YTMHA : Bab 25

Jika berpisah dan melepaskan bisa jadi jalan tengah yang terbaik, maka itu yang perlu dipilih.

KRYSTAL ragu untuk memilih di antara keduanya. Vigo yang berdiri di samping Krystal terlihat kurang suka kehadiran Melvin, sementara cowok itu justru bersikap masa bodoh.

"Yuk!" ajak Melvin penuh penekanan meski hanya satu kata yang diucapkannya.

"Sorry, Bro. Gue lebih dulu datang untuk jemput Krystal," katanya berusaha menahan niat Melvin.

"Gimana cantik, kamu mau berangkat bareng siapa?" Mendapat pertanyaan seperti itu membuat Krystal semakin bingung.

Tak lama kemudian, Intan dan Mutiara menghampiri ketiganya yang masih berdiri di ruang tamu.

"Loh, ada Nak Melvin juga." Intan berkomentar begitu melihat kehadiran cowok itu. Melvin langsung mendekat lalu menyambut tangan Intan untuk diciumnya.

"Iya, Bunda. Tadinya Melvin mau jemput Krystal tapi udah keduluan. Gimana kalau Bunda aja yang Melvin anter ke tempat kerja?" tawar Melvin setengah menggoda ibu dua anak itu.

Anaknya tidak bisa, ibunya pun tidak jadi masalah. Begitulah pikiran seorang Melvin. Intan menggelengkan kepalanya sembari terkekeh pelan.

"Kamu ada-ada saja, Nak. Bunda 'kan sudah ada ojek langganan, jadi nggak bisa dibatalin mendadak. Coba kalau semalem kamu bilang lebih dulu, bisa saja Bunda terima penawaran kamu."

Intan tersenyum ramah pada cowok itu. Ia menanggapi sikap Melvin meski tahu, hal tersebut hanyalah bentuk candaan anak remaja.

"Iya, tadinya tuh Melvin mau bikin kejutan, Bunda." Melvin menyengir sembari mendekat ke arah Intan. Dan hal itu tidak luput dari pandangan Vigo. Ia heran, kenapa Melvin sudah bisa sedekat itu dengan ibunda Krystal.

Mendengar ucapan Melvin, Mutiara bergegas mendekat ke arah Vigo dan melancarkan aksinya.

"Kak Vigo, anterin Muti yuk! Muti udah lama nggak dianterin Kak Vigo. Muti lagi pengin naik motor nih. Bosen naik angkot terus, Kak." Mutiara mengedipkan sebelah matanya pada Melvin, seolah memberikan akses atas rencana cowok itu agar berjalan lancar.

"Tapi, Mut...." Vigo melihat ke arah Krystal. Gadis itu sama bingungnya.

"Jadinya gimana?" tanya Krystal memecah kebingungan yang terasa.

"Ya sudah, Vigo antar Mutiara saja! Lagi pula Bunda kasihan sama Nak Melvin, sudah jauh-jauh jemput Krystal masa pulang dengan tangan kosong. Kalau Vigo 'kan nanti pulang sekolah bisa bareng Krystal lagi." Intan menatap Vigo dan Melvin secara bergantian. "Gimana Vigo, nggak masalah 'kan?"

"Iya Bunda, nggak apa-apa." Vigo berusaha memberikan ekspresi normal meski di dalam hatinya ada sedikit keterpaksaan menjalaninya.

Baru kali ini egonya terluka, biasanya apapun yang diusulkannya selalu diterima oleh orang lain. Ia selalu bisa menempatkan diri di manapun berada, seolah lingkungan sudah berkonspirasi dengannya dan Vigo mampu mengatasi hal itu.

Namun kali ini berbeda, dan hanya karena seorang Melvin, rencana yang dibuatnya menjadi tidak sesuai ekspektasi.

"Baiklah, kalau begitu. Ayo kita berangkat! Nanti kalian pada telat ke sekolah." Intan mengingatkan lalu menggiring mereka agar segera bergegas.

***

"Diem aja dari tadi, kenapa?" tanya Melvin menyelidik. Netranya menatap Krystal tepat di manik mata gadis itu. Rambut panjangnya sedikit kusut karena helm yang dipakainya tadi. Melvin menyentuh rambut itu lalu merapikannya sebentar.

Modus sedikit tidak apa-apa 'kan?

"Eh, nggak apa-apa kok." Krystal menjawab dengan nada gugup karena sentuhan Melvin pada rambutnya.

"Aku ke kelas duluan! Makasih ya, udah nganterin." Krystal hendak pamit dari parkiran namun, dengan gerakan cepat Melvin menarik tangannya.

"Tunggu dulu!" Melvin masih duduk di atas motornya sembari melihat jarum jam di pergelangan tangannya. "Masih setengah jam lagi, cukup lah buat ngobrol sebentar."

"Heung... Mau ngobrol apa?" Krystal menggaruk-garuk kepalanya seakan menghilangkan rasa gugup yang sedari tadi menyelimuti dirinya.

