Dua Belas
Aku tidak tahu apa yang aku rasakan. Namun satu hal yang pasti aku sadari, aku merasa bahagia setiap kali memikirkan Taufan Malik. Aku bahkan membiarkan jantungku berdebar keras tiap kali aku tidak sengaja melihatnya di sekolah.
Ada beberapa kali pertemuan tidak sengaja di antara aku dan Taufan Malik. Karena perkenalan singkat kami di perpustakaan beberapa hari silam, setiap kami tidak sengaja berpapasan, aku akan menyapanya dengan tersenyum.
Begitu juga sebaliknya. Saat tidak sengaja melihatku, Taufan Malik akan mengangkat tangannya sebagai sapaan padaku. Dari yang aku perhatikan beberapa hari ini, Taufan Malik memiliki sifat yang ceria. Bisa terlihat dengan jelas kalau dia orangnya mudah bergaul.
Omong-omong, ujian semester akhirnya telah berakhir, tetapi kami masih diharuskan datang ke sekolah. Ada beberapa perlombaan yang akan diselenggarakan demi mengisi waktu luang para siswa yang telah selesai melaksanakan ujian.
Aku tidak terlalu pandai berolahraga, tetapi karena seluruh penghuni kelas diwajibkan ikut perlombaan, aku akhirnya masuk ke tim bola voli. Meski tahu kelas kami akan gagal menjadi pemenang, tetapi kami tetap maju pantang menyerah.
Benar saja, saat perlombaan, kelas kami kalah saat melawan kelas 1-B. Kami, para siswa kelas 1-C harus menerima kekalahan di babak pertama dengan lapang dada. Padahal perlombaan voli putri baru dimulai, tetapi kelas kami sudah kalah telak saja.
"Udah dibilang gue nggak bisa main, tapi masih aja diajak," dumelku setelah berhasil kabur dari teman-teman timku.
Inggit hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkahku. Meski tahu tidak ada yang menyalahkan aku atas kekalahan kelas kami, tetap saja aku merasa kesal. Entah untuk siapa kekesalan ini aku tujukan. Apakah ke teman-temanku yang seenak jidat mengajakku untuk bergabung dengan tim voli? Ataukah pada diriku yang sama sekali tidak memiliki keahlian apa pun dalam berolahraga?
"Setidaknya lo udah berpartisipasi. Lagian kan nggak ada anak-anak yang protes pas kita kalah. Kita juga nggak ada yang nuntut buat menang kok." Inggit berujar dengan santainya. Dia tidak tahu saja rasanya ada yang akan meluap di dalam dadaku.
Mungkin menyadari aku yang masih belum bisa tenang, Inggit pun menyodorkan minuman bersoda padaku. Inggit sangat pintar, sengaja memberikan minuman bersoda yang dingin agar aku juga bisa mendinginkan kepalaku.
"Makasih," ucapku pelan seraya menerima minuman bersoda itu.
Tanpa pikir panjang, aku langsung meneguk minuman pemberian Inggit. Di sebelahku, Inggit juga ikut meminum minuman bersodanya, tetapi dengan varian yang berbeda.
"Lo nggak ikut lomba?" tanyaku, setelah sadar Inggit masih menggunakan seragam putih-abu, alih-alih pakaian olahraga.
"Hari ini kan cuma lomba voli putra sama putri aja. Besok baru giliran gue main," jawab Inggit dan langsung menghabiskan minuman bersodanya.
"Lo ikut lomba apa?" tanyaku penasaran. Bisa-bisanya aku melewatkan Inggit dan tidak tahu dia ikut lomba apa.
"Basket."
Bersamaan dengan jawaban yang Inggit berikan, perempuan itu melemparkan minuman bersodanya yang telah habis ke kotak sampah di depan kesal. Lemparan tersebut membuatku takjub seketika karena berhasil mendarat dengan mulus ke dalam kotak sampah.
"Nggak heran lo gabung di tim basket," gumamku setelah menyaksikan sendiri keahlian terpendam sahabatku itu.
Namun sungguh disayangkan, tidak ada ekstrakulikuler basket untuk perempuan di sekolahku. Karena itulah, sama sepertiku, Inggit juga tidak bergabung dengan organisasi apa pun di sekolah. Seandainya di sekolahku memperbolehkan perempuan untuk bergabung di ekskul basket, sudah bisa aku tebak, Inggit pasti akan menjadi orang pertama yang mendaftar.
"Cuma lomba buat kegiatan sekolah aja, ngapain mesti dipusingin, sih?" seloroh Inggit yang membuatku menggeleng tidak setuju.
"Walaupun cuma perlombaan antar kelas, tetap aja ini menyangkut menang dan kalah. Kita nggak boleh asal main aja."
