Empat Belas

Di saat orang lain tengah sibuk dengan nilai di rapor dan bercengkrama mengenai rencana liburan, aku malah berdiri di depan mading. Memandangi kolom khusus anak ekskul mading. Lebih tepatnya, mataku terfokus pada kolom khusus puisi.

Nama dan puisi Wind ada di sana. Menempati kolom yang seolah memang khusus dibuat untuk Wind dan puisinya. Aku cukup lama melihat puisi Wind, karena aku tahu, setelah ini aku akan absen membaca puisinya.

Meski libur sekolah hanya dua minggu, tetapi rasanya mungkin akan sepi tanpa adanya puisi dari Wind. Memang sebelumnya puisi Wind juga pernah tidak dimuat lebih dari dua minggu, tetapi aku tidak merasa sedih karena di salah satu sudut sekolah, mungkin aku pernah berpapasan dengan Wind. Hanya saja aku tidak tahu kalau itu dia.

Melirik ke kanan dan ke kiri, sebuah ide lantas terlintas di benakku. Setelah memastikan sekali lagi jika di sekitarku tidak ada yang memperhatikan, barulah aku dengan sigap mengoyak kertas di mading yang tertuliskan puisi Wind.

Gegas aku melipat kertas tersebut dan memasukkannya ke saku rok. Aku benar-benar seperti maling yang takut ketahuan pemilik rumah. Namun kali ini, yang aku takutkan adalah pandangan orang-orang ke arahku jika mereka mengetahui aku telah 'mencuri' puisi Wind dari mading.

Beruntungnya, sampai aku tiba di kelas, tidak ada tatapan yang mencemoohku. Sepertinya, aku memang telah lolos dari aksi 'pencurian' ini. Napasku sedikit tersenggal saat aku duduk di kursi.

Yuni sempat bertanya, tetapi aku menjawab kalau aku hanya capek karena berlari di koridor. Setelahnya, tidak ada lagi balasan dari Yuni. Inggit yang melihat pun, tidak juga mengajukan komentar.

Aku menunduk, terkekeh pelan. Benar-benar merasa geli saat memikirkan aksiku barusan. Bisa-bisanya aku memikirkan untuk menyimpan sendiri puisi Wind. Dan juga, kenapa baru sekarang aku kepikiran untuk menyobek puisi Wind di mading?

Benar-benar tidak pernah aku bayangkan akan melakukan hal yang seperti ini.

Saat tidak ada yang memperhatikan, aku mengeluarkan lipatan kertas berisi puisi Wind dari saku rok. Membaca puisi itu sekali lagi sebelum akhirnya menyimpannya ke dalam ransel. Tempat teraman saat ini.

Hari ini adalah hari terakhir aku menginjakkan kaki di sekolah sebagai siswa kelas satu SMA. Aku sangat yakin akan naik ke kelas dua. Karena itulah, aku ingin menikmati masa-masa sebagai anak kelas sepuluh yang tidak akan terulang lagi. Tentu saja, aku menikmatinya dengan mencoba tidur di dalam kelas. Mumpung belum saatnya rapor dibagikan.

Aku sudah berusaha untuk terlelap, tetapi suara di sekitarku terlalu bising hingga aku kembali terjaga. Rencanaku untuk tidur sejenak di dalam kelas terpaksa harus dibatalkan. Alih-alih tidur, aku hanya duduk diam di kursiku. Memandangi semua aktivitas teman sekelasku yang beraneka ragam.

Yuni—teman semejaku—kini entah pergi ke mana. Inggit juga tidak kelihatan batang hidungnya. Mungkin Inggit tidak mengajakku karena mengira aku sudah tertidur. Karena itulah, daripada memikirkan yang tidak-tidak, aku memilih membaca puisi Wind sekali lagi.

Kali ini, puisi Wind tidak lagi sendu seolah tengah merindukan kekasih. Di puisi Wind yang aku 'curi' ini, ia tengah mencurahkan rasa bahagianya. Menurutku seperti itu.

Keindahan dalam bola matamu.

Bersatu dengan lambaian angin.

Tanganmu sehalus sutra tak bercela.

Kugenggam erat, tak ingin terurai.

Tak jenuh ku memandang.

Lukisan sempurna Tuhan yang bertahta di hati.

Hati tak dapat berdusta.

Ingin lebih lama lagi bersua pujaan.

