Delapan Belas

Rasanya seperti terbangun dari mimpi. Sampai saat ini, aku tidak menyangka jika Taufan Malik adalah Wind. Bahkan dia adalah sosok yang aku sukai secara nyata. Tidak hanya seseorang yang aku kagumi karena karyanya begitu menarik hatiku.

Aku tentu saja masih tidak percaya akan pengakuan Taufan Malik. Namun laki-laki itu meyakinkanku dengan memperlihatkan draft puisi yang ia tulis di buku catatannya. Apalagi sekilas, aku juga membaca puisinya yang aku yakini akan dipajang di mading Jum'at selanjutnya. Aku tidak melihatnya secara jelas, karena untuk halaman tersebut, Taufan Malik langsung menutupnya dan memintaku agar membaca puisi yang lain.

"Kamu yakin ngebolehin aku baca puisi kamu di catatan ini?" tanyaku seraya membolak-balik halaman. Ada beberapa bekas coretan pensil yang dihapus, sebelum ditimpa dengan tinta pena. Poin tambahan yang meyakinkanku kalau Taufan Malik benar-benar Wind.

"Tentu saja yakin."

"Kenapa bisa gitu?" tanyaku dengan hati yang berdebar-debar menanti jawaban. Entah kenapa, aku sudah merasa ge-er sendiri. Membayangkan jawaban lain yang tentu saja akan membuat dadaku semakin berdebar.

Namun, jawaban dari Taufan Malik tentu berbeda dari yang aku harapkan. Seketika saja, aku merasa kecewa. Meski begitu, tetap saja dadaku berdebar kencang karena bisa berada sedekat ini dengan Taufan Malik. Bahkan ini kali pertama aku bisa memandangi wajah Taufan Malik dari jarak dekat tanpa takut ia akan menaruh curiga padaku.

"Karena kamu orang pertama yang mengagumi karyaku." Taufan Malik tersenyum begitu cerah saat mengatakannya. "Kamu yang pertama mengakui karyaku dan mengatakan menyukainya. Walaupun kamu tidak tahu siapa penulisnya, tapi kamu tetap dengan bangga mengatakan kalau kamu suka puisi yang ia tulis."

"Cuma itu alasannya?" korekku lebih dalam. Masih berusaha ada secuil harapan agar perasaanku bisa lebih lega.

Alih-alih memberi makan egoku yang sedikit naif, Taufan Malik lagi-lagi membuatku berkecil hati. Seolah telah menggambar garis tak kasat mata di antara aku dan dia. Menyuruhku agar tidak melewati batas garis yang sudah ia buat.

"Iya, hanya itu saja," katanya. "Aku sungguh bersyukur karena kamu menyukai puisi-puisiku."

Aku mencoba tersenyum. Di antara debaran jantungku saat berada di dekatnya, ada sedikit perih yang tercipta karena harapanku tidak sesuai kenyataan.

"Sejak kapan kamu suka menulis puisi?" tanyaku. Mencoba mengalihkan rasa perih yang perlahan merayapi dadaku. Aku berusaha berpikir jernih dan meyakinkan diri kalau Taufan Malik tidak berniat menyakitiku. Bahkan Taufan Malik juga belum tentu menyadari perasaanku terhadapnya.

Taufan Malik menengadah, menatap langit. Kulihat senyum tipis di wajahnya. Saat ini, entah kenapa, aku merasa Taufan Malik seperti sedang berada di dunianya sendiri. Sebuah dunia yang tidak bisa aku masuki karena ia belum memperbolehkan aku untuk memasuki. Atau mungkin, sama sekali tidak ia perbolehkan aku untuk memasukinya.

"Mungkin sejak saat itu," ujarnya, sedikit tidak aku mengerti.

"Sejak saat itu?" ulangku. "Kapan?"

"Ah, sebentar lagi sudah mau bel. Kita kembali ke kelas, yuk," ajak Taufan Malik yang langsung berdiri dari duduknya.

Aku melihat sekeliling. Benar saja, para siswa di taman perlahan mulai pergi satu per satu. Tidak lama kemudian, seperti yang Taufan Malik katakan, bel masuk pun berbunyi. Menyudahi waktu istirahat, sekaligus momen kebersamaanku dengan Taufan Malik.

***

Aku belum memberitahu Inggit perihal aku yang sudah mengetahui siapa sosok di balik nama Wind. Begitupun dengan laki-laki yang aku sukai. Meski berulang kali Taufan Malik muncul di dekat kami, aku tidak memberitahu Inggit jika laki-laki itu adalah orang yang aku sukai. Apalagi, ruang kelas kami ternyata saling berhadapan pintu.

