Delapan
Meski sudah libur beberapa hari, tetapi masih saja aku enggan bangun dari tidurku untuk bersiap pergi ke sekolah. Masa-masa Ujian Nasional telah berakhir, aku juga sudah melihat ketegangan di wajah Kak Gisel sudah hilang. Kakak satu-satunya yang aku miliki ini sudah bisa lebih rileks menjalani hari.
Kini, sebagai siswa kelas satu SMA, aku pun harus kembali ke sekolah. Menuntut ilmu dan bertemu dengan teman-teman sebaya yang berbagi nasib di tempat pendidikan yang sama.
Walaupun sedikit bangun kesiangan, aku tetap tidak terlambat tiba di sekolah. Hanya saja, kali ini bel masuk berbunyi setelah lima belas menit aku tiba di sekolah. Sebenarnya bukan bel masuk juga, karena kami masih harus melakukan Upacara Bendera sebelum akhirnya benar-benar belajar di kelas.
Aktivitas belajar dan mengajar telah berjalan seperti biasanya. Sangat normal seolah tidak ada kesibukan menjalani Ujian Nasional. Namun Ujian Nasional masih meninggalkan jejak. Salah satu contohnya adalah nomor ujian para peserta yang masih tertempel di atas meja.
Tidak seluruh meja masih tertempel nomor ujian, karena ada beberapa siswa yang sengaja melepaskan nomor ujiannya setelah Ujian Nasional berakhir. Aku tidak tahu Kak Gisel masuk ke golongan yang mana. Apa termasuk ke golongan siswa yang membiarkan nomor ujiannya masih tertempel di meja, atau golongan satunya yang melepaskan nomor ujiannya?
Hubunganku dengan Kak Gisel bisa dikatakan dekat, tetapi di sisi lain juga dikatakan tidak dekat. Ada kalanya, Kak Gisel seolah bisa aku gapai dan aku ajak bercengkrama serta bermain. Namun ada di mana aku merasa sosok Kak Gisel seperti saudara yang sulit digapai, apalagi didekati.
Namun yang pasti, baik aku dan Kak Gisel sama-sama menghargai batas privasi masing-masing. Tidak akan mencampuri urusan orang lain, jika urusan tersebut sama sekali tidak berhubungan dengannya.
Salah satu urusan Kak Gisel yang tidak pernah aku ganggu adalah perihal hubungan asmaranya. Mungkin Kak Gisel menganggap aku terlalu muda untuk berurusan dengan asmara, karena itu ia tidak pernah membahas apa pun denganku. Apa pun itu, aku menghargai keputusan Kak Gisel.
Apalagi aku memang baru menginjak bangku SMA. Walaupun tidak bisa dikatakan baru juga, karena sebentar lagi aku akan menghadapi ujian kenaikan kelas. Hal yang akhirnya menandai bahwa aku akan menjadi siswa senior di sekolah.
Saat pergantian mata pelajaran pertama ke mata pelajaran kedua, rintik hujan mulai terdengar dari luar jendela. Aku yang memang duduk di dekat jendela bisa langsung melihat saat tetesan air itu jatuh dari langit dan menyapa rerumputan.
Sayangnya, kelasku berada di lantai dasar, hingga tidak bisa menikmati secara syahdu hujan yang mulai berdatangan. Namun dari jendela kelasku, aku bisa melihat siswa kelas lain tengah berolahraga.
Dikarenakan hujan telah turun, para siswa pun mulai berlarian mencari tempat berteduh. Teriakan heboh yang tentu saja berasal dari perempuan terdengar begitu aku membuka sedikit celah jendela.
Untungnya saat ini bukan kelasku yang sedang berolahraga di lapangan. Jadi aku tidak perlu berlarian seperti siswa-siswa di luar yang ingin menghindari hujan dan berteduh.
