Lima Belas

Sore itu, aku melihat Kak Gisel duduk di teras belakang. Tidak ada teh ataupun camilan yang menemani. Tidak juga buku ataupun benda-benda lain yang menemani Kak Gisel duduk di sana.

Dari ruang tengah, aku hanya bisa memandangi punggung Kak Gisel. Belum ada niat untuk menghampiri Kak Gisel yang seperti sedang banyak pikiran itu. Aku hanya berpikir, mungkin Kak Gisel sedikit ingin menenangkan diri setelah selesai menjalani Ujian Nasional.

Apalagi sebentar lagi Kak Gisel akan mempersiapkan diri untuk masuk ke universitas. Kabarnya, menjadi mahasiswa lebih sulit ketimbang menjadi siswa di sekolah. Mungkin karena itu juga Kak Gisel jadi semakin sering menyendiri dan irit bicara.

Liburanku sebentar lagi berakhir. Aku tentu senang akan segera kembali ke sekolah dan menyandang status baru sebagai siswa kelas dua SMA. Namun karena masa liburanku tinggal menghitung hari, aku tentu merasa sedih.

Selama liburan ini, aku sering menghabiskan waktu dengan Inggit. Kami pergi ke tempat-tempat yang sebelumnya belum kami kunjungi di dalam kota. Tentu saja, kami juga mencoba beberapa menu makanan yang terasa baru di telinga dan lidah kami.

Momen liburan lain yang paling aku sukai adalah, saat orang tuaku akhirnya memperbolehkan aku memakai handphone sendiri. Sebelumnya, untuk berkomunikasi dengan teman-temanku, aku hanya bisa menggunakan telepon rumah. Namun sekarang, aku sudah bisa menghubungi teman-temanku dengan handphone-ku sendiri.

"Akhirnya lo punya hape juga," sahut Inggit senang saat aku menunjukkan handphone baruku padanya.

"Iya. Apalagi hape gue ada kameranya. Jadi kita bisa foto-foto deh," ungkapku senang.

"Dih, bikin ngiri aja. Gue udah hampir setahun punya hape, tapi nggak ada kameranya." Inggit kelihatan sedih, tetapi tidak begitu dominan karena handphone yang dia gunakan memang masih sangat layak untuk dipakai. Hanya saja belum mendukung fitur kamera saja seperti handphone yang aku miliki.

"Nanti lo nabung aja biar bisa beli hape yang ada kameranya," usulku.

"Iya, emang gue lagi nabung, sih. Tapi kayaknya baru tercapai pas udah kelas tiga nanti," ungkap Inggit.

"Ya udah, sebagai perayaan karena gue udah punya handphone, gimana kalau kita foto-foto aja?"

"Wah, ide bagus tuh!"

Aku dan Inggit pun mulai mengabadikan momen kebersamaan kami dengan handphone-ku. Sepanjang hari itu, kami banyak memotret dan memilah-milah foto mana yang akan kami cetak dan disimpan sebagai kenangan di hari tua nanti.

Di hari terakhir liburanku, aku berinisiatif untuk mengunjungi Inggit di rumahnya. Meski keesokan harinya kami akan tetap bertemu di sekolah, tetap saja aku ingin bertemu dengan sahabatku itu. Lagi pula, aku memang sudah beberapa minggu ini tidak main ke rumah Inggit.

Sebelumnya aku sudah mencoba menelepon Inggit, tetapi tidak ia angkat. Mungkin saat aku menelepon, Inggit sedang ada kegiatan lain sehingga tidak memegang handphone. Karena itu, sebelum pergi, aku pun mengirimkan SMS pada Inggit guna memberitahunya kalau aku akan pergi ke rumahnya.

"Mau ke mana, Vin?" tanya Mama saat melihatku tengah bersiap.

"Mau ke rumah Inggit, Ma," jawabku. Aku pun langsung menghampiri Mama yang sedang memasak di dapur guna berpamitan.

Setelah menyalami tangan Mama dan cipika-cipiki, aku pun langsung berlalu pergi. Sekilas, aku melihat Kak Gisel sedang menelepon seseorang di teras belakang. Entah siapa yang menjadi lawan bicaranya, tetapi ku lihat Kak Gisel tengah tertawa. Tawa yang begitu anggun dan teratur. Aku yang perempuan saja bisa langsung menyukai suara tawa Kak Gisel, apalagi jika lawan jenis yang mendengarnya.

Butuh waktu sekitar 45 menit perjalanan dari rumahku ke rumah Inggit. Sebenarnya, dulu Inggit tinggal di komplek perumahan yang sama denganku. Namun setelah ayahnya pindah kerja, Inggit sekeluarga pun pindah ke rumah baru yang lebih baik dan dekat dengan kantor sang ayah.

