Sebelas
Satu minggu sebelum ujian semester, hujan turun seperti air bah yang tumpah dari langit. Suara hujan kini bercampur dengan suara para siswa yang sibuk mengobrol. Sekolah masih ramai karena para siswa memilih berteduh di kelas masing-masing sembari menunggu hujan reda. Namun ada juga yang memilih menunggu di koridor dan bercengkrama dengan teman yang lain.
Inggit tidak masuk sekolah hari ini. Semalam saat dia menelepon, terdengar sekali kalau ia sedang flu. Suaranya benar-benar serak, sampai aku hampir tidak bisa mendengar apa yang ia ucapkan. Karena itu, hari ini sepertinya aku akan pulang sendirian.
Sejak tahu bahwa aku tidak bisa segera pulang karena turun hujan, aku melemparkan pandangan ke luar jendela. Memangku wajah dengan lesu sembari memandangi rintikan hujan yang juga mengetuk jendela.
Entah sudah berapa lama waktu berlalu, hujan nampaknya masih enggan untuk mereda. Aku juga sudah bosan berada di dalam kelas tanpa melakukan apa pun. Karenanya, aku pun bangkit berdiri, tidak lupa dengan ransel yang kini menempel di punggung. Kakiku melangkah begitu saja melewati koridor yang ternyata tidak kalah ramai dari suara hujan.
Aku tidak tahu ke mana kakiku akan membawaku. Tiba-tiba saja saat aku berhenti, aku sudah berada di depan perpustakaan. Tanpa ragu aku masuk ke dalam. Mungkin karena sedang hujan, perpustakaan tidak sesepi biasanya. Bahkan meja panjang di tengah ruangan pun kini hanya menyisakan beberapa kursi kosong saja.
Setelah menyimpan tasku di loker, aku pun mulai melangkah menuju rak buku-buku sastra. Karena sudah sering berada di sana, kakiku secara otomatis bergerak menuju tempat yang aku tuju.
Saat sedang memilih buku yang ingin aku baca di sini, tatapanku terhenti di buku yang pernah aku dan Taufan Malik pinjam. Tentu saja nama Taufan Malik yang sering ditulis di kartu peminjaman buku.
Tanpa ragu aku pun mengulurkan tangan, hendak mengambil buku tersebut. Namun belum sempat aku meraih buku tersebut, sebuah tangan lain berhasil menggapainya. Aku tersentak kaget karena sentuhan di punggung tanganku hingga membuatku mundur satu langkah.
Saat aku menoleh untuk melihat siapa gerangan yang telah merebut buku incaranku itu, aku pun terlonjak kaget. Sama sekali tidak percaya dengan sosok yang tertangkap mataku. Tanpa bisa aku cegah, jantungku berdebar kencang saat tidak sengaja kami saling beradu pandang.
"Kamu mau baca buku ini?" tanya sosok di hadapanku yang tidak lain adalah Taufan Malik.
Entah seperti apa ekspresiku saat ini. Namun satu hal yang pasti, jantungku semakin tidak terkendali. Apalagi setelah aku mendengar suaranya yang cukup berat, tetapi memiliki kehangatan di waktu yang bersamaan.
"Ah ... itu ...."
Aku merutuki diriku yang bisa-bisanya tergagap di depan Taufan Malik. Untungnya, Taufan Malik tidak mempermasalahkan jawabanku yang sedikit gugup itu. Atau bahkan mungkin dia sama sekali tidak peduli?
"Kalau kamu mau baca, ambil aja."
Taufan Malik menyerahkan buku tersebut ke arahku yang ragu-ragu aku ambil. Menurutku sudah cukup dengan interaksi tersebut, tetapi mengapa dia harus menambahkan sebuah senyuman yang membuatku ingin segera hilang dari bumi?
"Ma ... makasih." Seharusnya sampai di situ saja, tetapi dengan bodohnya aku malah menambahkan, "Kamu nggak mau baca buku ini?"
Taufan Malik menggeleng, masih dengan senyum tipisnya.
"Nggak usah. Aku juga udah sering baca buku itu. Lihat aja di kartu peminjamnya, pasti penuh sama namaku," katanya.
Meski sudah tahu hal tersebut, tetapi masih saja aku membuka halaman terakhir buku tersebut demi melihat kartu peminjam yang disematkan di sana. Seperti yang dia katakan dan yang sudah aku ketahui, selain namaku dan dua peminjam yang lain, kartu tersebut memang didominasi oleh nama Taufan Malik.
"Taufan Malik," gumamku pelan.
"Iya, itu namaku. Tapi kamu cukup panggil Malik aja."
Aku terdiam. Mengangkat wajahku dan menyadari Taufan Malik masih tersenyum ke arahku. Tentu saja, itu adalah sejenis senyuman ramah pada teman satu sekolah. Bukan jenis senyuman yang memiliki arti lain.
Mungkin karena melihat aku yang tidak terlalu merespon ucapannya, Taufan Malik pun berlalu dari hadapanku. Namun masih saja ia dengan ramahnya malah berpamitan denganku. Tanpa tahu bahwa hal tersebut malah membuatku kesulitan untuk berdiri tegak. Entah kenapa, aku merasa kakiku sudah berubah menjadi jeli.
"Kalau gitu, aku cari buku yang lain dulu buat dibaca. Selamat membaca."
