22

Selamat membaca
Tinggalkan kolom komentar untuk saran dan kritik ^~^
{Found you}
°
°
°

Penolakan itu tentu menyakiti hati kecil Petra namun permintaan juga tidak bisa diterima dengan mudah begitu saja.
Pagi hari nya rusak hanya karena permintaan wanita itu, menginginkan perceraian hanya karena perang dingin di rumah tak kunjung selesai membuat Petra muak lalu mengajukan perceraian.

"Tidak bisakah kau lebih dewasa? Perceraian bukan menjadi satu satunya solusi untuk menyelesaikan masalah."

"Kalah begitu kenapa kau terus mengacuhkan ku? Teh yang ku buat dingin begitu saja, sarapan hanya kau lewati, batin ku lelah menghadapi sikap mu itu Levi." Petra menjawab namun tidak meninggikan nada suara nya.

Jeda sejenak, Levi merenungi sikap yang ia lakukan selama perang dingin itu. Petra ada benar nya juga, yang tidak dewasa disini bukan hanya Petra, namun sikap ia juga belum dewasa.

Hela nafas terdengar pekan, Levi meraih pipi mulus itu lalu mengelusnya dengan lembut.

"Maafkan aku, karena sikap dingin ku membuat mu merasa sedih ya."

"Aku tau kau memang tidak mencintai ku dari awal pernikahan. Hanya ada wanita satu anak itu di dalam hati mu iya kan?"

"Apa maksud mu?" Levi menjauhkan tangan dari wajah Petra.

"Kau menjalankan pernikahan ini hanya karena sudah putus asa tidak menemukan keberadaan (name) iya kan? Kalau begitu hanya aku yang mencintai mu, Levi."

Lagi lagi Levi menghela nafasnya namun sedikit lebih berat. Ia lelah dengan cara berfikir Petra yang terus seperti ini. Tanpa mengatakan apapun lagi, Levi mengangkat kedua tangan layaknya menyerah kemudian pergi meninggalkan rumah.

"Aku tidak tahu apa yang ada di dalam pikiran mu selama ini tapi yang perlu kau tahu, aku tidak pernah menyesali pernikahan ini, Petra." Ucap Levi sebelum ia pergi dengan kudanya.

🦢🦢🦢🦢🦢🦢🦢🦢🦢

Hange membaca laporan itu dengan serius namun belum selesai ia membaca, Levi sudah mengambil kertasnya lebih dulu.

"Aku belum selesai ba-"

"Diam kau, siput." Potong Levi tanpa menatap ke sebelah.

"Tch. Jadi apa yang akan kita lakukan Erwin?"

"Kita bukan prajurit kepolisian namun laporan ini mengatakan bahwa aksi teror itu diterima oleh mantan salah satu anggota kita. Teror yang cukup parah, kejadian ini sudah satu tahun lalu tapi mengapa dia baru melapor?"

Levi menjauhkan kertas. "Kemungkinan dia sudah melaporkan kasus ini kepada prajurit polisi namun tidak ada respon sama sekali."

"Kasihan sekali, sampai harus kehilangan ibunya. Apa kita harus menemui nya?" Tanya Hange dengan menatap kedua rekan nya itu.

"Biar kasus ini diselesaikan oleh Levi san squad barunya." Ujar Erwin.

🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺

Mendengar penjelasan Levi membuat Armin dan teman teman nya sedikit terkejut. Kasus teror yang tidak manusiawi itu masih kerap saja terjadi. Eren hampir meluapkan emosi jika saja Mikasa tidak menahan nya.

"Kita harus segera menemui si pelapor ini, kapten."

"Kau benar Armin tapi permasalahannya apa kita tidak akan melibatkan prajurit kepolisian?"

"Tidak perlu! Orang-orang yang kenyang dengan kekayangan itu tidak bisa melindungi warganya sendiri." Jean menimpali dengan kesal.

"Kita harus segera membawa si pelapor ke sini untuk diamankan." Mikasa ikut berdiskusi.

Mereka benar, tidak ada waktu untuk memikirkan resiko keributan dengan prajurit polisi, yang paling utama adalah keselamatan si pelapor karena kasus peneror kali ini tidak manusiawi.

Pengancaman pembunuhan, perdagangan manusia, sampai penghancuran fasilitas tempat tinggal. Hal itu si korban dapatkan hanya karena ia ditekan untuk tidak merecoki apapun yang berkaitan dengan survey corps. Secara tidak langsung si peneror memiliki hubungan dengan anggota survey corp.