"Tapi, kalau dipikirin, setelah kenaikan kelas, kita belum tentu sekelas lagi kayak gini. Bisa aja, lawan lo sekarang, bakal jadi temen sekelas lo di masa mendatang. Jadi, mending kita have fun aja. Nggak usah yang pake otot banget pas lomba," jelas Inggit.
Aku terdiam. Ucapan Inggit benar adanya. Setelah perlombaan ini berakhir dan akhirnya raport kami dibagikan, belum tentu teman sekelasku akan tetap menjadi teman yang berjuang di kelas yang sama denganku. Bahkan dengan Inggit saja, aku sudah tidak yakin akan satu kelas lagi atau tidak.
Ucapan Inggit memang benar. Namun menyadari hal tersebut, malah membuatku makin sedih dan kesal. Sudah tahu kalau kami akan berpisah kelas, tetapi aku tidak bisa membuat tim kelasku menang. Malah aku membuat kelasku menjadi tim pertama yang kalah di perlombaan voli putri tadi.
Benar-benar memalukan!
"Lo kenapa lagi?" tanya Inggit saat melihat aku yang sesegukan sambil menundukkan wajah di atas meja.
"Gara-gara gue kelas kita kalah. Rasanya malu banget jadi tim pertama yang kalah lomba."
"Astaga Davina Gracia!" Inggit mendesah frustrasi. "Kalah atau menang itu hal biasa di perlombaan. Apalagi dengan adanya lo yang sama sekali nggak bisa olahraga. Ya, wajar aja kalo kalah."
Aku langsung mendelik tak suka pada Inggit. Meski ucapan Inggit memang sesuai fakta, tetapi sakit juga saat mendengarnya.
"Lo tuh ya, bukannya menghibur malah makin bikin gue sedih."
Kali ini, aku tidak kuasa lagi untuk menahan air mataku. Aku benar-benar sedih menerima kenyataan bahwa aku sangatlah payah dalam berolahraga. Bisa lulus nilai KKM di pelajaran olahraga saja aku sudah sangat bersyukur.
"Udah, ah. Nggak usah nangis. Malu ntar kalau dilihatin orang."
Inggit menepuk pundakku, berusaha menenangkan. Namun semuanya percuma. Aku sudah terlanjur menangis karena kesal mendengar ucapannya.
"Gue tahu omongan lo bener. Gue emang nggak pinter olahraga, tapi nggak seharusnya lo ngomong gitu setelah gue ngebuat kelas kita kalah dalam lomba," tuturku sedikit mengeluarkan amarah.
"Udah, nggak usah nangis. Gue minta maaf. Gue nggak bermaksud buat menyinggung atau buat lo sedih. Gue bilang kayak gitu supaya lo sadar sama kenyataan dan nerima kekalahan kelas kita." Inggit berusaha keras menjelaskan.
Aku sebenarnya perlahan-lahan sudah tidak marah lagi. Namun seperti yang Inggit inginkan agar aku bisa menerima kekalahan, aku tetap tidak bisa melakukannya. Sudah tahu kelas kami kalah, aku masih belum mau mengakuinya.
Walau banyak pasang mata yang melihat betapa bodohnya aku bermain bola voli, aku tetap ingin membawa tim kelasku untuk menang minimal satu sesi perlombaan. Namun sayangnya, sudah takdirnya jika tim voli putri kelasku harus kalah di awal-awal perlombaan.
"Davina ... udah dong nangisnya. Nanti orang-orang ngira lo udah gue pukulin sampe nangis kayak gini," canda Inggit. Aku bahkan mendengar kekehan kecil dari bibirnya.
"Bisa-bisanya lo ngomong kayak gitu, ya." Aku menyeka air mataku beserta ingus-ingusnya. "Awas aja kalau besok lo kalah juga. Bakal gue ejek terus-terusan!" ancamku.
Inggit tertawa. Sepertinya ia tahu kalau aku sudah tidak marah lagi.
"Nggak bakal. Setidaknya, kalaupun nggak menang, tim basket kelas kita nggak bakal kalah di perlombaan awal."
Aku tahu Inggit sedang mengolokku. Tentu saja dalam artian tengah bercanda denganku. Namun tetap saja, aku masih ingin memukul Inggit untuk melampiaskan kekesalanku. Karena itulah, aku memukul pelan lengan Inggit dan mencubiti pinggangnya.
"Pokoknya, awas aja kalo lo besok kalah!"
"Iya, iya, nggak bakal kalah. Nggak akan kayak tim voli putri kita."
Setelah mengatakannya, Inggit langsung berdiri dan keluar dari kelas. Tawanya yang penuh ejekan membuatku kembali kesal dengan sahabatku sendiri.
"Inggit! Awas lo ya!"
Sayang, Inggit sudah hilang dari pandangan sebelum aku berhasil mengejarnya. Karena tidak ingin memperpanjang masalah dan tahu Inggit hanya berniat untuk menghiburku, aku pun memilih untuk menetap di kelas.
