2. Sudahkah?

Juli men-scan ID card berlogo BIN sebelum masuk ke sebuah ruangan. Kemudian meletakkan ibu jari di mesin fingerprint sebelum masuk ke ruang atasannya. Pintu tersebut langsung terbuka setelah menyebut nama lengkap Juli. 

"Juli Kaneishia, access granted."

Juli segera melangkah masuk, "Selamat pagi, Pak."

"Selamat pagi, Agent J. Silakan duduk," ucap Kapten Anggara, atasan Juli.

Juli menyerahkan laporan yang sudah dikumpulkannya selama seminggu terakhir. Setelah itu ia duduk sesuai perintah Kapten Anggara.

"Bagaimana keadaan Anda, Agent J?" tanya Kapten Anggara seraya memeriksa laporan pengintaian Juli beberapa hari terakhir.

"Sudah lebih baik, Pak." Juli menjawab dengan lugas.

"Syukurlah. Berhati-hatilah saat bertugas,"

"Siap, Pak."

"Jadi selama ini kecurigaan kita benar, bahwa pabrik tersebut memiliki sejumlah bahan baku bom yang siap untuk dirakit?"

"Benar, Pak. Sejumlah bahan baku bom seperti aceton cair, hidrogen klorida (HCL), termometer, serbuk aluminium, gotri serta TATP (triaceton triperoxide) ditemukan di dalam pabrik tersebut. Apabila bahan-bahan tersebut dikaitkan menjadi sebuah bom, kurang lebih akan ada sekitar 80 buah bom. Jika bom itu telah tersebar, kita akan semakin kesulitan untuk menghentikananya."

"Saya akan melaporkannya kepada atasan. Kita sudah mendapatkan cukup bukti untuk bisa mendeteksi dan berusaha mencegahnya."

Kapten Anggara pun memberi tugas baru untuk Juli. Juli menerima tugas tersebut sebelum beranjak meninggalkan ruangan. Ia bergegas menuju ruang kerja yang sudah beberapa hari tidak dikunjunginya. Menyiapkan rencana untuk tugas yang baru.

♡♡♡

Archie tampak fokus membaca beberapa kertas yang diberikan oleh adik bungsunya, Alrescha. Sedang Alrecha sibuk dengan smartphone-nya. Bibirnya berulang kali tersenyum memandang sesuatu yang terpampang di layar smartphone.

"Kamu nggak salah melacak nomor teleponnya, kan, Dek?" tanya Archie yang tak kunjung mendapat jawaban.

Archie menggelengkan kepala melihat tingkah laku Alrescha yang seperti orang gila. Tersenyum-senyum hanya karena melihat layar smartphone. Tangan kanan Archie mengambil permen dari kantong jas putihnya, kemudian melempar permen itu ke wajah Alrescha.

"Apa sih, Bang? Ganggu aja," gerutu Alrecha karena ulah Archie.

"Kamu nggak salah nomor telepon, kan?" ulang Archie bertanya.

"Ya, enggaklah. Emang kenapa?" tanya Alrescha sewot.

"Mana fotonya?" Archie meminta data yang lain.

"Ealah, Abang. Alres, kan, udah bilang. Itu nomor nggak ada fotonya. Udah Alres cari-cari tapi nggak ketemu. Kalau Abang nggak percaya, Abang cari sendiri aja."

Archie mendengkus, "Kalau Abang bisa, ngapain suruh kamu, Dek."

"Siapa Juli Kaneishia itu? Gebetan Abang?"

"Pasien, Abang."

"Lah, kok, malah Abang cari tahu datanya gitu. Kan, rumah sakit pasti punya data dia. Abang naksir tu cewek?"

"Enggak."

"Iya juga nggak kenapa-kenapa, kok. Alres rela, deh, ngantri buat nikah nanti."

"Terserah kamu, lah."

Tawa Alrescha tak terbendung lagi. Ia tak menyangka jika hari ini abangnya sedang dalam mood yang tidak baik. Biasanya Archie selalu sabar jika menghadapi Alrescha. Tetapi tidak hari ini.

"Silakan, masuk," kata Archie kala mendengar suara pintu terketuk.

Perawat itu segera masuk, "Maaf, Dok. Ada seseorang yang ingin bertemu Dokter sekarang. Beliau bilang, tunangan Dokter Archie."

