2. The confusion
Setelah mengenakan rompi anti peluru, Reihan mengecek pistol semi otomatisnya. Melepas magazine dan mengisi peluru. Kemudian memasang kembali magazine tersebut dalam beberapa detik.
"Kita nggak punya waktu banyak, Rei. Jadi sebisa mungkin, kamu ambil data-data itu. Semuanya," perintah Raka yang hanya dibalas anggukan kepala oleh Reihan.
Raka menatap Reihan dengan menyelisik, "Siap?"
"Siap nggak siap harus tetap berangkat, kan?" ungkap Reihan setengah hati.
"Ini kesempatan terakhir kita. Jangan sampai gagal." Raka menegaskan perintahnya.
"Siap, Bang. Aku pasti dapatkan data itu," kata Reihan yang sudah beberapa kali gagal meretas data targetnya.
Sesaat setelah mobil lolos melewati penjagaan ketat, Raka beserta timnya memasuki sebuah gedung dengan sembunyi-sembunyi melalui pintu rahasia. Ia meminta Reihan untuk tetap berada di sisinya. Raka tak ingin terjadi sesuatu dengan Reihan yang sebentar lagi akan resmi menjadi adik dari saudaranya.
"Clear!" ucap seseorang yang berada di depan Raka melalui handsfree headset.
Raka melangkah maju, dan bergegas memasuki sebuah ruangan. Diikuti Reihan di belakangnya.
"Cepat, Rei!" perintah Raka lugas, dan langsung dilaksanakan oleh Reihan.
Kedua tangan Reihan tampak lincah menekan tombol keyboard. Matanya menatap layar komputer tanpa berkedip. Memerhatikan beberapa tulisan dan angka yang sedang diretasnya. Degup jantungnya memacu kencang, seiring dengan gerakan jari yang sedang bermain di atas keyboard.
Suara berdebum berulang kali terdengar jelas di telinga Reihan. Membuat kedua tangannya bergerak semakin cepat. Dalam hati ia terus berzikir ketika data yang di-copy berjalan begitu lambat.
"Sudah, Rei?" tanya Raka bersiaga.
"Sebentar, Bang. Tinggal sedikit lagi," sahut Reihan gugup.
"Damn, it!" gumam Raka bersiap-siap menyerang.
Reihan terkejut ketika Raka tiba-tiba menyerang seseorang. Ia segera mencabut flashdisk dan mematikan komputer dengan terburu-buru. Kemudian membantu Raka agar bisa cepat keluar dari sarang para penyamun.
"Move!" teriak Raka meminta Reihan keluar terlebih dahulu.
Reihan bergegas keluar sembari mengeluarkan pistolnya. Diikuti Raka yang melindungi Reihan dari belakang. Dua orang tim Raka membersihkan para penghalang agar Reihan bisa segera meninggalkan gedung.
Suara pistol mulai terdengar ketika Raka mulai kewalahan menghadapi lawan yang jumlahnya bertambah. Begitu pula dengan Reihan. Ia tak segan-segan menembak siapa pun yang menghalanginya menuju mobil jemputan.
Napas Reihan tercekat saat peluru tiba-tiba saja menembus perutnya. Tanpa aba-aba, Raka segera menarik Reihan untuk masuk ke dalam mobil. Suara tembakan semakin menggema ketika mobil menerobos pintu penjagaan.
"Kalian baik-baik aja, kan?" tanya Raka memastikan keadaan anggota timnya.
Semua menjawab serempak kecuali Reihan yang sedang menahan sakit. Reihan hanya terdiam sembari menekan perutnya yang terluka. Mencoba menghentikan darah yang mengalir.
"Aman, Bang."
Pakaian serba hitam telah menyamarkan luka tembak di perut Reihan. Rompi anti peluru yang dikenakannya ternyata tak mampu menahan serangan peluru berkaliber besar.
"Rei, are you okay?" Raka terkejut kala menatap wajah Reihan yang sudah memucat.
Reihan menggeleng, "Aku tertembak, Bang."
Raka segera melepas rompi anti peluru yang Reihan kenakan. Memeriksa luka tembak Reihan yang sudah berlumur darah.
"Shit!" umpat Raka kesal.
"Sepertinya ada sniper tadi, Bang," ungkap salah seorang anggota tim Raka.
"Jangan tidur!" perintah Raka sambil menepuk-nepuk wajah Reihan. "Ke rumah sakit sekarang!!!"
♡♡♡
Abyan bergegas menaiki anak tangga saat mendengar suara tangis anaknya. Rasa lelah dan letih seolah musnah ketika melihat istri dan putra kecilnya, Keenan. Karena mereka seperti charger spesial bagi Abyan.
"Anak Ayah kenapa ini? Nangisnya kencang banget," kata Abyan yang sedang menahan diri untuk tidak menyentuh Keenan.
Keiza menoleh, "Ayah sudah pulang, tuh."
"Keenan minum susu dulu, ya," bujuk Rilly saat melihat Keenan masih menolak ASI dari bundanya.
"Keenan kenapa? Kok, bisa nangis gini?" tanya Abyan setiap kali melihat putranya menangis.
"Tadi denger suara pintu ditutup keras gitu," terang Keiza setelah ASI-nya mulai diterima oleh Keenan.
Suara tangis Keenan mereda. Perlahan Keiza menghapus air mata Keenan, sembari memandang sang putra yang sedang melahap minuman kesukaannya. Rilly dan Abyan tersenyum bahagia melihatnya. Meski Keiza sedang mengajari Keenan untuk berhenti menyusu, tetapi ia sering tak tega jika si kecil mulai menangis kencang.
"Mika banting pintu?" tanya Abyan menyelisik.
