Chapter 06 : The Man's dream
Bakugou masuk kedalam kamar Todoroki. Canggung dan kikuk di rasakannya. Sebelum di persilahkan duduk oleh sang pemilik kamar, ia mengamati sekelilingnya. Ruangan tersebut mempunyai luas yang sama dengan kamarnya sendiri namun suasananya sangat berbeda.
Bakugou masih tidak habis pikir. Bagaimana bisa Todoroki merubah kamarnya menjadi ruangan bergaya ala tradisional jepang? Lantai tatami, lemari kayu, lampu kertas, pintu geser, dan sebagainya. Kamar Todoroki sama sekali tidak menyerupai kamar anak-anak lain. Terlebih lagi usaha macam apa yang dilakukan makhluk setengah-setengah itu untuk merombak total kamarnya? Sampai sekarang belum ada yang mengetahuinya.
"......ini pertama kalinya aku kemari," batin Bakugou yang masih asyik menoleh kesana kemari. Tanpa disadarinya, Todoroki tersenyum melihatnya. Lalu pemuda bersurai dwi warna itu duduk tepat di sebelahnya sambil menyodorkan sebuah buku. "Ini buku yang authornya sama dengan yang kau bawa," ujar Todoroki.
Bakugou menerimanya. "Ternyata memang kau yang bawa huh," komennya sembari melirik sinis pemuda di sebelahnya. Todoroki masih memasang senyuman tipis dengan sinar mata penuh harap. Bakugou menaikan satu alisnya, "Apa yang kau inginkan sekarang?" tanyanya judes, langsung pada intinya.
"Hmm....." Todoroki berdehem panjang, entah memang sedang berpikir atau hanya pura-pura----yang pasti hal itu membuat Bakugou mulai jengkel melihatnya.
"Bagaimana kalau......." Jeda. Kalimat Todoroki masih menggantung seraya tangannya ia letakkan di atas tangan Bakugou. "Malam ini kau menginap di sini?" lanjutnya setelah saling menatap beberapa saat.
"Ha!!?" Bakugou memekik seraya menarik tangannya dengan cepat. Matanya melotot ingin mengancam namun rona merah di pipinya malah memeliki efek yang sebaliknya. "A-a-a apa kau gila!!?" serunya lalu mendorong pundak Todoroki yang mencoba merangkak mendekatinya.
"Tapi Bakugou. Ini hari pertama kita jadian," balas Todoroki berwajah polos. Pemuda itu terus mendekat, tidak menyerah meski Bakugou mengancamnya dengan ledakan-ledakan kecil dari tangan pemuda ber-quirk ledakan tersebut.
"Justru karena kita baru jadian makanya kubilang kau sudah gila. Brengsek!!!" Karena ancaman ledakannya tidak mempan. Bakugou mengepalkan kedua tangannya. "Kau ini dari generasi mana sih!!!?" teriaknya tepat di depan wajah datar Todoroki----akhirnya si pemilik kamar berhasil menyentuh pundak kekasihnya yang keras kepala.
".........kau tidak mau?" Todoroki menghembuskan nafas kecewa. Pemuda tampan itu kini terlihat lebih seperti seekor anjing yang di terlantarkan oleh majikannya. Hanya iblis yang tega mengabaikannya---siapa lagi iblis itu kalau bukan seorang Bakugou Katsuki?
"AAKH MENYEBALKAN SEKALIII!!!!" Dia duluan yang mengatai orang lain gila. Justru Bakugou sendiri yang kini terserang kegilaan tersebut. Remaja pirang itu memukul keras lantai tatami yang di dudukinya, demi meluapkan emosinya yang sudah tak tertahankan----masih jauh lebih mending daripada menonjok wajah rupawan kekasih barunya kan? :)
Setelah puas menyalurkan emosinya dengan cara bar-bar tersebut. Bakugou bangkit berdiri dan berjalan menuju pintu keluar, sebelum membuka pintunya ia menoleh ke belakang. "Aku mau ganti baju dulu. Setelah membuatku kesal. Jangan berani-berani mengunci pintu kamarmu!!" ancamnya lalu pergi begitu saja. Meninggalkan Todoroki yang tertegun dengan latar belakang bunga-bunganya.
