3. Tak mau jadi temanmu

Juli meringis kesakitan sembari memegangi luka di perutnya. Luka tusuknya tiba-tiba saja kembali mengeluarkan darah, karena aksinya saat menyerang lawan beberapa menit lalu. Ia menghela napas panjang menahan rasa sakit.

"Perumahan Puri Indah, jalan Cut Nyak Dien nomor 88, kan, Mbak?" tanya sang supir taksi ketika baru saja memasuki gerbang pintu masuk perumahan.

"Iya, Pak," jawab Juli lirih.

Sang supir mengangguk mengerti. Ia pun mencari rumah yang dituju Juli dengan teliti. Dilihatnya nomor rumah satu demi satu agar tak terlewat. Setelah beberapa menit, taksi yang ditumpangi Juli berhenti tepat di sebuah rumah mewah dan megah.

Sesudah membayar, Juli berterima kasih. Kemudian segera turun setelah memastikan bahwa tak ada darah yang menetes di dalam taksi. Kedatangan Juli disambut oleh seorang security yang menyapanya.

"Selamat malam, Mbak," sapa security itu dengan sopan.

Juli tersenyum tipis, "Selamat malam, Pak. Saya ingin bertemu dengan Archie-dokter Archie."

Seakan sudah mengetahui dimana tempat tinggal Archie, Juli tidak perlu berbasa-basi untuk bisa bertemu dengan sang dokter. Ia harus bersikap normal agar diizinkan untuk memasuki rumah Archie. Meski smartwatch-nya sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.

"Kalau boleh tahu, Mbak siapa?" tanya security kembali.

"Saya Juli. Pacarnya Archie. Apa Archie ada di rumah?" terang Juli yang sempat membuat security tersebut terkejut.

"Sebentar, ya, Mbak."

Juli mengangguk ketika security itu kembali masuk ke pos jaga. Memberitahu temannya bahwa Juli ingin bertemu dengan Archie. Ia pun segera menelepon seseorang. Dengan samar Juli sedikit mendengar percakapan tersebut dari luar pos jaga.

Sedang di dalam rumah, Archie kembali melirik smartphone-nya yang sedari tadi masih sunyi sepi tanpa notifikasi dari seseorang yang ditunggunya. Ia tampak gelisah kala menunggu kabar dari orang tersebut. Hal yang tak pernah Archie rasakan kepada orang lain selain ke keluarganya. Jantungnya berdegup keras ketika suara dering telepon rumah berbunyi.

Archie memerhatikan dengan serius saat ibundanya mengangkat telepon itu. Tubuhnya seakan kaku mendapat tatapan penuh tanda tanya dari sang ibunda.

"Pacar Archie?" pekik Aresh, ibunda Archie.

"Iya, Bu. Apa Mbak Juli diizinkan untuk masuk?" tanya security bernama Roni.

"Iya, tolong antar, ya, Pak."

"Baik, Bu."

"Terima kasih, Pak."

"Sama-sama, Ibu."

Aresh menghampiri Archie yang tampak kebingungan. Archie benar-benar tak bisa menutupi kekacauan hati di hadapan ayah dan ibunya. Berbeda dengan Archie, Aresh tersenyum sumringah dan bersiap untuk melontarkan berbagai macam pertanyaan kepada putranya.

"Kenapa nggak dikenalin sama Bia, Bang?" goda Aresh kepada Archie.

"Dia bukan pacar Archie, Bia," jelas Archie yang membuat kedua orang tuanya terkejut.

"Kalau bukan pacar, terus kenapa dia ngaku-ngaku pacar Abang?" desak Aresh ingin tahu.

Archie tersenyum kikuk, "Nanti Archie jelasin ke Ayah dan Bia. Archie keluar dulu."

Sesudah melalui pemeriksaan, Juli diantar masuk oleh Pak Roni. Ia berjalan perlahan di belakang Roni sambil menahan rasa sakit.