"Kamu kenapa sih, Cantik? Dari tadi kok kayak salah tingkah begitu?" tanya Melvin serius namun gadis itu menangkapnya sebagai godaan.

"Nggak apa-apa kok, bener deh." Krystal meyakinkan cowok itu.

Melvin berpikir, sikap Krystal pagi ini berhubungan dengan jawabannya waktu itu. Dan jujur saja, wajah Krystal saat ini sangat menggemaskan baginya. Melvin meraih jemari Krystal lalu membawanya ke dada cowok itu. Dan hal tersebut membuat Krystal bergeming di tempatnya berdiri.

"Berdetak lebih cepat 'kan?" tanya cowok itu. Lagi. Tatapannya seolah menembus iris mata Krystal. "Ini, yang selalu terjadi saat aku dekat sama kamu." Setelah itu Melvin kembali menggenggam tangan mungil itu.

Melvin tersenyum saat melihat Krystal menoleh ke kanan dan ke kiri, rasa gugup yang dirasakan Krystal membuatnya tidak nyaman. Sebenarnya Krystal ingin menanyakan soal status hubungan mereka tapi, apa tidak aneh bicara seperti itu.

Kalau dipikir-pikir lagi, Krystal ingin memberi kesempatan untuk Melvin. Oleh karena itu, ia berkata akan membuka hatinya untuk Melvin meski kata cinta masih terbilang jauh baginya.

"Melvin!"

"Iya, cantik."

"Soal... Itu, soal... Jawaban kemarin." Melvin masih memperhatikan gadis itu berbicara terbata. "Aku bilang, mau coba buka hati... buat kamu."

"Iya, terus?" Melvin masih menuntun gadis itu berbicara seolah Krystal adalah anak berumur dua tahun.

"Itu tandanya kita...." Krystal menatap Melvin penuh rasa malu namun ia butuh kejelasan. Ia tidak ingin terjadi kesimpangsiuran mengenai hal ini. "Kita, belum jadian 'kan?"

Mata Melvin menyipit, ia tidak tahan untuk mengeluarkan tawa tetapi berusaha keras ditahannya. Gadis cantik di depannya ini benar-benar menggemaskan. Dan hal tersebut, membuat Melvin semakin ingin menggodanya. Kemudian cowok itu membuat tampang serius dan cool.

"Udah dong. Kamu bilang mau coba, dan itu artinya kamu setuju untuk jadi pacarku."

"Tapi kamu nggak nanya langsung kok kemarin," cicit Krystal teramat polos.

"Ya itu 'kan ajakan pacaran secara halus," sahut Melvin tidak mau kalah.

"Nggak ah, aku merasa nggak seperti itu. Kemarin aku cuma jawab tentang kesiapan buka hati buat kamu bukan nerima kamu jadi pacarku." Krystal masih bertahan pada pendiriannya.

"Terus bedanya apa?"

"Ya status kita bukan jadian tapi deket aja," sahutnya dengan nada gugup sekaligus malu.

"Terus kapan aku diterima jadi pacar kamu?"

"Nanti, eh." Krystal refleks menutup mulutnya.

"So, ada kemungkinan 'kan, suatu hari kamu bakal jadi pacarku?"

"Ah, nggak tau ah. Kamu nanya terus kayak orang nawar di pasar!" Krystal mencebikkan bibir bawahnya.

Melvin akhirnya bisa tertawa dan meluapkan apa yang dipendamnya sedari tadi. Melihat wajah cemberut Krystal, ia sudah tidak tega untuk berpura-pura serius. "Iya-iya, kamu tenang aja, Krys. Kapanpun kamu siap jadi pacarku, kamu nggak perlu ragu dan malu buat bilang karena hatiku akan selalu buat kamu."

"Gombal!"

"Gombal dari mananya coba? Aku serius begini juga." Setelah itu keduanya tertawa bersama.

***

Krystal, Diandra dan Vigo sedang berada di kantin Metro. Krystal senang akhirnya Vigo bisa kembali bergabung dengan mereka. Ada baiknya juga cowok itu putus dengan Sylvia, dan bisa kembali menjadi Vigo yang dulu.

"Go, kamu masih gagal move on?" tanya Diandra dengan nada santai. Krystal masih mengaduk-aduk bakminya, ia juga menanti jawaban dari Vigo.

"Pertanyaan kamu kurang pas untuk ditujukan ke orang yang baru putus seminggu yang lalu, Di." Vigo menjawab meski pandangannya fokus pada bakmi yang tengah dinikmatinya.

"Oh jadi masih kepikiran?"

"Of course, aku juga manusia yang punya perasaan." Krystal mengembuskan napas lemah seolah merespons jawaban yang Vigo ucapkan.

Krystal mengedarkan pandangan ke sekeliling kantin, dan tiba-tiba ia melihat kerumunan murid di dekat area penjual makanan.

"Itu ada apa ya rame-rame? Pada kumpul di sana," ujar Krystal. Vigo dan Diandra ikut menoleh ke arah pandangan Krystal.