"Kapan Abang tunangan?" tanya Alrescha terkejut, "wah, Abang mau sembunyi-sembunyi, nih, nikahin cewek. Parah!"

"Siapa namanya?" tanya Archie ingin tahu.

"Ibu Juli, Dok. Beliau sudah menunggu di luar," terang sang perawat.

"Suruh masuk."

"Baik, Dok."

Alrescha mencibir, "Gayanya bilang, ya udah kalau Adek mau nikah dulu, Abang nggak apa-apa. Bokis!"

Archie menghela napas saat mendapat cibiran dari Alrescha. Ia pun ingin tahu siapa yang berani mengaku sebagai tunangannnya. Pacar saja tidak punya, apalagi tunangan.

"Sana pulang," usir Archie sopan bersamaan dengan pintu ruangan yang terbuka.

Seorang perempuan berambut pendek dengan dress selutut berwarna hitam, serta sepatu kets berwarna putih tersenyum manis kepada Archie dan Alrescha. Dengan percaya dirinya ia menyapa kedua lelaki yang tidak terlalu dikenalnya.

Berbeda dengan Archie yang tidak terkejut dengan kedatangannya. Perempuan itu adalah si pasien misterius yang telah kabur dari rumah sakit tiga hari lalu. Membuat Archie marah dan kecewa karenanya. Siti julaeha atau Juli Kaneishia. Entah nama mana yang sebenarnya. Archie tidak tahu.

"Maaf, aku nggak tahu kalau kamu masih ada pasien," tutur Juli dengan lemah lembut, membuat Archie semakin bingung dengan tingkahnya.

"Alrescha, adiknya Bang Archie," kata Alrescha memperkenalkan diri.

Juli tersenyum saat menerima uluran tangan Alrescha. Ia tak menyangka jika kebohongannya akan diketahui oleh adik Archie. Archie menatap tajam Juli ketika mencoba membaca pikiran perempuan itu.

"Benar-benar keluarga glowing. Bibit unggul semua." Juli membatin dan langsung terbaca oleh Archie.

"Juli," sebut Juli berkenalan dengan Alrescha.

Alrecha semakin terkejut, "Juli Kaneishia?"

"Kok, tahu? Abang udah cerita?" ujar Juli yang tak ingin terlihat seperti penipu.

"Ada apa kamu ke sini?" tanya Archie yang mulai mengikuti permainan Juli dengan mengubah gaya bahasanya.

"Kan, kamu yang nyuruh aku ke sini buat kontrol. Lupa?" jawab Juli sambil duduk di samping Alrescha, kemudian menatap Archie di hadapannya dengan tatapan penuh cinta.

"Dek, nanti kita lanjutkan di rumah," ucap Archie yang langsung dibalas anggukan kepala dari Alrescha.

"Alres pulang dulu, Bang, Kak," pamit Alrescha seraya bersalaman dengan keduanya. "Eh, bilang sama Ayah dan Bia nggak?"

"Enggak!" jawab Archie penuh penekanan, dan langsung dibalas tawa oleh Alrescha.

"Bye, Kak Juli. See you soon," ucap Alrescha sebelum pergi.

"See you," sahut Juli singkat, lalu tersenyum kikuk kepada Archie.

Juli memandang Archie yang tampak semakin gagah dengan balutan pakaian dinas lapangan TNI AD dan jas putih khas dokter. Ia terkesima dengan aura ketampanan Archie saat ini. Sedang Archie hanya terdiam menatap polah Juli yang membuatnya semakin penasaran.

"Sudah selesai natapnya?" tanya Archie yang sebentar lagi memiliki jadwal dengan pasien-pasiennya.

Juli kembali tersenyum saat tersadar, "Selesai atau enggak, harus diselesaikan bukan?"

"Kenapa kamu mengaku tunanganku tadi?" tanya Archie ingin tahu, meski sudah mengetahui jawabannya.

"Aku lagi buru-buru sekarang, jadi, ya, maaf. Ada yang marah? Kamu udah punya pacar?"

"Ayo aku periksa."

"Wait! Aku pakai dress sekarang. Nanti kamu lihat lagi."

"Aku sudah lihat. Ayo cepat!"

Seulas senyum malu Juli tersungging. Dengan ragu ia melangkah ke arah tempat tidur pemeriksaan. Lalu mengenakan selimut yang diberikan Archie untuk menutupi tubuh bagian bawah. Sedangkan Archie sedari tadi terdiam dan terus memerhatikan tingkah Juli yang sedang gugup.

