Satu
Inggit pernah berkata padaku bahwa aku cukup gila karena menyukai seseorang hanya melalui puisi. Inggit bahkan tidak percaya sama sekali bahwa yang aku rasakan adalah perasaan romantis.
"Ya mikir aja, sih, cuma gara-gara puisi beberapa baris ini, lo jadi suka sama penulisnya? Kita bahkan nggak tahu, tu puisi yang ada di mading beneran buatan anak sekolah kita atau asal comot aja dari majalah," ungkap Inggit sambil mengibaskan tangannya.
Aku menggeleng, tidak setuju dengan pernyataan Inggit barusan.
"Lo nggak ngerasain aja gimana saat lo baca puisinya. Bener-bener menyentuh, Nggit," ucapku.
Inggit mendesah panjang. Gadis berambut ikal sebahu yang semula berdiri mondar-mandir di kamarku itu lantas duduk bersila. Menatapku lekat-lekat dengan bola matanya yang berwarna cokelat terang.
Aku yang juga tengah duduk bersila di atas karpet bulu berwarna hijau sambil membolak-balik majalah sekolah, kini merasa sedikit gugup ditatap sedemikian rupa. Meski sudah dari SD berteman dengan Inggit, tetapi ditatap intens seperti ini merupakan hal baru bagiku.
Tatapan Inggit saat ini benar-benar penuh selidik. Seolah tengah bertanya-tanya apakah ada yang salah di otakku, atau saat ini ragaku sedang dimasuki roh halus.
"Ini hanya puisi loh, Davina Grecia. Puisi. Bukan surat cinta yang bisa bikin lo mabuk kepayang sama yang ngirim."
Lagi-lagi Inggit meyakinkanku bahwa perasaan yang saat ini perlahan tumbuh di hatiku bukanlah sesuatu yang benar-benar nyata. Bagi Inggit, apa yang aku rasakan saat ini adalah kekaguman semata yang akan hilang begitu saja setelah aku tahu siapa penyair misterius yang karyanya dipajang di mading setiap hari Jumat.
Ya, Inggit memang tidak sepenuhnya salah. Namun Inggit salah saat mengatakan jika perasaan ini hanya sementara dan akan menghilang kalau aku tahu seperti apa rupa orang yang menulis puisi-puisi yang menggetarkan hatiku itu.
Aku sudah berulang kali meyakinkan hatiku, bahwa tidak apa-apa jika wajahnya tidak tampan. Atau yang lebih parah, mungkin seperti kata Inggit, puisi tersebut disadur dari sebuah majalah sebelum akhirnya terpajang dengan ciamik di mading sekolahku. Atau kemungkinan yang lebih buruk lagi, penulisnya adalah laki-laki tua yang menitipkan puisinya untuk dibaca anak-anak sekolah sepertiku.
Apa pun itu, aku sudah siap dengan segala konsekuensi yang akan aku hadapi di masa mendatang.
Aku menutup majalah yang aku baca. Kali ini, gantian aku yang menatap Inggit lekat-lekat. Kutatap netra cokelatnya tanpa bergeser satu inci pun. Karena dengan begitu, aku bisa menyampaikan secara tulus kepada Inggit bahwa aku sama sekali tidak peduli dengan siapa pun orang yang menulis puisi itu.
"Gue nggak peduli, Nggit," kataku tegas dan yakin. "Selagi dia manusia dan masih bisa bernapas, gue akan tetap menyukainya. Meski puisinya bukan surat cinta yang bisa membuat gue mabuk kepayang, tetapi ini lebih dari itu. Seolah-olah kata-kata yang dia tulis ini tengah berbicara ke gue dari hati ke hati. Lo tahu gue bukan orang yang memuja cinta banget, tapi puisi ini benar-benar menyentuh gue, Nggit. Puisi yang orang ini tulis bener-bener mengetuk pintu hati gue."
Kulihat ekspresi wajah Inggit berubah. Campuran antara geli dan ingin muntah mendengar kata-kataku. Hal itu diperkuat dengan kata-kata Inggit berikutnya yang membuatku terkekeh geli.
"Najis gue denger omongan lo. Udah kayak penyair banget, dih. Geli gue," ucap Inggit sambil mengendikkan bahunya.
"Habisnya, kalo gue nggak ngomong gitu, lo nggak bakalan percaya."
"Ya emang gue nggak bakalan percaya! Gila aja suka sama orang yang belum pernah ditemui. Mukanya aja gue nggak tahu gimana bentukannya, malah bisa-bisanya suka sama tu orang. Mustahil banget gitu loh."
"Nih, buktinya gue," ucapku.
