Enam

Pagi-pagi sekali aku pergi ke sekolah dan langsung menuju mading, alih-alih kelasku. Jantungku berdebar kencang, campuran dari rasa antusias untuk melihat puisi karya siapa yang dipajang di mading dan karena kelelahan habis berlari.

Kolom puisi berada di mading bagian kiri. Karenanya, mataku langsung tertuju kea rah tersebut. Rasanya seperti menanti pengumuman kelulusan. Benar-benar tidak sabar dan begitu menggebu-gebu.

Rasa penasaran dan penantianku beberapa hari ini pun terjawab sudah saat melihat empat huruf yang tertangkap netra mataku. W-I-N-D! Akhirnya puisi karya Wind dipajang di mading hari Jum'at ini.

Tanpa sadar aku memekik kegirangan dan sedikit melompat-lompat. Aku benar-benar senang karena akhirnya bisa membaca puisi dari seseorang yang aku kagumi itu. Takut ada yang melihat tindakanku, aku pun mengedarkan pandang ke sekeliling. Aku bisa bernapas lega karena koridor benar-benar masih lenggang.

Sebenarnya, aku bisa saja menunggu anak-anak ekskul mading mulai menempelkan karya-karya para siswa pada Kamis sore. Namun kalau aku menunggu sampai sore hari sedangkan aku tidak mengikuti satupun ekstrakurikuler, rasanya akan sangat mencurigakan.

Untuk menanyai beberapa kenalanku di OSIS mengenai siapa saja siswa yang mengirimkan karyanya ke anak ekskul mading pun, aku masih belum berani. Sebenarnya lebih afdol untuk bertanya pada anak-anak ekskul mading. Sayangnya, aku sama sekali tidak punya kenalan di ekskul mading.

Setelah puas membaca puisi karya Wind, aku pun bergegas menuju kelas. Apalagi sekarang satu per satu siswa mulai berdatangan ke sekolah. Saat aku masuk ke ruang kelas pun, aku menjadi siswa pertama yang datang.

Daripada aku melamun tidak karuan, aku lebih memilih mengambil acak buku cetak dari dalam tas. Membuka halamannya secara acak pula dan mulai membaca.

Untungnya buku yang aku ambil adalah mata pelajaran Sejarah. Aku tidak bisa membayangkan jika buku cetak yang secara acak aku ambil adalah buku Matematika atau Fisika. Bisa-bisa kepalaku jadi ruwet karena bersentuhan dengan rumus-rumus di pagi hari.

Entah karena ikatan batinku dan Inggit sudah terjalin erat sejak kami kecil atau disebabkan aku yang sudah terbiasa dengan kehadirannya, saat Inggit masuk ke kelas, aku langsung mengangkat wajahku dari buku cetak. Senyum lebar aku lemparkan pada Inggit yang hanya bisa mengerutkan dahi melihat tingkah anehku.

Berteman sejak kecil denganku, Inggit sepenuhnya sadar pasti ada sesuatu yang tidak beres denganku. Terbukti, setelah meletakkan tas di kursinya, Inggit langsung menghampiriku.

"Kenapa lo? Pagi-pagi udah kesambet aja," ejeknya.

"Akhirnya, Nggit," kataku senang.

"Akhirnya apa?" tanya Inggit bingung.

"Sini-sini," kataku seraya mengibaskan tangan. Isyarat agar Inggit semakin mendekat ke arahku.

"Apaan?"

Tanpa basa-basi lagi, aku pun segera memberitahu Inggit bahwa puisi yang hari ini dipajang di mading adalah puisi karya Wind. Aku begitu senang hingga tidak bisa menyembunyikan perasaanku lagi.

"Oh, gitu. Selamat deh," sahut Inggit, acuh tak acuh.

"Kok gitu amat, sih, responsnya?"

"Ya emang mesti gimana? Harus banget gue koprol gitu?"

"Ya nggak gitu juga, sih."

"Cuma itu aja?" tanya Inggit, memastikan.

"Iya, cuma itu aja," jawabku. "Eh, Nggit, tapi kan lo udah janji mau lihat puisinya Wind di mading. Yuk, kita segera ke sana!"

Tanpa memberikan Inggit kesempatan untuk menolak, aku pun langsung menarik perempuan itu menuju mading. Inggit sempat menolak dan berpegangan pada daun pintu, agar aku tidak bisa membawanya menuju mading. Namun karena aku begitu antusias hingga menambah kekuatanku, Inggit akhirnya bisa pasrah ditarik olehku.

"Tada! Ini dia puisinya," ucapku dengan nada bangga. Tidak lupa menangkupkan kedua tanganku ke arah kolom puisi, seolah hal tersebut adalah sebuah mahakarya yang bernilai miliaran.

Terlihat jelas di wajah Inggit kalau dia enggan membaca puisi Wind. Namun mau tidak mau Inggit membacanya juga karena desakanku yang sangat membabi buta.

Jantungku berdebar lagi, menanti tanggapan Inggit atas puisi yang ditulis Wind. Meski masih menjadi siswa SMA, tetapi tulisan Wind sudah termasuk lumayan. Itu pun jika Wind benar-benar siswa di sekolahku. Seperti kata Inggit, bisa saja Wind sudah berusia matang dan mengaku-aku sebagai siswa SMA.

