5. Restu Waktu

Lidah Juli menyapu bibir saat melihat es krim favoritnya. Spaghetti ice cream. Es krim vanilla dibentuk seperti spaghetti dengan saus cokelat kacang sebagai topping. Es krim itu sangat legendaris. Eksis di Jakarta sejak tahun 1932, dan sekarang sudah bisa  dibeli menggunakan layanan drive thru. Jangan ditanya berapa lama Archie mengantri untuk mendapatkannya.

"Abang," panggil Juli saat akan menyuapi Archie yang sedang menyetir.

Archie menurut. Menerima suapan es krim dari Juli tanpa bertanya apa pun. Ia menoleh ketika rasa es krimnya tidak seperti yang diinginkan.

"Es krim cokelatnya mana?" tanya Archie ingin tahu.

Juli langsung menyahut sembari memakan es krim, "Kan, belum dibuka. Sama-sama enak, kok."

"Enakan rasa cokelat," bantah Archie.

"Enakan mana sama aku?" goda Juli.

Archie menoleh dengan tatapan sinis, "Abang belum pernah unboxing kamu."

"Belum unboxing tapi nyicip bibir mulu," sungut Juli.

"Harus, ya, dibahas?"

"Iya, dong. Biar kita makin intim gitu."

"Mau yang lebih intim?"

"Emang bisa?"

"Bisa."

"Kapan?"

"Udah nggak sabar?"

"Banget."

"Kita akad nikah dulu."

"Ish! Kirain."

Seulas senyum Archie tersungging mendengar ucapan dan pikiran Juli yang terasa semakin vulgar. Ya, begitulah Juli. Meski terkesan misterius di depan orang, tetapi akan berubah total ketika bersama Archie. Juli selalu menunjukkan semua wajah aslinya di hadapan Archie. Terkecuali identitasnya. Hingga sekarang ada beberapa hal yang tak diketahui oleh Archie, seperti pekerjaan Juli misalnya.

Archie akan selalu sabar menunggu, hingga Juli menceritakan tentang identitasnya suatu saat nanti. Apa pun itu, Archie akan menerima walau tidak seperti angannya.

"Shit!" umpat Juli kala memerhatikan mobil sedan hitam yang mengikuti mobil Archie.

"Kenapa?" tanya Archie yang juga sedang mengamati mobil di belakang mobilnya.

"Ada yang mengikuti kita," terang Juli sambil meremas bungkus es krim dan membuangnya ke tong sampah di dalam mobil. "Depan belok kiri, Bang. Masuk hotel."

"Ngapain?" tanya Archie bingung.

"Check in."

Archie menatap Juli sekilas. Ia pun langsung mengerti apa yang sedang dipikirkan Juli saat ini. Kedua tangannya bergerak lincah sembari menancap gas agar segera sampai ke tempat tujuan.

Sesampainya di parkiran hotel, Juli segera turun dan membuka bagasi mobil. Mengambil tas ransel yang sudah dipersiapkannya saat hal-hal tak terduga datang. Tas ransel yang selalu ada di bagasi mobil Archie, tanpa pernah dibuka oleh sang empunya mobil.

Archie mengambil alih tas ransel yang dibawa oleh Juli. Dahi Archie mengerut ketika Juli menyodorkan sebuah dompet lelaki kepadanya.

"Punya Abang. Pakai ini saat check ini," ujar Juli seraya tersenyum bahagia.

Tanpa menyela atau bertanya, Archie mengangguk. Lalu menggandeng tangan Juli untuk digenggam. Mencipta senyum bahagia dari wajah Juli.

"Abang," panggil Juli.

Archie tersentak ketika bibirnya dikecup oleh Juli. Lagi, Juli mengucapkan kata cinta dalam hati setelah mencium bibir Archie. Seulas senyum Archie terbit setelah membaca pikiran Juli tersebut. Sembari menahan diri untuk mencium balik Juli. Archie pun bisa merasakan jika ada beberapa pasang mata yang sedang memerhatikannya dengan Juli. Sehingga Juli melakukan hal tak terduga seperti itu.

Genggaman tangan Archie tak pernah lepas dari Juli. Meski sedang memesan kamar di hadapan resepsionis. Ia memasang wajah datar dari tatapan para resepsionis yang memandangnya dan Juli dengan menyelidik.

"Selamat siang, Bapak, Ibu. Ada yang bisa kami bantu?"

"Siang, Mbak. Saya pesan satu kamar untuk semalam. Non smooking room, apa masih tersedia?" kata Archie lugas.

"Masih tersedia, Pak. Double bed atau twin bed?"

"Double bed."

"Boleh saya meminjam kartu identitasnya, Pak?"