Pintu kamar di banting. Daripada mempermasalahkan nasib pintunya, Todoroki langsung bergegas mengganti seragamnya. Ia tidak sabar menunggu Bakugou kembali, sudah lama dirinya ingin berinteraksi lebih banyak dengan pujaan hatinya itu. Siapa sangka keinginannya bisa terkabulkan secepat ini?
OXO
Bakugou mengganti bajunya sambil terus menggerutu. Walau dalam keadaan emosian, ia masih menyempatkan diri menggantungkan baju seragamnya dengan hanger dan melipat rapi celananya.
Setelah itu ia menjejalkan buku-buku yang di perlukannya ke dalam tas sekolahnya, sekalian dia bawa selimut dan bantalnya. Kalau diingat kembali, ini pertama kalinya ia menginap di kediaman orang lain selain keluarga Midoriya.
Sering karena urusan keluarga. Orang tuanya menitipkan Bakugou ke rumah Midoriya. Tidak seperti anak-anak mereka, orang tua mereka berdua sangatlah akrab. Padahal sudah berulang kali Bakugou menolak ibunya yang keras kepala----namun sampai kapanpun. Midoriya dan Bakugou sudah terlanjur terikat oleh kutukan bernama teman dari masa kecil.
"Lalu apa hubunganku dengan si bangsat setengah-setengah itu sekarang?" Tentu Bakugou sendiri sudah mengetahui jawabannya. Wajahnya mulai memerah memikirkannya. Salahkan hati nuraninya yang tak tega untuk mengecewakan Todoroki----dengan begini. Mau tak mau harus diakuinya. Bakugou secara suka rela bersedia menginap di tempat kekasihnya.
Begitu keluar dari kamarnya. Bakugou di sambut oleh Kirishima, Sero dan Kaminari yang kebetulan lewat depan kamarnya. Mereka bertiga menatap binggung ke arah bawaannya.
"Mau kemana?" tanya Kirishima mewakili teman-temannya.
"Bukan urusan kalian," jawab Bakugou acuh tak acuh. Malas untuk menjelaskan situasinya, apalagi mana mungkin dia mengaku pada teman-temannya kalau dia akan menginap di kamar Todoroki begitu saja kan? Dia tidak mau ada gosip aneh yang menyebar karenanya.
"......ke kamar Todoroki?" Sayangnya, tanpa ada penjelasan apapun darinya tebakan Sero langsung tepat sasaran. "Tadi aku dengar teriakanmu dari lantai 5," jelasnya.
Bakugou memutar bola matanya dengan malas. Ternyata memang, tinggal di asrama membuatnya susah untuk menjaga privasi. Tiada pilihan selain menyerah. Tidak ada yang bisa dikatakannya untuk menyangkal tebakan Sero. "Begitulah," jawab Bakugou singkat lalu berjalan meninggalkan ketiga temannya yang kebingungan akan tingkahnya yang lebih toleran ketimbang biasanya.
Begitu sampai di depan kamar Todoroki. Bakugou langsung membuka pintu dan masuk seenaknya tanpa mengucapkan permisi ataupun mengetuk pintu. "Apa yang kau lakukan?" tanya Bakugou. sesaat setelah menginjakan kaki di kamar tersebut.
Todoroki sedang memakai kemeja putih polos, di tangannya ia membawa sebuah gunting yang ia arahkan ke belakang lehernya, dengan tujuan ingin memotong lebel baju. Tapi caranya mengarahkan ujung gunting terlihat sangat berbahaya.
"Kenapa kau tidak memotongnya sebelum memakai bajumu?" Bakugou menghela nafas lelah. Bukannya Todoroki termasuk dari murid-murid elit? Lalu bagaimana bisa ia melakukan hal-hal idiot seperti itu dengan santainya?
"Baju ini dikirim dari rumahku. Jadi kukira sudah tidak ada lebelnya," jawab Todoroki berwajah datar. Ia baru lebih berekpresi setelah Bakugou mendekatinya dan merebut gunting dari tangannya.
"Kemarikan sini idiot!" titah Bakugou. Dengan cekatan ia memotong benang tipis di bagian kerah belakang baju Todoroki. Setelah selesai ia langsung mengembalikan gunting tersebut ke pemiliknya.
"Oh. Terima kasih," ucap Todoroki yang hanya di balas anggukan singkat oleh Bakugou. Diletakannya gunting itu di atas meja belajarnya, matanya yang memiliki warna berbeda terus mengikuti gerak-gerik Bakugou. Kekasihnya itu duduk bersandar ke tembok lalu mulai membuka bukunya.