Ketiganya semakin penasaran, ditambah para siswa dan siswi Metro sudah membuat lingkaran besar untuk melihat kejadian tersebut. Lalu ketiganya memutuskan untuk ikut melihat.

Begitu menyaksikan hal yang sebenarnya terjadi di depan mata, Vigo sangat terkejut. Begitu pula dengan Krystal dan Diandra. Terlebih, tidak ada yang membantu sama sekali.

"Go, bantuin!" pinta seorang gadis bernama Kelly saat melihat kehadiran Vigo di antara murid-murid yang lain.

"Ngapain sih, Go. Dia udah mencampakkan kamu, buat apa kamu berbuat baik sama dia?" Diandra berusaha memberi peringatan.

Hati kecil Vigo masih sangat peduli pada gadis itu namun, mau bagaimanapun Sylvia sudah menyakiti hatinya.

"Ayo, Go. Lo nggak kasihan apa lihat dia pingsan kayak begini," ujar Lola setengah memaksa cowok itu.

Sementara di tempatnya berdiri, Krystal menahan sesak. Ia tahu Vigo masih peduli pada Sylvia dan bagaimanapun posisi gadis itu tidak akan mampu tergantikan olehnya. Sekalipun mereka sudah putus.

Apa ini memang sudah saatnya Krystal move on dari Vigo dan menjemput kebahagiaannya sendiri?

Setelah berpikir cukup keras, Vigo memilih untuk membantu gadis yang berstatus mantan pacarnya tersebut. Vigo membawa Sylvia ke dalam gendongannya lalu segera menuju UKS. Dalam hatinya, Vigo begitu khawatir melihat keadaan Sylvia yang pucat dan lemah.

Ada apa dengan Sylvia?

Dua puluh menit berlalu, kecemasan masih dirasakan oleh Vigo ketika dirinya sudah berada di kelas. Apa Sylvia sudah sadar? Apa Sylvia akan baik-baik saja?

Setelah mengantar Sylvia tadi, Vigo berniat menunggu gadis itu sadar namun Diandra menolak secara terang-terangan. Krystal juga menyarankan agar Vigo kembali ke kelas. Mereka harus semakin fokus belajar karena ujian sudah di depan mata.

Bel pulang berbunyi menandakan jam pelajaran sudah berakhir. Krystal menunggu Vigo di dekat arah gerbang sekolah. Cowok itu bilang, akan pulang bersama. Tak lama kemudian, ia melihat Sylvia lewat di depan matanya. Gadis itu masih terlihat pucat.

"Sylvia!" panggil Vigo dari arah belakang. Krystal bisa menyaksikan adegan itu.

Sylvia berhenti melangkah karena panggilan Vigo. Ia menunggu apa yang akan dikatakan cowok itu.

"Kamu udah baikan?"

"Seperti yang kamu lihat," sahutnya dengan nada yang dibuat dingin.

"Mau aku antar pulang?" tawar Vigo padanya.

Mendengar hal itu, Krystal sedikit menahan napas. Vigo sudah berjanji kepadanya untuk pulang bersama tapi ketika melihat Sylvia, rencananya bisa dengan mudah berubah.

"Aku dijemput," katanya. "Makasih tadi udah nolongin aku. Lain kali, kamu nggak perlu kayak gitu lagi sama aku!"

"Maksud kamu?"

"Kamu bisa abaikan aku, itu lebih baik." Setelah mengatakan hal itu, Sylvia menatap ke arah Krystal sebentar lalu pergi dari tempat itu.

Vigo masih merasakan keganjilan di dalam hatinya, dan hal itu ada hubungannya dengan sikap Sylvia. Gadis itu benar-benar aneh. Sebenarnya apa yang sudah terjadi?

Perasaan sakit dan sedih memang berat, saat bayangan dan impian masa depan yang dirangkai bersama itu sirna dengan kenyataan yang begitu pahit. Tapi bukankah kita juga perlu memahami bahwa memaksakan sesuatu yang mustahil juga tidak akan mendatangkan kebaikan.

Bagaimana kalau jadinya justru semakin saling menyakiti dan melukai? Jika berpisah dan melepaskan bisa jadi jalan tengah yang terbaik, maka itu yang perlu dipilih. Baik Krystal maupun Vigo sudah memilih.

Entah, yang dipilihnya akan membawanya pada kebahagiaan yang sesungguhnya atau tidak. Yang jelas, keduanya masih mempunyai harapan atas pilihannya.

***

Mungkin kalian akan berpikir, kenapa kok sikap Krystal plin-plan gini ya? Krystal kok ribet bgt sih, tinggal pilih Melvin aja kelar perkara. Krystal kenapa masih ngarepin Vigo sih?

Ketika kamu mengenal orang baru tapi sesungguhnya kamu belum berhasil move on dari masa lalu.
Apa yang akan kamu lakukan?

Ada yang pernah ngalamin?

So, enjoy the story.

07 April 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top