Sembilan
Siapa yang menyangka jika Kak Bila bisa menjadi katalisku dalam mencari tahu sosok di balik nama samaran Wind? Penyair favoritku di sekolah.
Setelah aku pikir-pikir, Kak Bila kan anak OSIS dan juga lebih senior dariku. Ketimbang aku yang bukan siapa-siapa ini—tidak menjadi anggota OSIS apalagi ikut ekstrakulikuler—Kak Bila lebih memungkinkan untuk mendapatkan informasi yang sulit aku dapatkan.
Setelah melihat Kak Bila ternyata satu kelas dengan Taufan Malik, aku seolah-olah mendapatkan sebuah pencerahan. Kalau di film-film, mungkin di atas kepalaku mulai muncul lampu imajiner yang menyala terang. Pertanda sebuah ide mulai merasuki otakku.
"Tapi ... gimana caranya minta tolong sama Kak Bila, ya?" monologku.
Aku berguling-guling dengan gelisah di atas kasur. Kemudian memutuskan untuk berbaring telentang dan memandangi langit-langit kamar. Pikiranku segera dipenuhi dengan berbagai alasan yang harus aku lontarkan saat meminta tolong pada Kak Bila nantinya.
"Nggak mungkin, kan, aku bilang mau nyari seseorang karena suka sama tulisannya? Bisa-bisa Kak Bila ngira aku ini orang aneh. Sama kayak Inggit yang ngatain aku nggak masuk akal."
Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, bukankah masuk akal jatuh cinta hanya melalui sebuah kata? Bahkan di zaman dulu pun orang-orang bisa saling jatuh cinta hanya dengan bertukar surat cinta, 'kan? Bukannya juga surat cinta yang dikirim anonim bisa meluluhkan hati seseorang? Jadi bukan mustahil seseorang bisa jatuh cinta melalui metode tulisan.
"Inggit mainnya kurang jauh kayaknya. Hal kayak gini aja nggak tahu," omelku.
Tapi percuma juga aku mengomel ini dan itu. Toh, Inggit juga tidak bisa mendengarnya karena perempuan satu itu tidak berada di dekatku.
Omong-omong tentang Taufan Malik, beberapa hari ini aku tidak melihat keberadaannya di halte bus. Padahal aku sedikit berharap bisa melihatnya minimal sekali. Lagi pula, karena kami pernah berada di dalam bus dengan tujuan yang sama, wajar kalau aku mencari-cari keberadaannya.
Walaupun aku tidak tahu di mana rumah Taufan Malik, tapi kalau dia naik bus yang sama denganku, berarti aku dan dia memiliki tujuan yang searah, 'kan? Namun, kenapa beberapa hari ini aku tidak pernah melihat batang hidungnya? Apa saat itu dia kebetulan salah menaiki bus? Makanya sekarang aku tidak pernah melihatnya lagi di halte bus?
Namun kalau aku pikirkan sekali lagi dengan matang, kenapa juga saat ini aku malah memikirkan Taufan Malik? Bahkan pertemuan kami benar-benar tidak disengaja. Bertemu di perpustakaan, aku melihat buku yang dia baca dan aku pun meminjamnya, kemudian kami berada di bus yang sama. Ditambah saat di bus, dia menyadari aku yang tengah mual dan menawariku permen sebagai pereda mualku.
Dari pertemuan-pertemuan singkat itu, kenapa juga aku harus mikirin Taufan Malik? Memangnya dia siapa sampai harus memenuhi kepalaku seperti ini?
Saat aku hendak mengenyahkan pikiran tentang Taufan Malik, memori otakku malah memutar ulang adegan saat laki-laki itu tertawa dengan teman-temannya. Taufan Malik bukanlah lelaki tertampan di sekolah, aku juga yakin dia tidak cukup populer sampai sosoknya pun tidak tertangkap radarku. Memangnya siapa, sih, yang tidak mengenal sosok tercantik atau tertampan di sekolah?
Walaupun Taufan Malik bukan lelaki tertampan, tetapi ada daya Tarik tersendiri dari sosoknya. Apalagi saat aku melihatnya tertawa begitu lepas, aku merasa duniaku berhenti untuk sejenak. Entah kenapa saat itu, aku merasa rintik hujan pun tidak akan bisa menghalangi tatapan mataku yang tertuju pada Taufan Malik.
Benar-benar tidak pernah aku bayangkan aku bisa menjadi seperti itu. Aku bahkan tidak tahu pasti kenapa bisa-bisanya aku merasa waktuku terhenti. Bahkan jantungku juga ikut berkonspirasi dengan berdebar tidak karuan hanya dengan melihat Taufan Malik tertawa.
