada yang patut disalahkan di sini."

Seketika, aku merasa tak bertulang. Tubuhku menjadi lumer di bawah sengatan sinar matahari. Kakiku berubah menjadi jeli, hingga tidak lagi kuat menopang tubuhku. Otakku tidak bisa berpikir jernih setelah menyaksikan kejadian di depan mataku. Ditambah suara familier dari sosok yang aku sukai, semakin membuatku hilang arah dan tujuan.

Susah payah aku mencari pegangan. Tanganku terulur begitu saja, menyentuh batang pepohonan terdekat. Suara kendaraan yang melintas, tak lagi terdengar di telinga. Semua menjadi sunyi dan hanya menyisakan suara Taufan Malik.

Aku menatap nanar dua anak manusia yang masih berpelukan di depanku. Bertanya-tanya ada hubungan apa di antara mereka. Namun, aku tidak memiliki keberanian untuk mendekat, apalagi bertanya.

Sebelum hatiku semakin hancur menyaksikan mereka yang sibuk dengan dunianya sendiri itu, aku memutar tubuhku. Memilih pergi dan tidak ingin tahu bagaimana kelanjutan dari momen dua sejoli itu.

Nalarku mencoba menghubungkan peristiwa dan fakta yang ada di sekitarku. Melangkah pulang ke rumah, aku bagaikan robot yang sudah terprogram. Berjalan begitu saja dengan berbagai pikiran yang berkecamuk.

Tiba-tiba saja, aku sudah berada di dalam kamarku. Telah berganti seragam dan tidur telentang menatap langit-langit kamar. Aku benar-benar bagaikan mayat hidup yang bergerak tanpa akal dan hati.

Kejadian di taman tadi, kini berputar di kepalaku. Berulang kali memutar kejadian yang sama dengan suara Taufan Malik yang berdengung di telinga. Menyadari hal tersebut adalah kenyataan yang baru saja terjadi, aku tidak kuasa menahan tangis.

Air mataku tumpah begitu saja bak air bah di bendungan. Mengalir deras tanpa bisa aku hentikan hingga membuat mataku memanas. Aku tidak ingin menahan emosi apa pun yang aku rasakan. Jikalau aku sedih dan ingin menangis, maka biarlah air mata itu tumpah.

Aku menangis sejadi-jadinya. Memikirkan kisah cinta pertamaku yang ternyata tidak semulus yang ku kira. Momen kebersamaanku dan Taufan Malik kini mengambil alih pikiranku. Saat-saat terindah dan berharga yang membuatku jatuh cinta pada laki-laki yang menyukai puisi itu.

Laki-laki yang ternyata selama ini menjadi penulis puisi yang aku nanti-nantikan di mading. Laki-laki yang sama dengan laki-laki yang aku lihat sedang memeluk Kak Gisel di taman. Laki-laki yang tidak pernah aku sangka akan mengenal Kak Gisel.

Air mataku masih mengalir. Namun aku sudah tidak lagi tersedu seperti tadi. Di antara sekian kekalutan yang aku rasakan saat ini, logikaku yang lain memintaku untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Karena itulah, aku beranjak dari kamarku dan melangkah menuju kamar Kak Gisel.

Kak Gisel belum pulang dan bisa aku tebak ia masih berada di taman. Karena itulah, aku semakin berani memasuki kamar Kak Gisel. Mataku langsung memindai sekeliling. Mencari-cari sesuatu yang mencurigakan di sana.

Aku bahkan sedikit mengobrak-abrik rak buku Kak Gisel. Namun tidak lantas membuatnya menjadi berantakan. Hanya cukup membuat beberapa barang kepunyaan Kak Gisel berpindah atau bergeser dari posisi awal.

Saat sibuk mencari bukti, mataku menangkap sebuah buku bergembok di bawah bantal. Tanpa ragu aku mengambil buku tersebut dan membukanya. Untung saja gembok di buku tersebut tidak terpasang, hingga aku bisa leluasa mencari tahu apa yang tertulis di sana.

Aku menghela napas panjang. Merasa kecewa setelah menyadari bahwa buku tersebut hanya bertuliskan rumus-rumus yang memudahkan Kak Gisel belajar. Aku hendak mengembalikan buku tersebut ke tempat semula. Namun menyadari salah satu halaman di buku tersebut lebih tebal dari halaman lain, membuatku langsung membukanya.

Kali ini, aku membiarkan duniaku runtuh seruntuh-runtuhnya. Aku juga tidak akan meminta menghentikan waktu, atau memutar kembali ke masa lalu. Aku benar-benar tidak menyangka, dugaan asalku benar-benar menjadi sebuah fakta.

Selembar puisi tertempel di salah satu halaman. Tertulis begitu rapi dan indah, tak bercela. Mataku kembali memanas saat membaca satu nama yang tertulis di sana. Nama yang selama ini membuatku penasaran, ternyata selama ini berada begitu dekat denganku.

Kalau saja aku tahu lebih awal, aku tidak akan susah payah meminta tolong pada Kak Bila, atau bertanya ini dan itu pada Ririn. Seandainya aku tahu ada sosok yang lebih dekat denganku yang lebih mengenal nama yang memenuhi hati dan pikiranku, tentu aku tidak akan bersikap konyol.

