Dua Puluh
Kepalaku tidak bisa diajak untuk berpikir. Akibatnya, aku pun meminta izin untuk beristirahat di UKS. Saat jam istirahat, Inggit datang untuk menemani sekaligus membawakan sebungkus roti dan air mineral.
"Lo kenapa? Tumbenan banget izin ke UKS?" tanya Inggit yang duduk di pinggir ranjang.
Teringat akan rasa patah hatiku, aku langsung memeluk Inggit. Tangisku tumpah begitu saja setiap mengingat bagaimana cara Taufan Malik memperlakukan Kak Gisel. Bayangan itu selalu menghantui hingga membuatku kesulitan tidur nyenyak dan berakhir menjadi sakit kepala.
"Vin? Lo kenapa?" Inggit bertambah khawatir. Saat ia hendak menguraikan pelukanku, aku malah semakin memeluknya erat. Aku tidak mau Inggit melihat tampangku yang begitu kacau saat menangis.
"Nggit ... si Malik, orang yang gue suka, ternyata adalah Wind," ucapku dengan suara bergetar.
"Seriusan?" seru Inggit, kaget bercampur tak percaya. "Terus kenapa lo nangis? Lo kan suka dua-duanya. Harusnya lo seneng dong."
Aku memilih mengunci bibirku. Inggit benar, dalam keadaaan normal aku seharusnya senang. Namun aku memang senang begitu mengetahui fakta tersebut. Sayangnya, setelah mengetahui kebenaran yang lain, aku ternyata tidak sebahagia itu. Alih-alih berbunga-bunga, aku justru patah hati.
"Davina?" panggil Inggit. "Lo kenapa? Cerita sama gue. Kalau Malik dan Wind adalah orang yang sama, kenapa lo malah sedih kayak orang patah hati gini?"
"Gue emang lagi patah hati, Nggit," kataku pada akhirnya.
Aku benar-benar butuh tempat untuk bercerita saat ini. Berbagi rasa sakit yang aku rasakan agar tidak terlalu membuatku menderita. Namun, aku tidak ingin ceritaku malah membuat Inggit menjadi khawatir. Meski beberapa bulan ini aku merasakan perubahan Inggit yang sedikit berjarak, tetapi aku tahu, sebagai sahabat, ia juga menyayangiku.
"Lo ditolak Malik? Lo udah nembak dia?" tebak Inggit dengan mata terbeliak kaget.
Aku menggeleng. "Lebih parah dari itu. Gue harus ditolak bahkan sebelum dia tahu perasaan gue."
"Maksudnya?" tanya Inggit, tidak mengerti.
"Ternyata Malik kenal sama Kak Gisel. Orang yang Malik suka bukan gue, tapi Kak Gisel."
Mata Inggit melebar maksimal. Ekspresinya saat ini seperti orang yang habis melihat hantu di siang bolong. Entah dia menyadarinya atau tidak, tetapi Inggit malah mencengkram bahuku dengan sangat kuat hingga aku merintih kesakitan.
"Lo serius?"
Aku mengangguk seraya melepaskan cengkraman Inggit di bahuku.
"Bahu gue sakit, Nggit," beritahuku.
Inggit segera tersadar dan meminta maaf. Aku tidak tahu kenapa Inggit terlihat lebih kaget dari yang sudah. Padahal, harusnya aku yang merasa kaget.
"Nama lengkap Malik itu ... Taufan Malik?" tebak Inggit.
Aku mengangguk, mengiakan.
"Iya, nama lengkapnya Taufan Malik. Dia udah ngaku kalau dia itu Wind. Dan yang buat gue patah hati, gue ngelihat dia pelukan sama Kak Gisel di taman deket perumahan gue. Gue syok banget lihat mereka. Nggak nyangka kalau mereka saling kenal di belakang gue," selorohku. Menumpahkan isi hati yang membebani begitu dalam.
Inggit menundukkan wajah. Sekilas, aku melihat tanggannya terkepal erat.
"Vin," panggil Inggit. "Lo inget cerita gue tentang Kak Opan, kakak sepupu gue?"
"Iya, gue inget."
"Lo juga inget pas gue minta supaya lo nggak jatuh cinta sama kakak sepupu gue?" tanya Inggit lagi yang membuatku semakin tidak mengerti ke mana arah pembicaraan kami.
"Iya, gue inget. Karena kakak sepupu lo suka sama cewek yang buat dia kecelakaan, 'kan? Lo nggak mau kejadian serupa terjadi sama gue." Aku menambahkan, "Tapi, apa hubungannya sama gue?"
"Kak Opan sampe kecelakaan dan harus cuti sekolah selama setahun buat perawatan. Setelah cukup sembuh, Kak Opan akhirnya pindah sekolah. Nggak cuma itu aja, Kak Opan juga harus rela tinggal kelas gara-gara tu cewek."