Untuk sejenak aku menikmati hujan yang turun di luar sana. Aku bahkan mengulurkan tanganku dari celah jendela untuk bersapa langsung dengan rintik hujan. Setelah merasa cukup, aku yang hendak menutup jendela langsung terhenti.
Meski hujan di luar sana sudah mulai turun dengan deras, tetapi para laki-laki yang saat ini tengah melaksanakan pelajaran olahraga, sepertinya tidak terganggu sama sekali dengan turunnya hujan. Terbukti saat sepuluh anak laki-laki kini berlarian menuju lapangan dan mulai bermain bola kaki.
Aku tidak tahu saat ini kelas berapa yang sedang berolahraga. Tidak tahu juga ada berapa tepatnya laki-laki yang menjadi penghuni kelas tersebut. Namun melihat mereka begitu bersemangat bermain bola di tengah hujan, mau tidak mau perhatianku pun teralih.
Sepertinya Tuhan memang sedang memberikan izin kepadaku untuk menonton para siswa itu bermain bola, karena saat ini guru mata pelajaran yang seharusnya mengajar di kelas, ternyata tengah menjalani diklat di luar kota. Guru tersebut hanya memberikan kami tugas menyalin catatan dan beberapa latihan soal yang harus dikumpul hari ini juga.
Menyalin catatan bisa aku lakukan nanti, mengerjakan latihan soal juga demikian. Saat ini, mumpung Tuhan memberikan aku kesempatan untuk menonton permainan para laki-laki di luar sana, aku tentu tidak akan menyia-nyiakannya.
Walaupun aku sama sekali tidak mengerti dengan bola kaki, tetapi bermain di tengah hujan membuatnya menjadi semakin menarik. Aku mencoba menebak-nebak, berada di tingkatan berapa para siswa yang saat ini tengah berolahraga di luar sana.
Aku menajamkan pandangan. Berusaha menemukan wajah-wajah familier di sana. Pemindaianku pun berhasil saat mendapati wajah salah satu kakak pendamping MOS-ku berada di sana. Kak Bila yang pernah menjadi kakak pendamping MOS di kelasku saat ini tengah melakukan lompat tali di koridor dekat lapangan. Saat ini ia mengenakan pakaian olahraga sekolah yang membuatku yakin 100% jika kelasnya yang saat ini sedang berolahraga.
Jika Kak Bila termasuk di antara para siswa yang sedang berolahraga di luar sana, maka sudah pasti laki-laki yang bermain bola kaki di lapangan tentu saja teman sekelas Kak Bila. Hal tersebut menandakan jika saat ini siswa kelas 2 IPA 3 yang sedang berolahraga.
Saat MOS berakhir, aku mengirimkan surat pada Kak Bila. Pada saat itu, kami memang disuruh mengirimkan surat pada kakak pendamping yang ingin dijadikan kakak angkat setelah MOS. Karena kesan Kak Bila cukup baik di mataku, aku pun mengirim surat yang ditujukan untuk Kak Bila.
Setelahnya, aku dan Kak Bila berteman cukup dekat. Tentu saja hubungan kami sebagai senior dan junior berlangsung cukup baik. Kak Bila juga cukup responsif saat aku bertanya beberapa hal tentang sekolah dan mata pelajaran yang tidak aku ketahui. Bahkan beberapa buku cetak dipinjamkan langsung oleh Kak Bila untukku agar aku bisa belajar dengan baik.
Kadangkala, aku sering berpikir alangkah baiknya jika Kak Bila yang menjadi kakak kandungku. Namun bukan berarti Kak Gisel bukan kakak yang baik untukku. Hanya saja, aku lebih merasa nyaman jika berada di dekat Kak Bila dan berbagi cerita dengannya, ketimbang di saat aku berada di dekat Kak Gisel.