Archie mengeluarkan kartu identitas dari dompet yang diberikan oleh Juli. Ia terkejut melihat statusnya yang sudah menikah. Kemudian mengambil kartu debit yang bertuliskan nama 'Archie Nataya' untuk pembayarannya. Setelah transaksi selesai, Archie menerima amplop berlogo hotel dan sebuah cardlock untuk membuka pintu kamar dan mengakses beberapa fasilitas hotel yang tersedia di kamar pesanannya.

Setelah menempelkan cardlock di mesin scanner, pintu lift pun tertutup. Archie menoleh menatap Juli dengan penuh tanya. Membuat senyum Juli semakin sumringah. Terbayang tingkah polah Archie yang begitu tenangnya memesan kamar hotel tanpa ragu sedikit pun.

"Kenapa, Suamiku?" tanya Juli meledek.

"Istriku amazing," jawab Archie ketus.

Tawa Juli meledak. Telinganya merasa gatal ketika mendengar Archie memanggilnya dengan sebutan istri. Hatinya pun berdebar kencang, seakan tak percaya bahwa Archie bisa mengucapkan kata sakral yang tak pernah terpikirkannya.

"Pernikahan kita sudah terdaftar?" tanya Archie yang langsung dibalas anggukkan kepala oleh Juli.

"Sah di mata negara," tegas Juli.

"How can?"

"Nothing's immposible, right?"

Setelah Archie menggesekkan cardlock di pengaman pintu, Juli segera masuk ke kamar. Ia berkeliling melihat-lihat fasilitas hotel yang begitu mewah. Hotel berbintang lima yang berada di lokasi strategis, di kawasan pusat bisnis Jakarta. Ia pun tak menyangka jika kartu debit tersebut berisi angka nominal yang begitu besar. Angka nominal yang berisi tabungan Archie sendiri tanpa diketahui si pemilik jika tak membuka notifikasi di smartphone.

"Kita mau ngapain di sini?" tanya Archie sambil melepas jaket lorengnya.

"Mau unboxing?" goda Juli sembari merangkul tubuh Archie.

"I'm ready, Sayang." Juli membatin seraya menyunggingkan senyum.

Archie mengetatkan pelukannya pada Juli. Membuang jarak di antara dirinya dan Juli. Hingga Juli tersentak kaget, bersamaan dengan jantung yang berdegub kencang. Tubuh Juli melemas ketika Archie menatapnya dengan lekat tanpa berkedip sedikit pun. Archie menahan senyum, melihat Juli menelan ludah sendiri karena tak bisa berkutik di dekapannya.

Kedua mata Juli memejam saat Archie tiba-tiba melumat bibirnya. Ciuman perlahan dengan tekanan yang pasti memabukkan. Membuat kaki-kaki Juli seakan kehilangan energi untuk berpijak di bumi.

Setelah beberapa menit menikmati bibir Juli, Archie pun menyudahinya. Aksinya itu menyebabkan Juli menjadi kecewa.

"Nanti dilanjutin lagi," ujar Archie sebelum melepas pelukannya.

Dengan kesal Juli memukul dada bidang Archie, "Tanggung tahu!"

Archie tertawa, kemudian meminum air mineral yang tersedia di meja. Setelah itu duduk di sofa bed sambil memandang Juli yang sedang menatapnya dengan kesal.

"Abang nggak mau buat masalah saat kita menikah kantor nanti," terang Archie hati-hati.

"Abang, kan, dokter. Emang nggak bisa merekayasa tes keperawanan?" sungut Juli.

"Abang ingin melihat kamu menjadi seorang istri perwira yang terhormat. Jadi Abang nggak akan pernah merusak kamu, meski kita sama-sama cinta."

Juli duduk di samping Archie, "Merusak bibir aku nggak termasuk?"

"Enggak. Bibirnya, kan, makin seksi?" sahut Archie sebelum mencium bibir Juli kembali.

"Ish!!"

Archie mendekap Juli dengan erat. Menenangkan Juli yang sedang ingin mengumbar nafsunya. Entah seperti apa kehidupan Juli sebelumnya, sampai Juli begitu bebas membiarkan Archie menyentuh tubuhnya. Satu alasan yang Archie tahu, bahwa Juli takut jika hari esok tak ada kesempatan untuk melihatnya kembali.

"Makan," kata Juli saat teringat belum makan siang.

"Mau makan apa?" tanya Archie serius setelah mengambil daftar menu di meja.

"Makan Abang," sahut Juli yang masih sedikit kesal.

Archie menutupi wajah cantik Juli dengan buku daftar menu, "Pilih sendiri."

Setelahnya Archie beranjak menuju kamar mandi. Diiringi teriakan sebal dari Juli. Seulas senyum Archie pun tersungging, mengingat wajah kesal Juli saat emosi kepadanya.

