6. Luka yang Ku rindu
Selepas kepergian Juli, Archie segera mengambil smartphone-nya. Ia membuka aplikasi pelacak smartwatch dengan tergesa-gesa. Tanpa Juli tahu, Archie sempat memasang alat pelacak di smartwatch Juli. Entah apa yang ada dipikiran Archie saat itu. Juli yang sedang terluka dan dirawat di rumahnya, membuat kesempatan Archie terbuka lebar untuk memasukkan pelacak di smartwatch sang kekasih.
Archie terdiam. Melihat pergerakan tanda merah di peta digital dalam layar smartphone-nya. Kemudian ia bergegas berganti pakaian. Mengenakan pakaian serba hitam seperti yang Juli kenakan. Setelah itu Archie berlari keluar menuju basement parkir mobil. Hingga getaran dari smartphone menghentikan langkah Archie sebelum membuka pintu mobilnya.
"Assalamualaikum, Yah," salam Archie kepada sang ayah yang tiba-tiba saja meneleponnya di sepertiga malam terakhir.
"Wa'alaikumsalam. Abang di mana?" tanya Reshi, Ayah Archie.
Archie terpaku sesaat, lantas mengedarkan pandangannya ke segala penjuru basement parkir. Mencari keberadaan seseorang yang mungkin saja sedang memerhatikannya saat ini.
"Abang," panggil Reshi menyentak langsung ke telinga Archie.
"Iya, Yah." Archie menyahut sekenanya.
"Mau kemana kamu, Bang?" tanya Reshi yang membuat Archie mengurungkan niat memasuki mobil.
"Ayah memata-matai Archie?"
"Jangan melakukan hal yang bisa merusak masa depan kamu. Ingat, apa yang sudah kamu lakukan selama ini untuk bisa sampai ke tujuanmu sekarang. Pikirkan dulu sebelum bertindak."
"Ayah di mana?!" Archie sedikit meninggikan suaranya.
"Ayah di rumah. Jangan bertindak bodoh, Bang! Kamu nggak bisa ikut campur dengan pekerjaan Juli. Itu bukan urusan kamu."
"Tapi Archie nggak bisa diam saja sekarang, Yah. Gimana kalau Juli kenapa-kenapa?"
"Juli nggak akan kenapa-kenapa. Sekarang kamu kembali ke kamar!"
"Tapi...."
"Kamu tahu resikonya, kan? Kamu bisa kehilangan semua impian kamu dalam hitungan detik."
"Yah, tolong izinkan Archie pergi. Archie janji, Archie nggak akan bertindak bodoh di sana."
"Apa jaminannya?"
Archie terdiam sesaat. Ia menunduk, lalu menendang ban mobilnya karena kesal tak bisa menjawab pertanyaan mematikan dari sang ayah. Tanpa sadar helaan napas putus asanya terdengar di telinga Reshi.
"Masuk ke mobil di depan kamu. Dan ikuti perkataan Pak Bimo, jangan membantahnya!" perintah Reshi tegas.
Archie menatap mobil sedan hitam di hadapannya. Kemudian memandang plat mobil yang tiba-tiba berganti nomor. Kaca mobil berwarna hitam legam benar-benar menjaga privasi si pengendara yang tak terlihat oleh Archie meski hanya berjarak beberapa meter.
"Masuk mobil atau kembali ke kamar?" Reshi memberikan pilihan kepada Archie.
Tanpa ragu Archie melangkah maju menuju mobil di hadapannya. Pintu mobil itu terbuka sesaat setelah Archie berdiri di sampingnya. Archie segera masuk sembari memerhatikan seseorang yang berada di belakang kemudi, di sampingnya.
"Hati-hati. Jangan bertindak bodoh! Mengerti?" kata Reshi lugas.
"Siap, Yah," sahut Archie sambil memandang seseorang yang akan mengantarkannya ke tempat Juli berada.
Panggilan itu tiba-tiba terputus secara sepihak tanpa salam. Archie pun tampak biasa mengalami hal itu. Ia tahu, ayahnya pasti sedang menahan emosi saat ini. Namun ia tak peduli. Hanya Juli yang sedang berlari-lari di pikiran Archie sekarang.
"Bapak siapa?" tanya Archie sembari menerawang apa saja yang berada di pikiran Pak Bimo.
"Panggil saja Pak Bimo, Mas," ujar lelaki paruh baya yang berada di balik kemudi, di samping Archie.
"Maksud saya, Bapak siapanya Ayah? Bawahan Ayah di kantor? Atau tangan kanan Ayah untuk mengikuti saya?" tanya Archie penasaran.
Sedari tadi isi kepala Pak Bimo hanya alamat tujuan tempat di mana Juli berada dan juga menjawab pertanyaan Archie dengan singkat sesuai perintah atasannya. Pak Bimo hanya mengulas senyum. Kemudian ia menarik tuas mobil sebelum menancap gas agar cepat sampai ke tujuan.
"Maaf, Mas. Saya tidak bisa menjawab semua pertanyaan Mas Archie. Saya adalah seseorang yang diperintahkan Bapak untuk menjaga Mas Archie dari jauh," terang Pak Bimo yang sangat lihat membawa mobil berkecepatan tinggi.