Setelah mempersiapkan strategi dan pasukan, Levi bergegas menuju kediaman Si pelapor. Keamanan nya harus dijaga ketat karena orang itu merupakan sumber informasi yang sangat mereka butuhkan.

Jalanan begitu ramai membuat penyamaran mereka berhasil tertutup sempurna. Levi membagi rekan nya menjadi beberapa kelompok. Armin dengan Eren dan Mikasa, Jean dengan Conny, tak lupa juga Sasha kemudian Levi seorang diri. Ia lebih suka melakukan dari belakang untuk menjaga dan membaca situasi.

Alamat rumah Si pelapor sudah mereka temukan lantas mereka segera bergegas pergi. Memasuki gang kecil, jalan lurus sedikit kemudian belok kanan di pertiga gang. Sangat tersembunyi namun dari depan terlihat rumah yang besar. Tak jauh dari rumah Si pelapor, terdapat rumah korban yang terbakar belum direnovasi atau tersentuh pemerintah.

Levi mengetuk pintu yang langsung dipersilahkan masuk oleh tuan rumah. Mereka menurunkan tudung jubah, menampilkan wajah serta niat kedatangan.

Sang tuan rumah segera mempersilahkan mereka duduk, pergi ke belakang sejenak untuk menyiapkan beberapa sajian penyambutan walaupun tim Levi tak membutuhkan itu.

"Malam itu aku baru saja pulang dari memancing dan melihat dua orang pria bertubuh besar memutari rumah yang terbakar itu...," Ucap Si pelapor dengan menunjuk ke arah rumah yang dimaksud.

"... Aku hendak memergoki mereka namun takut karena keduanya membawa pistol laras panjang dan senjata tajam. Mungkin niat mereka diawal itu melakukan pembunuhan namun polisi akan dengan cepat menemukan mereka."

Armin dengan sigap merangkum penjelasan tersebut dengan teliti. Wajah mereka tegang mendengar cerita termasuk Levi, walaupun wajahnya masih terlihat datar akan tetapi sorot matanya tak menutupi rasa tegangnya itu.

"Mereka menuangkan minyak ke seluruh rumah kemudian membakarnya. Aku memasuki rumah itu setelah mereka pergi karena ingin menyelamatkan tiga orang di dalam sana."

"Tiga?" Tanya Jean untuk memastikan kembali.

Si pelapor mengangguk, "Ya, tiga. Satu seorang wanita paruh baya, beserta wanita muda? Ku rasa usianya baru dua puluh lima, satu lagi balita yang sekiranya usia tiga sampai empat tahunan."

"Apa kau tahu nama mereka beserta korban?" Levi segera bertanya cepat.

"(Name) wanita usia dua puluh lima itu, Viona anaknya, lalu ah..aku lupa dengan korban nya. Mereka orang yang baik namun tidak ada tetangga yang berani membantu nya ketika teror itu datang."

Sekujur tubuh Levi seakan membeku mendengar jawaban itu. Apa katanya tadi? Otaknya tak mampu menerima penjelasan yang tidak ingin ia terima.

Selama ini ia kira (name) hidup dengan sehat dan sedang menjalani kehidupan yang baik baik saja. Apa itu alasan ia pergi tanpa kabar? Bukan hanya Levi, beberapa anggotanya juga tercekat mendengar hal itu.

"M-maksud anda (full name) mantan prajurit?" Conny bertanya untuk memastikan kembali. Ia juga menolak kabar itu.

"Ya, dia mantan prajurit, bibi nya yang bercerita. Alasan ia berhenti di keprajuritan karena ingin mengurus anak perempuan nya."

"Apa kau tau dimana mereka sekarang?" Armin mewakili pertanyaan yang terlintas di semua benar rekan rekan nya.

"Maaf aku tidak tahu. Setelah dibawa ke rumah sakit dan aku hendak berkunjung, (name) beserta anak nya pergi dengan cepat meninggalkan tempat ini. Dokter juga mengatakan jika luka bakar yang dimiliki (name) membuat wajahnya tak lagi dapat dikenali. Andai saja aku telat sedikit, mungkin korban lainnya juga akan berjatuhan."