Aku benar-benar tidak mengerti kenapa Inggit malah membicarakan Kak Opan? Padahal aku saat ini sedang membahas patah hatiku. Apa hubungan kisah cinta Kak Opan dengan kisah cintaku? Bahkan aku sama sekali tidak mengenal laki-laki itu.
"Lo tahu siapa cewek yang disukai Kak Opan?" Inggit menatapku. Ditanyai seperti itu, aku langsung menggeleng. "Itu kakak lo, Vin. Kak Opan suka sama Kak Gisel."
Kali ini, gantian aku yang terbeliak kaget.
"Jadi ... orang yang lo certain malah jadian sama Kak Gisel itu ... adalah Taufan Malik?"
Alih-alih mengiakan, Inggit malah tertawa. Namun bukan jenis tawa yang menyenangkan, sebaliknya malah terdengar penuh kepahitan.
"Seandainya emang begitu, gue nggak mungkin kasihan sama Kak Opan," ucap Inggit.
"Jadi ... maksudnya?"
Ada sebuah pemikiran yang terlintas di benakku. Namun aku terlalu takut untuk menghadapinya jika apa yang aku pikirkan saat ini benar-benar sesuai dengan kenyataan yang ada.
"Iya, kali ini lo bener." Inggit tersenyum tipis. Terlihat begitu lelah. "Maaf kalau gue nggak pernah cerita hal ini sama elo. Tapi, Taufan Malik yang lo suka itu adalah Kak Opan, sepupu gue. Dan kayak yang udah lo tahu, Kak Opan emang kenal sama Kak Gisel karena dia orang yang Kak Opan suka."
Tahu apa yang aku rasakan setelah mendengarnya? Setelah melihat langsung bagaimana cara Taufan Malik memeluk Kak Gisel, aku merasakan duniaku runtuh. Namun sekarang, saat fakta lain telah Inggit ungkapkan, bukan hanya dunia yang terasa runtuh, tetapi aku merasa sudah tidak ada tempat lagi bagiku di dunia yang sudah runtuh ini.
"Ja—jadi ... selama ini orang yang gue suka itu ... kakak sepupu elo?"
"Seharusnya dari awal gue cerita, kalau gue punya kakak sepupu yang sekolah di sini juga. Gue nggak bakal nyangka kalau lo malah jatuh cinta sama dia. Lebih nggak nyangka lagi ternyata dia itu Wind."
Aku menggeleng, tak percaya. Masih berusaha menyangkal kenyataan yang harus aku hadapi. Potongan-potongan puzzle itu akhirnya bersatu membentuk sebuah fakta tak terelakkan.
Semua dimulai dari informasi dari Kak Bila yang mengatakan kalau Taufan Malik merupakan siswa pindahan. Lalu berpindah pada Ririn yang mengatakan kalau Taufan Malik pernah menjadi anggota ekskul mading dan darinyalah puisi Wind diterima. Kemudian pada pengakuan Taufan Malik jika dirinya adalah Wind.
Tambahan cerita lain berasal dari Inggit yang memberitahu tentang sepupunya yang mengalami kecelakaan. Seingatku, Kak Bila juga pernah cerita kalau Taufan Malik pernah mengalami kecelakaan. Jika digabungkan, semuanya benar-benar sesuai.
Hatiku merasa patah untuk pertama kalinya, saat aku melihat dengan mata kepalaku sendiri Taufan Malik yang memeluk Kak Gisel. Namun kenyataan tak terbantahkan yang sebisa mungkin aku sangkal setengah mati adalah saat Inggit membeberkan fakta jika Taufan Malik adalah kakak sepupunya.
Kenapa dari sekian banyak kisah cinta pertama yang indah, kisahku malah tertulis seperti ini? Dari sekian banyak perempuan di dunia ini, kenapa harus kakak kandungku yang menjadi saingan cintaku?
Padahal semesta tahu, aku selalu merasa kalah jika dibandingkan dengan Kak Gisel. Lalu sekarang, aku benar-benar kalah karena laki-laki yang aku sukai ternyata sudah lebih dulu memiliki tambatan hati. Parahnya lagi, perempuan tersebut adalah Kak Gisel, kakak kandungku sendiri.
Hatiku yang perih semakin menjadi. Jika bisa melihat seperti apa hati seseorang yang sedang berdarah-darah, mungkin keadaanku akan seperti itu. Patah hatiku benar-benar tidak bisa terelakkan. Air mataku kembali tumpah dan Inggit langsung memelukku erat. Ikut menangisi kisah cinta pertamaku yang tidak seindah ucapan orang-orang.
