Enam Belas
Inggit dan aku ternyata sekelas lagi. Hal ini membuat kami memutuskan untuk berbagi meja. Namun kali ini, Inggit yang duduk di dekat jendela yang menampilkan pemandangan lorong sekolah.
Di kelas dua ini, gedungnya berhadapan langsung dengan gedung kelas tiga. Karena itulah, alih-alih pemandangan taman atau halaman sekolah, tempat duduk yang memperlihatkan suasana lorong sekolah menjadi pilihan terbaik para siswi di sekolahku.
Tentu saja alasannya agar mereka bisa leluasa memperhatikan kakak kelas incaran mereka. Namun sepertinya, Inggit memilih tempat duduknya saat ini bukan karena alasan yang sama. Sudah pasti, Inggit hanya memilih secara asal tempat duduk yang akan ia tempati selama setahun di kelas dua ini.
Menjadi penghuni 2 IPA 1, tidak lantas menjadikan kelasku sebagai kelas favorit, apalagi unggulan. Tentu saja pembagian kelas dilakukan secara adil. Tidak menjadikan anak-anak dengan prestasi menjanjikan untuk berada di satu kelas yang sama.
Seminggu menjadi siswi kelas dua SMA, aku sudah berinteraksi dengan cukup baik. Bahkan aku juga memiliki teman baru yang—seperti sudah ditakdirkan—merupakan anggota ekskul mading. Tentu saja aku tidak membuang kesempatan emas ini untuk bertanya mengenai identitas Wind.
Agar tidak menimbulkan kecurigaan, aku melakukan pendekatan secara perlahan dengan Ririn. Aku akan mencari waktu yang tepat untuk membawa obrolan kami menuju informasi mengenai identitas Wind yang hampir setahun ini sulit aku dapatkan.
Inggit hanya bisa geleng-geleng kepala melihatku yang begitu antusias untuk bisa lebih dekat lagi dengan Ririn. Sebenarnya, aku cukup tulus berteman dengan Ririn karena anaknya baik dan sopan. Namun karena dia merupakan anggota ekskul mading, hal itu menambah satu poin lagi agar aku bisa lebih dekat lagi dengan Ririn demi tercapainya tujuanku selama ini.
"Segitunya, ya, supaya lo dapet informasi tentang Wind," cibir Inggit di sela-sela jam kosong.
"Mumpung ada jalur tercepat, ngapain cari jalan yang nggak ketemu ujungnya?"
Inggit terkekeh pelan. Aku pun ikut terkekeh karenanya. Mungkin saat ini aku terkesan tidak tulus berteman dengan Ririn. Namun setelah aku mengetahui identitas asli Wind, aku akan tetap berteman dengan Ririn kok. Hanya saja, karena Ririn merupakan jalan tercepat yang aku miliki untuk selangkah lebih dekat menuju Wind, tentu aku tidak akan menyia-nyiakannya.
"Kalau lo udah tahu siapa sebenarnya Wind itu, lo bakal kayak gimana?" tanya Inggit.
Sepertinya, Inggit pernah menanyakan hal yang sama padaku beberapa bulan silam. Namun entah kenapa aku lupa atau memang Inggit belum pernah menanyakannya padaku?
Aku terdiam cukup lama. Pertanyaan tersebut membuatku berpikir ulang mengenai tindakanku selanjutnya. Bahkan aku sendiri tidak yakin apa langkah selanjutnya yang akan aku ambil setelah mengetahui identitas asli Wind. Akankah aku senang? Atau justru kecewa? Apa aku akan mendekati Wind dan mengatakan kalau aku menyukai puisi-puisinya? Atau justru berbalik menjauh karena dia adalah sosok yang tidak sesuai ekspektasiku?
Pertanyaan Inggit akhirnya bisa aku jawab setelah cukup lama berpikir, "Gue nggak tahu. Jujur aja gue emang penasaran, tapi gue nggak tahu bakal gimana setelah gue tahu si Wind ini siapa."
"Lo sesuka itu sama dia?" tanya Inggit, penasaran. Dia bahkan memiringkan tubuh ke arahku dengan wajah memasang ekspresi serius.
"Kalau untuk puisi-puisinya ... iya, gue sesuka itu," jawabku tanpa ragu.
"Kalau secara personal?" kejar Inggit. "Apa lo suka dengan orangnya juga?"
Saat pertanyaan itu dilayangkan, tiba-tiba saja wajah Taufan Malik terbayang di benakku. Senyumku terkembang tanpa sadar mengingat sosok Taufan Malik yang sekarang lebih mudah tertangkap mataku ketimbang saat aku masih kelas satu beberapa bulan yang lalu.
"Ada yang lo suka?" tebak Inggit. "Dan orang itu bukan Wind?"
Aku menoleh cepat, mengulum senyumku. Mungkin saat ini wajahku turut memerah karena malu. Entah kenapa, hatiku berdebar begitu kencang hanya dengan mengingat Taufan Malik dan pertemuan-pertemuan kami yang tidak disengaja selama ini.