Cukup lama Inggit berdiri di depan mading, tetapi komentar perempuan itu belum juga keluar dari bibirnya. Padahal aku sudah menunggunya setengah mati, tetapi kenapa Inggit masih diam saja dan belum berkomentar?

Inggit berdeham pelan. Mundur beberapa langkah, ia pun memutar tubuhnya ke arahku.

"Sebagai orang awam yang nggak begitu paham sama puisi, gue akui kata-kata yang dia pake lumayan bagus. Cuma gue rada nggak ngerti sama maksud puisinya. Mungkin kalau gue sedikit lebih ngerti kata-kata yang sering dipakai penyair, baru aku bisa menikmati puisi buatan si Wind ini."

Senyumku terkembang lebar. Merasa puas dengan komentar jujur yang diberikan Inggit. Meski tidak sepenuhnya mengerti puisi, penilaian Inggit sudah menunjukkan kalau Wind benar-benar pandai mengolah kata.

"Jadi wajar, kan, kalau gue jatuh cinta sama dia?" tanyaku, meminta persetujuan.

"Kayaknya untuk masalah ini, lo mesti mikir lagi deh. Sebenarnya yang lo suka itu orangnya atau karyanya? Atau malah orang dan karyanya?" Inggit balik bertanya.

Aku terdiam. Menimbang pertanyaan Inggit karena hal tersebut juga sedikit menggangguku.

"Gue nggak terlalu yakin." Akhirnya aku mengakui dengan jujur.

"Kalau lo udah sepenuhnya yakin, baru gue bisa ngasih pendapat, apakah semua tindakan lo ini wajar apa nggak."

Aku kembali bungkam. Menyimak baik-baik ucapan Inggit.

"Ya udah, yuk, balik ke kelas. Bentar lagi mau bel, nih."

Kali ini, gantian Inggit yang mengamit lenganku. Susah payah menarikku agar masuk ke dalam kelas lagi.

Seperti yang sudah dikatakan Inggris, bel masuk berbunyi tak lama kemudian.

***

Jika mengikuti kalender akademik, maka kami masih ada waktu tiga minggu lagi sebelum akhirnya diliburkan. Karena tiga minggu lagi siswa kelas dua belas akan mengadakan Ujian Nasional. Tidak terkecuali Kak Gisel.

Aku senang sih karena akhirnya bisa libur sekolah. Namun rasanya pasti bosan berada di rumah, tanpa bertemu teman-temanku.

"Nggit, tiga minggu lagi, kan, kita libur, nih. Lo ada rencana nggak buat liburan nanti?" tanyaku setelah menghabiskan tetes terakhir es tehku.

Inggit menopang dagu, tampak sedang berpikir.

"Ehm, tiga minggu lagi, ya? Kayaknya nggak ada rencana apa pun deh. Lagian mau liburan kayak gimana? Kita juga libur karena anak kelas dua belas mau ujian."

"Ya, misalnya ada tempat yang mau lo kunjungi gitu? Atau belanja di mall?"

Inggit terdiam, menatapku penuh curiga.

"Jujur sama gue, lo mau ngajak gue ke mana?"

Aku terkekeh pelan. Benar-benar tidak ada yang bisa aku sembunyikan dari Inggit.

"Kalau temenin gue ke toko buku, lo mau nggak? Setelahnya kita ke mana gitu," usulku.

"Mau-mau aja, sih. Lagian juga kita lagi libur. Tapi lihat nanti deh. Gue juga nggak bisa menjamin bakal ada acara dadakan apa nggak."

Aku mengangguk. Senang karena memikirkan saat libur nanti aku bisa pergi ke luar.

"Oke deh kalau gitu. Kalau misalnya lo nggak ada rencana, lo mau, kan, nemenin gue ke toko buku?"

"Iya. Lagian lo selalu minta temenin gue ke mana pun. Kayak nggak ada temen lain aja."

"Kan temen gue emang cuma elo, Nggit."

Inggit terdiam. Untuk sejenak dia menatapku tanpa cela, sebelum akhirnya memalingkan muka.

"Setidaknya, lo mesti punya minimal satu temen lain selain gue. Kalau missal gue lagi ada kegiatan lain, lo kan bisa main sama dia."

Aku menggeleng.

"Nggak ah. Untuk saat ini gue cukup berteman sama lo aja. Nggak tahu kalau nanti, ya."

"Ya, terserah elo aja deh. Setidaknya di dunia lo nggak cuma ada gue aja sebagai teman." Inggit masih mengalihkan wajah dari tatapanku.

"Iya, iya," gumamku. "Gelagat lo kayak udah mau pindah ke Mars aja."

Aku terkekeh karena merasa lucu. Namun tidak dengan Inggit.


***

Part ini merupakan part terpendek, sejauh aku menulis enam bab di cerita ini.


Semoga suka, ya.

Jangan lupa like dan komennya.


xoxo


Winda Zizty

06 Agustus 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top