"Lo itu kejadian khusus kayaknya. Sebuah kejadian langka yang gue temuin di kehidupan gue selamam enam belas tahun ini."
"Iya deh, iya, yang bentar lagi tujuh belas tahun," godaku.
"Lah, apa hubungannya coba? Kenapa jadi melenceng ke gue yang mau tujuh belas tahun?" Inggit sedikit sewot saat aku membahas usianya yang akan bertambah.
"Tadi lo bilang kalau lo udah hidup selama enam belas tahun di dunia ini," balasku.
"Yee ... itu karena gue bahas elo yang makin lain aja dari hari ke hari."
"Lain gimana?" tanyaku penasaran.
"Itu buktinya, malah suka sama orang yang nulis puisi. Ketemu aja belum, bisa-bisanya bilang suka. Jatuh hati segala."
Aku tertawa. Benar-benar lepas. Apalagi saat melihat wajah Inggit yang semakin keki.
"Lo itu, ya, dibilangin malah ...."
Inggit terlihat sekali ingin menjintak dan memukulku, tetapi temanku itu menahannya sekuat tenaga. Di balik wajahnya yang seringnya datar ketimbang tersenyum, Inggit sungguh memiliki hati yang baik. Kalau tidak baik, mana mungkin, kan, aku betah berteman dengannya dari SD.
Kembali lagi ke pembahasanku dan Inggit yang saat itu tengah berada di rumahku. Sebenarnya, saat itu kami sedang mengerjakan tugas makalah Sejarah. Untungnya, guruku membebaskan kami untuk memilih anggota kelompok yang berisikan dua orang. Tentu saja aku dan Inggit menjadi satu kelompok tanpa perlu berembuk lagi.
Setelah tugas makalah kami selesai, aku menceritakan isi hatiku pada Inggit. Perihal aku yang merasa suka dengan orang yang menulis puisi di mading sekolah kami. Meski tidak memakai nama asli, tetapi dari kata-kata yang ia rangkai, aku tahu orang yang menulisnya tentu adalah orang yang baik.
Karena kalau tidak baik, mana mungkin ia bisa merangkai kata-kata yang bisa menembus hatiku. Hanya lewat kata-kata, aku bisa menyukai orang tersebut. Meski seperti orang kebanyakan, tentu Inggit berpendapat bahwa aku gila dan tidak masuk akal bisa menyukai seseorang hanya karena puisi.
Namun, ada satu hal yang tidak bisa aku ceritakan pada Inggit. Satu hal itulah yang membuatku jatuh cinta dengan luluh lantak pada puisi yang selalu aku nanti di setiap hari Jumat. Tidak hanya pada puisinya, tetapi ternyata aku juga jatuh cinta pada penulisnya.
Konyol? Tidak masuk akal? Mustahil? Kurasa, aku sudah siap menerima semua kata-kata itu. Karena memang, aku pun awalnya merasa ini tidak masuk akal. Bagaimana bisa aku menyukai seseorang hanya melalui sebuah tulisan?
Bagaimana kalau dia jelek? Bagaimana kalau dia tidak sempurna? Bagaimana kalau dia begini? Bagaimana kalau dia begitu?
Aku bukannya tidak pernah memikirkan hal tersebut, hanya saja, rangkaian kata yang begitu indah itu membuatku terlena. Memperdayaku hingga semua yang tidak masuk akal tadi menjadi masuk akal untukku.
Pasti semua orang akan bertanya-tanya, seberapa bagusnya puisi yang orang itu tulis hingga aku jatuh cinta seperti ini? Entahlah. Mungkin bagi sebagian orang puisi buatannya biasa saja, tetapi tidak begitu adanya untukku.
Seperti yang aku katakan sebelumnya, ada sesuatu di dalam puisinya yang menggelitik hatiku. Sesuatu yang membuatku merasa terhubung dengan orang itu. Bukankah sudah pernah aku bilang, kalau orang itu seolah tengah mengeluarkan isi hatinya melalui bait-bait puisi?
Apalagi memang bagi sebagian orang, menulis puisi menjadi salah satu media untuk mengungkapkan isi hati. Kata-kata yang tidak bisa secara gamblang disuarakan melalui bibir, tetapi begitu lantang tertulis bersama tinta dan kertas.
Aku rasa, itulah yang membuatku begitu tersentuh dengan apa yang orang itu tulis melalui puisinya. Orang itu—yang entah siapa namanya—tengah bercerita padaku. Orang itu sedang mengungkapkan isi hatinya di tengah riuhnya manusia. Orang itu tengah menunjukkan pada dunia bahwa ia benar-benar ada di dunia ini. Meski namanya harus tersembunyi dan kata-katanya tertutupi bait-bait puisi.