Karena itulah, aku dan Inggit selalu menaiki bus yang tujuannya berbeda setiap pulang sekolah. Saat janjian untuk main di luar pun, kami akan memilih tempat yang berada di tengah-tengah perjalanan kami.

Setelah turun dari angkot, aku tinggal berjalan kaki tidak sampai sepuluh menit untuk tiba di rumah Inggit. Sebelumnya, aku sempat mengecek handphone-ku, tetapi tidak ada pesan balasan dari Inggit yang membuatku bertanya-tanya apakah SMS-ku tadi sudah atau belum dia baca?

Setelah melewati pertigaan, aku tinggal berjalan lurus ke sebelah kanan. Rumah Inggit ada di barisan kanan dengan halaman depan yang cukup luas dari rumah lamanya.

Entah tinggal berapa meter jarakku untuk mencapai rumah Inggit saat aku melihat sahabatku itu sedang berdiri di depan pagar. Namun yang membuatku menerbitkan pertanyaan adalah ketika aku menyadari Inggit tidak berdiri sendirian di depan pagar. Ada seorang laki-laki yang duduk di atas sepeda motor, tengah menemani Inggit saat ini.

Laki-laki itu pun melajukan motornya, menuju jalanan lurus di hadapanku. Membuatku tidak bisa memastikan siapa sosok laki-laki bermotor tersebut. Ditambah dengan helm yang ia gunakan, semakin membuatku tidak bisa menebak identitas sang pengendara motor.

Setelah pengendara motor itu pergi dan Inggit berbalik untuk masuk ke dalam rumahnya, saat itulah ia melihatku. Aku pun melambaikan tangan dan mempercepat langkahku saat melihat Inggit tersenyum lebar ke arahku. Ekspresi di wajah Inggit memberitahuku jika ia sama sekali tidak mengetahui kedatanganku ke kediamannya.

"Kok nggak bilang lagi mau ke sini?" tanya Inggit saat kami sudah berjalan bersisian di halaman rumahnya.

"Gue udah kirim SMS loh. Masa lo nggak tahu, sih?" ungkapku. Sebagai bukti, aku lantas mengeluarkan handphone dan memperlihatkan SMS yang sudah aku kirimkan ke Inggit sebelumnya.

"Lah, iya, ya. Kok gue nggak tahu?"

"Ya mana gue tahu. Lo lupa naruh hape mungkin? Makanya lo nggak tahu kalo gue kirim SMS."

Inggit tampak mengingat-inggat, kemudian ia pun nyengir.

"Oh iya, gue lupa kalo hapenya lagi di-charge."

"Dih, dasar! Pantes gue telepon nggak diangkat. Gue SMS juga boro-boro dibales, ternyata nggak dibaca sama sekali."

"Hehe, maaf, maaf. Gue tadi lagi ngeladenin sepupu gue soalnya," tutur Inggit dan membawaku masuk ke kamarnya.

Kamar Inggit cukup rapi. Malah lebih rapi dari kamarku. Apalagi dengan warna monokrom dari berbagai benda yang dipilih Inggit sebagai dekorasi di kamarnya.

"Yang pake motor tadi?" tanyaku, memastikan.

"Iya. Lo liat, ya?" tanya Inggit balik.

Aku mengangguk. Ikut duduk di pinggir ranjang setelah Inggit persilahkan.

"Iya. Gue kira tadi siapa yang ngobrol sama lo di depan pager."

Inggit tertawa kecil. "Itu sepupu gue."

"Gue kira cowok lo."

"Ya nggaklah. Gue belum minat punya cowok untuk saat ini," kata Inggit. "Oh iya, lo mau minum apa?"

"Hm, apa aja deh. Yang dingin, ya. Soalnya di luar panas banget," pintaku tanpa basa-basi.

"Oke. Tunggu bentar, ya."

Inggit meninggalkan kamarnya tidak sampai lima menit. Perempuan itu kembali dengan dua gelas sirop jeruk dingin dan beberapa makanan ringan.

"Ortu lo mana? Kok sepi?" tanyaku setelah menyadari rumah Inggit begitu tenang.

"Lagi di rumah sepupu," jawab Inggit sambil mengunyah keripik kentangnya.

"Sepupu lo yang tadi?"

"Bukan," sanggah Inggit. "Kalau yang tadi itu sepupu dari pihak ayah gue. Kalau sepupu yang ortu gue kunjungi ini, dari pihak ibu."

"Oh gitu."

Aku manggut-manggut. Tidak lagi mengajukan pertanyaan dan sibuk mengunyah kue kering yang dibawakan Inggit.