"Termasuk kakak dan adik-adik saya?" tanya Archie ingin tahu.
"Mas Archie bisa menanyakannya langsung kepada Bapak," tegas Pak Bimo yang ingin mengakhiri pembicaraannya dengan Archie.
Archie memandang Pak Bimo cukup lama. Ia mengira hanya ayah dan eyang kakung yang tidak bisa terbaca isi kepalanya. Namun Pak Bimo pun demikian. Archie benar-benar tak bisa mendapat informasi apa pun, meski ia sudah mengerahkan seluruh energinya.
Keheningan di dalam mobil semakin menambah suasana gelapnya malam terasa tampak menakutkan. Sedari tadi Archie bergerak gelisah. Ia sudah tak sabar untuk bertemu Juli yang mungkin sedang menantang maut seperti biasa. Dalam hati ia merapalkan segala doa agar sedikit merasa tenang, dan berharap semoga Juli selalu baik-baik saja.
"Sudah sampai, Mas," ucap Pak Bimo saat berhenti di area kebun tembakau.
"Di sini?" tanya Archie bingung sebelum mengecek sesuatu di smartphone-nya.
Titik merah itu layar smartphone-nya berada di sekitar sekarang. Pergerakan titik merah itu tidak secepat sebelumnya.
"Mbak Juli ada di bangunan itu," kata Pak Bimo memandang sebuah bangunan pabrik yang cukup besar. "Mas Archie bisa menunggu di sini sampai Mbak Juli menyelesaikan tugasnya."
"Menunggu?!" pekik Archie tak sabar.
"Mohon Mas Archie bisa bersabar," pungkas Pak Bimo tegas dan tak ingin dibantah.
♡♡♡
Di dalam pabrik, Juli berlari ketika kehadirannya diketahui oleh penjaga dan beberapa karyawan di sana. Tiga orang temannya entah berada di mana saat ini. Juli dan tiga orang temannya diutus untuk mencari informasi tentang sindikat jual beli bahan-bahan peledak secara ilegal baik di dalam dan di luar negeri.
Langkah Juli terhenti. Ia sudah dikepung oleh lima orang penjaga keamanan. Kedua tangannya terangkat ketika ditodong beberapa senjata tajam. Pandangannya mengedar mencari jalan untuk melarikan diri.
"Menyerahlah. Kamu sudah tidak bisa melarikan diri lagi," kata salah satu security bernama Roni. "Saya bisa membantu kamu keluar dari sini dengan selamat. Bagaimana?"
Perkelahian pun tak dapat dihindari. Juli memukul, dan menendang orang-orang yang ingin menangkapnya. Ia tidak membiarkan orang-orang tersebut menyentuh dirinya sesuka hati. Jika satu saja berhasil menangkapnya, maka nyawa Juli taruhannya.
Semua orang mundur ketika Juli berhasil mengambil alih senjata api yang sempat ditodongkan kepadanya. Rasa nyeri mulai dirasakan Juli di lengan tangan kanan dan di salah satu pahanya. Luka goresan belati itu semakin lama terasa perih dan menyakitkan. Dengan langkah tertatih, ia berhasil melarikan diri setelah menembak kaki kedua orang yang hampir mendekatinya.
Juli membuang senjata api itu sebelum memanjat tembok untuk segera keluar dari pabrik. Ia berlari kencang, dan melompat seperti seorang parkur yang begitu mudahnya melewati halang rintang. Suara tembakan terdengar, hingga membuat Juli berhenti bernapas dalam beberapa detik. Dentuman keras dari permen karet ajaib Juli pun terdengar keras, bersamaan dengan tubuhnya yang jatuh di area kebun tembakau.
"Abang, maaf," ucap Juli kala melihat bayangan seseorang menghampirinya dari jauh.
Berulang kali ia mencoba berdiri, namun tak mampu. Tenaganya seperti habis begitu saja. Hanya tetesan air mata yang mengalir dari kedua matanya. Juli pasrah jika akan dibunuh setelah tertangkap nanti. Tangisannya semakin tak terbendung saat tubuhnya dibangunkan oleh seseorang.
"Abang," panggil Juli lirih setelah masker hitamnya dilepas oleh Archie.
"Ayo kita pulang," kata Archie sebelum membawa Juli pergi dari area berbahaya itu.
Archie membopong Juli yang sudah tak berdaya karena menahan luka tembak dan beberapa luka tusuk di tubuhnya. Mobil hitam yang ditumpangi Archie segera pergi sesaat setelah mereka masuk dengan diiringi suara tembakan beruntun.
Dengan tak sabar Archie membuka jaket hitam Juli. Ia memeriksa beberapa luka yang bersarang di tubuh Juli. Pandangannya memburam, diiringi degup jantung yang berdetak kencang saat melihat luka tembak di punggung Juli.
"Abang," panggil Juli dengan napas yang terputus-putus, "maaf."
Archie menggeleng, "Jangan banyak bicara. Abang akan menolong kamu. Abang janji."
