BAB 1 | Awal yang baru

"Aku hanya ingin menjaga, bukan untuk memiliki." —Aksa Delvin Arion.

***

Aksa menyampirkan ransel di bahu, melirik Andhara yang sedang sibuk menyiapkan sarapan. Aksa mendekati meja makan. Dahi Mama Tyas mengerut melihat penampilan Aksa memakai kemeja. Setahu Mama Tyas, jadwal kuliah Aksa tidak ada hari ini.

"Boy, Papa harap, kamu menghargai masakan Dara. Dara rela bangun lebih pagi, untuk menyiapkan sarapan untuk kita," pinta Papa Ardian menyuap nasi goreng ke mulutnya.

"Aksa enggak pernah minta," sahut Aksa datar.

Uhuk uhuk

Ardian tersedak, Tyas dengan sigap memberikan minum.

"Aksa, kamu enggak boleh bicara seperti itu," tegur Mama Tyas memandang Aksa dengan mata memicing.

Andhara yang mendengar ucapan Aksa hanya bisa terdiam.

"Pa, Ma, Andhara nanti aja sarapannya. Perut Andhara mual," dalih Andhara pergi ke kamarnya.

"Dara," panggil Mama Tyas yang tak mendapat jawaban dari Andhara.

"Aksa! Kalau sikap kamu seperti ini, kamu sama saja membuat Dara stress! Itu sangat membahayakan kandungannya!" sentak Mama Tyas.

"Tahan emosi Mama," peringat Papa Ardian, "Aksa, Papa minta, kamu bersikap baik dengan Dara. Dia sekarang istri kamu. Hanya kamu, putra satu-satunya yang Papa punya."

Raut wajah Papa Ardian berubah sendu. Mama Tyas mengusap punggung tangan Papa Ardian di atas meja menenangkan Aksa. Aksa memutar netra melihat drama roman picisan yang dimainkan orang tuanya.

"Aksa pergi ke kampus dulu."

"Bukannya kamu enggak ada jadwal ngampus hari ini ya?" selidik Mama Tyas.

"Aksa mau ngerjain tugas kampus," dalih Aksa nyelenong begitu saja.

Papa Ardian menggeleng," Anak kamu Ma. Beda banget sikapnya sama Arkan."

Mama Tyas mendelik, memukul tangan Papa Ardian," Anak kamu juga Pa! Bibit Papa kok. Jangan ngebandingin mereka Pa. Aksa ya Aksa. Arkan ya Arkan. Mereka berbeda. Mama yakin, suatu saat Aksa akan berubah."

"Papa harap begitu," Papa Ardian memandang punggung Aksa, lalu menoleh pada Mama Tyas, "susul Dara ke kamar Ma, Papa enggak mau terjadi sesuatu sama cucu Papa."

Mama Tyas mengangguk, pergi ke dapur mengambil nampan serta membawa susu cokelat hangat. Tyas meletakkan di meja. Papa Ardian yang sangat suka minum susu cokelat langsung meminumnya tanpa bertanya.

"Pa-"

"Huek! Ambar banget, Ma. Susu apa yang Mama beli?" Papa Ardian mengusap bibirnya yang berserakan susu cokelat.

"Susu hamil, Pa," celetuk Mama Tyas santai setelah mengambil sepiring nasi goreng dan segelas air putih.

"Hah?" Papa Ardian bergegas beranjak dari duduknya menuju toilet.

Mama Tyas hanya tertawa mendengar samar-samar Ardian mencoba memuntahkan susunya.

***
Embusan asap rokok yang begitu candu, membuat seorang laki-laki yang berada di sebuah apartemen memutar ulang memori saat dirinya menyetujui pernikahan yang tidak dia inginkan. Bunyi pintu akses apartemen yang terbuka, sama sekali tidak menggoyahkan laki-laki itu.

"Lo kenapa lagi sih, Aksa? Gangguin gue lagi tidur aja!" sewot Dana-salah satu sahabat Aksa duduk di sofa.

"Palingan Aksa stres! Lo kayak enggak tahu aja Dan," imbuh Wahyu-sahabat Aksa mengambil satu batang nikotin beracun di meja.

Aksa yang kembali menyulut sebatang nikotin beracun di meja, dijauhkan oleh Dana.

"Mau berapa banyak lo isap tu rokok? Sampai ratusan batang pun, enggak bakal bisa ngubah hidup lo, Sa."

"Gue enggak tahu gimana ngejelasin sama Ana," ungkap Aksa.

"Aksa. Lo harus ingat baik-baik. Sekarang lo punya tanggung jawab. Lo enggak bisa menghindar. Sebaliknya. Lo paham kan, maksud gue?"

Dana menepuk pundak Aksa. Aksa menghela napas, lalu menenggak minuman kaleng di meja.

"Kenapa harus gue? Gue belum siap."

"Siap atau enggak siap, lo harus siap Sa. Itu amanat dari Almarhum Bang Arkan," timpal Wahyu berdiri menuju kulkas.

Aksa menyugar rambut. Wahyu melempar minuman kaleng pada Dana. Aksa semakin frustasi. Aksa memiliki hunian apartemen tanpa sepengetahuan keluarganya. Apartemen itu merupakan uang hasil tabungan dan kerja keras Aksa, Dana dan Wahyu dapatkan mengelola kedai kopi Sejuk dekat kampus.

"Mau lo gimana, Sa? Saran gue, elo jujur sama Ana. Sebelum Ana tahu sendiri," timpal Dana menasihati.

