Empat


Buku tulisku kini sudah penuh dengan rumus-rumus Fisika yang aku yakini bakal sulit untuk au hafalkan. Setelah guru mata pelajaran Fisika keluar dari kelas, aku langsung memijat dahiku. Kepalaku rasanya ingin meledak karena sama sekali tidak mengerti dengan contoh soal yang diajarkan. Meski aku sudah berusaha, tetap saja nalarku tidak sampai bisa mengerti contoh soal tersebut.

Ada satu mata pelajaran lagi yang harus kami hadapi sebelum bel pulang berbunyi. Namun rasanya aku sudah tidak sanggup lagi mencerna pelajaran berikutnya. Aku memang payah dalam hitung-menghitung, tetapi aku sangat suka merangkai kata-kata, walaupun tidak seahli itu.

Sepertinya, saat kenaikan kelas nanti, aku harus masuk ke jurusan Bahasa, alih-alih IPA atau IPS. Aku benar-benar tidak sanggup harus berhadapan dengan rumus-rumus. Saat Pelajaran Ekonomi saja, aku hampir menangis karena tidak bisa menyelesaikan soal yang ada rumusnya.

Belum sempat aku menyimpan buku tulisku ke tas, guru mata pelajaran selanjutnya sudah keburu masuk ke dalam kelas. Bergegas aku mengeluarkan buku cetak beserta buku tulis, meski saat ini semangat belajarku sudah menurun drastis. Karena hari sudah semakin siang, aku juga sedikit mengantuk. Lapar juga, walaupun tidak terlalu.

Rasa kantukku benar-benar parah. Aku berusaha sekuat tenaga untuk tetap terfokus pada pelajaran. Apalagi ini mata pelajaran terakhir untuk hari ini. Kalau saja Inggit duduk di sampingku, mungkin dia sudah aku mintai tolong agar membuatku tetap fokus.

Sayangnya, semenjak menjadi siswa SMA dan ternyata kami sekelas, aku dan Inggit tidak menjadi teman berbagi meja. Meski begitu, tempat duduk kami tidak terlalu berjauhan. Berada di baris yang sama, tetapi terpisah satu meja.

Setelah berjuang mati-matian, akhirnya bel tanda berakhirnya kegiatan sekolah hari ini pun berbunyi. Aku benar-benar lega karena tidak ketiduran di kelas seperti tempo hari. Meski sudah bertingkah menjadi siswi teladan, tetapi entah kenapa di hari itu aku malah ketiduran di kelas.

Sialnya lagi, guru mata pelajaran saat itu mengetahui aku yang ketiduran. Alhasil aku langsung ditegur dan disuruh berdiri di depan kelas hingga jam pelajaran berakhir. Hukuman berdiri di depan kelas sendirian dan menjadi tontonan siswa yang kebetulan tengah berada di luar kelas, tentu membuatku sedikit malu. Karena itulah, aku tidak mau lagi ketiduran di dalam kelas dan berupaya agar tetap fokus dan terjaga, sekalipun sedang ngantuk berat.

Waktu benar-benar berlalu tanpa kita sadari. Bayangkan saja, rasanya hari Jum'at baru saja terjadi kemarin, tetapi nyatanya hari ini sudah berganti menjadi hari Selasa. Masih ada sisa tiga hari lagi menuju hari Jum'at. Hari yang aku tunggu-tunggu untuk membaca puisi Wind lagi di mading. Semoga kali ini, puisi milik Wind yang berhasil dimuat di mading.

Omong-omong puisi, aku jadi teringat buku tata cara menulis puisi yang tempo hari dibaca oleh laki-laki di perpustakaan. Aku tidak menyangka, ada orang lain yang juga tertarik dengan puisi di sekolah ini. Karena itulah, saat itu aku langsung meminjam buku tersebut dan sudah aku kembalikan tadi pagi.

Kalau dilihat dari kartu peminjam yang terselip di belakang buku, ada satu nama yang sering meminjam buku tersebut. Taufan Malik.

Aku tidak tahu siapa Taufan Malik itu. Namanya baru kali ini terserap otakku. Kemungkinan besarnya, laki-laki yang aku lihat di perpustakaan itulah si pemilik nama Taufan Malik atau bisa juga orang lain. Karena aku benar-benar tidak tahu dan kenal dengan laki-laki tersebut, apalagi si Taufan Malik.