Entah untuk siapa puisi ini Wind buat, tetapi saat membacanya hatiku berdebar begitu saja. Seolah akulah orang yang Wind maksud di dalam puisinya. Sekali lagi, aku jatuh pada pesona kata-kata Wind. Puisi berjudul Jumpa ini benar-benar indah menurutku. Tidak tahu kalau menurut orang lain.

Setelah senyum-senyum sendiri dan terkekeh pelan mengingat aksi pencurianku tadi, aku menyimpan baik-baik puisi Wind. Seolah kertas tersebut adalah harta tak ternilai. Benda bersejarah peninggalan dari zaman dulu yang merupakan harta negara.

Aku tersenyum sekali lagi. Benar-benar terbius oleh kata-kata tersebut. Tidak habis pikir ada orang seperti Wind yang begitu pandai merangkai kata. Bahkan kata-kata tersebut begitu mulus merasuk ke dalam hati. Seolah bisa menembus sanubari.

Aku melempar pandangan ke luar jendela. Memandangi langit di atas sana yang ditemani awan yang berarak pelan. Tatapanku pun menurun ke lapangan. Setelah perlombaan usai, lapangan sudah tidak seramai kemarin. Namun masih ada siswa yang duduk-duduk di sana atau sekedar bermain bola kaki.

Di salah satu sisi lapangan, aku melihat Taufan Malik berjalan dengan teman-temannya. Entah apa yang para laki-laki itu bicarakan. Namun dari gestur tubuh mereka, sepertinya hal-hal menarik dan lucu tengah mereka bahas. Karena dari yang aku lihat, mereka tengah tertawa, meski tidak sampai terpingkal-pingkal.

Mengenai Taufan Malik, aku berhasil mengorek informasinya dari Kak Bila. Meski tidak berhasil mendapatkan informasi tentang Wind yang seolah tidak berwujud itu, tetapi kalau Taufan Malik yang kehadirannya sangat nyata, tentu Kak Bila bisa memberikan apa yang aku mau dan butuh.

"Tahu sama dia dari mana?" tanya Kak Bila.

Wajar kalau Kak Bila bertanya demikian. Apalagi Taufan Malik juga bukan salah satu siswa yang menonjol atau populer di kalangan para perempuan. Taufan Malik benar-benar memiliki kehidupan yang biasa-biasa saja.

"Pernah ketemu di perpus, Kak," jawabku.

Aku tidak bohong kok. Aku memang bertemu Taufan Malik di perpustakaan.

"Oh gitu." Kak Bila mengangguk singkat. "Emang kenapa nanyain dia? Suka?" goda Kak Bila.

Aku langsung menggeleng. Menolak cepat agar Kak Bila tidak terlalu menggodaku lagi. Meski aku memang sedikit tertarik dengan Taufan Malik, tidak mungkin juga, kan, aku langsung mengakuinya di depan Kak Bila?

"Penasaran aja. Soalnya nggak pernah lihat."

"Justru dari rasa penasaran itulah timbul rasa suka," timpal Kak Bila semangat.

"Ih, nggak, Kak. Cuma penasaran aja. Nggak lebih," elakku.

"Beneran, nih?" selidik Kak Bila.

Aku mengangguk mantap. "Iya, beneran."

"Ya udah kalo gitu. Emang mau nanya apa?"

"Ehm, pertanyaan dasar aja, sih. Kayak dia orangnya gimana. Yang kayak gitu-gitu deh pokoknya."

Kak Bila tampak mengingat-ingat. Atau mungkin lebih tepatnya sedang memilah-milah informasi apa saja yang harus ia beritahukan padaku. Untungnya Kak Bila memilih meja di sudut kantin yang khusus untuk dua orang. Jadi percakapan kami akan lebih intens dan terarah. Tanpa perlu takut terganggu oleh kegiatan di sekitar kami.

"Sebenernya, aku juga baru kenal sama si Malik. Bukan karena kami baru sekelas, tapi dia ini anak pindahan."

"Anak pindahan?" tanyaku, sedikit tertarik.

"Iya. Dari yang aku denger, sih, dia sempet kecelakaan apa gimana. Makanya ngulang satu tahun. Seharusnya sekarang dia itu udah kelas tiga, tapi karena kecelakaan dan kaki apa tangannya patah, jadi dia cuti sekolah. Nggak tahu kenapa, malah pindah ke sini, bukan malah lanjut di sekolahnya yang lama," jelas Kak Bila.

"Emang dulu dia sekolah di mana, Kak?" kejarku.