Padahal saat itu jarak Taufan Malik lumayan jauh dari jendela kelasku. Namun entah kenapa pandanganku begitu tajam dan fokus di momen tersebut. Sebenarnya, apa yang terjadi padaku saat itu?
Apa ada sihir yang diam-diam Taufan Malik mainkan untukku? Atau jangan-jangan sebenarnya dia tahu kalau saat itu aku tengah memperhatikannya? Lalu karena merasa terganggu, Taufan Malik sengaja merapal mantra demi memikatku?
Ah, dasar!
Kenapa gara-gara Taufan Malik, pikiranku jadi kacau begini?
Aku memejamkan mata. Berusaha mengenyahkan segala bayang Taufan Malik. Namun anehnya, semakin aku berusaha untuk mengusir jauh-jauh sosok Taufan Malik dari pikiranku, aku malah semakin terbayang-bayang.
"Ini kenapa, sih, sebenernya?" tanyaku frustrasi.
Tentu saja tidak ada yang menjawab pertanyaanku. Bahkan aku sendiri pun tidak mengetahui jawaban atas pertanyaanku ini.
Merasa kesal dan putus asa, aku pun bangkit dari kasurku. Setengah berlari menuju meja belajarku dan mengambil kotak tempat aku menyimpan permen pemberian Taufan Malik.
"Kayaknya gara-gara nih permen deh gue jadi kepikiran sama dia!"
Dengan tergesa aku mengeluarkan permen berperisa asam jawa itu, berusaha untuk membuka kemasannya. Namun sebelum kemasan tersebut terbuka, aku mengurungkan niatku. Tiba-tiba saja aku kepikiran sesuatu dan merinding sendiri dibuatnya.
"Gimana kalau habis makan permen ini, gue jadi makin kepikiran sama dia? Jangan-jangan permen ini udah dikasih pelet sama dia? Terus nanti gue makan dan bikin gue nggak bisa jauh dari dia, gimana dong?"
Aku hendak menangis karena pemikiranku sendiri.
"Nggak! Nggak boleh kayak gitu! Mending nih permen gue simpan baik-baik. Nggak usah gue makan. Ya, gitu aja. Disimpan aja. Nggak usah dimakan."
Aku terkekeh pelan bak orang gila. Benar-benar kehilangan akalku gara-gara Taufan Malik dan permen pemberiannya di bus tempo hari.
***
Aku berjalan dengan mengendap-ngendap di koridor kelas dua. Lagakku sudah seperti agen mata-mata di film aksi. Melihat kiri dan kanan, aku cepat-cepat melangkah ke kelas Kak Bila. Untungnya jam istirahat masih lama dan koridor juga sedang tidak ada orang. Jadi kecil kemungkinan ada yang melihat tingkah anehku saat ini.
Saat sudah di dekat kelas Kak Bila, aku menundukkan tubuhku. Mengintip area dalam kelas Kak Bila yang hanya diisi kurang dari lima orang saja. Aku bernafas lega saat melihat sosok Kak Bila yang sedang berbagi bekal dengan teman-temannya. Lebih lega lagi saat aku tidak melihat batang hidungnya si Taufan Malik.
Aku tersenyum lebar dan bisa berdiri dengan normal. Langkah kakiku pun kini sudah bisa lebih ringan dari yang tadi.
Saat aku hendak memanggil Kak Bila, untungnya ia sedang melempar pandangan ke luar. Alhasil Kak Bila pun melihatku yang berdiri di depan pintu kelasnya.
"Loh? Davina?"
Meski sedikit tidak enak karena mengganggu aktivitas makan Kak Bila, tetapi aku cukup senang karena ia yang berinisiatif mendatangiku di depan pintu.
"Halo, Kak. Aku ganggu Kakak nggak nih?" tanyaku sambil melirik ke dalam kelas. Lebih tepatnya ke arah teman-teman Kak Bila yang juga membawa bekal ke sekolah.
"Ah, nggak kok. Kakak juga belum mulai makan," balas Kak Bila ramah. "Kamu ngapain ke sini? Ada yang mau kamu tanyain ke Kakak?"
Aku menggaruk tengkukku. Merasa tidak enak.
"Ehm, iya, sih. Emang ada yang mau aku tanyain ke Kakak," jawabku. "Aku boleh nanya sesuatu sama Kakak?"
Kak Bila sedikit tertarik. Terbukti dari caranya melihatku dan alisnya yang menukik naik.
"Boleh, mau tanya apa?"
"Ehm, gini, aku langsung aja, ya. Kakak ada kenalan anggota ekskul mading nggak?" tanyaku langsung pada akhirnya.