"Kau boleh pakai meja belajarku," ujar Todoroki mengingatkan. Mereka berdua sama-sama murid yang memiliki peringkat tinggi. Tentu saja belajar itu penting namun saat ini masih ada hal lain yang ingin dilakukan Todoroki.
"Tidak perlu. Aku hanya membaca untuk menghabiskan waktu," jawab Bakugou yang rupanya juga tidak bertujuan belajar.
Walau sudah lama mengamatinya. Todoroki belum mengetahui kegiatan apa saja yang dilakukan kekasihnya tersebut diwaktu senggang-----ternyata Bakugou juga senang membaca huh.
"Bukannya itu berarti.....Bakugou salah kalau mengatai Midoriya Kutu buku?" Todoroki bertanya di dalam hati saja. Dia masih sayang nyawa.
Sunyi senyap. Tidak ada satupun diantara mereka yang berbicara, keduanya sama-sama sibuk melakukan kegiatan masing-masing. Sampai pada akhirnya Todoroki sungguhan merasa bosan. Dari tadi ia duduk di sebelah Bakugou yang asyik membaca buku. Padahal mereka berdua sedekat ini namun juga terasa jauh.
"Aneh. Seseorang yang agresif dan sombong sepertinya mempunyai aura yang membuatku tenang....." Sampai sekarang pun. Kesan Torodoki terhadap kepribadian Bakugou tidak berubah. Tapi memang aneh bin ajaib. Bagaimana bisa pemuda yang kerap di juluki teman-temannya sebagai bom waktu berjalan bisa membawa aura yang menenangkan?
"Mungkin karena perasaanku terhadapnya?" Todoroki masih belum memahami. Darimana asal cintanya pada Bakugou berasal atau bagaimana bisa dirinya menyadari bahwa ia menginginkan pemuda bersurai pirang jabrik yang tutur kata dan tindakannya kasar itu?
Todoroki hanya bisa mempercayai instingnya. "Aku selalu ingin melihatnya, berbicara dengannya, menyentuhnya. Marahpun tidak masalah, kalau itu berarti ia sedang memperhatikanku." Instingnya mengatakan dirinya menginginkan pemuda bernama Bakugou Katsuki dan bukan yang lainnya.
Ketenangan tersebut membuat Todoroki mengantuk. Padahal baru saja ia ingin mencari cara agar dirinya dan Bakugou bisa lebih akrab lagi. Namun rencananya harus tertunda dengan dirinya yang ketiduran dengan kepala bersandar pada pundak kekasihnya tersebut.
OXO
Di masa lalu, tepatnya pada saat ia masih kecil. Todoroki punya kebiasaan untuk memendam keinginannya. Hasrat seorang anak kecil tidaklah jauh dari mainan dan permainan. Pada usia tersebut anak hanya tahu bermain. Namun tidak dengan Todoroki Shouto, latar belakang keluarganya tidak membiarkannya berpikir dan bertingkah seperti anak seumurannya.
Sejak dulu Todoroki selalu mengagumi All Might, sang simbol keadilan dan kedamaian. Suatu saat nanti ia ingin menjadi seorang pahlawan yang bisa menyelamatkan semua orang tanpa terkecuali seperti sang legenda All Might.
Dia sendiri lahir di keluarga pahlawan. Ayahnya adalah seorang pahlawan ternama. Dirinya adalah anak yang lahir sebagai impian dari ayahnya tersebut---Endeavor mempunyai impian untuk melahirkan seorang anak yang mempunyai dua kombinasi quirk terkuat. Setengah api setengah es.
Walau dialah yang menjadi favorit ayahnya. Anggap dia anak durhaka. Mau bagaimana pun, ia tak mampu untuk bersyukur atas berkat tersebut.
Pada akhirnya hanya rasa benci terhadap ayahnya lah yang membuatnya ingin menyerah untuk menjadi seorang pahlawan.
Semua orang ingin menggapai impiannya. Semua orang kecuali Todoroki. Dari lahir dia sudah di takdirkan untuk menjadi seorang pahlawan dan itu semua berkat kutukan dari ayahnya. Impiannya adalah beban baginya.
Apa gunanya menjadi seorang pahlawan? Kekuatan, ketenaran, kekayaan. Apakah hanya itu yang di dapatkan oleh seorang pahlawan?
Apakah tidak ada jalan untuk menghilangkan bebannya?