Taufan Malik sudah mengakui sendiri bahwa dia adalah Wind. Namun yang lebih membuatku tak berdaya adalah fakta bahwa Kak Gisel ternyata mengenal Taufan Malik. Bahkan Taufan Malik sengaja membuat puisi dari nama lengkap Kak Gisel. Menuliskannya di selembar kertas untuk diberikan kepada Kak Gisel.

Air mataku kembali mengalir tatkala membaca puisi yang Taufan Malik tulis sepenuh hati itu. Tidak pernah membayangkan sama sekali, jika Wind benar-benar jatuh cinta saat menulis setiap puisinya.

"Gelak tawa yang tidak akan aku lupakan. Indah terdengar di telinga. Semesta ikut merestui. Elok rupa yang menawan hati. Lestari di dalam sanubari."

Bibirku bergetar saat membaca puisi itu. Namun tetap aku melanjutkan, "Perempuan yang mengisi relung hati. Engkau tak akan pernah aku ingkari. Renjana yang aku ikrarkan. Tulus aku ucap dari dasar jiwa. Inginku berada di sisimu. Wahai kau sang pujaan. Izinkan aku mendekat."

Gisel Pertiwi. Hanya berdasarkan namanya saja, Taufan Malik bisa menuliskan puisi yang begitu indah. Namun seindah-indahnya puisi tersebut tercipta, tetap saja bukan aku yang menjadi sumber inspirasinya.

Ternyata, selama ini aku hanya berandai-andai. Merasa puisi yang ditulis Wind adalah surat cinta untukku. Bahkan aku mengatakan di depan orangnya sendiri, bahwa puisi tersebut adalah surat cinta.

"Iya, memang surat cinta," ucapku lirih, "tapi bukan ditujukan buat gue."

Tubuhku masih bergetar. Terlalu lemah untuk bergerak lebih jauh. Aku belum bisa sepenuhnya menerima kenyataan yang terpampang jelas di depan mata.

Setelah benar-benar mengembalikan buku Kak Gisel, aku langsung keluar dari sana. Kembali ke kamarku dengan mata sembap karena terus-terusan menangis. Setengah melompat aku mendaratkan tubuh ke atas kasur. Membenamkan wajahku di bantal dan kembali meneruskan tangisku.

Aku tidak pernah menyangka, jatuh cinta akan seperti ini. Namun aku lebih tidak menyangka jika patah hati akan membuatku begitu terluka. Apalagi penyebabku patah hati adalah karena tidak bisa memenangkan hati laki-laki yang aku sukai.

Selama ini, aku merasa Taufan Malik begitu baik padaku karena ia menyukaiku. Namun sepertinya, perasaanku ini hanya bertepuk sebelah tangan saja. Mungkin kebaikan Taufan Malik, hanya kesalahpahaman sepihak dariku saja.

Namun, jika dia tidak menyukaiku, kenapa Taufan Malik begitu baik padaku? Kenapa Taufan Malik harus memperlakukanku seperti itu hingga membuatku merasa berbeda dari perempuan yang lain?

Apa Taufan Malik memang setega itu hingga berani-beraninya mempermainkan perasaanku? Tapi, kalau Taufan Malik sengaja membuatku patah hati, kenapa aku masih merasa kalau sikapnya selam aini begitu tulus terhadapku?

Aku sama sekali tidak mengerti dengan sikap Taufan Malik. Kenapa laki-laki itu bisa membuatku salah paham dengan apa yang telah ia lakukan padaku? Kenapa kami harus berkenalan dan menjadi cukup dekat jika pada akhirnya hanya rasa sakit yang bisa Taufan Malik berikan?

Lalu, kenapa Taufan Malik bisa mengenal Kak Gisel? Di mana mereka berkenalan? Dan kenapa Taufan Malik bisa begitu leluasa memeluk Kak Gisel, seolah mereka ada hubungan khusus dan sedekat itu?

Sebenarnya, dari semua skenario takdir yang sudah Tuhan tulis, di mana letak kesalahannya? Apa Tuhan salah menulis nama di buku takdir? Seharusnya aku, kan, yang Taufan Malik sukai? Seharusnya aku yang saat ini mengisi hati Taufan Malik, bukan Kak Gisel. Bahkan, aku yang satu sekolah dengan Taufan Malik, bukan Kak Gisel!

Jika diingat kembali, Kak Bila pernah mengatakan kalau Taufan Malik merupakan murid pindahan di sekolahku. Kalau begitu, apa sebelumnya Taufan Malik bersekolah di tempat yang sama dengan Kak Gisel? Kesimpulan ini membuatku berpikir keras.

Kalau memang demikian adanya, maka wajar kalau Kak Gisel dan Taufan Malik saling mengenal. Namun, kenapa Taufan Malik bisa mengatakan kalau Kak Gisel tidak bersalah? Sebenarnya, apa yang terjadi di antara mereka berdua? Itu yang membuatku tidak habis pikir.



***


Sudah mau ending nih, kalian udah  bisa nebak apa yang terjadi?

Aku sih pengennya 20 bab aja nulis ini. Padahal awalnya pengen 25 bab. Namun karena ini novelet dan bukan novel, aku nggak mau nulis sampe banyak bab. Apalagi secara keseluruhan, total kata yang sudah aku tulis sampai saat ini, udah lebih dari 25 ribu kata. Udah cukuplah, ya, buat standar noveler.


Jangan lupa dukung karya-karyaku, ya.


xoxo


Winda Zizty

23 Agustus 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top