Juli memandang pohon-pohon pucuk merah yang berjajar rapi di sepanjang jalan menuju halaman rumah Archie. Pohon-pohon itu menambah keasrian rumah mewah bergaya eropa yang tampak berdiri kokoh karena pilar-pilar besar penyangganya. Senyum kecil Juli tersungging saat teringat ucapan Archie yang menolak untuk menjadi temannya. Kehidupan Archie sangat berbanding terbalik dengan kehidupannya.

Archie yang baru saja membuka pintu langsung tercengang melihat keadaan Juli. Wajah Juli terlihat sangat pucat. Ditambah kondisi Juli yang tampak lemah dan lemas. Archie langsung menghampiri Juli karena khawatir.

"Terima kasih, Pak," ucap Archie seraya memandang Juli yang sedang menutupi rasa sakitnya.

"Sama-sama, Bang. Bapak permisi dulu," pamit Roni yang hanya dibalas anggukan kepala dari Archie.

"Ayo masuk," ajak Archie sambil menuntun Juli untuk memasuki rumahnya.

"Boleh?" tanya Juli tak enak hati kepada kebaikan Archie.

"Orang tuaku sudah tahu. Ayo!"

Perlahan tubuh Juli meluruh. Tenaga Juli seakan hilang entah kemana. Ia tak kuat lagi dengan rasa sakit di perutnya. Dengan cekatan, Archie membopong Juli memasuki rumahnya. Ia membawa Juli ke kamar tamu. Membuat kedua orang tuanya tercengang saat melihat adegan tersebut.

Archie menidurkan Juli di tempat tidur. Ia langsung membuka kemeja hitam Juli dengan tergesa-gesa. Tak peduli meski kemeja Juli robek karena ulahnya. Juli pun pasrah. Ia seolah memasrahkan hidup dan matinya kepada Archie seperti biasa. Ia menutup mata karena tak tahan dengan rasa sakit nyeri yang semakin merambat ke seluruh tubuh.

Dalam hati Archie beristigfar saat melihat luka tusuk Juli yang sedikit terbuka. Ia pun bergegas keluar kamar untuk mengambil obat dan peralatan yang sudah disiapkannya sedari tadi pagi. Persiapan jika Juli benar-benar datang dengan membawa luka kembali.

"Bia, boleh minta tolong?" kata Archie memohon.

Aresh mengangguk, "Apa, Bang?"

"Tolong Bia gantikan pakaian Juli, pakai kimono tidur atau apa. Ada luka di perut Juli. Kalau nggak, Bia minta tolong Mbok, aja."

"Bia aja. Biar Mbok istirahat."

"Terima kasih, Bia."

Reshi, Ayah Archie, menahan langkah Archie yang akan menaiki anak tangga, "Abang, kalau sudah selesai temui Ayah."

"Siap." Archie menjawab tegas.

Archie berlari menaiki anak tangga. Ia mengambil semua peralatan dokternya, lantas segera kembali ke kamar tamu. Tak lupa ia berterima kasih kepada ibunya karena sudah membantu menggantikan pakaian Juli.

"Aku kasih anestesi lokal sebelum menjahit kembali luka tusuk kamu. Tahan sebentar, ya," ucap Archie, dan hanya dibalas anggukan kepala oleh Juli.

Setelahnya, Archie membersihkan tangan dan mengenakan sarung tangan sebelum memulai mengobati luka Juli. Juli hanya terdiam. Sesekali matanya menutup karena merasa lelah.

"Udah?" tanya Juli ketika melihat Archie memasang botol infus di tempatnya.

Archie memberikan beberapa butir obat, "Minum obat dulu. Setelah itu kamu istirahat."

Juli mengambil obat-obat itu dan langsung meminumnya.

"Terima kasih," kata Juli yang langsung dibalas anggukan kepala dari Archie.