Sibuk dengan pikiranku sendiri, aku bahkan tidak menyadari kalau sudah tiba di halte bus. Seperti biasa, halte bus mulai ramai karena siswa dari sekolah kami tengah menunggu bus.

Aku memandang sekeliling dan mendapati beberapa wajah familiar. Ada juga beberapa teman dari kelasku dan siswa yang pernah satu SMP denganku. Tiba-tiba terlintas di benakku, apakah di antara orang-orang ini ada Wind di dalamnya?

Aku kan tidak pernah melihat sosok Wind secara nyata. Tidak juga tahu siapa nama asli Wind yang merupakan nama samaran itu. Jadi, tidak menutup kemungkinan, kan, kalau aku beranggapan si Wind itu bisa menjadi salah satu siswa yang saat ini berada di halte bus.

Kemungkinan lainnya si Wind ini tinggal tidak jauh dari sekolah. Jadi dia tidak akan berada di halte bus ini seperti aku dan Inggit. Di antara dua kemungkinan itu, aku masih belum tahu mana yang benar-benar mendekati fakta.

Aku benar-benar buta tentang Wind dan hanya menyukai karyanya saja. Namun setiap menanti hari Jum'at demi bisa membaca puisi yang ditulis Wind, aku merasa seperti sedang menunggu datangnya surat cinta.

Entah datang dari mana pikiran seperti ini, tetapi seolah-olah puisi di mading dituliskan oleh Wind agar bisa berkomunikasi denganku. Benar-benar pikiran yang salah jalur, kalau kata Inggit saat aku mengutarakan hal tersebut.

"Gue nggak mau lo punya pikiran terlalu berlebihan seperti itu. Gue masih bisa terima saat lo bilang jatuh cinta sama Wind karena puisinya. Tapi kalo merasa Wind lagi nulis surat cinta buat lo, rasanya terlalu naif. Lo juga kenapa jadi punya pikiran aneh kayak gini, sih? Benar-benar di luar jalur pemikiran normal," cerocos Inggit panjang kali lebar.

"Ya, gue juga nggak tahu kenapa punya pikiran kayak gitu. Apa gue terlalu kebawa perasaan aja, ya? Sampe bisa mikir kayak gitu. Padahal boro-boro nulis surat cinta buat gue, kenal aja nggak."

"Nah. Itu lo tahu. Sekarang, lo cukup menikmati karyanya aja. Kalau ternyata lo jatuh cinta beneran tanpa lihat wajahnya, ya itu pilihan elo. Tapi kalau bilang puisi di mading itu surat cinta buat lo, gue bener-bener angkat tangan. Lo beneran gila!"

Aku hanya bisa tersenyum masam mengingat percakapan tersebut. Bagaimanapun juga, Inggit ada benarnya. Mungkin juga ini efek hormon di masa pubertasku. Apalagi beberapa hari belakangan, aku sering mendengar cerita kalau anak-anak seusiaku sudah mulai memiliki pacar.

Tentu saja aku yang sudah menjadi siswa SMA ini ingin juga merasakan romansa masa muda di sekolah. Setelah hampir satu tahun menjadi siswa SMA, sepertinya hanya aku dan Inggit yang belum pernah didekati lawan jenis.

Inggit cantik kok, tetapi mungkin karena selalu memasang wajah datar, lawan jenis jadi sedikit ragu untuk mendekati. Kalau bisa dikata, tampangku juga nggak jelek-jelek amat kok. Ada lesung pipi yang cukup dalam di kedua pipiku. Rambut yang selalu aku potong sebahu ini berwarna hitam kelam dan selalu aku sisir dengan rapi.

Jadi, kenapa sampai saat ini belum ada laki-laki yang mendekati akua tau Inggit? Mungkin karena terpengaruh pemikiran ini juga, aku jadi sulit mengontrol kondisi hatiku. Jangan sampai aku benar-benar salah mengira si Wind tengah menulis surat cinta untukku gara-gara pemikiran sialan ini.

Aku beruntung memiliki Inggit di sisiku yang langsung menarikku ke jalan yang oenuh logika lagi. Aku harus menanamkan lagi di otakku bahwa Wind sama sekali tidak mengenalku. Aku hanya pengagum rahasia Wind karena karya-karyanya.

Entah kenapa hari ini aku terlalu sering melamun hingga tidak menyadari bus tujuanku sudah datang. Menyadari pikiranku yang sedang melanglang buana, Inggit langsung mencubit pingganggku hingga mengembalikan kesadaranku.