Aku juga sekarang lebih sering berpapasan dengan Taufan Malik dan hanya saling melempar senyum saat bersitatap. Entah Inggit menyadari hal tersebut atau tidak, karena saat aku saling melempar senyum dengan Taufan Malik pun, Inggit ada di dekatku.

Mungkin jika momennya sudah pas, aku akan memperlihatkan Inggit siapa laki-laki yang aku suka. Jika saat itu tiba, aku akan dengan bangganya menceritakan kisah cinta pertamaku itu pada Inggit. Menceritakan momen kebersamaan kami di sekolah yang seringnya kami habiskan di perpustakaan. Tentu saja puisi sebagai tali penghubungnya.

Meski hampir semua hal sudah aku ceritakan pada Inggit, tidak tahu kenapa untuk masalah Taufan Malik, aku masih ingin menyimpan bagian-bagian pentingnya untuk diriku sendiri. Mungkin karena ini adalah kali pertamanya aku menyukai seseorang, makanya aku terlalu malu untuk membicarakannya pada Inggit. Sekalipun perempuan itu adalah sahabatku sendiri.

Untuk saat ini, aku hanya berbagi beberapa informasi terkait Taufan Malik. Tentang Taufan Malik adalah kakak kelas dan tidak sengaja bertemu denganku di perpustakaan. Kami yang sama-sama menyukai puisi. Tentu saja aku memberitahu Inggit jika aku dan Taufan Malik sering bertemu tidak sengaja di perpustakaan.

"Kalau gue ngintilin elo di perpus, gimana? Biar gue tahu gimana bentukannya si Malik ini," ucap Inggit, saat aku berada di kamarnya untuk mengerjakan PR.

Aku langsung menyilangkan tangan di depan dada sembari menggeleng. Memberitahukan Inggit bahwa aku menolak usulan tersebut.

"Pokoknya jangan ganggu waktu kencan gue sama Malik!" tolakku keras.

"Dih, udah dibilang kencan aja," goda Inggit.

"Pokoknya jangan! Gue nggak mau kalau suasananya jadi canggung kalo lo tiba-tiba dateng dan gue ngenalin elo sebagai sahabat gue."

"Ya, bagus dong. Jadi kalau lo disakitin sama dia, gue bakal maju duluan buat ngebela elo."

"Nggak! Pokoknya jangan!"

"Iya deh, iya. Gue nggak bakal ganggu momen kencan kalian," ucap Inggit, masih dengan nada jail. Sekeras apa pun aku menolak usulan Inggit tersebut, maka semakin menjadi-jadi ia menggodaku.

"Nanti, kalau gue rasa udah saatnya, kalian bakal gue kenalin kok. Tapi bukan sekarang. Karena kalau sekarang gue ngenalin elo ke Malik, takutnya dia bakalan tahu perasaan gue ke dia. Kalau itu beneran terjadi, gue nggak sanggup buat menghadapi dia ke depannya," tuturku.

Aku tahu Inggit mengerti maksudku. Karena itu, Inggit tidak lagi membahas perihal bertemu Taufan Malik di perpustakaan atau mengganggu waktuku dengan laki-laki itu. Inggit sangat pengertian dengan memberikan aku waktu agar bisa lebih dekat lagi dengan Taufan Malik.

Tentu saja, Inggit tidak akan merusak rencana tersebut dengan tiba-tiba muncul di hadapan kami berdua dan memperkenalkan dirinya sebagai sahabatku. Walaupun aku tahu Taufan Malik memiliki sifat yang baik dan ramah pada siapa saja, aku tidak mau ia salah paham padaku.

"Jadi, gimana perkembangan hubungan lo sama si Malik-Malik ini?" tanya Inggit seraya mengambil sebungkus keripik kentang yang sudah satu paket dengan saus cocolannya.

"Ya, nggak yang gimana-gimana juga. Kalau kami papasan di koridor, kami bakal saling sapa. Kalau ketemu di perpustakaan juga gitu. Ada kalanya kami ngobrol, tapi kalau yang sepi banget gitu di perpustakaan, kami bakal fokus sama bacaan masing-masing."

"Kenapa gitu?" tanya Inggit dengan nada heran.

"Kan lo tahu sendiri kalo di perpustakaan dilarang berisik. Kalau gue ngobrol sama dia pas suasana lagi hening banget, bisa-bisa kami ganggu yang lain. Bakal suara sekecil apa pun bisa ganggu yang lain. Makanya kami cuma bisa ngobrol kalau perpustakaan lumayan rame," jelasku.