Kisah cinta pertama memang indah. Namun akan terasa indah jika terbalaskan. Bukan malah bertepuk sebelah tangan sepertiku.
"Kayaknya ucapan lo harus gue turutin, Nggit. Nggak seharusnya gue jatuh cinta sama Malik. Kalau gue tahu dia kakak sepupu lo, mungkin gue nggak bakal jatuh cinta sedalam ini," ucapku sambil menahan pedih dalam hati. "Semesta aja nggak merestui gue buat jatuh cinta sama kakak sepupu elo, apalagi elo."
Air mataku malah semakin deras setelah kata-kata itu terucap.
"Maafin gue, Vin. Gue sudah egois saat minta lo buat nggak jatuh cinta sama kakak sepupu gue. Gue nggak seharusnya memaksa seseorang buat melawan hatinya."
"Gue yang minta maaf karena udah jatuh cinta sama kakak sepupu lo."
Inggit menggeleng.
"Lo nggak salah, Vin. Lo bebas mencintai siapa aja di hidup lo. Mau itu kakak sepupu gue atau orang lain, itu hak elo. Gue nggak berhak ngatur-ngatur."
"Tapi gue udah patah hati, Nggit. Kakak sepupu lo nggak tahu gue suka sama dia dan malah milih kakak kandung gue."
"Maafin gue, Vin. Maafin gue," ucap Inggit penuh sesal.
"Kenapa cinta pertama gue mesti kayak gini, Nggit? Kenapa Tuhan nggak ngasih gue kesempatan buat ngerasain cinta dari Malik?"
Inggit memelukku semakin erat, tanpa berkata-kata lagi.
***
Taufan Malik duduk di sampingku sambil fokus membuat puisi. Ada bahagia bercampur rasa sedih saat aku memandanginya dari samping seperti ini. Ternyata seperti ini ekspresi Taufan Malik saat sedang serius menulis puisi. Ternyata seperti ini rasanya memandang wajah pujaan hati yang hatinya tidak bisa kamu miliki.
Setiap detik yang terlewat akan selalu aku kenang dalam hati. Setiap gerakan Taufan Malik yang tertangkap mataku, akan aku abadikan dalam ingatan. Termasuk hatiku yang patah tanpa pernah ia ketahui.
Seperti yang Inggit ceritakan, Malik memang baik. Saking baiknya hingga aku salah paham akan semua perlakuannya padaku. Laki-laki yang aku cintai ini terlalu baik hingga mengorbankan masa mudanya yang harus mengulang satu tahun di SMA.
Entah kapan momen ini akan terulang, tetapi permintaan sederhanaku ini, aku harap tidak akan membebani Malik. Baik di masa sekarang, maupun di masa depan. Sebuah puisi aku minta dari Taufan Malik, sebagai seorang penggemar.
Namun sebenarnya, di balik itu semua, aku meminta Taufan Malik membuatkanku sebuah puisi adalah untuk menenangkan hatiku. Berharap puisi satu-satunya yang ia tulis untukku ini akan menjadi obat patah hati atas kegagalan kisah cinta pertamaku.
Meski awalnya merasa bingung karena permintaanku yang tiba-tiba. Namun pada akhirnya, Malik mau membuatkanku sebuah puisi sebagai tanda pertemanan.
"Kado untuk penggemar," kataku yang membuat Taufan Malik mengacak pelan rambutku. Sebuah tindakan kecil yang membuat hatiku kembali berdebar.
Taufan Malik meletakkan penanya. Membaca ulang puisi yang baru saja dibuatnya, sebelum memberikan kepadaku.
"Ini puisinya, aku harap kamu suka. Sama halnya seperti kamu yang menyukai puisi-puisiku di mading."
Aku tersenyum. Berterima kasih dari lubuk hati yang paling dalam karena ia telah memenuhi keinginanku. Dalam suasana hati yang tidak bisa aku gambarkan, aku membaca puisi pemberian Taufan Malik. Puisi satu-satunya yang ditulis Taufan Malik hanya untukku.
Puisi Wind yang hanya ada satu di dunia dan hanya aku yang akan membacanya.
"Boleh aku bacain?" tanyaku, meminta izin sang pemilik puisi.
Taufan Malik tersenyum hangat seraya mengangguk.
"Silakan."
Jantungku berdegup kencang. Bukan hanya karena ini kali pertama aku membaca puisi di depan orang lain, tetapi juga karena ini puisi yang dibuat laki-laki yang berhasil membuatku merasakan cinta untuk pertama kalinya.
Aku berdeham pelan. Membasahi tenggorokanku yang terasa kering. Aku menatap Taufan Malik sekilas, ingin tahu seperti apa reaksinya saat ini. Namun, senyuman Taufan Malik yang membuatku meleleh seketika, malah membuatku semakin merasakan pedih.