Setidaknya Si pelapor memiliki jasa besar di dalam hidup (name). Setidaknya Levi tahu jika saat ini (name) masih hidup bersama putri tercinta nya namun rasa rindu itu semakin besar. Ia tidak tahu bagaimana kabar keduanya. Apakah makan mereka tercukupi? apakah mereka bisa mengurusi diri ketika sakit? Semua itu berputar di otak Levi.

Apakah (name) juga merindukan nya?

🌺🌺🌺🌺🌺🌺

Sesampainya di markas mereka segera berembuk membuat laporan.

"Jadi alasan (name) tidak membuat laporan karena dia diancam. Setelah dirawat di rumah sakit dia langsung pergi tanpa meninggalkan jejak bukan?" Ungkap Armin yang disetujui anggukan.

"Lalu pelapor itu bilang jika luka bakar nya membuat wajah (name) tidak lagi dikenali. Apa di daerah sini ada warga yang memiliki luka bakar parah?"

Mereka terdiam sejenak, mencoba mengingat wajah warga yang mereka temui sekilas.

"Penggembala yang ada di tepi dinding? Dia juga punya luka bakar di wajah." Saran Conny

"Tapi dia laki laki, Conny." Eren menolak pernyataan Conny yang menurutnya salah.

"Wanita. Wanita dengan luka bakar." Kali ini Mikasa yang memberikan spesifikasi lebih rinci.

"Tukang toko roti yang sedang ramai itu? Kalian pernah melihat luka bakarnya di wajah bukan?" Sasha menengahi suasana.

"Ah benar! Conny sampai terus melihat dengan tidak sopan itu bukan?" Jean ikut bersuara kali ini.

"Hah? Bukannya kau juga? Kau bahkan sampai berbisik bisik kan?"

Suasana ruangan menjadi ramai karena saling tunjuk menunjuk, membuat Levi menghela nafas perlahan.

"Kalau begitu kita pastikan dia mempunya anak perempuan dengan luka bakar atau tidak." Levi bersuara untuk membuat situasi kembali tenang.

"Baik kapten!"

🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺

Jika saja perkiraan tim nya itu tepat, apa yang akan ia lakukan? Respon apa yang harus ia tunjukan pada nya jika memang itu (name)? Apa yang akan dia katakan mengenai pernikahan dan takdirnya?

Rasa rindu itu semakin memuncak membuat ia hampir hilang akal. Ia tak suka menunggu esok, bermodalkan nekat dan tanpa kepastian, Levi segera bergegas menuju toko roti. Pukul setengah sembilan sepertinya toko itu belum tutup.

Secara ia juga ingin membelikan Petra bahan untuk sarapan pagi nanti.

🌺🌺🌺🌺🌺🌺

Memasuki toko roti wangi harum itu tak begitu kuat. Tentu saja karena tidak ada lagi roti yang dipanggang. Stok roti hangat untuk esok pagi namun Levi tetap membeli beberapa roti yang tersisa. Kualitasnya masih bagus dan terlihat lezat.

Berdiri di etalase toko membuat Levi berhadapan langsung dengan Si owner toko.

"Masih ada pelanggan ternyata." Sapa Si owner dengan ramah. Lyana, itu adalah nama yang wanita ini sebutkan padanya.

"Maaf berkunjung semalam ini. Masih ada roti yang tersisa?" Levi berusaha mencairkan suasana seraya memperhatikan luka bakar di wajahnya.

Mencari sisa sisa kemiripan wajah (name) dan ia menemukannya!

Iris (eye color) itu masih terlihat jelas serta pahatan hidung yang ia kenali. Walaupun alis matanya sudah hilang sebelah karena terbakar, ia masih mengenali bentuk matanya.

Apa yang harus ia lakukan? Memanggilnya dengan nama asli? Atau hal itu akan membuat (name) semakin menjauhi nya.

Selama ini ternyata keluarga kecilnya itu berada disekitarnya namun ia sama sekali tidak menyadari hal itu.

"Masih."

"Aku... ambil semua."

Iri (eye color) yang Levi sukai itu berbinar tanda senang. Sangat kentara dan mirip dengan (name).

"Terimakasih, kapten! Saya ambilkan sebentar."

Lyana kembali ke dapur untuk mengambil sisa sisa roti yang akan dibungkung.

