5. At The End
Perlahan kedua mata Reihan terbuka. Suara berisik dari televisi seakan menyambutnya dari bangun tidur. Dipandangnya jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah empat pagi. Kepalanya menoleh ke samping kanan. Memerhatikan Mika yang masih tertidur lelap di bed penunggu. Mika tampak sangat kelelahan setelah menunggunya sampai tersadar dari masa kritis.
Tatapan Reihan beralih, saat mendengar suara pintu ruang perawatannya terbuka. Helaan napas lega Reihan berembus kala melihat kedatangan Raka. Raka membenarkan posisi selimut yang menutupi tubuh Mika.
"Enakan?" tanya Raka ambigu.
Reihan menjawab random, "Enakan di rumah, Bang."
"Syukurlah sudah dipindah ke ruang perawatan biasa. Kalau enggak, Mika bisa nangis terus."
"Pinjam smartphone-nya, Bang. Aku mau mengabari Ayah dan Ibu. Mereka pasti khawatir karena nggak ada kabar dari aku."
"Abang udah bilang sama orang tua kamu kemarin. Kalau Abang, kamu sama Mika lagi pergi mencari sesuatu dan mungkin akan menginap."
"Terima kasih, Bang. Aku tetap harus mengabari mereka sekarang."
"Kalian berdua nggak lagi berantem, kan?" tanya Raka curiga karena merasa ada sesuatu yang aneh dari tingkah laku Mika dan Reihan.
Reihan memandang Mika sesaat sebelum menjawab, "Sebelum berangkat bertugas, Mika sempat meminta membatalkan pernikahan."
"Apa?! Terus kamu setuju? Gila aja, seminggu lagi kalian itu menikah."
"Aku nggak mau maksa Mika, Bang. Aku mau Mika bahagia, dengan atau tanpa aku. Mika pasti ketakutan kemarin. Apalagi setelah tahu pekerjaan aku yang sebenarnya."
Reihan dan Raka terkejut ketika Mika tiba-tiba terbangun.
"Jangan."
Mika terbangun dengan kedua matanya yang merebak. Ia sudah terjaga sejak mendengar suara pintu ruang perawatan Reihan terbuka. Berpura-pura tertidur kala Raka menanyakan sesuatu yang sedari semalam tak bisa diucapkannya.
"Jangan katakan itu sama Ayah dan Ibu," pinta Mika seraya menatap Reihan dengan sendu.
"Mika minta maaf, karena kemarin sudah emosi."
Raka menghela napas sebelum berpamitan pergi, "Abang keluar dulu. Kalau ada apa-apa, teriak aja."
Reihan dan Mika terdiam ketika Raka pamit. Keduanya hanya saling memandang satu sama lain. Reihan yang sedang kebingungan karena perkataan Mika. Dan Mika yang tak tahu harus berkata apa atas penyesalannya.
"Pernikahan kita tinggal seminggu lagi. Kalau Abang nggak bilang sekarang, kapan lagi? Abang nggak mau buat malu kedua orang tua kita. Setidaknya, masih ada waktu beberapa hari untuk membatalkan semuanya. Abang yang akan bertanggung jawab dan mengurus nanti," tutur Reihan.
"Tadi Abang bilang, Abang ingin melihat Mika bahagia dengan atau tanpa Abang. Apa Abang akan bahagia tanpa Mika?" tanya Mika yang membuat Reihan semakin bingung.
"Mika adalah salah satu kebahagiaan Abang. Tapi kalau keputusan Mika bisa membuat Mika tenang dan bahagia, bukankah Abang harus mendukung?"
Mika mengulang pertanyaannya, "Apa Abang akan bahagia tanpa Mika?"
Reihan terdiam sejenak. Ia memandang wajah Mika yang hanya berjarak dua meter. Meneliti setiap gurat lelah dan kekecewaan Mika kepadanya.
"Enggak. Abang nggak akan bahagia tanpa Mika," jawab Reihan tegas.
"Apa setelah kita membatalkan pernikahan, hubungan kita akan putus begitu saja?" Mika menatap Reihan dengan tatapan nanar.
"Biasanya begitu, bukan?"
"Kenapa?"
"Karena kita akan berusaha untuk bisa menyembuhkan luka masing-masing."
Ruang perawatan Reihan menjadi terasa sunyi dalam beberapa menit. Mika tidak berkata apa-apa setelahnya. Pun Reihan.
"Mika ingin membatalkan pernikahan karena merasa lelah. Seandainya Abang jujur, mungkin Mika nggak akan terlalu menuntut keberadaan Abang. Setidaknya, Mika tahu apa yang sedang Abang kerjakan, kenapa Abang sering tiba-tiba pergi, atau kenapa Abang sering mematikan telepon. Mika pikir, Abang nggak peduli soal pernikahan kita," ungkap Mika yang selama ini terpendam.
"Abang nggak bisa cerita apa pun sama Mika, karena semua harus dirahasiakan. Untuk keselamatan Abang, Mika dan juga keluarga kita," jelas Reihan.
"Meskipun kita sudah menikah?"
Reihan mengangguk. Hal itu membuat Mika meneteskan air mata. Batin Mika pun bertanya-tanya, serahasia itukah pekerjaan Reihan?
"Jadi kemarin Mika diizinkan masuk ke sini karena Abang sedang kritis?" tanya Mika ingin tahu.
"Huum."
Lagi, Mika tercengang dengan jawaban Reihan.
"Kita tetap menikah nanti."
Ucapan Mika seperti petir yang menyambar kebingungan Reihan. Reihan menatap lekat-lekat sang kekasih yang sedang berjalan ke arahnya.
"Mika yakin? Abang mungkin nggak akan bisa selalu ada di sisi Mika," tanya Reihan memastikan.
"Bukankah Mika satu-satunya orang yang Abang percaya soal pekerjaan Abang?" tegas Mika.
Kepala Reihan mengangguk. Tanpa terduga Mika mencium bibir Reihan sekilas. Ciuman yang mampu mengukir senyum di wajah pucat Reihan. Mereka pun melanjutkan berciuman dengan mesra. Meleburkan segala rasa, serta penyatuan yang akan membawa kebahagiaan sebelum hari pernikahan tiba.
♡END♡
05April.21
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top