♡♡♡

Juli termenung setelah mendapat pesan dari atasannya. Hanya sisa beberapa jam lagi untuk bisa menikmati kebersamaannya dengan Archie. Entah mengapa, Juli merasa takut dengan tugasnya malam ini. Ia khawatir jika nanti tidak bisa bertemu lagi dengan Archie. Hal yang selalu dicemaskan Juli sejak tersadar telah mencintai Archie tanpa syarat. Melihat Archie, seperti mendapatkan harapan baru. Harapan untuk tetap hidup, menikmati sisa usia sampai nanti.

Archie meletakkan smartphone di atas nakas setelah menyelesaikan membuat laporan.

"Ada apa?" tanya Archie setelah duduk di samping Juli, di atas tempat tidur.

Juli menggeleng. Kemudian memeluk Archie dengan erat. Menahan air mata yang tiba-tiba bergumul di pelupuk mata. Rasa takut telah menyelimuti diri Juli hanya dalan hitungan detik kala melihat Archie. Archie pun mengerti, apa yang sedang ada di dalam pikiran Juli. Ia segera membalas pelukan kekasihnya dengan erat.

"Kenapa?" ulang Archie bertanya, meski tahu apa yang sedang dikhawatirkan Juli.

"Abang libur malam ini?" tanya Juli hati-hati.

Archie mengangguk, "Ada apa? Kamu butuh Abang di rumah sakit?"

"Aku dapat tugas nanti malam," lirih Juli.

Archie terdiam. Menunggu rangkaian kalimat-kalimat panjang yang berada di otak Juli menjadi sebuang ungkapan lisan.

Juli menatap Archie dalam-dalam. Ia seperti mengabsen pahatan-pahatan indah di wajah tampan Archie. Alis tebal, mata tajam, hidung mancung, bibir yang selalu dirindukan, hingga rahang kokoh.

"Tapi..., aku takut. Takut nggak bisa bertemu dengan Abang lagi," ujar Juli yang membuat tubuh Archie menjadi sedikit kaku.

Meski Archie telah mengetahui kalimat itu sebelumnya, namun rasanya sungguh berbeda jika diucapkan langsung oleh Juli.

"Tahu dari mana kalau nanti kamu nggak bisa lihat Abang lagi?" tanya Archie skeptis.

Juli menggeleng. Ia tak bisa menjelaskan dengan gamblang, bagaimana perasaannya kepada Archie sekarang. Ia pun hanya bisa memandang Archie dalam diam.

"Abang akan tunggu di sini sampai tugas kamu selesai," ungkap Archie yang juga bingung dengan ketakutan Juli saat ini.

"Aku nggak tahu, kapan aku selesai bertugas. Bisa cepat, atau bisa memakan waktu lama," tutur Juli gelisah.

"Abang boleh ikut?"

Juli terperanjat mendengar perkataan Archie. Ia memandang Archie lekat-lekat. Hingga seulas senyum tercipta. Membayangkan jika hal itu benar-benar terjadi. Ia akan sangat bahagia jika Archie bisa menemaninya saat bertugas. Namun tak ada garansi apa pun bahwa setelahnya akan kembali dengan selamat.

"Abang serius," tegas Archie saat Juli menyunggingkan senyum kecil.

"Kalau aja bisa seperti itu," sahut Juli, "Abang nggak tahu gimana pekerjaanku."

"Bukankah selalu ada pilihan?"

"Bukankah Abang setuju kalau aku tetap bekerja?"

"Ini yang kamu maksud bekerja? Selalu dibayangi rasa takut ketika bertugas?"

"Pekerjaan Abang juga seperti itu, bukan?"

Archie terdiam. Ia segera tersadar akan kata-katanya yang salah. Menjebak dirinya sendiri.

"Bagaimana kalau seandainya aku tertembak? Apa Abang nggak takut, kalau nantinya Abang nggak bisa selamatin aku?" cecar Juli.

Lagi. Archie bergeming. Ia seperti mendapat sekakmat telak dari Juli. Membuatnya tak bisa membalas cecaran pertanyaan keras oleh Juli.

"Apa Abang tahu, dimana aku bekerja?" tanya Juli ingin tahu, karena selama ini Archie tidak pernah bertanya tentang pekerjaannya.

"Aku bekerja di BIN, sebagai Agen Intelijen," ungkap Juli dalam hati.

"Tahu," kata Archie lugas.

Juli terkejut, "Di mana?"

"Kamu baru menyebutkannya tadi."

"Bagaimana bisa?! Aku nggak ngomong apa-apa tadi."

"Dalam hati."

"Abang bisa baca pikiran aku gitu?"

"Bisa."

Juli terkekeh setelah mendengar penuturan Archie. Ia tak percaya jika ada seseorang yang bisa membaca pikiran di jaman modern seperti sekarang. Terlebih lagi Archie adalah dokter, bukan seorang dukun.