Juli tersenyum sambil menangis dalam diam. Ia memerhatikan Archie yang sedang melepas kemeja hitamnya. Meninggalkan tank top hitam yang melekat pas di tubuh Juli. Kemudian menutup luka Juli dengan kain kasa yang baru saja diberikan oleh Pak Bimo.
"Jangan tidur!" perintah Archie seraya menepuk pipi Juli.
Juli mengangguk patuh. Ia tak berhenti memandang Archie yang sedang mengkhawatirkannya. Archie terdiam setelah selesai menutup sementara luka-luka Juli. Senyumnya tersungging setelah mengetahui apa saja yang ingin diungkap Juli sekarang.
"Aku takut. Aku pikir, aku nggak akan bertemu dengan Abang lagi. Terima kasih Abang, karena selalu ada untuk aku. Aku sayang sama Abang," ucap Juli yang hanya tertahan di benaknya sambil menangis, dan langsung terbaca dengan jelas oleh indra keenam Archie.
"Jangan tidur, Sayang," pinta Archie kala melihat Juli yang sepertinya ingin menutup mata karena mulai mengantuk.
"Takut?" tanya Juli yang langsung dibalas anggukan kepala oleh Archie.
"Abang akan melakukan apa pun supaya kamu cepat sembuh," tutur Archie di tengah kekhawatirannya.
Archie dan Juli saling menggenggam tangan satu sama lain. Sesekali Archie mendekap dan mengecup kepala Juli. Mencoba menenangkan dirinya sendiri agar tidak panik.
"I love you so much," bisik Archie dengan kalimat yang jarang sekali diungkapnya kepada Juli.
♡♡♡
"Sayang, bangun!" teriak Archie setelah sampai di IGD rumah sakit di mana dirinya bertugas.
Archie merasa frustasi saat Juli mengalami henti jantung. Tanpa kenal lelah, Archie berusaha mengembalikan degup jantung sang kekasih. Hingga ia memutuskan untuk menggunakan alat pacu jantung atau defribrilator. Helaan napas lega Archie berembus ketika suara detak jantung Juli kembali terdengar dari mesin AED (automated external defibrillator) meski ritmenya tidak normal.
"Dok, persediaan darah golongan A+ tidak mencukupi," kata salah satu perawat yang juga sedang menyiapkan ruang operasi untuk Juli.
"Ambil darah saya," ujar Archie yang masih tetap menatap pergerakan kondisi jantung Juli di layar mesin AED.
"Masih kurang, Dok. Kita membutuhkan donor darah lagi," ujar perawat tersebut menambahkan.
"Saya akan cari. Bagaimana dengan Dokter Deka?" tanya Archie yang mulai tak bisa berpikir.
"Sebentar lagi sampai, Dok," jawab perawat laki-laki.
"Bagaimana kondisinya?" tanya Dokter Rizal yang baru saja datang setelah mendapat telepon dari Achie.
"Denyut jantungnya mulai normal," sahut Archie. "Tolong calon istri saya, Dok."
Dokter Rizal mengangguk, "Bawa ke ruang operasi sekarang," perintah Dokter Rizal cepat sebelum menepuk pundak Archie, "Jangan lupa berdoa."
Archie mengangguk di tengah napasnya yang masih memburu. Kelegaan terpancar dari raut cemas Archie saat melihat sahabatnya, Deka, dan juga sang istri datang untuk menolong.
"Tolong dia," ucap Archie menyambut kedatangan Deka.
"Pasti," jawab Deka sambil memberi dukungan sebelum masuk ke ruang operasi.
"Mari, Dok," ajak seorang perawat yang akan mengambil darah Archie.
Archie mengangguk sambil mencoba menelepon seseorang untuk mencari pendonor darah.
"Halo, Dek," kata Archie tak sabar.
"Assalamu'alaikum, Bang," salam Alrescha.
"Wa'alaikumsalam. Kamu bisa ke rumah sakit sekarang? Tolong Abang," pinta Archie memohon.
"Abang kenapa? Abang baik-baik aja, kan?" tanya Alrescha cemas.
"Abang baik. Kak Juli butuh banyak darah sekarang. Tolong Abang, Dek."
"Oke. Aku ajak Angga sekalian. Darah A+ kan?"
"Hmmm. Cepat!"
"Oke."
"Hati-hati!"
Archie menganggukkan kepala sebelum sebuah jarum tertusuk di salah satu lengan tangannya. Kedua matanya memejam. Mencoba mengistirahatkannya sejenak. Sembari mengontrol napasnya agar kembali normal.
"Dok, saya bersihkan tangan Dokter sebentar, ya," izin seorang perawat lelaki sebelum membersihkan kedua tangan Archie yang dipenuhi darah kering.
"Silakan," sahut Archie tanpa membuka matanya.
Tbc.
21.11.29
I come back... ^^
Finally, selesai juga part menegangkan ini. Hahaha.
Terima kasih untuk kalian yang masih setia di sini. Oia, ada cerita baru dari keluarga Nataya. Semoga bisa menghibur juga, ya. Selamat membaca semua.
See you soon. 🙏
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top