"Reihan nggak sengaja banting pintu. Dia nggak tahu juga ada Keenan di sini. Mereka ribut lagi kayaknya," ujar Rilly sebelum berpamitan keluar, "Abang mandi dulu kalau mau deket-deket sama Keenan."
"Iya, Ummi." Abyan segera menyahut.
Abyan mencium kening Keiza seperti biasa, "Ayah mandi dulu, ya. Biar bisa bobok bareng sama Keenan."
"Jadi mau bobok bareng Keenan aja, nih?" Keiza merengut sebal.
Abyan tertawa melihat istrinya cemberut hanya karena menggunakan kata-kata yang kurang lengkap.
"Enggak, dong. Bobok sama bundanya Keenan juga nanti. Kan, Bunda sama Keenan itu paket komplit buat Ayah," kata Abyan mencairkan suasana.
Abyan mengecup bibir Keiza, "I love you, bundanya Keenan."
"Sana mandi! Kotor tahu," perintah Keiza yang langsung dipatuhi oleh Abyan.
♡♡♡
"Mika, Ummi masuk, ya."
Rilly meminta izin sebelum masuk ke kamar Mika. Suasana kamar Mika masih gelap ketika jam dinding sudah menunjukkan pukul enam pagi. Gorden kamar tertutup rapat, tidak memberi celah sinar matahari untuk masuk sedikit pun. Tempat tidur dibiarkan berantakan dengan si empunya yang entah kemana.
Setelah membuka gorden jendela, Rilly membereskan tempat tidur. Kemudian merapikan meja kerja Mika yang juga berantakan.
"Biar Mika aja yang beresin,Ummi," ujar Mika yang baru keluar dari kamar mandi.
Rilly mengangguk sembari memerhatikan wajah putrinya yang sedikit sembab, "Mika baik-baik saja?"
Mika menyunggingkan senyum tanpa memberi jawaban. Ia membereskan barang-barang yang berserakan di meja kerja. Kemudian duduk di depan meja rias untuk mengeringkan rambut.
"Kalian bertengkar lagi tadi malam?" Rilly bertanya dengan hati-hati.
"Enggak. Mika cuma minta batalin pernikahan aja sama Bang Reihan," sahut Mika yang membuat Rilly terkejut bukan main.
"Apa?! Kamu ini bicara apa, sih? Jangan ngomong yang aneh-aneh, Mika!"
"Kalau Mika tetap melanjutkan acara pernikahan, itu baru aneh. Ummi tahu nggak, di sini yang kayaknya pengen banget nikah itu cuma Mika. Bang Reihan santai aja, iyain semua maunya Mika. Tanya udah sampai mana persiapan pernikahan aja jarang, tanya kalau inget doang. Mika capek, Ummi."
"Istighfar, Mika! Kalian sedang diuji sama Allah sekarang."
"Kalau persiapan pernikahan aja seperti ini, gimana kalau udah nikah nanti? Bukannya malah makin berantakan?"
"Astaghfirullah, Mika. Kalian bicara baik-baik, jangan asal memutuskan sesuatu. Kalau hanya karena Reihan sibuk, nggak seharusnya Mika seperti ini. Reihan sibuk bekerja juga buat Mika, kan? Kalau Reihan nggak bekerja, apa bisa Reihan memenuhi semua keinginan Mika sekarang? Apa pernah Reihan menggunakan kekuasaan keluarganya untuk membahagiakan Mika?"
Mika terdiam. Ia menatap bayangan dirinya di dalam cermin. Meratapi kebingungannya sendiri yang semakin membuat keadaan sekitar tampak kacau. Perlahan pandangan Mika buram. Kedua matanya merebak. Menahan tangis hingga dadanya terasa sesak.
"Seenggaknya, Bang Reihan bisa luangin waktunya sedikit untuk balas pesan Mika. Atau angkat telepon saat Mika butuh. Mika merasa, Bang Reihan semakin jauh sama Mika. Padahal Mika selalu berdoa setiap hari, supaya semua urusan Mika dan Bang Reihan dipermudah sama Allah. Tapi nyatanya...," jelas Mika tak mampu melanjutkan perkataannya.
"Kita tunggu Reihan, ya. Reihan bilang hari ini mau datang." Rilly mencoba menenangkan Mika yang sudah menangis dalam diam.
Suara Abyan saat membuka pintu kamar menginterupsi percakapan Mika dan Rilly, "Ada Bang Raka mau ketemu Mika di bawah."
"Raka sendirian?" tanya Rilly yang langsung dibalas anggukan kepala dari Abyan.
"Katanya ada penting," tutur Abyan menambahkan.
Mika menghapus air matanya dengan kasar. Ia bergegas turun saat terbayang-bayang wajah kelelahan Reihan kemarin malam. Degup jantungnya berdetak tak menentu, mengiringi langkah kakinya yang tergesa-gesa menuruni anak tangga. Abyan dan Rilly mengikuti Mika di belakangnya.
"Bang Raka," panggil Mika disela-sela hembusan napasnya yang tak teratur.
"Abang mau menjemput Mika," kata Raka yang mampu membuat Mika terheran-heran.
Mika pun langsung teringat dengan Reihan, "Reihan baik-baik aja, kan, Bang?"
"Mika ikut Abang sekarang, ya."
"Benar Reihan nggak kenapa-kenapa?"
"Ayo."
Mika mengangguk patuh. Tanpa memedulikan penampilannya yang masih berantakan, Mika mengikuti Raka yang sudah berpamitan terlebih dahulu dengan Rilly dan Abyan. Otaknya seperti linglung memikirkan apa yang sedang terjadi kepada Reihan sekarang.
Tbc.
¤¤¤
25March.21
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top