"Jadi ...," kataku sambil melirik Inggit yang tengah membereskan isi tasnya, "lo mau kado apa dari gue buat sweet seventeen nanti?"
Inggit berdecak. Meski saat ini Inggit bersikap seolah-olah tidak acuh, tetapi aku tahu, ia pun tengah menanti hari di mana usianya berubah menjadi tujuh belas tahun. Memangnya siapa, sih, yang tidak deg-degan menanti sweet seventeen?
"Lo mau kado apa?" ulangku, karena Inggit sepertinya benar-benar tidak peduli.
"Jujur aja, gue bahkan lupa kalau sebentar lagi gue mau tujuh belas," ucap Inggit. Gadis itu mengucir rambut menjadi cepol yang mirip sanggul kecil karena rambut ikalnya. "Kalau aja lo nggak bahas tadi, gue mungkin bakalan lewatin hari tanpa tahu kalau saat itu gue lagi ulang tahun."
Aku terdiam. Kuamati ekspresi wajah Inggit yang lebih datar dari sebelumnya. Entah kenapa, aku merasa ada sesuatu yang mengganjal di hati Inggit saat ini. Apalagi saat aku membahas sweet seventeen-nya.
"By the way, lo nggak penasaran siapa orang yang rutin ngirim puisi ke mading?" tanya Inggit. Jelas sekali ia menghindari topik ulang tahunnya dan kembali pada pembicaraan awal kami.
"Penasaran sih, tapi untuk saat ini nggak sebesar itu. Gue masih mau mengagumi karya-karyanya. Nah, kalau gue udah penasaran setengah mati, gue bakal nyari tahu tentang dia sampe ke akar-akarnya."
"Kalau akhirnya lo udah tahu dia siapa, lo bakal gimana?" tanya Inggit, penasaran.
"Hm ... entahlah. Gue belum mikirin gimana reaksi gue nanti kalau akhirnya gue udah tahu siapa dia. Atau mungkin gue mau minta tanda tangan sama dia? Atau gue minta dia ngajarin gue gimana bisa nulis puisi sepuitis itu."
"Emang puisinya sebagus itu?"
Aku mengangguk tanpa ragu.
"Menurut gue emang sebagus itu. Nggak tahu kalau menurut elo, ya." Aku tersadar akan sesuatu. "Emang lo belum pernah baca puisi dia di mading?"
Seperti dugaanku, Inggit dengan cepat menggeleng.
"Ngapain? Gue aja setiap lewat mading, ya lewat-lewat aja."
"Seriusan? Padahal lumayan banyak loh pengumuman di mading, kalau lo pernah baca."
"Nggak ah, males. Kalau ada pengumuman kan, biasa diumumin di pengeras suara. Atau lo bisa ngasih tahu gue kayak biasa. Bahkan sebelum diumumin guru pun, biasanya elo selalu ngasih tahu gue duluan kalau ada sesuatu yang penting di sekolah."
Benar juga. Karena lumayan dekat dengan beberapa anak OSIS, aku memang lebih up to date dibanding anak-anak yang lain, termasuk Inggit.
"Kalau lo penasaran gimana puisinya, lo bisa baca sendiri di mading," usulku.
"Ya, ya, tapi gue nggak janji, ya."
***
Hali semuanya! Aku tahu ini sudah sangat jauh terlambat, tapi selamat datang di bab Satu Your Poem!!! *mukul drum.
Kalau dilihat dari teman-temanku yang lain yang sudah mau bab 7, wah, aku benar-benar sudah kelewatan. Aku tidak menghindari kesalahanku yang telat update bab pertama dan bab selanjutnya. Namun, aku akan berusaha mengejar keterlambatanku dari teman-temanku yang lain.
Gimana bab pertama ini? Semoga kalian suka, ya. Sebenarnya aku menyelipkan puisi di bab pertama ini. Namun karena satu dan lain hal, akhirnya puisi itu nggak jadi aku selipkan di sini. Rencananya, di setiap bab-nya, aku mau menyelipkan puisi yang tentu saja dituliskan olehku, hehe .... Tapi nggak tahu gimana nantinya deh.
Semoga kalian suka, ya dengan cerita terbaruku ini. Dan juga tetap jaga kesehatan kalian, ya. Jangan kayak aku yang beberapa tahun belakangan mudah banget terserang flu. Saat nulis ini pun aku lagi batuk-pilek. Semoga kita semua tetap sehat, ya.
Xoxo
Winda Zizty
18 Maret 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top