Apalagi dengan perbedaan yang begitu kentara di antara aku dan Kak Gisel. Membuatku semakin tidak percaya diri, tanpa Kak Gisel melakukan apa pun. Bahkan mungkin, Kak Gisel sama sekali tidak bermaksud dan tidak tahu jika aku memiliki perasaan rendah diri seperti ini terhadapnya.
Setelah mendapatkan jawaban yang aku inginkan, aku memutuskan untuk fokus ke tugas yang diberikan guru mata pelajaranku. Namun lagi-lagi pikiranku teralihkan saat aku tidak sengaja menangkap wajah familier lain yang saat ini tengah bermain bola kaki di lapangan.
Meski rambutnya cukup basah karena hujan, aku tetap bisa mengenalinya. Aku berusaha menajamkan mataku. Mencari tahu lebih jelas apa orang yang aku lihat ini benar-benar dia.
Mataku terbeliak saat meyakini bahwa yang aku lihat saat ini benar-benar Taufan Malik. Ya, Taufan Malik yang itu! Laki-laki yang aku lihat di perpustakaan sedang membaca buku tentang puisi. Juga laki-laki yang duduk bersebelahan denganku di bus dan juga memberikan permen padaku.
Astaga! Bahkan permen pemberiannya pun masih belum aku makan hingga detik ini.
Aku sama sekali tidak menyangka jika Taufan Malik ternyata berada di kelas yang sama dengan Kak Bila. Padahal aku cukup sering berkunjung ke kelas Kak Bila, tetapi tidak pernah sekalipun mataku menangkap sosok Taufan Malik.
Namun, kenapa baru sekarang aku menyadari radar akan keberadaan Taufan Malik? Padahal sudah hampir setahun aku bersekolah di sini, tetapi baru-baru ini aku mengetahui ada siswa bernama Taufan Malik di sekolahku. Apalagi setelah aku mengetahui bahwa laki-laki itu teman sekelas Kak Bila yang berarti Taufan Malik adalah kakak kelasku.
"Vin, liatin apa, sih?" tanya Yuni, teman semejaku.
Aku tersentak kaget saat mendengar suara Yuni. Ternyata begini rasanya dikejutkan seseorang saat tengah fokus pada hal lain. Yuni yang tidak kunjung mendapat jawaban dariku, kini mulai mengikuti arah pandanganku.
Sedikit gelagapan aku menutup jendela dan menghalangi arah pandangan Yuni dengan kepalaku. Sedikit gelagapan aku menjawab, "Liatin hujan di luar."
"Oh gitu." Yuni menerima begitu saja jawabanku.
"Iya, hehe."
Entah kenapa aku merasa seperti maling yang tertangkap basah. Atau seperti seseorang yang ketahuan sedang mengintip seseorang. Untungnya, Yuni tidak bertanya lebih lanjut dan kembali menjalankan tugas yang sudah diberikan pada kami.
Setelah Yuni kembali fokus pada kegiatannya, aku melempar pandangan ke luar sekali lagi. Memandangi sosok Taufan Malik yang sedang tertawa bersama teman-temannya.
***
Halo! Aku update lagi! Adakah yang nungguin?
Sebenarnya aku nggak mau update hari ini karena mager. Tapi kalau aku absen nulis, aku takutnya bakal absen lagi hari-hari berikutnya. Jadi mumpung aku masih bisa nulis setiap hari, aku akan nulis sampai cerita ini selesai.
Karena rencana awalnya cerita ini adalah novelet dan aku bakal nulis yang ringan-ringan aja, Your Poem bakal aku tulis sekitar 25 Bab aja. Biasanya kan aku nulis sampai 30 Bab. Namun untuk Your Poem, bakal lebih sedikit dari minimal bab biasanya.
Kalau beruntung, aku bisa nulis sampai 30 bab juga. Nggak tahu deh bakal berapa bab. Namun yang pasti, bakal lebih dari 20 bab.
Tungguin aja, ya.
Btw, hari ini tanggalnya cantik.
xoxo
Winda Zizty
08 Agustus 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top