"Dasar! Siapa orangnya? Kenapa nggak cerita sama gue?"
Inggit langsung mencubit pinggangku yang membuatku meringis pelan. Karena aku masih belum menjawab dan mencoba menghindari cubitannya, Inggit pun makn gencar melakukan serangan padaku.
"Lo lagi suka sama siapa? Kenapa nggak pernah cerita?"
"Soalnya gue masih belum yakin," ujarku jujur.
"Belum yakin gimana?" Inggit penasaran.
"Ya, karena kami nggak sedekat itu buat meyakinkan gue kalau perasaan ini emang lebih dari pertemanan."
"Terus? Sekarang lo udah yakin apa belum?"
Aku mengendikkan bahuku. "Mungkin gue butuh beberapa waktu lagi buat meyakinkan diri kalau gue emang beneran suka sama dia."
"Emang apa yang lagi lo rasaian sekarang?"
Aku memegang dadaku. Terasa sekali degupan jantungku yang melebihi batas normal pada umumnya.
"Gue tadi tiba-tiba keinget sama dia, terus gue jadi deg-degan. Coba lo rasain sendiri. Detaknya cepet banget, 'kan?"
Aku meraih tangan Inggit agar ia bisa merasakan juga degupan jantungku. Mata Inggit tiba-tiba melebar dan mulutnya membulat.
"Astaga, Vin! Lo lagi jatuh cinta kayaknya. Bukan sekedar rasa suka lagi," ucap Inggit antusias. Untungnya, Inggit bukan tipe perempuan yang suka heboh sendiri. Jadi aku tidak merasa malu, kalau-kalau teman sekelasku tengah memperhatikan kami.
"Jatuh cinta?" ulangku.
Inggit mengangguk dengan semangat. Wajah dinginnya beberapa bulan ini telah berubah lebih merona. Aku seperti menemukan lagi sosok Inggit yang dulu.
"Kalau lo nggak jatuh cinta, nggak mungkin jantung lo berdebar kenceng banget kayak gini. Lo beneran jatuh cinta, Davina Gracia! Siapa sih tu cowok? Gue jadi makin penasaran."
Aku tersenyum lebar. Entah kenapa, mendengar pendapat dari Inggit seperti ini bisa membuatku sebahagia ini. Seolah selama beberapa bulan ini aku memang menunggu seseorang untuk mengakui perasaanku. Memvalidasi bahwa apa yang aku rasakan terhadap Taufan Malik benar-benar sebuah perasaan yang didasari sebuah romansa.
"Namanya Malik," ucapku pada akhirnya.
Aku tidak ingin menutupinya dari Inggit. Bagaimanapun juga, Inggit satu-satunya teman terbaik yang sudah aku miliki sejak dulu. Untuk masalah perasaanku pun, seharusnya aku menceritakannya juga pada Inggit.
"Malik? Anak kelas berapa?" Inggit benar-benar ingin mengulik tentang sosok yang aku sukai saat ini.
"Gue belum tahu dia di kelas berapa sekarang," ungkapku. Meski sering melihat Taufan Malik, aku memang masih belum tahu sekarang dia berada di kelas 3 IPA apa.
"Dia sekolah di sini juga, 'kan?" Inggit memastikan.
Aku mengangguk. "Iya, dia sekolah di sini juga kok. Tapi belakangan ini sering papasan aja sama dia. Lagian kita juga belum sebulan sekolah lagi. Mungkin nanti gue bakal tahu dia di kelas berapa."
"Kelas dua juga?" kejar Inggit. "Gue kenal nggak sama dia? Atau pernah ketemu gitu? Atau ngobrol?"
Inggit benar-benar menginterogasiku saat ini. Sepertinya hal ini benar-benar membuatnya penasaran hingga mengajukan semua pertanyaan agar aku mengungkapkan jati diri orang yang aku sukai. Namun, aku belum sepenuhnya mengenal Taufan Malik. Hanya informasi umum saja yang aku ketahui tentang laki-laki itu.
"Dia kakak kelas kita. Jadi mungkin lo sama sekali nggak kenal sama dia, Ngit." Aku pun menambahkan, "Kalau pernah ketemu atau papasan sih, mungkin aja. Apalagi kita satu sekolah. Cuma mungkin lo nggak tahu kalau dia orang yang gue suka."
"Masuk akal, sih. Gue aja nggak tahu kalo lo ada interaksi sama cowok di sekolah ini," ucap Inggit.
Aku tersenyum tipis. "Soalnya gue sama dia ketemu di perpustakaan. Lo kan emang jarang masuk ke sana. Jadi wajar lo nggak tahu."
"Apalagi lo baru ceritanya sekarang. Gue tambah nggak tahu," timpal Inggit yang langsung aku setujui.
"Omong-omong, orangnya gimana? Ganteng?"
Aku terkekeh. Benar-benar tidak pernah melihat Inggit seantusias ini. Ternyata seperti ini rasanya menceritakan kisah asmara pada teman terbaikmu.