"Kalau gitu, apa yang sedang aku batin sekarang?" tanya Juli mengetes.

Archie menatap lekat Juli dalam diam sebelum menjawab pertanyaan.

"Abang nggak ngerti, gimana perasaan aku sekarang. Abang juga pasti nggak tahu, seberapa besar rasa cinta aku sama Abang. Meski mungkin kadar rasa cinta kita berbeda," ungkap Archie setelah mengulang perkataan Juli yang membatin.

Tubuh Juli mematung. Archie benar-benar bisa membaca isi hati dan pikirannya. Tidak ada yang kurang, atau dilebihkan di setiap katanya. Semua sama.

"Abang akan tetap menunggu kamu sampai pulang. Apa pun yang terjadi nanti, kamu nggak boleh menyerah. Kamu harus tetap berusaha untuk bisa pulang menemui Abang. Oke?" pinta Archie yang tak mendapat balasan apa pun dari Juli.

Archie kembali memanggil Juli yang bergeming, "Sayang."

"Bagaimana kalau ---"

"Abang akan tetap menunggu kamu pulang. Kalau kamu terluka, Abang akan selalu berusaha untuk bisa menolong kamu. Apa pun caranya, meski nyawa Abang sebagai taruhan."

Air mata Juli menetes. Lidahnya tak mampu lagi berkata-kata. Perasaannya kepada Archie benar-benar terbalaskan dengan sempurna. Archie merengkuh Juli yang masih terdiam dan menangis. Memeluk Juli dengan erat untuk menenangkan, bahwa semua akan selalu baik-baik saja.

♡♡♡

Dengan malas Juli mengambil smartphone-nya yang terdengar berisik di atas nakas. Belum sempat panggilan terangkat, suara dering itu berhenti. Membuat Juli mengumpat kesal. Kemudian berganti dengan sebuah pesan masuk. Hal yang membuat kedua mata Juli langsung terjaga.

Sebelum beranjak dari tempat tidur untuk berganti baju, Juli mengecup kening Archie. Archie tampak sangat nyenyak dengan tidurnya. Entah karena kelelahan, atau karena terlalu nyaman bersama dengan Juli.

"Abang," panggil Juli membangunkan Archie untuk berpamitan, "Abang...."

Archie menyahut lirih, "Huum."

"Sayang, bangun." Juli kembali mencoba membangunkan Archie dari tidurnya.

Perlahan kedua mata Archie terbuka. Dengan lampu yang temaram, samar-samar ia melihat Juli dengan pakaian serba hitam. Archie langsung terbangun saat teringat akan jadwal Juli yang harus berangkat bekerja.

"Jam berapa sekarang?" tanya Archie sebelum meminum air putih yang diberikan oleh Juli.

"Jam satu malam," jawab Juli seraya tersenyum kecil.

"Mau berangkat?" tanya Archie yang langsung disambut anggukan kepala oleh Juli. "Abang antar, ya."

Senyum Juli tersungging, lalu kepalanya  menggeleng, "Nggak boleh ada yang lihat aku keluar dari hotel ini."

Archie mengangguk mengerti. Kakinya mulai melangkah turun dari ranjang. Kemudian berdiri tegap di hadapan Juli yang sedang memandangnya dalam diam. Bergeming seraya membaca semua ungkapan hati Juli yang tak terucap di bibir.

"Semoga kita bisa bertemu lagi. Entah dalam keadaan bernyawa atau tidak. Terima kasih, Abang, karena telah memberikanku keluarga yang sempurna. I'll always miss you."

Rangkaian kalimat-kalimat itu mampu membuat Archie tertegun. Keluarga--kata sederhana yang ternyata selalu diimpikan oleh Juli.

"Kamu tahu, kan, kemana harus pulang?" tanya Archie.

Juli mengangguk, "Rumahku itu Abang. Kemana pun aku pergi, aku pasti akan pulang ke Abang."

"Abang akan selalu menunggu kamu pulang."

Juli segera mendekap Archie dengan erat, bersamaan dengan bergetarnya smartwatch di tangan kiri. Panggilan yang meminta Juli untuk segera bergegas pergi. Juli mencium leher jenjang Archie sebelum melepaskan pelukan. Menghirup aroma tubuh Archie yang akan selalu dirindukannya nanti.

"I'll miss you too," kata Archie yang membuat Juli tersenyum bahagia sebelum beranjak pergi.

Tbc.

¤¤¤

09June.21

Hai,
Masih ada yang menunggu?
Terima kasih karena sudah setia menunggu di sini. 💙

Mon maap, sebenarnya ini mau dibikin cerpen, tapi ternyata saya keasyikan stay di kisah Archie dan Juli. Dan jadilah cerita bersambung sampai saat ini. Semoga tetap bisa menghibur.

See you soon. 🙏

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top