Namun entah kenapa, aku tiba-tiba tertarik dan penasaran dengan sepupu Inggit yang aku lihat tadi. Apalagi aku merasa sedikit familiar dengan postur tubuh sepupu Inggit tersebut. Walaupun tubuh sepupu Inggit dibalut jaket kulit yang sepertinya lumayan tebal.

"Sepupu lo seumuran sama kita?" tanyaku. Menyuarakan isi pikiran yang tidak bisa aku bendung lagi.

"Nggak kok. Dia kakak kelas kita. Beda dua tahun aja."

"Oh gitu."

"Kenapa emang?" tanya Inggit.

"Nggak pa-pa. Cuma nanya aja."

"Lo naksir?" tebak Inggit. Namun nada bicara Inggit terdengar berbeda. Tidak ada candaan apalagi niat untuk menggoda, dari yang aku tangkap.

"Nggak kok. Cuma lihat punggungnya doang, masa bisa naksir?"

"Kenapa nggak? Lo aja bisa tuh suka sama si Wind itu gara-gara baca puisi dia."

"Ya itu beda kasus," sanggahku. "Lagian gue mengagumi Wind karena suka karya-karyanya. Nggak lebih kok."

"Oke, oke. Gue percaya aja."

Aku mendecih pelan. Meninju lengan Inggit dengan niat bercanda.

"Dasar lo, ya!"

Inggit menatapku sekilas, sebelum berkata, "Kalau gue saranin, lo jangan deh naksir sama sepupu gue."

"Kenapa?" tanyaku penasaran. Aku yang hendak minum pun langsung mengurungkan niatku.

Inggit tersenyum tipis. Namun entah kenapa, tatapan mata Inggit terlihat sedih. Meski tidak menatap wajahku dan terkesan menghindari, aku bisa merasakan jika Inggit tengah melindungi sepupunya itu. Entah apa alasannya.

"Sepupu gue pernah kecelakaan gara-gara nolong cewek yang dia suka. Makanya sepupu gue mesti dioperasi karena patah tulang. Pas tadi gue liat dia bawa motor pun, gue kaget sekaligus marah. Bisa-bisanya dia naik motor padahal dia belum sepenuhnya pulih. Ke sekolah pun dia mesti naik bus," ungkap Inggit penuh emosi.

Aku hanya diam, tidak berani berkomentar. Dari cara Inggit menjelaskan pun, aku bisa tahu jika ia sangat membenci perempuan yang sepupunya sukai itu. Perempuan yang menurut cerita Inggit adalah penyebab sepupunya itu kecelakaan dan harus dioperasi.

Aku tidak tahu, ada kisah cinta yang memilukan seperti ini dalam kehidupan nyata. Sebelumnya, aku mengira kisah cinta akan selalu mulus dan dipenuhi bunga-bunga yang bermekaran. Siapa sangka, di dunia ini ada kisah cinta yang menyayat hati dan penuh pengorbanan.

"Terus, cewek yang sepupu lo suka itu gimana kabarnya?"

"Dia hidup baik-baik aja. Tapi tiap gue nggak sengaja liat tu cewek dan inget apa yang udah dia lakuin ke sepupu gue, gue jadi kesel dan benci banget sama dia. Gue juga menyalahkan sepupu gue yang tolol dan masih tetep suka sama tu cewek. Bahkan rela ngelakuin hal, agar tu cewek hidupnya baik-baik aja."

Kulihat Inggit meneteskan air matanya. Sebagai seseorang yang sudah cukup lama mengenal Inggit, hal tersebut membuatku secara otomatis memeluknya. Ini kali pertama Inggit memperlihatkan emosi yang amat sangat jarang ia tunjukkan di depanku.

"Gue selalu bertanya-tanya, kenapa harus cewek itu yang sepupu gue suka? Kenapa harus sepupu gue yang dikenal tu cewek dan mengalami hal yang kayak gitu? Gue ngerasa hidup ini nggak adil, Vin. Takdir begitu kejam buat orang-orang di sekitar gue."

Aku terdiam. Menyimak ungkapan isi hati Inggit dengan baik. Mengeratkan pelukan agar Inggit tahu jika ia tidak sendirian. Ada aku di sini, sebagai sahabat yang akan selalu mendukungnya.



***


Dirgahayu Indonesia-ku!!! Di lingkungan kalian ada lomba apa aja, nih? Hehe.


Seperti yang sudah aku katakan sebelumnya, latar waktu cerita ini emang di awal tahun 2000-an gitu. Jadi wajar kalau Davina baru punya hape. Dan kalaupun Inggit punya hape pun, nggak ada fitur kamera. Makanya respons Inggit kayak gitu pas Davina ngasih tahu kalo dia akhirnya punya hape.


Semoga kalian suka sama cerita ini, ya.


xoxo


Winda Zizty


17 Agustus 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top