"Sok bijak lo bagong! Lo aja masih jomlo sok-sok an kasih nasihat!" sewot Wahyu melempar kaleng minuman yang sudah kosong.

Dana menjulurkan lidah, ketika lemparan Wahyu meleset. Tatapan tajam dari Aksa seperti leser, membuat Wahyu menyengir, menunjukkan dua jari berbentuk V.

"Bisa enggak, kalian kasih solusi? Kalian bikin gue tambah pusing!" sewot Aksa menuju balkon apartemen.

Dering ponsel menyentak lamunan Aksa. Nama si pemanggil membuat mood Aksa sedikit membaik. Suara lembut di seberang sana yang selalu meneduhkan.

"Aksa, kamu jadi jemput aku, kan?"

"Iya, jam sepuluh kan?"

"Iya. Nanti, Aksa hati-hati ya bawa motor."

"Iya."

Telepon dimatikan sepihak oleh Aksa. Aksa mengembuskan napas. Aksa mengambil kunci motor di nakas.

"Mau ke mana lo?" tanya Wahyu.

"Paling jemput kekasih idaman hati," timpal Dana yang sibuk mengutak-atik channel televisi.

"Sa! Pulang bawa camilan!" pesan Wahyu memandang punggung Aksa yang keluar dari apartemen.

Masih ada waktu satu jam lagi menjemput Ana di kampus. Aksa menggunakan waktunya menenangkan diri di taman. Suasana taman yang asri, dipenuhi banyak bunga sedikit membuat Aksa lebih tenang. Aksa memejamkan mata duduk di salah satu kursi taman.

Aksa membuka mata, ketika mendengar isak tangis anak-anak yang memanggil Ibunya. Aksa mencari asal suara tangisan itu. Di balik pohon rindang, Aksa melirik seorang anak laki-laki yang menangis terisak.

"Hei, anak laki-laki enggak boleh cengeng," kata Aksa mendekati anak laki-laki itu.

Anak laki-laki itu menoleh," Om ciapa? Olang jahat? Jangan dekat Legan."

Aksa menyunggingkan bibir mendengar suara cadel bocah laki-laki dihadapannya.

"Legan? Biskuat Marry dong?" goda Aksa.

"Legan Om! Bukan biskuat Malli."

Lagi-lagi Aksa terkekeh gemas, mengusap pucuk kepala Regan. Aksa tahu, hanya saja Aksa menggoda bocah itu.

"Regan kenapa nangis? Orang tua Regan di mana?"

Wajah Regan kembali murung." Legan ndak puna olang tua."

Wajah Aksa pias. Aksa membayangkan kelak, bagaimana keponakannya akan tumbuh besar tanpa seorang ayah. Bahkan, seusia Regan, tak bisa merasakan kasih sayang yang utuh dari orang tuanya.

"Jadi, Regan kenapa bisa di sini? Rumah Legan di mana? Mau Om antar pulang?"

Regan menoleh menatap Aksa. Sisa-sisa air mata di pipi Regan masih tercetak jelas. Hati Aksa terenyuh. Sepanjang perjalanan menjemput Ana, Aksa masih memikirkan Regan. Regan merupakan anak panti asuhan yang malang. Regan dititipkan sejak bayi karena Ibu Regan tidak ingin menanggung malu karena hamil setelah suaminya meninggal. Kejam. Namun, itulah kenyataannya. Aksa tak habis pikir dengan jalan pikiran Ibu Regan.

"Aksa? Lampunya udah berubah hijau," sentak Ana membuyarkan lamunan Aksa.

Aksa melajukan motornya, setelah mendengar bunyi klakson yang saling bersahutan di lampu merah. Aksa menepikan motor, ketika ponselnya berdering dengan getar di saku celana chino-nya. Aksa membuka helm sebelum menjawab panggilan telepon.

Aksa mendengar helaan napas berat di seberang.

"Lo mau minta apa?" to the point Aksa.

"Eum, boleh Dara minta tolong?"

"Hm."

"Kalau Aksa masih di luar rumah, tolong belikan Dara martabak telur ya?"

Aksa berdecak, ketika mendengar permintaan aneh Andhara.

"Lo minta yang lain aja bisa? Mana ada jam segini martabak telur."

Ana merebut ponsel milik Aksa. "Kak, Dara mau martabak telur? Biar Ana cari sama Aksa."

Suara diseberang sana melemah. Andhara merasa tidak enak mengganggu waktu Aksa bersama seorang perempuan yang Andhara tahu pacar Aksa dari Arkan.

"Nggak usah Ana. Kalau enggak ada, juga enggak apa-apa."

"Pasti ada. Yaudah, Ana tutup dulu teleponnya. Dah, Kak."

Ana memberikan ponsel milik Aksa. Aksa memasukkan ponsel ke saku celana kembali.

"Sa, kamu enggak sopan panggil Kak Andhara lo-gue. Meskipun kamu enggak suka sama Kak Dara, dia tetap kakak ipar kamu kan? Apalagi Kak Dara lagi hamil. Pasti Kak Dara ngidam. Yuk, kita cari keinginan Kak Dara sampai dapat," cerocos Ana tanpa ingin dibantah.

Aksa menghela napas. Jika Ana tahu yang sebenarnya, masih inginkah Ana bersikap baik pada Andhara? Aksa kembali memakai helm melanjutkan perjalanan.

Maafin aku, Ana.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top