Dua
Aku sebenarnya bukan orang yang terlalu suka membaca. Namun saat ada jam kosong, alih-alih cekikikan di kelas atau jajan di kantin, aku lebih memilih untuk ke perpustakaan dan membaca satu atau dua buku—bukan berarti aku tidak pernah jajan juga, ya.
Apa pun itu jenis bukunya, aku akan dengan senang hati membaca. Tentu saja, buku yang aku baca itu aku pilih karena sampulnya menarik minatku. Sebuah alasan yang sangat umum, bukan?
Aku juga tidak pandai memahami maksud dari kata-kata yang sering digunakan penulis untuk karya mereka. Penggunaan majas yang sulit diterima nalarku yang tidak terlalu pandai ini, membuatku sering mengerutkan kening saat membaca. Namun entah kenapa, saat itu—di suatu siang setelah bel tanda istirahat kedua berhenti—aku malah terhipnotis oleh sebuah puisi di mading.
Letaknya tidak berada di posisi strategis atau memakai font yang menandakan bahwa karya tersebut menjadi highlight di mading, tetapi entah kenapa mataku masih saja bisa menangkapnya. Seolah puisi tersebut memiliki kekuatan magis hingga berhasil membuatku menoleh dan mendekat.
Puisi berjudulkan Dilema karya Wind. Angin. Terdengar feminis, tetapi juga maskulin di satu sisi yang berbeda. Sejak saat itu, secara otomatis, otakku memerintah agar kakiku bergerak menuju mading setiap hari Jumat. Mata yang memindai setiap sisi mading demi bisa menemukan sebuah puisi yang ditulis oleh Wind.
Menatap kesunyian malam yang tiada akhir.
Bulan berpendar menanti kekasih hati.
Dua kalimat itu menghipnotisku. Seolah tengah berkata padaku bahwa ia sedang tidak baik-baik saja saat menulis ini. Namun di saat yang sama, ia juga tengah berkata jika ia merasa bahagia. Terdengar konyol memang kalau aku ceritakan pada Inggit. Namun, inilah yang aku rasakan saat membaca puisi tersebut.
Entah sudah berapa lama aku berdiri di depan mading, hingga akhirnya bel tanda waktu istirahat berakhir pun berbunyi. Meski para siswa sudah bergegas ke kelas, aku masih berdiri beberapa menit sebelum memutuskan untuk kembali menuntut ilmu.
Semenjak saat itu, aku memutuskan untuk menanti puisi-puisi karya Wind di mading sekolah. Seperti halnya sang bulan yang menanti kekasih hati di sepanjang malam. Persis seperti isi dari puisi karyanya.
Jika kata-kata bisa menjadi sihir di era modern ini, maka bait-bait puisi Wind telah menyihirku dengan telak.
***
"Udah nyari tahu siapa penyair favorit lo itu?" tanya Inggit saat aku sedang sibuk membereskan alat tulis.
Kelas sudah mulai sepi semenjak guru mata pelajaran terakhir meninggalkan kelas. Di kelas hanya tinggal tersisa aku, Inggit, serta beberapa siswa yang masih menyalin catatan dari papan tulis.
Masih sibuk dengan isi tasku, tanpa menoleh aku menjawab pertanyaan Inggit, "Belum. Nanti aja. Gue belum sepenasaran itu. Kan gue udah pernah ngomong, kalo gue bakal nyari tahu tentang dia kalau udah penasaran banget sampe ke tulang-tulang."
Inggit mencebikkan bibirnya mendengar jawabanku yang hanya aku tanggapi dengan tertawa kecil. Aku lantas berdiri, diikuti Inggit yang memang sudah siap sedia untuk pulang ke rumah.
Meski saat ini Inggit sedang menungguku pulang, sebenarnya rumah kami tidak searah. Mungkin memang sudah terbiasa, aku dan Inggit akan saling menunggu untuk pulang sekolah bersama. Barulah nanti setelah di halte bus, kami berpisah dan naik bus dengan tujuan masing-masing.
Sekolahku yang letaknya tidak berada di pinggir jalan, mengharuskan kami harus berjalan kaki demi menuju halte bus. Namun baik aku dan Inggit sama-sama tidak mengeluhkan hal tersebut karena di sepanjang perjalanan menuju halte bus, kami ditemani siswa yang lain.
Pihak sekolah masih melarang siswanya membawa kendaraan sendiri ke sekolah karena minimnya lahan parkir. Otomatis kendaraan umum seperti bus atau angkot masih menjadi primadona sebagai transportasi pulang-pergi sekolah.
Namun ada juga beberapa siswa yang membawa kendaraan sendiri ke sekolah. Namun kendaraan tersebut dititipkan di lahan kosong milik warga yang memang sengaja menyediakan lahan parkir dengan tarif harian. Bisa juga bulanan, tergantung kemampuan dan kesepakatan pemilik lahan dan siswa tersebut.