"Dih, nggak asyik banget kencan lo berdua," cibir Inggit tidak suka.

"Emangnya lo mau gimana? Gini aja gue udah seneng kok," sahutku.

"Pantes aja hubungan kalian gini-gini aja. Ternyata kalian emang cuma bahas hal-hal yang nggak penting."

"Tapi bagi gue itu penting kok," selorohku. "Hal-hal yang nggak penting buat lo, nggak begitu menurut orang lain, Nggit."

"Iya, lo bener. Tapi setelah berbulan-bulan lo kenal dia, apa lo tahu informasi pribadi tentang dia?"

Inggit menatapku lurus. Membuatku terpaku ke arahnya tanpa berkedip.

"Kan bisa pelan-pelan, Nggit. Lagian gue juga nggak buru-buru kok sama dia," ujarku. Tidak tahu kenapa, saat ini aku ingin sekali membela Taufan Malik di hadapan Inggit. Aku tidak mau Taufan Malik dicap jelek di mata Inggit dan membuatku sedikit menyesali hubungan kami yang memang terkesan jalan di tempat.

"Lo tahu dia tinggal di mana?" tanya Inggit.

Aku tahu Inggit menanyakan hal tersebut agar bisa menyadarkanku ke mana arah tujuan hubunganku dan Taufan Malik. Namun aku masih bersikeras membela Taufan Malik tanpa aku sadari.

"Tahu kok. Cuma itu rahasia dong. Masa gue kasih tahu ke elo, sih?"

Inggit menghela napas panjang. Menatapku sambil menggeleng. Seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja aku lakukan. Saat keripik kentang yang dimakannya sudah habis dan perempuan itu selesai membersihkan tangan dengan tisu, Inggit menatapku lekat-lekat. Ekspresinya kini berubah drastis.

"Gue tahu, orang yang lagi jatuh cinta bakalan sulit banget dinasehatin. Orang yang jatuh cinta bakalan jadi bego. Tuli akan omongan orang-orang di sekitar dan buta dengan apa-apa yang seharusnya dia lihat." Inggit memberi jeda beberapa detik sebelum menambahkan, "Tapi, Vin, sebagai sahabat lo, gue nggak mau lo jadi bego karena cinta dan berakhir kayak kakak sepupu lo."

Lagi-lagi Inggit membahas kakak sepupunya. Laki-laki yang menurut cerita Inggit berubah menjadi bodoh karena mencintai seorang perempuan hingga merelakan kakinya patah demi menolong perempuan tersebut.

"Sampai saat ini, gue masih nggak ngerti kenapa orang-orang yang jatuh cinta bisa berubah segitunya karena orang yang katanya mereka cintai. Gue bahkan masih menyalahkan kakak sepupu gue dan cewek yang dia suka gara-gara hal ini. Gue nggak habis pikir, kenapa kakak sepupu gue dengan begonya nolongin cewek yang dia suka dan mengorbankan dirinya sendiri," ungkap Inggit.

Aku melihat setitik air mata di sudut mata Inggit. Namun air mata itu tidak kunjung jatuh dan hanya bisa menggantung di sudut mata. Seolah memberitahuku bahwa, hati Inggit sama seperti air mata tersebut. Tidak akan mudah jatuh walau sekuat apa pun gaya gravitasi yang ada di bumi ini.

"Gue nggak bakal ngulangin hal yang sama kayak kakak sepupu lo, Nggit. Lo tenang aja, gue bisa jamin hal itu." Aku berjanji sepenuh hati. Berharap bisa menenangkan Inggit.

Inggit menggeleng. Menepis tanganku yang menggenggam tangannya.

"Nggak, Vin. Lo nggak ngerti karena lo lagi jatuh cinta. Coba lo bilang ke gue, siapa orang yang bisa berpikir realistis saat jatuh cinta? Nggak ada, Vin. Nggak ada!"

"Gue, Nggit. Gue bisa kok bersikap rasional meski sedang jatuh cinta."

Aku berkali-kali berusaha meyakinkan Inggit, tetapi ia masih bersikeras.

"Gue nggak tahu apa yang sebenernya terjadi sama kakak sepupu lo, tapi, lo percaya aja sama gue. Gue janji, kalaupun cinta pertama gue ini nggak berhasil, gue nggak akan jadi bego, bisu, tuli, ataupun buta. Kalau itu terjadi, tolong lo marahin gue. Cubit, pukul, atau lo maki gue sekalian biar gue nggak jadi bego."