"Ehm ... bentar, aku coba inget dulu." Kak Bila mengetuk meja dengan jarinya, tengah berusaha mengingat. Tak lama, Kak Bila pun berkata, "Di SMA Jaya Abadi."

Aku terdiam sejenak. Berusaha mencerna kata-kata dari bibir Kak Bila.

"Ja—Jaya Abadi?" ulangku, tak percaya.

Kak Bila mengangguk. Menyeruput es tehnya sampai habis.

"Iya. Katanya dulu dia sekolah di SMA Jaya Abadi. Padahal sekolahnya lebih bergengsi dari sekolah kita, kok malah pindah ke sini, ya? Aku aja bingung pas denger ceritanya."

Aku benar-benar kaget dan tidak percaya dengan fakta yang baru disampaikan Kak Bila. Kalau Taufan Malik pernah bersekolah di SMA Jaya Abadi dan seharusnya duduk di kelas tiga, berarti ia dan Kak Gisel besar kemungkinan saling mengenal.

Atau paling tidak, Taufan Malik mengenal Kak Gisel. Aku tahu, Kak Gisel pasti populer di sekolahnya. Jadi, tidak mungkin jika Taufan Malik tidak mengenal Kak Gisel.

Namun dari pertama aku tahu kalau Taufan Malik pernah bersekolah di SMA yang sama dengan Kak Gisel hingga sekarang, aku sama sekali tidak pernah bertanya dengan Kak Gisel. Tidak juga bertanya pada Taufan Malik, yang sejak aku melihatnya di perpustakaan, kini cukup sering tertangkap mataku.

Entah kenapa firasatku menyuruhku untuk tidak bertanya pada keduanya. Aku tiba-tiba saja merasa takut akan mengetahui sebuah fakta yang tidak ingin aku dengar. Apalagi setelah aku sadari, semenjak naik ke kelas tiga, Kak Gisel lebih pendiam dari biasanya.

Satu hal lain lagi yang cukup menggangguku adalah alasan kepindahan Taufan Malik ke sekolahku. Padahal kalau diingat, sangat disayangkan pindah ke sekolah yang tidak lebih unggul dari sekolah sebelumnya.

Bukan aku menjelekkan sekolahku, tetapi seperti yang Kak Bila katakan, SMA Jaya Abadi memang salah satu sekolah bergengsi di daerahku. Untuk masuk ke sana pun, Kak Gisel harus melewati tes masuk yang tidak mudah. Jadi sangat disayangkan kalau harus pindah sekolah begitu saja.

Atau jangan-jangan Taufan Malik memilih pindah sekolah karena ia harus mengulang kelas? Apa dia malu karena harus satu angkatan dengan adik kelasnya? Jadi, daripada malu, Taufan Malik lebih memilih pindah sekolah?

Seandainya memang seperti itu, aku akan merasa cukup lega. Karena di dalam pikiranku kala itu—hingga saat ini—ada skenario lain yang aku pun tidak bisa membayangkannya.

Meski Taufan Malik harus mengulang satu tahun di SMA, ia sama sekali tidak terlihat tua. Malah, Taufan Malik terlihat begitu cocok bergaul dengan siswa yang satu angkatan dengan Kak Bila.

Kembali ke masa kini. Taufan Malik sudah tidak lagi dalam jangkauan pandangan mataku. Entah kapan ia dan teman-temannya pergi dari lapangan, aku tidak terlalu memperhatikannya.

Mungkin aku terlalu lama melamun hingga mataku ini tanpa sadar berhenti mengintai sosoknya. Namun, tidak dapat aku pungkiri, rasa ketertarikanku pada Taufan Malik semakin tumbuh. Hingga rasanya begitu bahagia bisa melihatnya di tengah kekalutan hatiku.

Satu hal yang aku pikirkan, bolehkah aku berharap kalau Wind adalah Taufan Malik? Karena jika demikian, aku tidak perlu bersusah payah untuk menyukai dua orang dalam satu waktu.



***


Seharusnya bab ini aku publikasikan kemarin, kalau harus sesuai jadwal. Tapi karena ada halangan, jadinya aku publish hari ini. Rencananya mau langsung update dua bab untuk menebus utang kemarin, tapi aku bisa nulis satu bab per hari aja untuk saat ini. Semoga ke depannya aku bisa menulis lebih dari satu bab per hari.


Oh ya, semoga kalian suka dengan cerita ini, ya. Jangan lupa komennya, biar aku semakin semangat lanjutin cerita ini.


xoxo


Winda Zizty

15 Agustus 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top