Menatap ke sekitar, ia melihat Vivi yang sedang asyik bermain dengan boneka boneka nya. Salah satu dari boneka itu ada yang ia kenali. Boneka kucing yang mirip dengan pemberian nya. Tidak ada yang menjual boneka kucing itu di distrik ini. Ia membelinya ketika berada di kota bawah tanah. Lantas Levi segera mendekatinya.

"Hai."

Vivi menoleh mendengar suara yang memanggil namanya itu. Mereka saling bertatapan cukup lama hingga respon yang Vivi berikan membuatnya terbelalak tidak percaya.

"Papa?" Ucap Vivi seraya berdiri, berjalan mendekat lalu menyentuh seluruh wajah Levi dengan tangan mungil nya.

"Papa! Mama, papa datang!"

Rasa membara membakar hati terdalam nya. Perkiraan nya tepat sasaran, tanpa sabar Levi segera memeluk makhluk kecil itu kedalam rengkuhan erat. Membawanya kedalam rasa nyaman, menuangkan rindu berat yang ia tahan selama setahun penuh.

Ia berhasil menemukan keluarganya.

Akan tetapi moment haru itu terpaksa berhenti ketika Lyana mengintrupsi.

"Kapten?"

Levi segera melepas pelukan nya pada Vivi lalu berjalan mendekati Lyana.

"(Name)"

Rada kaget terlihat jelas pada iris nya yang indah. Walaupun wajah Lyana tak menunjukkan ekspresi namun Levi mengenal (name).

"M-maaf? Anda bilang apa tadi?"

"Nama mu (name)."

"Mama, papa datang." Kali ini Vivi ikut menengahi mereka, hendak minta digendong.

Lyana lantas dengan cepat menggendong putrinya itu, memberikan roti pesanan Levi.

"Papa? Maksud Vivi, kapten itu mirip papa?"

Gadis kecil mengangguk riang."Papa yang ada di dalam mimpi."

Levi memperhatikan percakapan kecil itu kemudian menatap Lyana.

"Maaf, tapi Vivi memang suka menyamakan wajah setiap pengunjung dengan ayah nya."

Apa? Harapan dan perkiraan nya salah? Jelas mereka berdua sangat mirip dengan (name) dan Viona. Entah apa yang membuat Levi terdorong untuk mengungkapkan kebenaran itu, ia sangat merindukan (name)

Tanpa izin Levi memeluk mereka berdua dengan erat.

"Aku merindukan kalian."

🌺🌺🌺🌺🌺🌺

(Name) POV

(Name) terkejut ketika Levi memeluknya secara tiba-tiba. Tunggu sebentar, bukankah ini terlalu cepat untuk Levi menemukan dirinya? Ia tidak ingin teror itu kembali lagi.

Dengan segera ia mendorong Levi untuk melepaskan pelukan lalu ia mundur beberapa langkah darinya.

"S-seperti nya anda salah orang, kapten."

"Aku tidak salah orang. Aku mengenali mu." Jawab Levi dengan suara rendah namun terdengar lembut.

(Name) dapat melihat kerinduan yang mendalam pada iris obsidian miliknya. Apakah ia pantas merindukan wanita lain sementara ia sudah beristri?

"Ah.." (name) mencoba menutupi kegugupan yang hebat hingga membuat detak jantungnya berdegup kencang.

"Mungkin saya hanya mirip dengan nya."

Levi menggeleng, kembali mendekat.
"Kau (name). (Name) yang ku rindukan."

***************

Jika takdir memang ingin mempertemukan mereka, lantas apa yang harus (name) lakukan setelah ini? Ia terlalu takut untuk mengungkapkan identitas demi keselamatan Viona.

Teror itu terjadi karena hubungan nya dengan Levi namun (name) tidak ingin membuat Levi kesusahan karenanya.

Ia sudah dengan rela melepaskan Levi tapi kenapa pria itu berhasil menemukan nya?

(Name) menunduk karena tidak ingin bersitatap dengan Levi. Disisi lain ia juga takut jika Si peneror kembali lagi disaat ia mengandalkan dirinya sendiri untuk melindungi Viona.

"Kapten, maksud ku Levi. Tolong pergilah dari hidup ku."

"(Name). Apa kau semarah ini pada ku?"

"Tidak." (Name) kembali mengangkat wajah namun dengan kedua mata yang sudah basah.

"Aku sudah tidak layak untuk mu lagi, Levi."



Bersambung

Next?

06/07/2022

2109 kata

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top