Archie segera keluar dari kamar yang ditempati Juli. Napas leganya berembus, meski degup jantungnya masih tak menentu. Archie melihat ibunya tersenyum setelah mematikan televisi.

"Ayah ada di ruang kerja. Bia ke kamar dulu," ujar Aresh sebelum beranjak pergi.

Dengan langkah berat, Archie berjalan menuju ruang kerja ayahnya. Ia tahu apa yang akan ditanyakan ayahnya nanti. Berharap ayahnya bisa mengerti kondisi Juli saat ini.

"Masuk," perintah Reshi-ayah Archie-ketika pintu ruang kerja diketuk.

Archie segera masuk setelah mendapat izin. Tanpa ragu Archie melangkah ke arah meja kerja ayahnya. Helaan napasnya berembus kasar karena tak mampu membaca isi kepala sang ayah. Tatapan tajam mengintimidasi dari ayahnya semakin membuat jantung Archie berdegup tak normal.

"Duduk," kata Reshi yang langsung dipatuhi Archie.

Reshi langsung bertanya tanpa basa-badi, "Jadi, siapa perempuan itu?"

"Dia itu pasien Archie, Yah," terang Archie yang semakin membuat tanda tanya bagi Reshi.

"Sejak kapan Abang membuka praktek pribadi di rumah? Kenapa tidak memberitahu Ayah sebelumnya?" selisik Reshi kepada Archie.

"Maaf, Yah. Archie yang meminta Juli datang ke rumah jika dia membutuhkan bantuan, karena malam ini Archie sedang libur. Archie pikir, Juli tidak akan datang ke rumah karena Archie nggak pernah memberi tahu dimana rumah Archie."

Reshi mulai menerka-nerka tentang sosok Juli. Bagaimana bisa Juli mengetahui tempat tinggal sang putra tanpa Archie memberi alamat sebelumnya? Apa pekerjaan Juli? Apa ada hubungan khusus antara Juli dan Archie?

"Abang nggak curiga dengan Juli?" tanya Reshi semakin serius.

"Enggak, Yah. Archie yakin dia orang baik," jawab Archie tanpa penuh keraguan.

Reshi melontarkan pertanyaan telak kepada Archie, "Abang mencintai Juli?"

Archie tersentak mendengar pertanyaan tak terduga dari ayahnya. Jantungnya sempat berhenti berdetak dalam beberapa detik karena terkejut. Ia mendadak linglung. Membuat tatapan sang ayah semakin lekat dan intens kepadanya.

"Archie nggak tahu, Yah," jawab Archie bimbang.

Reshi terkejut mendengar jawaban Archie, "Abang sayang sama dia?"

"Archie cuma ingin membantu Juli. Archie mau melihat Juli selalu baik-baik saja. Apa itu yang dinamakan cinta?" Archie balik bertanya.

"Cuma Abang yang tahu, apakah itu cinta atau bukan? Ayah ingin, Abang memastikan perasaan Abang terhadap Juli. Jangan sampai Juli salah mengartikan kebaikan Abang selama ini. Abang mengerti?"

"Mengerti, Yah."

"Ayah tidur dulu. Kasih tahu Ayah kalau Abang sudah memastikan perasaan Abang kepada Juli."

"Yah."

"Ada apa?"

"Apa Ayah akan merestui hubungan Archie dan Juli, kalau apa yang Archie rasakan ini adalah cinta?"

Reshi tersenyum simpul, "Pasti. Ayah yakin, anak Ayah nggak akan pernah salah pilih. Apalagi kalau sudah berani dibawa pulang ke rumah."

"Meski kita nggak tahu siapa dia sebenarnya?"

"Kalau begitu, cari tahu terlebih dahulu."

"Siti Julaeha-nama yang terdaftar di rumah sakit-alias Juli Kaneishia. Yatim piatu. Dibesarkan di panti asuhan. Wiraswasta dengan tubuh penuh bekas luka tusuk dan tembak. Apa mungkin Juli seorang intel polisi atau TNI yang sedang menjalankan tugas?"