"Kamu tutup mata dulu," perintah Juli yang membuat kesabaran Archie diuji.

"Gimana aku mau memeriksa luka kamu kalau mataku ditutup?" tolak Archie tegas.

"Sebentar."

Archie menurut. Ia menutup matanya. Kemudian membuka matanya kembali setelah Juli memberi instruksi. Archie mulai memeriksa luka tusuk Juli dengan hati-hati. Setelah itu mengobati dan mengganti perban untuk menutupi luka itu.

"Kamu nggak marah, kan?" tanya Juli hati-hati.

"Enggak," jawab Archie singkat, "sudah selesai."

Archie kembali duduk, lalu menulis beberapa resep obat untuk Juli. Kemudian mengambil selembar kertas yang harus diisi dan ditandatangani tanpa lupa membubuhi stempel atas nama dirinya. Setelah itu memasukkannya ke dalam amplop berkop rumah sakit tempat dimana Archie bertugas.

"Apa aku perlu minta maaf sama pacar kamu? Barangkali perawat tadi sebarin gosip tentang kita," kata Juli.

"Nggak perlu. Aku belum punya pacar. Dan nggak akan cari pacar," jelas Archie yang mampu membuat raut wajah ceria Juli menjadi sedikit berubah.

"Kamu nggak suka cewek?" tanya Juli ingin tahu.

Archie memberikan resep obat dan surat keterangam dokter kepada Juli, "Jangan lupa minum obatnya, kalau kamu ingin sembuh. Dan pakai surat keterangan dokter itu untuk meminta cuti kerja. Kamu perlu istirahat, atau jahitan luka tusuk kamu bisa lepas."

"Maaf, kalau pertanyaannya nggak sopan."

"Aku normal. Agamaku melarang untuk berpacaran."

Senyum Juli kembali merekah, "Oh, jadi kamu ini tipe yang suka ta'aruf gitu?"

"Enggak juga."

"Tahu nggak, kamu itu ganteng. Nggak pantes kalau sikap kamu dingin dan kaku kayak gini."

"Ada lagi?"

Juli tidak tersinggung dengan sikap Archie. Ia benar-benar membutuhkan Archie, entah sekarang atau nanti. Berharap Archie bisa selalu membantunya suatu saat nanti. Berbeda dengan Archie. Ia sedikit kesal dengan ucapan blak-blakan dari Juli. Meski ucapan itu sama persis dengan isi pikiran Juli. Semua jujur dan apa adanya.

"Bisa nggak kita jadi teman?" pinta Juli memohon.

"Nggak ada pertemanan antara laki-laki dan perempuan," tegas Archie.

"Gitu, ya. Oke. Nanti malam, kamu dinas di rumah sakit?"

"Enggak. Kenapa?"

Archie tertegun ketika membaca pikiran Juli. Ia pun mulai mengerti mengapa Juli seakan ingin mendekatinya.

"Yah. Kalau kamu nggak dinas, terus aku cari kamunya kemana? Semoga semua baik-baik aja nanti malam," batin Juli.

Juli tersenyum sebelum menjawab, "Tanya aja. Siapa tahu aku pengin ketemu kamu lagi. Boleh?"

"Teman macam apa yang kamu inginkan?" tanya Archie serius.

"Ya, teman. Aneh, ya?" jawab Juli sebelum tertawa. "Aku pamit dulu. Terima kasih atas waktunya."

Tangan kanan Archie terulur, memegang salah satu pergelangan tangan Juli. Menahan kepergian Juli.

"Kalau kamu mau ketemu aku, kamu bisa datang ke rumah," kata Archie yang membuat kedua mata Juli merebak karena terharu.

"Boleh?" tanya Juli memastikan.

"Jangan ada luka lagi."

"InsyaAllah. Terima kasih."

"Hati-hati!"

Juli menganggukkan kepala seraya tersenyum bahagia sebelum berlalu pergi. Hatinya tersentuh karena ucapan Archie. Meski terkesan dingin, namun sorot mata Archie begitu hangat saat menatapnya. Membuat Juli ingin menangis.

Tbc.
¤¤¤

15April.21

Gimana-gimana?
Udah terobati, ya, kangennya sama Alrescha? Hehe.

See you soon. ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top