"Jadi, sudah berapa lama lo kagum sama puisi-puisinya?" tanya Inggit. Tepat setelah kami berdua baru saja melewati gerbang sekolah.
Aku berpikir sejenak. Mengingat-ingat saat pertama kali aku membaca puisi Wind di mading.
"Kayaknya tiga bulanan deh." Aku juga sedikit sangsi dengan waktu tepatnya. Namun kalau diingat-ingat lagi, sepertinya memang benar tiga bulan.
"Hm, lumayanlah."
"Lo udah baca puisinya?" tanyaku penasaran. Apalagi aku memang pernah menyarankan Inggit membaca puisi Wind agar sahabatku ini bisa merasakan apa yang aku rasakan saat itu.
"Belom. Gue kelupaan terus tiap kali lewat mading. Kayaknya mading sekolah kita itu kasat mata cuma buat gue deh." Inggit beralasan saja. Aku tahu itu.
"Kalau gitu, besok aja. Hari ini kan Kamis. Jadi, di mading besok pasti ada puisi Wind lagi," ucapku bersemangat. Tidak peduli saat ini apalagi alasan yang akan dikeluarkan Inggit untuk menolakku.
Namun, tanggapan Inggit ternyata tidak sesuai yang aku harapkan. Kali ini, Inggit tidak lagi beralasan dan hanya manggut-manggut saja.
"Oke. Kalau gitu, kita barengan baca puisi—siapa tadi?—di mading."
Aku terkekeh pelan. "Oke.
"Kalau gue ngerasa biasa aja setelah baca puisinya, jangan salahin gue, ya. Soalnya tiap orang kan punya preferensi masing-masing," kata Inggit.
"Iya, iya. Nggak bakalan gue salahin. Malah gue bakal menghargai preferensi lo itu."
Perbincangan kami masih berlanjut, tapi tidak lagi membahas Wind dan puisinya. Hal yang menyenangkan saat berada di perjalanan adalah memiliki teman. Karena itulah, perjalanan yang cukup jauh dari gerbang sekolah ke halte bus sama sekali tidak membosankan. Apalagi diisi dengan obrolah-obrolan yang menarik minat masing-masing, tentu membuat perjalanan itu terasa begitu singkat.
Halte bus sudah kelihatan. Sudah ada siswa lain yang berdiri di sana. Tidak terlalu ramai karena memang aku dan Inggit sedikit terlambat keluar kelas. Lebih tepatnya, aku hampir menjadi siswa terakhir yang meninggalkan kelas karena masih membereskan peralatan sekolah. Untung saja Inggit yang tengah menungguku membuat gerakanku secara otomatis dipercepat.
Bukankah saat tahu ada yang tengah menunggu kita, secara alami kita akan mempercepat aktivitas kita saat itu? Itulah mengapa tadi aku langsung bergegas berberes setelah selesai menyalin catatan. Mungkin karena itu jugalah aku masih awet berteman dengan Inggit yang sangat on time.
Dibandingkan dengan aku yang seringnya bergerak pelan, Inggit tipe orang yang harus cepat selesai, agar bisa mengerjakan hal lain. Meski bertolak belakang denganku, untungnya masih ada sisa kesabaran yang dimiliki Inggit karena mempunyai teman yang agak lelet sepertiku ini.
Namun, aku tidak sepenuhnya lelet, ya. Aku hanya bergerak perlahan demi menikmati semua momen yang ada. Tidak perlu merasa harus terburu-buru karena mau secepat apa pun kita mengejar waktu, ia tidak akan pernah berhenti sesuai keinginan kita.
Kalau jam bisa mati karena kehabisan baterai dan menyebabkan waktu terhenti, tetapi waktu di luar sana tidak demikian. Karena itulah, daripada berlelah-lelahan karena diburu waktu, lebih baik berjalan perlahan dan hidup berdampingan dengan sang waktu.
Bangku panjang di halte bus sudah terisi penuh, alhasil aku dan Inggit hanya bisa berdiri sambil menunggu bus tujuan kami datang. Tidak perlu membutuhkan waktu yang lama bagi bus-bus itu untuk datang. Apalagi saat ini memang jam pulangnya siswa dari sekolah. Tentu saja para sopir bus akan datang seperti para semut yang mendatangi gula.
Satu per satu penghuni halte bus mulai menaiki bus, tetapi bus tujuanku dan Inggit masih belum datang juga. Halte bus yang tadinya cukup ramai, kini mulai sepi. Untungnya, bangku panjang di halte menyisakan beberapa space untuk diduduki. Tanpa pikir panjang, aku langsung menarik tangan Inggit. Mengajaknya agar menduduki bangku tersebut sebelum didahului orang lain.
Rasanya benar-benar lega saat akhirnya bisa duduk, setelah berjalan dan berdiri dalam waktu yang bisa dikatakan tidak sebentar. Terlebih cuaca saat ini benar-benar mendukung proses pembentukan keringat oleh kelenjar ekrin dan kelenjar apokrin.
Inggit menepuk punggung tanganku membuatku menoleh ke arahnya.