Punggung Taufan Malik yang semakin menjauh hanya bisa aku pandangi dalam diam. Meski baru berusia belasan tahun, tetapi ia sudah memiliki postur tubuh yang tegap. Andai saja aku lebih awal mengenal Taufan Malik dan bukan sekarang, mungkin aku bisa menyukai laki-laki itu.
Aku tersenyum tipis, menyadari pemikiran bodohku. Bisa-bisanya aku berandai-andai seperti itu. Lalu apa itu tadi? Menyukai Taufan Malik? Kenapa aku malah memiliki pikiran seperti itu?
Namun anehnya, hal tersebut tidak membuatku marah atau kesal. Malah membuat dadaku berdebar dan langkah kakiku semakin berat karena enggan beranjak dari tempat perkenalan singkatku dengan Taufan Malik.
Alih-alih memilih duduk di meja panjang di tengah perpustakaan, aku memutuskan untuk membaca di bilik individu yang berada di sisi lain. Di tempat khusus membaca itu, ada sekat yang memisahkan. Jadi fokus kita saat membaca tidak akan terganggu oleh orang lain. Kecuali kalau kita sendiri yang memutuskan untuk tetap membaca atau mengobrol dengan orang di samping kita duduk.
Sebelum duduk, aku menyempatkan diri mengedarkan pandangan ke sekeliling. Namun tidak aku temukan sosok Taufan Malik di sepanjang mataku memandang. Entah berada di mana Taufan Malik saat ini—yang katanya ingin mencari buku lain untuk dibaca—aku memutuskan untuk bersikap abai dan fokus untuk membaca.
Sebenarnya aku sudah membaca buku ini dari halaman pertama sampai akhir. Apalagi aku juga sudah pernah membaca buku ini gara-gara pernah melihat Taufan Malik membacanya. Namun entah kenapa tadi aku malah ingin membaca buku ini lagi karena teringat Taufan Malik.
Siapa sangka, orang yang berada di dalam pikiranku itu malah berwujud nyata dan berdiri tepat di hadapanku. Bahkan kami sama-sama memilih buku ini untuk dibaca. Walaupun pada akhirnya Taufan Malik mengalah dan membiarkan aku membacanya, tetap saja semua ini berjalan begitu mulus.
Seolah Tuhan dan seisi alam semesta telah menarik aku dan Taufan Malik agar saling berhadapan. Meski aku dan Taufan Malik berdiri di kutub yang berbeda, aku merasa ada sebuah magnet yang menarik kami hingga saling mendekati.
Aku tidak tahu ini benar atau tidak adanya. Kalaupun ini benar, aku akan sangat bersyukur. Karena jika harus jujur, aku ternyata senang berada di dekat Taufan Malik. Bahkan saat ia memberikan permen di bus kala itu pun, ada rasa bahagia dalam dadaku.
Membayangkan ada orang lain yang memperhatikanmu, membuat kita merasa senang dan dihargai. Apalagi alasan Taufan Malik memberikanku permen adalah agar aku tidak mual dan mabuk perjalanan. Benar-benar laki-laki yang memiliki perhatian dengan sesama.
Bertambah lagi satu poin yang membuatku senang bisa bertemu dengan Taufan Malik. Bahkan perkenalan dan obrolan singkat kami juga patut untuk aku syukuri.
Sembari membalik halaman buku, tidak henti-hentinya aku tersenyum. Aku sudah tidak sabar dengan rencana Tuhan yang akan aku hadapi di masa depan. Namun dengan semua kejadian yang terjadi di antara aku dan Taufan Malik hingga saat ini, sangat wajar bukan kalau aku berharap hanya akan ada hal-hal baik yang menanti kami?
Hal ini membuatku memutuskan untuk mencari tahu tentang Taufan Malik. Mulai hari ini, aku akan menantikan takdir seperti apa yang menghubungkan aku dengan Taufan Malik. Aku akan dengan senang hati menjalani takdirku asalkan ada Taufan Malik di dalam cerita ini.
Aku menggeleng sambil terkekeh pelan. Benar-benar tidak menyangka pada akhirnya aku akan memiliki pemikiran konyol seperti ini. Aku sama sekali tidak menyangka, seorang Davina Gracia akan menaruh perhatian seperti ini pada lawan jenis.
Mengenai Taufan Malik, hal ini tentu akan lebih mudah ketimbang mencari tahu tentang Wind. Meski masih kecewa karena Kak Bila tidak berhasil mengorek informasi mengenai sosok Wind, bukan berarti kali ini juga akan sama hasilnya.
"Kayaknya aku mesti nanya tentang dia sama Kak Bila deh," gumamku. "Kak Bila, maaf, ya, kali ini kayaknya aku mesti ngerepotin Kakak lagi."
Tidak ada yang tahu siapa sosok di balik nama samaran Wind. Namun tidak mungkin orang lain tidak mengetahui dengan sosok berwujud nyata Bernama Taufan Malik, 'kan? Apalagi aku akan bertanya langsung pada teman sekelasnya. Jadi, tidak mungkin informasi yang ingin aku ketahui ini memunculkan kata nihil seperti yang sudah.
Aku tersenyum semakin lebar. Membiarkan jantungku berdebar kencang.
***
Ternyata Davina cukup pede juga, ya.
Menurut kalian, gimana bab ini guys?
Jangan lupa komen, ya.
Walaupun yang baca cerita ini mungkin cuma satu-dua orang, aku tetep seneng kok.
XOXO
Winda Zizty
11 Agustus 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top