Untuk mengejar Inggit dan kembali ke lapangan untuk menonton perlombaan, rasanya aku sudah tidak sanggup lagi. Masih bisa aku rasakan betapa banyak sorot mata yang mengarah padaku setelah berkali-kali aku melakukan kesalahan dan malah memberikan skor kepada tim lawan.
Sudah ditebak, pasti akulah yang menyebabkan tim kelasku kalah. Walaupun seperti kata Inggit, tidak ada yang menyalahkanku, tetap saja aku merasa bersalah. Karena faktanya memang gara-gara aku yang tidak pandai berolahraga, jadinya tim voli putri kelasku harus menanggung kekalahan.
Tanpa sadar, aku menangis lagi. Kali ini aku sendirian di dalam kelas, tanpa Inggit atau siapapun yang menemani. Hal ini sedikit menguntungkanku, karena saat ini tidak ada orang yang tahu kalau aku menangis. Selain itu, aku juga bisa bebas menangis sepuasnya. Tentu saja aku harus menangis tanpa suara agar tidak ada yang mendengarku.
Aku tidak mau dicap sebagai pencari perhatian kalau-kalau ada yang melihatku menangis sesegukan di dalam kelas sendirian. Apalagi orang-orang tahu kalau kelasku baru saja kalah di perlombaan voli putri.
Entah sudah berapa lama aku menangis. Rasanya mataku begitu sulit untuk menutup. Aku juga merasa wajahku memanas. Aku tidak tahu ini efek dari menangis atau dikarenakan juga karena aku terus-terusan menunduk di atas meja.
Setelah merasa lebih tenang, aku memutuskan untuk ke toilet agar bisa mencuci mukaku yang dijamin snagat kusut. Sepanjang perjalanan menuju toilet, aku menundukkan wajah dan menutupinya dengan rambutku.
Tidak peduli orang akan menganggapku aneh atau tidak, yang pasti aku ingin segera pergi ke toilet dan membasuh wajahku. Berharap setelah membasuh wajah, jejak-jejak air mata itu akan ikut terhapus oleh air yang lain.
Namun sebelum aku tiba di toilet yang tinggal beberapa langkah lagi, seseorang menghentikanku. Ujung sepatunya nyaris bertubrukan dengan ujung sepatuku. Aku masih enggan mengangkat wajah, karena tidak ingin orang lain tahu kalau aku habis menangis. Namun orang di depanku yang entah siapa ini, ternyata tidak mau menyingkir juga. Seolah sengaja menghalangi jalanku menuju toilet.
Kesal karena orang tersebut masih saja memblokir langkahku, aku pun mengangkat wajahku. Berniat untuk memarahinya yang sudah seenaknya membuat aku berhenti cukup lama.
Namun kata-kata makian yang ingin aku layangkan, segera tertelan kembali setelah aku menyadari siapa yang kini berdiri di hadapanku. Tatapannya yang sarat kekhawatiran tidak akan pernah bisa aku lupakan.
"Kamu kenapa?" tanyanya.
"Ah, aku nggak kenapa-napa." Aku berusaha mengalihkan wajah dari tatapannya. Namun tangannya dengan lembut menyentuh pipiku. Membuatku kembali menoleh ke arahnya.
"Kamu habis nangis?" tanyanya lagi.
Aku menggeleng. Mencoba tersenyum.
"Nggak kok. Tadi habis ketiduran di dalam kelas. Ini mau cuci muka biar nggak ngantuk lagi."
Taufan Malik terlihat masih tidak percaya dengan ucapanku. Namun karena aku tidak ingin terlihat menyedihkan di hadapan orang yang beberapa hari ini menghantui pikiranku, aku pun segera mengambil langkah untuk menghindari Taufan Malik.
"Aku permisi ke toilet dulu," pamitku dan langsung pergi tanpa membiarkan Taufan Malik menghalangi langkahku lagi.
Taufan Malik tidak mengejar ataupun bertanya lebih lanjut. Memang inilah yang aku inginkan karena aku tidak tahu harus bagaimana menjelaskan hal ini padanya. Lagi pula, kami hanya melakukan perkenalan singkat dan beberapa kali berpapasan saja.
Aku dan Taufan Malik belum sedekat itu untuk bisa berbagi cerita.
***
Sebenarnya tanpa kita sadari, ada orang kayak Davina di sekitar kita. Cuma ya itu tadi, kita nggak sadar. Dari sini kelihatan banget gimana sifat Davina. Karena merasa nggak ada kelebihan, dia jadi insecure. Wajar, sih. Menurut kalian gimana?
Jangan lupa vote dan komen, ya. Ajak teman kalian buat baca Your Poem juga.
XOXO
Winda Zizty
12 Agustus 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top