"Gue duluan, ya. Busnya udah dateng," pamit Inggit, lantas berdiri dan membenahi tasnya.
Bus yang dimaksud pun berhenti tepat di depan kami. Tanpa membuang waktu, Inggit langsung bergerak dan masuk ke dalam bus bersama beberapa siswa yang lain.
"Jangan lupa besok, Nggit," pesanku sebelum gadis berbando hijau itu masuk ke dalam bus.
"Iya, iya. Bawel deh ah."
Kulihat Inggit sudah duduk di kursinya. Memilih kursi di dekat jendela agar bisa melambaikan tangan padaku.
"Gue duluan," ucapnya tanpa suara. Namun aku sudah hapal gerak bibir Inggit. Lagi pula hal ini selalu kami lalui setiap harinya. Jadi walaupun aku tidak bisa membaca gerak bibir Inggit pun, aku sudah menebak kalau ia tengah berpamitan denganku.
Ada kalanya, bus tujuanku yang tiba lebih dulu hingga aku yang harus berpamitan pada Inggit. Namun ada juga hari lain yang seperti ini, di mana Inggit yang akan terlebih dulu pulang dan meninggalkanku di halte bus.
Bagaimanapun, siapa yang duluan pulang, tentu bukanlah menjadi sebuah persoalan. Asal kami tiba di rumah masing-masing dengan selamat, tentu hal tersebut menjadi hal yang membahagiakan.
Halte bus kini hanya menyisakan beberapa siswa saja. Kalau aku lihat sekilas mata, sepertinya tidak sampai delapan orang yang masih berada di halte. Entah kapan bus yang akan aku tumpangi itu tiba, sepertinya aku masih harus menunggu lebih lama.
Sedikit bosan karena tidak ada lagi teman yang menemani menunggu bus, aku lantas menatap sekeliling. Ke pohon di pinggir jalan. Ke pejalan kaki yang hendak menyeberang, padahal ada jembatan penyeberangan. Ke para pemotor yang berlalu bagaikan angin. Apa pun itu yang terjadi di hadapanku, semuanya terekam jelas di kedua bola mataku.
Entah ada angin apa hingga akhirnya tatapanku terhenti pada sosok laki-laki di sisi lain halte bus. Meski masih ada tempat di bangku untuk diduduki, laki-laki itu lebih memilih untuk berdiri sambil memegang catatan kecil di tangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya tengah memegang pena yang bergerak di antara jemarinya.
Sebagai gadis muda yang memang berada di masa pubertas, tentu saja aku tidak melewatkan pemandangan di hadapanku ini. Untuk sekelas siswa biasa, laki-laki ini cukup rupawan. Walaupun hanya salah satu sisi wajahnya saja yang terlihat, tapi aku tahu, laki-laki ini cukup oke kalau diajak jalan.
Sayangnya, waktu entah kenapa berlalu begitu cepat saat kita berada di momen yang menyenangkan. Di saat aku masih belum sepenuhnya puas mengagumi ciptaan Tuhan, bus tujuanku malah tiba. Seolah menyuruhku untuk berhenti menjadi penguntit laki-laki tersebut.
Karena sudah lelah dan ingin segera tidur di atas kasurku, aku pun merelakan kesempatan yang entah kapan akan terjadi lagi itu. Apalagi aku tahu, besok kalaupun bertemu lagi, aku tidak akan sepenuhnya menyadari orang tersebut.
Kelemahanku yang lain adalah, aku tidak terlalu pandai mengingat seseorang yang baru pertama kali aku temui. Apalagi dalam kasus laki-laki ini, aku hanya melihat tampak sampingnya saja. Benar-benar tidak sesuai dengan novel-novel remaja yang pernah aku baca di perpustakaan.
***
Akhirnya cerita ini aku update lagi. Jujur saja, aku hampir menyerah dengan kisah ini karena aku merasa benar-benar stuck. Tapi terima kasih untuk teman-temanku di jurusan Teen Fiction yang membuatku ingin menumbuhkan semangat lagi dengan cerita ini.
Semoga aku bisa menamatkan cerita ini. Karena jujur saja, ide cerita ini sudah lama mau aku tuangkan ke dalam tulisan. Cuma ya itu tadi, mungkin aku sepenuhnya belum bisa balik ke dunia menulis, walaupun aku ingin.
Tapi, semoga nggak begitu, ya. Aku masih pengen nulis dan ada beberapa hal yang belum aku capai.
Omong-omong ada yang kayak Davina? Suka sama seseorang padahal nggak tahu siapa orangnya? Kalau ada, berarti cerita ini pas banget buat kalian. Yang nggak punya kisah kayak ini pun, bukan berarti nggak pas buat kalian ya. Intinya untuk siapa pun itu, aku sangat senang kalau ada yang baca dan suka sama cerita ini.
Terus tunggu update terbaru dari Your Poem, ya.
Xoxo
Winda Zizty
2 Agustus 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top