Bagaimanapun juga aku berusaha mengusir bayangan Taufan Malik dari hati dan benakku, perasaan cinta ini masih ada. Aku masih belum bisa sepenuhnya merelakan cinta pertamaku. Aku masih berharap cinta pertamaku akan berakhir bahagia. Namun seperti yang Inggit katakan, aku harus menerima kenyataan dan menggunakan logikaku agar bisa tetap waras menjalani hari.
Aku memejamkan mata. Membiarkan semua rasa di hatiku menyatu dan saling beradu dalam waktu bersamaan. Aku memang mencintai Taufan Malik, tetapi demi kebahagiaan kami berdua, aku harus merelakannya.
Mataku berkaca-kaca saat memandangi puisi yang ia tulis khusus untukku. Ternyata seperti ini rasanya harus berpisah dengan cinta pertamamu. Karena setelah ini, aku akan secara tegas meminta hatiku untuk mulai merelakan Taufan Malik.
Menghela napas panjang, aku pun memulai membaca puisi dari Taufan Malik. Mungkin ini adalah puisi pertama dan terakhir yang akan Taufan Malik tulis untukku, seumur hidup kami berdua.
"Pertemuan adalah takdir Tuhan. Perkenalan adalah kesempatan. Menjadi teman adalah pilihan dua orang yang ditakdirkan." Aku mengatur degupan jantungku sebelum melanjutkan, "Kisah ini tentang perempuan dan laki-laki. Bertemu tanpa rencana. Hingga takdir mengizinkan untuk menjadi teman."
Hatiku terkoyak. Bahkan di dalam puisinya, Taufan Malik menegaskan hubungan kami adalah sebuah pertemanan. Tidak lebih.
"Hubungan indah yang akan terjalin. Campur tangan Tuhan yang merestui. Terkenang indah dalam hati hingga rambut memutih."
Aku melipat kertas tersebut dan menyimpannya dalam saku seragam. Merasakan air mataku akan tumpah, aku segera mengalihkan pandangan. Tidak ingin Malik bertanya lebih jauh atas air mataku.
"Maaf nggak sesuai ekspektasi kamu. Tapi aku harap, setelah membaca puisi ini, kamu mengetahui niatku dalam pertemanan ini. Aku benar-benar menghargai pertemanan kita, walaupun kamu adik kelasku."
Seseorang, bisakah aku meminta tolong untuk mengunci bibir Taufan Malik? Aku tidak ingin mendengar kata-katanya yang menyakiti hatiku itu.
Taufan Malik memang tidak salah karena ia tidak mengetahui perasaanku. Namun tetap saja, aku meraa sakit hati dengan kata-katanya. Tidak cukupkah dia menolakku melalui tulisan? Kenapa harus ditambah dengan ucapannya barusan?
Cepat-cepat aku menghapus air mata dan memaksakan sebuah senyum. Sebuah kesedihan tidak seharusnya aku perlihatkan pada Taufan Malik saat ini.
"Makasih, ya. Aku benar-benar menghargai puisi ini," ujarku.
"Iya, sama-sama." Taufan Malik melihat sekeliling. "Kalau gitu aku balik ke kelas dulu, ya."
Aku mengangguk. Membiarkan Taufan Malik pergi terlebih dahulu dari perpustakaan. Sepeninggal Taufan Malik, aku tidak langsung beranjak. Aku mengeluarkan puisi Taufan Malik dan kembali membacanya.
"Malik ... terima kasih atas puisinya. Meski mencintaimu ternyata sesakit ini, aku akan tetap menyukai puisi-puisimu."
~End~
***
Akhirnya selesai juga!!!
Gimana ceritanya menurut kalian? Semoga suka, ya.
Hayo ... siapa di sini yang kisah cinta pertamanya nggak berjalan mulus?
Atau malah berhasil bersatu dengan cinta pertama kalian?
Setelah Your Poem tamat, aku akan segera menulis cerita baru. Sekaligus menyelesaikan beberapa draft novelku di Wattpad. Mungkin kalian pernah baca beberapa ceritaku yang sekarang sudah nggak ada di profilku. Yup! Itu semua akan aku lanjutkan dan kalian bisa membacanya lagi.
Kapan?
Yang pasti tungguin aja, ya.
Oh iya, walaupun Your Poem belum ada pembaca tetap yang nungguin dari awal update sampai sekarang, tetapi aku berharap suatu hari nanti Your Poem akan dikenal banyak orang dan mempunyai masa depan yang cerah.
Semoga hidup kalian bahagia dan sehat selalu, ya.
xoxo
Winda Zizty
24 Agustus 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top