"Gue nggak mau kejadian kakak sepupu gue terulang ke elo, Vin. Apalagi gue tahu kalo elo ...."

Inggit tidak melanjutkan ucapannya. Meski aku penasaran setengah mati dengan kalimat lanjutannya, tetapi aku tidak memaksa Inggit untuk berbicara. Apalagi saat ini, Inggit memelukku sangat erat. Seolah tidak rela melepaskan aku ke medan perang yang dinamakan jatuh cinta.

"Kakak sepupu gue terlalu baik jadi cowok. Dia terlalu ramah ke semua orang sampai akhirnya malah suka sama cewek itu."

Inggit perlahan melepaskan pelukannya. Matanya sudah memerah, tetapi tidak kulihat sedikit pun jejak air mata di wajah Inggit.

"Gue nggak mau kejadian kakak sepupu gue kembali terulang. Apalagi setelah denger cerita elo tentang Malik, gue semakin nggak suka. Bukan nggak suka lo bahagia, Vin, tapi gue ngerasa kakak sepupu gue itu nggak jauh beda sama si Malik-Malik ini."

"Nggak usah khawatir, Nggit. Apalagi mereka orang yang berbeda. Ini cuma kekhawatiran elo aja karena kejadian yang menimpa kakak sepupu lo itu," ucapku. "Lagian, kakak sepupu lo kenapa, sih? Kok bisa kecelakaan? Emang kayak gimana nolongin cewek yang dia suka itu sampe bisa patah tulang?"

Inggit terlihat enggan untuk bercerita, aku juga tidak akan memaksa. Namun tidak disangka, setelah menenangkan diri, Inggit akhirnya mau bercerita. Berbagi kisah denganku mengenai sang kakak sepupu dan perempuan yang disukainya.

"Kakak sepupu gue suka sama cewek. Gue sebenarnya juga kenal sama tu cewek, cuma nggak tahu kalau Kak Opan—kakak sepupu gue—suka sama dia. Gue juga baru tahu pas gue jenguk Kak Opan yang habis operasi di rumah sakit," tutur Inggit.

Aku masih diam menyimak. Menanti Inggit melanjutkan ceritanya.

"Singkat cerita, saat itu jam pulang sekolah, tu cewek jalan sendirian dan akhirnya digangguin preman. Nggak tahu kenapa, malah Kak Opan yang lewat di sana. Karena suka sama tu cewek, Kak Opan nggak ragu buat bantuin. Sampe akhirnya Kak Opan dikeroyok sama preman itu dan naasnya, malah kelindes mobil yang lewat."

Aku menutup mulutku tidak percaya. Saat cerita itu mengalir, aku langsung membayangkan kejadian tersebut. Jika aku yang ada di lokasi kejadian, aku tidak bisa membayangkan betapa sakitnya kakak sepupu Inggit saat itu. Tidak bisa juga membayangkan betapa terkejutnya perempuan yang disukai kakak sepupu Inggit itu saat melihat kecelakaan yang terjadi.

"Gue tahu, dengan sifat Kak Opan, siapapun orangnya, pasti dia bakal bantuin. Gue nggak bisa nerima, tu cewek malah jadian sama orang lain dan nolak Kak Opan. Gue emang nggak bisa ikut andil sama perasaan orang, tapi kalau inget Kak Opan yang harus operasi dan patah hati karena ditolak, gue jadi benci dan kesel sama tu cewek."

Aku bisa merasakan kobaran amarah di hati Inggit. Namun tidak ada hal lain yang bisa aku lakukan selain memeluk Inggit untuk menenangkannya.

"Karena itu, Vin. Gue mohon, jangan mengulang kesalahan kakak sepupu gue. Lo boleh jatuh cinta sejatuh-jatuhnya, tapi jangan sampai lo kehilangan akal sehat."

Aku mengangguk.

"Iya, gue janji nggak bakal jadi bego karena cinta."



***


Sebenernya kalau aku nggak absen nulis beberapa hari, cerita ini mungkin udah selesai. Tapi nggak masalah, karena cerita ini akan aku selesaikan dalam waktu dekat.


Aku kayaknya nggak jadi nulis sampe lebih dari 20 bab. Karena aku berencana nulis sampe 20 bab aja. Jadi itu artinya masih ada sisa 2 bab lagi dan Your Poem benar-benar selesai.


Jangan lupa komen dan vote untuk cerita ini, ya. Nantikan juga karya-karyaku selanjutnya.


xoxo


Winda Zizty

22 Agustus 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top