Di hari pertamanya masuk SMA. Todoroki bertemu dengan Bakugou. Entah kenapa si pemilik quirk ledakan itu sedikit mengingatkannya dengan sosok sang ayah.
Bakugou adalah tipe seseorang yang tak begitu ia pahami. Dengan kepribadian yang sangat mendekati para Villain, sebenarnya apa yang membuat pemuda tersebut ingin menjadi Hero?
Munafik kalau di bilang dia tidak pernah menaruh perasaan benci pada Bakugou. Namun Bakugou hanyalah seorang remaja, sama seperti dirinya---mereka sama-sama tidak mempunyai pengalaman, sama-sama kekanakan, sama-sama memiliki keburukan.
Sedikit banyak. Berlahan Bakugou mulai berubah, begitu juga dengan dirinya, maupun ayahnya.
"Tapi kau ingin menjadi pahlawan kan?" Ibunya pernah bertanya demikian. Wanita itu yang paling tahu keinginan buah hatinya. "Tidak masalah," ia menjawab pertanyaannya sendiri. "Kau tidak perlu mempermasalahkan ikatan darahmu dengannya. Tentukan saja mau menjadi apa dirimu di masa depan dan berusahalah untuk menjadi dirimu yang kau inginkan."
Ibunya selalu ada untuknya. Semua perkataan ibunya tersebut tidak akan pernah lepas dari memorinya. Berkat restu ibunya, impiannya menjadi pahlawan bukan lagi sebuah kutukan.
Dan dari sanalah Todoroki mencoba untuk lebih jujur terhadap hasratnya. Secara kebetulan, pada saat yang sama. Perasaannya terhadap Bakugou sudah berubah total.
Mungkin karena itulah. Bakugou mulai menyadari tatapan matanya yang intens. Dari alam bawah sadarnya, tatapan itu menyalurkan teriakan yang berkata bahwa "Aku mulai menginginkannya"
OXO
Bakugou menutup bukunya. Dari setengah jam yang lalu ia membiarkan Todoroki bersandar pada pundaknya. Sekarang ia merasa pundaknya makin pegal oleh beban tambahan tersebut.
"Bangun!" titahnya seraya mengetok pelan kepala Todoroki dengan buku. Tidak perlu waktu lama pemuda di sebelahnya membuka matanya berlahan. Todoroki memperbaiki posisinya lalu mengucek matanya yang masih terasa berat.
"Jam berapa?" tanya Todoroki lirih. Kedua matanya memicing, masih belum sepenuhnya terbuka. Dan itu terlihat sangat menggemaskan. Andai Bakugou lebih memperhatikan wajah kekasihnya itu.
Bakugou bangkit berdiri. "Enam," jawabnya singkat. "Sampai kapan kau mau tidur?" Karena nyawa Todoroki masih belum terkumpul sepenuhnya. Remaja tersebut gagal menyaksikan senyuman kalem yang langka dari Bakugou. Kali ini sang kekasih pirangnya terlihat tidak begitu mempermasalahkan dirinya yang kurang respon.
"Kau mau mandi dulu atau makan dulu?" tanya Bakugou lagi sambil meletakan satu tangannya di pinggang. Pertanyaan tersebut langsung membuka mata Todoroki---apakah Bakugou tidak menyadari? Hal semacam itu sangat sering ditanyakan oleh seorang istri yang menyambut kepulangan suaminya.
Wajah Todoroki menghangat. Ada gambar bunga-bunga imajiner menghiasi latar belakangnya. ".....apa kau mau mandi bersama?" tanyanya penuh harap.
Bakugou menatapnya jenggah. "Apa yang kau katakan? Setiap hari kita mandi bersama dengan anak laki-laki lainnya," jawabnya ketus menghancurkan impian sesaat Todoroki. Benar juga, asrama mereka menganut sistem pemandian umum----jam pakai kamar mandi untuk anak perempuan dan anak laki-laki di bedakan.
"Jangan mengkhayal yang tidak-tidak!! Buruan bangun!!" titah Bakugou selalu bersifat mutlak. Tidak mau menunggu lebih lama lagi, ia menarik tangan Todoroki lalu langsung mengajaknya keluar dari kamar. Alhasil, saking Bakugou termakan kekesalannya. Mereka jadi lupa bawa peralatan mandi. Mau tak mau mereka makan malam terlebih dahulu.
To be Continue
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top