"Ganteng itu kan di mata orang pasti berbeda. Tapi kalau mau jujur, dia nggak yang ganteng-ganteng banget. Biasa aja, sih. Tapi nggak tahu kenapa, ada sesuatu yang menarik dari dia. Mungkin ini yang kata orang sebagai daya tarik kali, ya? Gue juga nggak paham sama yang kayak gituan," jelasku.
"Berarti orangnya berkarisma, ya?" tebak Inggit.
"Hm, kayaknya gitu."
"Kalau dia bukan tipe orang yang punya wajah ganteng dan biasa aja, tapi lo bisa suka, berarti emang dia orangnya punya daya tarik sendiri. Berarti ada karisma di diri dia yang bisa buat lo tertarik dan akhirnya jatuh cinta."
"Mungkin. Kayak yang gue bilang, gue nggak ngerti yang kayak gituan. Gue tahunya cuma kalau di deket dia, gue ngerasa seneng. Apalagi setiap kami papasan dan saling lempar senyum, gue ngerasa deg-degan banget."
"Lo beneran jatuh cinta!" timpal Inggit, ikut tersenyum. "Ternyata gini, ya, kalo lo jatuh cinta."
Aku tidak membalas, hanya bisa tersenyum. Aku tidak menyangka, Inggit akan ikut senang setelah tahu ada laki-laki yang saat ini aku sukai.
"Kalau lo?" tanyaku.
"Gue kenapa?" tanya Inggit balik.
"Siapa yang lagi lo suka saat ini?"
Inggit terdiam beberapa saat. "Kayaknya untuk saat ini, gue masih belum mau buka hati. Apalagi setiap gue inget apa yang udah terjadi sama kakak sepupu gue gara-gara dia jatuh cinta. Gue masih nggak habis pikir kenapa cinta bisa mengubah orang jadi begitu bodoh. Bahkan setelah kecelakaan, kakak sepupu gue masih cinta sama tu cewek."
Setiap menceritakan kakak sepupunya, mata Inggit menyorotkan kesedihan. Namun yang membuat aku bingung sekaligus penasaran adalah sikap Inggit selanjutnya. Entah kenapa, Inggit akan kembali dingin dan seakan menjauhiku, seolah-olah aku adalah penyebab kakak sepupunya mengalami kejadian tragis.
Inggit seperti sengaja menjaga jarak dariku tanpa aku tahu apa sebabnya. Namun setelah dirasa cukup bisa menenangkan diri, Inggit akan bertingkah seperti biasa. Bersikap baik padaku, seolah apa yang telah terjadi sebelumnya bukanlah apa-apa.
Untuk hal ini, aku benar-benar tidak bisa mengerti Inggit. Aku ingin bertanya, tetapi terlalu takut dengan jawaban yang mungkin tidak bisa aku terima dan malah menyakiti hatiku. Karena entah perasaanku saja atau memang kenyataannya seperti itu, jawaban Inggit atas pertanyaanku akan bisa mengubah hubungan pertemanannku dan dia.
Bahkan tanpa aku bertanya pun, aku sudah merasa jarak tak kasat mata di antara aku dan Inggit. Sebuah jarak yang sebelumnya tidak pernah ada di antara kami. Jarak yang entah sejauh dan sedalam apa. Tercipta tanpa aku sadari kapan dan apa penyebab pastinya.
"Kalau misalnya cewek yang kakak sepupu lo itu adalah gue, gimana reaksi lo, Nggit?"
Inggit menatapku tanpa berkedip. Aku pun tidak tahu kenapa bisa mengatakan kalimat seperti itu.
"Kenapa lo bilang kayak gini?" tanya Inggit dengan suara yang begitu dingin.
"Ya, gue cuma bertanya-tanya aja. Karena lo kayaknya peduli banget sama kakak sepupu lo itu dan sangat marah setiap kali inget apa yang udah terjadi sama kakak sepupu lo."
Inggit menghela napas dengan berat dan langsung membuang muka. Jelas sekali jika saat ini Inggit menghindari kontak mata denganku.
"Seandainya itu lo, gue nggak tahu bakal kayak gimana menghadapi lo. Untungnya, lo bukan cewek itu. Dan juga gue berharap, entah dulu, sekarang, ataupun di masa depan, lo bukan cewek yang kakak sepupu gue suka. Begitu juga dengan kakak sepupu gue. Gue berharap bukan dia yang lo suka."
***
Duh, Inggit udah kasih ultimatum ke Davina. Kalau kalian jadi Davina, gimana respons kalian? Untungnya, Davina nggak kenal sama kakak sepupu Inggit, ya. Kalau kenal, duh, bisa repot.
Oh iya, aku udah dua atau tiga hari absen nulis. Rasanya benar-benar nggak semangat, tapi aku harus tetap nulis supaya cerita ini kelar sesuai jadwal.
Gimana menurut kalian cerita ini?
Pastinya, aku berharap kalian suka, ya.
xoxo
Winda Zizty
19 Agustus 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top