Reshi terdiam mendengar penuturan Archie. Ia pun teringat pekerjaan istrinya dulu. Dalam hati ia berharap jika dugaannya benar tentang pekerjaan asli Juli.

"Kalau kalian saling memiliki keterikatan, mungkin Juli akan terbuka tentang siapa dirinya. Kalau pun tidak, Abang harus menghormati keputusannya."

Archie mengangguk pertanda mengerti. Tepukan di pundak dari sang ayah seakan menambah beban Archie. Beban perasaan yang semakin meresahkan jiwanya.

♡♡♡

Perlahan kedua mata Juli terbuka. Tepat saat jam dinding menunjukkan pukul lima pagi. Pandangan Juli mengedar. Melihat apa saja yang berada di kamar. Kamar yang begitu besar dan dilengkapi beberapa barang mewah. Kepala Juli menoleh ketika mendengar suara pintu terbuka. Ia melihat Archie datang membawa senampan peralatan medis dan obat-obatan.

"Nyenyak tidurnya?" tanya Archie membuka obrolan.

Juli hanya menganggukkan kepala. Ia memerhatikan Archie yang sedang mengganti botol cairan infus. Kemudian mengatur laju cairan itu sebelum duduk di kursi kecil di samping tempat tidur.

"Alhamdulillah kalau kamu bisa tidur nyenyak," kata Archie yang mulai kebingungan mencari topik pembicaraan.

"Terima kasih, karena sudah menolongku lagi," ujar Juli seraya menyunggingkan senyum, "boleh duduk?"

Tanpa jawaban, Archie membantu Juli untuk duduk. Ia menumpuk beberapa bantal untuk menjadi sandaran Juli agar nyaman saat duduk.

"Kapan aku boleh pulang?" tanya Juli yang sedikit membuat Archie kesal.

"Kamu boleh pulang kalau sudah sembuh. Tolong jangan kabur lagi. Karena ini rumah orang tuaku, aku harap kamu nggak melakukan hal-hal yang konyol di sini," peringat Archie.

"Tapi aku nggak enak sama keluarga kamu kalau lama-lama di sini," ujar Juli yang sudah terbaca sebelumnya oleh Archie.

"Aku sudah meminta izin supaya kamu bisa tinggal di sini sampai sembuh."

"Maaf. Aku jadi ngerepotin kamu."

Juli mengalihkan pandangan kala Archie menatapnya dengan lekat. Ia mencoba menutupi degup jantungnya yang sedang bertalu kencang karena tatapan intens Archie. Tanpa sadar Archie telah mengetahui isi pikiran Juli dengan begitu mudahnya.

"Kemarin kamu sempat tanya, apa kita bisa berteman?" tanya Archie serius dan sukses membuyarkan pikiran Juli.

"Ya, dan kamu bilang, kita nggak bisa berteman. Ternyata aku dan kamu itu seperti langit dan bumi. Kamu itu langit yang nggak akan pernah bisa aku gapai," ujar Juli terang-terangan.

"Aku nggak mau jadi teman kamu. Tapi mungkin, aku bisa jadi seseorang yang lebih dari sekedar teman buat kamu," tegas Archie yang sudah memantapkan rasa di hatinya.

Juli terdiam sesaat. Mencoba mengartikan semua perkataan Archie yang begitu tertata dengan apik. Hingga otak Juli lambat menerimanya.

"Bisa?" tanya Juli ragu.

"Bisa. Asalkan kamu bisa bertahan di sampingku. Dan..., kamu harus berhenti dari pekerjaan yang selalu menyakiti diri kamu," terang Archie lugas.

Juli terperanjat kala mengetahui ke arah mana pembicaraan Archie sekarang. Archie tak melepaskan pandangannya kepada Juli sedikit pun. Ia menikmati susunan kata-kata yang berada di dalam otak Juli.

