Lima
Di kamarku, aku hanya bisa diam. Memandangi permen yang sama sekali belum aku makan. Permen pemberian dari laki-laki yang ternyata bernama Taufan Malik.
Ada sesuatu yang aneh di dadaku saat memikirkan kembali kejadian di dalam bus tadi. Seumur-umur, belum ada penumpang lain yang menawariku permen karena sedikit mabuk di dalam bus. Baru kali ini juga aku menyadari adanya sosok Taufan Malik yang turut menumpang di bus yang sama denganku.
Aku tidak tahu apakah sudah sering aku dan si Taufan Malik ini berada di dalam bus yang sama, atau baru kali ini dia menaikinya. Kalaupun benar sudah sedari lama aku dan dia menjadi penumpang bus yang sama, aku benar-benar tidak menyadari keberadaannya. Padahal jika diingat, sudah hampir setahun aku menaiki bus dengan tujuan yang sama dengannya.
Nama Taufan Malik ini pun menjadi perhatianku setelah melihat Namanya yang terus-terusan menjadi peminjam buku tata cara membuat puisi dari koleksi yang ada di perpustakaan sekolah. Siapa juga yang akan menyangka jika si Taufan Malik ini adalah orang yang sama dengan laki-laki yang aku lihat di perpustakaan.
Aku memegangi dadaku. Merasakan detaknya yang melaju lebih cepat dari biasa. Entah kenapa, hanya dengan memikirkan nama Taufan Malik dan tindakannya kepadaku tadi, malah bisa membuatku berdebar seperti ini. Memang apa hebatnya si Taufan Malik ini, sih? Aku benar-benar tidak habis pikir.
Tidak ingin terlalu memikirkannya, aku memutuskan untuk tidak memakan permen tersebut dan menyimpannya di kotak kayu kecil di atas meja belajar. Kotak kayu kecil ini berisikan berbagai jenis jepit rambut yang sering aku gunakan.
Aku memang lebih menyukai jepit rambut untuk mempercantik penampilanku setiap pergi ke sekolah. Tidak heran jika aku memiliki setidaknya sepuluh pasang jepit rambut dengan berbagai warna. Namun karena aku menggunakannya di lingkungan sekolah, aku pun memilih jepit rambut yang desain dan motifnya tidak terlalu mencolok.
Setelah berganti pakaian dan sedikit berbersih, aku pun merebahkan diri ke atas kasur. Berusaha memejamkan mata karena cukup lelah menjalani hari ini. Aku tidak mengira akan langsung jatuh tertidur. Saat sudah membuka mata, kulihat semburat jingga dari jendela kamarku.
Melakukan peregangan singkat, aku pun beranjak bangun dan mandi. Selesai mandi, aku pun keluar kamar dan mendapati keluargaku sedang duduk di teras belakang. Aku merupakan anak bungsu dengan satu saudara perempuan. Aku dan kakak perempuanku hanya berjarak dua tahun. Meski saat ini sama-sama menjadi siswa SMA, tetapi Kak Gisel bersekolah di sekolah lain.
"Males liat muka lo di sekolah," ejek Kak Gisel kala itu saat ia menyarankan aku untuk memilih SMA yang berbeda dengannya.
Sebenarnya aku tahu, itu hanya akal-akalan Kak Gisel saja. Sebenarnya ia menyarankanku untuk bersekolah di tempat yang berbeda agar aku bisa mandiri. Karena dari TK sampai SMP, aku selalu bersekolah di tempat yang sama dengannya.
Untungnya, Inggit juga memilih untuk bersekolah di SMA-ku yang sekarang. Jadi aku tidak terlalu merasa kesepian tanpa ada orang yang aku kenali saat pertama kali masuk sekolah.
Alasan lainnya, tentu saja karena Kak Gisel ingin melepaskan statusnya sebagai intel keluarga. Mungkin ia sudah lelah menjadi intel kedua orang tuaku yang tidak hanya mengawasi, tetapi juga menjagaku di sekolah.
Aku bersyukur Kak Gisel tidak satu sekolah lagi denganku. Seperti yang dia katakan, pasti kehidupan sekolahku akan sangat membosankan jika bertemu lagi dengan Kak Gisel. Padahal di rumah sudah bertemu, masa harus bertemu juga di sekolah? Kan malesin.
Begitu melihatku berjalan menuju teras, Kak Gisel hanya tersenyum tipis. Menjadi siswa kelas 3 yang sebentar lagi akan lulus membuat Kak Gisel sibuk dengan latihan soal. Apalagi sebentar lagi Ujian Nasional akan berlangsung. Aku sudah membayangkan bagaimana gugupnya Kak Gisel demi mempersiapkan diri untuk berperang agar bisa lulus SMA.
"Sudah bangun, Nak?" tanya Mama yang turut menyadari kehadiranku.
"Iya, Ma. Baru selesai mandi," jawabku dan duduk di samping Kak Gisel.
Tak sengaja mataku melirik buku cetak yang di sampulnya tercetak besar tulisan Latihan Soal Persiapan Ujian Nasional. Kalau kutebak, Kak Gisel pasti baru pulang les dan sedang mengulang latihan soal yang baru ia terima.
Saat ini kami bertiga saja di rumah karena papaku sedang dinas di luar kota. Biasanya, kami berempat akan duduk di teras belakang sambil berbagi cerita ditemani teh dan berbagai camilan. Menikmati langit sore dengan semburat jingganya yang indah.