"Sakit, tahu!" keluhku sambil mengusap pinggang yang dicubit Inggit.

"Siapa suruh lo melamun?" balas Inggit. "Udah sana pulang. Kalau ketinggalan bus, baru tahu rasa lo."

"Iya, iya," ujarku, sedikit meringis karena masih merasa sakit oleh cubitan maut Inggit. "Gue pulang duluan, Nggit."

"Iya, hati-hati di jalan."

Kami pun benar-benar berpisah setelah aku memasuki bus.

Aku menatap sekeliling demi mencari kursi kosong untuk aku duduki. Saat melihat kursi kosong di bagian belakang, aku bergegas melangkah. Takut keduluan orang lain untuk menduduki kursi tersebut.

Walaupun saat ini bus sedang tidak terlalu ramai, tetapi siapa tahu, kan, di belakangku ada orang yang juga mengincar kursi tersebut?

Aku bisa bernapas lega setelah berhasil mendaratkan bokongku di kursi tersebut. Melirik ke samping, tersisa satu kursi lagi, tepat di sebelah kiriku. Saat ini, posisiku berada di tengah.

Saat aku memindahkan ranselku ke atas pangkuan, seorang laki-laki langsung duduk di sebelahku. Tentu saja laki-laki tersebut juga siswa yang sama dari sekolahku. Aku tidak terlalu memperhatikannya dan fokus menatap lurus ke depan.

Tidak lama kemudian, bus pun kembali melaju. Alunan musik yang sudah menjadi ciri khas bus pun terdengar. Meski sedikit mual dan pusing, tetapi aktivitas ini harus aku lalui setiap hari. Jadi, aku harus bersabar menerimanya.

Aku mencoba memejamkan mata sambil bersandar. Karena dengan begitu, aku akan bisa sedikit mengurangi rasa pusingku untuk beberapa saat. Setelah merasa lebih baik, aku pun membuka mataku kembali. Namun saat sebuah tangan berisikan berbagai jenis permin terulur ke arahku, aku sontak menoleh ke samping.

Mataku terbeliak tidak percaya saat menyadari siapa laki-laki yang duduk di sampingku ini. Laki-laki yang dengan santainya menyodorkan permen ke arahku.

"Ambil satu aja kalo lo mau," ucapnya.

Aku masih dalam mode kaget dan tidak bisa berkata-kata. Namun saat aku mendengar kalimatnya lagi, mau tidak mau aku menerima salah satu dari berbagai jenis permen yang laki-laki itu tawarkan.

"Permen ini aman kok."

"Ah iya, makasih, ya," kataku sambil menunjukkan permen yang sudah aku ambil dari tangannya.

Setelah kejadian itu, tidak ada lagi suara di antara kami. Laki-laki itu juga tidak melanjutkan perbincangan dan turun tidak lama kemudian.

Tidak ada kata pamit atau apa pun itu saat laki-laki itu meninggalkan aku di kursi belakang. Tidak juga menoleh setelah keluar dari bus dan melanjutkan langkahnya entah ke mana.

Saat bus melanjutkan perjalanan, aku memandangi permen dari laki-laki tersebut yang sama sekali belum aku makan. Ada rasa aneh yang menggelitiki dadaku saat ini. Aku tidak tahu apa namanya, tetapi di detik ini yang aku rasakan adalah, jantungku berdebar sangat kencang.

Apalagi saat aku menyadari laki-laki itu adalah orang yang aku lihat di perpustakaan hari Jum'at tadi. Bahkan saat tidak sengaja aku melihat nama di baju seragamnya, aku benar-benar tidak bisa berkata-kata lagi. Tidak menyangka akan bertemu dan duduk bersebelahan seperti ini di dalam bus.

Laki-laki itu ternyata Taufan Malik.


***


Perlu diketahui, setting cerita ini bukan tahun 2020-an, ya. Tapi di antara tahun 2000-an sampai sebelum 2020-an gitu deh. Makanya masih ada ekskul mading yang bertugas dan bertanggung jawab akan isi mading di sekolah.


Kalau sekarang, aku nggak tahu masih ada mading dan ekskul mading apa nggak. Aku udah lama nggak jadi murid SMA lagi, guys. T.T


Semoga kalian suka sama cerita ini, ya. Karena mau aku buat seringan mungkin. Biar ada kinyis-kinyis masa SMA-nya.


xoxo


Winda Zizty

04 Agustus 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top