"Kamu tahu pekerjaanku?" tanya Juli ingin tahu.

"Enggak," jawab Archie singkat.

"Kamu cinta sama aku?"

"Aku sedang memastikannya."

"Kalau kamu cinta sama aku, kamu akan menerimaku apa adanya. Tanpa ingin merubah apa pun yang ada dalam diriku sekarang."

"Aku nggak ingin melihat kamu terluka lagi."

"Tapi ini pekerjaanku. Hidup dan matiku adalah milik Allah, meski kita hidup bersama nanti. Aku nggak bisa meninggalkan pekerjaan ini. Kamu nggak tahu gimana usahaku untuk bisa bekerja di tempat yang aku impikan."

"Baik. Kamu tetap boleh bekerja. Aku akan menikahi kamu secepatnya."

Kedua mata Juli merebak. Ia tak menyangka akan mendapat pernyataan cinta dari seorang Archie. Archie yang selama ini selalu hadir di pikirannya, namun tak pernah berharap untuk bisa dimiliki. Detak jantung Juli semakin tak terkendali saat beradu pandang dengan tatapan tajam yang meneduhkan dari Archie.

Archie mengambil sesuatu dari kantong celana jeans hitamnya. Sebuah cincin yang dibuat Archie dari pollycherry strap berwarna merah. Archie memberikan cincin itu kepada Juli sebagai tanda pengikat sementara.

"Pakai ini, kalau kamu bersedia menerimaku menjadi dokter pribadi kamu," tutur Archie yang terdengar seperti memerintah di telinga Juli.

Juli memandang cincin itu dengan tatapan haru. Hati dan otaknya saling bertentangan. Segala hal yang sedang berkecamuk telah terbaca oleh Archie yang tak melepaskan pandangannya dari Juli.

"Kamu yakin?" tanya Juli memastikan.

"Yakin," tegas Archie mantap.

"Aku cuma nggak mau kamu menyesal nantinya. Kamu belum tahu siapa aku yang sebenarnya."

"Saat kamu sudah percaya sama aku, kamu pasti akan memberitahukannya nanti."

Perlahan Juli mengulurkan tangan kirinya seraya membaca basmallah dari dalam hati. Pertanda meminta Archie untuk memakaikan cincin itu di jari manisnya. Archie mengulum senyum setelah mengetahui apa yang Juli inginkan. Ia segera memakaikan cincin tali itu di jari manis Juli. Mereka saling melempar senyum satu sama lain.

Archie mengulurkan tangan kanannya, "Reksa Archie Nataya. Biasa dipanggil Abang-Abang Archie."

Juli tersenyum bahagia. Senyum manis Archie bagaikan obat nyeri saat ini. Sesaat Juli merasa sehat dalam hitungan detik. Ia pun membalas uluran tangan Archie. Mengawali perkenalannya sebagai Juli bukan Siti Julaeha.

"Juli Kaneishia. Panggil aja Sayang," kata Juli memperkenalkan dirinya.

Archie tertawa kecil. Ia merasa beban perasaannya sirna begitu saja. Dan digantikan oleh perasaan hati yang meletup-letup bahagia. Tawa kecil itu tak luput dari perhatian Juli. Hal kecil yang selama ini ingin dilihat oleh Juli-senyum dan tawa Archie.

"Terima kasih, Sayang," tutur Archie sebelum mendekap Juli dengan penuh kasih sayang.

¤¤¤

Tbc.

26April.21

Hai semua....
Selamat menunaikan ibadah puasa. Semoga ibadahnya dilancarkan sampai nanti.
Aamiin. 🤲

Buat kalian yang baru baca ceritaku ini, kalian bisa baca ARESH (cerita ortunya Archie-Aresh&Reshi) dan ALRESCHA (cerita adiknya Archie, pastinya ada Bang Archie di sana).

Hope you enjoy this story.

Thank you so much for reading and giving a star to me. 🥰

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top