Kak Gisel menyesap tehnya dengan begitu anggun. Benar-benar tipe perempuan feminim yang sangat timpang jika disandingkan denganku. Jika diurutkan siapa perempuan yang akan dipilih laki-laki, tentu saja Kak Gisel berada di urutan pertama. Inggit akan menjadi urutan kedua, meskipun sering bersikap dingin, dan aku yang berada di urutan terakhir.
Bukan berarti aku merendahkan diriku, tetapi aku benar-benar merasa kalah telak jika dibandingkan dengan dua perempuan yang sudah aku kenal dari kecil itu. Kak Gisel benar-benar cantik dengan mata belo dan hidung mancungnya. Suaranya juga begitu lembut dan sopan. Meski tahu ia termasuk perempuan yang rupawan, Kak Gisel sama sekali tidak merasa arogan dan berada di atas angin. Ia akan tetap diri dan bersikap sewajarnya pada teman-temannya, baik itu sejenis ataupun lawan jenis.
Kak Gisel juga sangat humble. Makanya tidak heran saat SMP banyak orang yang menyukainya, termasuk para guru. Sedangkan aku? Selain dikenal sebagai adiknya Gisel Firantika, aku hanya siswi biasa tanpa prestasi yang menonjol.
Bahkan setelah Kak Gisel lulus pun, namaku seolah ikut lenyap dengan ketiadaan kakak perempuanku itu. Tidak akan lagi aku temui kakak kelas yang tersenyum ramah padaku. Aku tahu, senyuman itu diberikan padaku karena rasa hormat mereka pada Kak Gisel yang merupakan saudara kandungku.
Kalau aku bukan adiknya Kak Gisel, mungkin mereka hanya menganggapku sebagai siswa biasa saja di sekolah. Keberadaanku hanya angin lalu di dalam hidup mereka tanpa meninggalkan kesan yang begitu berarti.
Namun, meski aku dan Kak Gisel bagaikan langit dan bumi, aku sama sekali tidak membencinya. Aku mengagumi Kak Gisel, tidak hanya sebagai adik kandungnya, tetapi juga sebagai sesame perempuan.
Walaupun Kak Gisel cukup populer, tapi hingga detik ini aku belum pernah menerima ataupun mendengar kabar angin mengenai lelaki yang sedang dekat dengannya. Bahkan Kak Gisel tidak pernah membawa teman laki-lakinya ke rumah untuk kerja kelompok sekalipun.
Entah memang Kak Gisel sengaja atau tidak, tetapi kakakku itu selalu satu kelompok dengan teman-teman perempuannya. Aku jarang sekali melihat Kak Gisel berinteraksi dengan lawan jenis.
Padahal, Kak Gisel kurang apa coba? Sudah sewajarnya kalau Kak Gisel memiliki teman laki-laki yang lebih dari sekedar teman biasa. Namun Kak Gisel malah tidak menjalani masa mudanya dengan berkenalan lebih dekat dengan lawan jenis. Si kutu buku itu selalu berkutat dengan bukunya setiap kali aku mengintip ke kamarnya.
Seolah sadar tengah aku perhatikan, Kak Gisel menyentuh lenganku. Kedua alisnya menukik naik saat melihatku yang entah seperti apa kondisi wajahnya saat ini.
"Kenapa lo? Ada masalah di sekolah?" tanyanya, sarat khawatir.
Aku menggeleng cepat, lantas menuangkan teh ke dalam cangkir yang belum dipakai. Aku menyesap tehku dalam diam setelah menghidu aromanya. Benar-benar sempurna menghabiskan sore hari ditemani secangkir teh yang hangat.
Kalau sudah menikah nanti, aku tidak akan melewatkan aktivitas ini dan akan menurunkannya ke anak-cucuku nanti. Benar-benar definisi bersantai setelah seharian menjalani aktivitas di luar.
"Kalau ada masalah, cerita aja," tambah Kak Gisel.
"Iya, iya. Nanti bakal cerita kalau ada masalah," ucapku dan menyesap tehku sekali lagi.
Untuk beberapa menit, tidak ada lagi suara. Hanya keheningan dengan suara angin sepoi-sepoi. Aku pun menikmati biskuit kaleng yang sudah menjadi camilan wajib pendamping aktivitas ngeteh sore hari.
Saat aku melirik Kak Gisel, ia kembali sibuk membaca buku latihan soal. Ia bahkan terlihat fokus mencoret-coret buku tulis. Tidak ingin mengganggu aktivitas belajar Kak Gisel, aku pun menggeser bokongku, sedikit menjauh darinya.
Ketimbang ikut belajar seperti Kak Gisel, aku lebih memilik untuk menikmati biskuit favoritku sampai isinya tinggal setengah. Saat warna langit sudah semakin menggelap, mama yang sudah terlebih dulu masuk ke dalam rumah, kini menyuruh kami masuk.
Sebentar lagi maghrib akan datang, karena itulah, aku dan Kak Gisel sama-sama membereskan kekacauan yang kami timbulkan. Tidak lupa aku membawa cangkir tehku dan Kak Gisel ke dapur agar bisa dibersihkan.
Kak Gisel ikut membantuku dengan menyapu teras dan menyusun kembali letak kursi yang sedikit berantakan.
***
Halo!
Adakah pembaca baru di sini? Aku tahu ceritaku ini sepi banget, tapi aku berusaha untuk tetap bisa update setiap hari. Semoga nanti bakal dateng pembaca yang menyukai karyaku ini.
Untuk siapa pun yang membaca cerita ini, aku ucapkan terima kasih. Semoga kalian suka, ya.
Xoxo
Winda Zizty
05 Agustus 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top