"Ekskul mading?" Kak Bila tampak sedang mengingat-ingat. "Kalau yang deket banget gitu, kayaknya nggak ada. Tapi kalau misal mau nanya-nanya gitu, kayaknya bisa deh. Emang kenapa, Vin?"
"Gini, Kak. Ada orang yang mau aku cari dan itu berhubungan sama anak-anak ekskul mading."
"Oh, gitu. Siapa?"
Wajar Kak Bila bertanya demikian, karena aku memang meminta bantuannya. Namun entah kenapa, di saat seperti ini aku malah jadi ragu untuk mengatakannya. Sebenarnya aku kenapa, sih?
Cukup lama aku terdiam. Menimbang-nimbang apakah harus jujur dengan Kak Bila? Namun kalau tidak jujur, mana bisa Kak Bila membantuku mencari sosok Wind? Atau aku sedikit berbohong saja?
"Ehm, gini, Kak. Aku punya temen. Nah, dia ini lagi suka banget sama puisi di mading. Tapi dia nggak tahu siapa yang nulis puisi itu karena nggak pake nama asli. Karena itu, aku mau minta tolong, bisa nggak Kak Bila tanya sama anak ekskul mading, siapa yang ngirim puisi itu? Soalnya, pasti anak ekskul mading tahu dong siapa aja yang ngirim puisi ke mereka."
Aku berhenti sejenak, mengamati ekspresi Kak Bila. Sebenarnya masih ada yang ingin aku katakan, tetapi aku mau melihat respons Kak Bila dulu sebelum memutuskan untuk lanjut atau tidak.
"Ya, emang bener kalau ada yang ngirim puisi atau karya lain, yang tahu lebih dulu itu anak-anak ekskul mading," ucap Kak Bila. "Tapi kalau dari cerita kamu ini yang bilang dia pake nama samaran, kayaknya bakal sulit buat nyari tahu siapa dia."
"Kenapa gitu, Kak?" tanyaku penasaran.
"Karena, kalau dia aja ngirim puisi pake nama samaran, berarti sejak awal dia nggak mau orang-orang tahu identitas dia. Walaupun semua siswa bebas ngirim karya mereka ke ekskul mading, tapi bukan berarti identitas si pengirim bisa secara terbuka kita ketahui. Dari yang Kakak tahu, anak-anak ekskul mading menjaga rahasia identitas si pengirim kalau dia pake nama samaran. Itu yang Kakak tahu, ya."
"Jadi nggak ada kemungkinan buat tahu siapa penulisnya, ya, Kak?" tanyaku, sedikit kecewa.
"Iya, kalau dia pake nama samaran gitu. Tapi nanti Kakak coba tanyain sama mereka deh. Siapa tahu ada sedikit kelonggaran."
Aku tahu, Kak Bila berusaha menenangkanku. Namun aku tetap bersyukur karena Kak Bila mau menjawab pertanyaanku dan menjelaskan beberapa poin tentang ekskul mading. Walaupun aku tidak sepenuhnya mendapatkan jawaban yang aku inginkan.
"Kalau boleh tahu, siapa nama penulisnya?" tanya Kak Bila sekali lagi. Namun kali ini lebih diperhalus. Mungkin karena tadi aku tidak menjawab pertanyaannya.
"Namanya Wind, Kak. Angin."
Kak Bila manggut-manggut mendengar jawabanku. Sambil tersenyum, Kak Bila menepuk bahuku. Terlihat sekali Kak Bila berlaku demikian agar aku tidak terlalu kecewa.
"Nanti Kakak usahain cari tahu tentang Wind. Tapi Kakak nggak bisa janjiin apa pun, ya, Vin. Karena ya itu tadi, anak-anak ekskul mading rada pelit kalau soal ginian," bisik Kak Bila di akhir kalimat, yang membuatku terkekeh pelan.
"Iya, Kak, nggak pa-pa. Udah begini aja aku makasih banget. Nanti aku kasih tahu ke temenku."
Kak Bila mengangguk.
"Sekali lagi makasih, ya, Kak. Oh iya, maaf udah ganggu jam istirahat Kakak."
Aku masih merasa tidak enak sudah menyita waktu Kak Bila. Apalagi dia belum makan sama sekali gara-gara meladeniku yang datang tiba-tiba.
"Iya, no problem."
"Kalau gitu, aku balik ke kelas dulu, Kak."
***
Aku update lagi! Yeay!
Adakah yang nungguin cerita ini? Aku harap ada.
Kira-kira, bisa nggak, ya, Davina tahu siapa Wind itu sebenernya?
Penasaran? Makanya baca terus kisah Davina di Your Poem! Jangan sampai ketinggalan!
Semoga kalian suka, ya, sama ceritanya.
xoxo
Winda Zizty
09 Agustus 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top