YTMHA : Bab 22
Ternyata begini rasanya diperhatikan dan dilindungi.
-Krystal-
HARI ini Krystal berencana makan siang dengan sang ayah. Mereka sudah membuat janji sebelumnya. Galih mengatakan akan menjemput Krystal di sekolah, lalu setelah itu giliran sekolah Mutiara yang mereka sambangi. Sementara Intan tidak bisa ikut, karena harus mempersiapkan soal-soal untuk ujian di sekolah tempat ia mengajar.
"Beb, pensi nanti ikutan tampil nggak?" Diandra kembali menghampirinya, selesai membantu Miss Rachel membawa hasil tugas para murid ke ruang guru.
"Nggak!"
"Kamu tuh, nggak pernah ada keinginan gitu buat show off?"
"Buat apa, Di? Kamu 'kan tau sendiri kalau aku nggak suka jadi pusat perhatian."
"Sekali-kali nggak apa-apa beb, dengan begitu nanti banyak orang yang akan kenal sama kamu. Bagus juga 'kan buat membangun pertemanan?"
"Iya sih. Tapi buat apa Di, punya banyak temen kalau mereka cuma mengharapkan sesuatu dari kita. Aku sih lebih milih punya satu sahabat, dibandingkan punya banyak temen tapi mereka jahat di belakang."
"Hemp, bener juga sih. Aku kok nggak kepikiran sampai ke situ ya. Ini nih ... Khasnya kamu, penuh pertimbangan emosional kalau udah ngambil keputusan."
Ucapan Diandra memang benar adanya. Memiliki watak dasar Melankolis, membuat Krystal penuh dengan pertimbangan ketika sedang mengambil sebuah keputusan.
Mereka berdua sudah berganti pakaian dengan kaus olahraga. Lalu langkah keduanya terus berjalan menuju lapangan voli. Sesuai dengan jadwal yang sudah disampaikan oleh guru olahraga mereka, bahwa Mr. Ardy akan mengajarkan para murid bermain bola voli pada pertemuan kali ini.
Terik matahari tak melunturkan semangat para murid di kelas Bahasa, terutama siswa laki-laki. Olahraga merupakan kegemaran mereka, meski tak menutup kemungkinan para siswi pun menikmati permainan bola voli.
Bagi Krystal, bermain voli itu tergolong cukup sulit, karena untuk mempelajari permainan ini biasanya harus menahan sakit di tangan akibat pukulan pada bola. Ditambah ia harus mempelajari teknik-teknik dari permainan yang tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat.
Selesai mengikuti pelajaran olahraga, Diandra tidak mengganti kausnya, menurutnya tanggung karena mata pelajaran olahraga berada pada jam terakhir di kelasnya. Sementara Krystal, gadis itu tetap mengganti kausnya karena ia tidak suka dengan baju yang berkeringat.
"Ayah kamu belum jemput?" tanya Diandra saat keduanya sudah berada di halte.
"Sebentar lagi sampai sih katanya," jawabnya seraya melirik jarum jam di tangan kirinya. Waktu sudah menunjukkan pukul satu siang.
Bus milik Diandra sudah datang lebih dulu dibanding kedatangan ayah Krystal. Sahabatnya itu pamit dan langsung naik ke dalam bus. Sejurus kemudian, mobil sedan berwarna hitam berhenti di halte tepatnya di depan Krystal.
"Kak!"panggil seseorang di balik kemudi seraya menurunkan kaca mobilnya. Krystal memperhatikan pengemudi lalu tersenyum hangat, karena mobil tersebut memang milik ayahnya.
Gadis itu masuk dengan penuh semangat. Baru kali ini ia dan sang adik akan makan siang bersama ayahnya. Tentu hal ini merupakan momen yang berharga baginya. Sejak dulu hal ini menjadi cita-citanya, berkumpul kembali dengan keluarganya. Dan sekarang, akhirnya ia diberi kesempatan untuk merasakan hal ini.
"Lama nunggunya?" tanya Galih saat Krystal sudah duduk sempurna. Lalu mobil kembali melaju menembus jalanan ibu kota.
"Hemp, lumayan sih."
"Maaf yah, tadi Ayah harus menyelesaikan pekerjaan dulu di kantor." Galih berusaha menjelaskan agar Krystal bisa mengerti.
"Iya nggak apa-apa kok, Yah. Tadi juga ditemenin sama Diandra."
"Diandra, sahabat kamu?"
"Iya betul, Yah."
"Baiklah, kalau begitu sekarang kita jemput Mutiara ya." Krystal mengangguk antusias.
Krystal sungguh bersyukur, akhirnya ia bisa merasakan memiliki seorang ayah. Ternyata begini rasanya diperhatikan dan dilindungi.
***
Galih membawa Krystal dan Mutiara ke rumah makan favoritnya. Rumah makan Sunda yang terletak di pusat kota. Krystal langsung bisa merasakan nuansa homey saat memasuki ke bagian dalam restoran. Kursi dan meja yang terbuat dari kayu jati menambah suasana pedesaan, tenang dan damai.
Selesai memesan makanan, ketiganya berbincang santai. Si bungsu lebih banyak bercerita tentang pelajaran di sekolahnya. Kini, Mutiara duduk di bangku kelas IX Sekolah Menengah Pertama.
Selang beberapa waktu kemudian, makanan yang mereka pesan sudah disajikan dengan rapi di atas meja. Tanpa membuang waktu lagi, ketiganya langsung menyantap dengan nikmat. Mengingat waktu makan siang sudah terlewat dua jam yang lalu.
Aktivitas makan siang mereka diselingi tawa dan gurauan dari Galih kepada anak-anaknya. Bahagia yang lelaki itu rasakan tidak bisa ditukar dengan apapun. Kali ini, ia rela kehilangan semuanya demi melihat kedua anaknya tersenyum seperti ini.
Dari arah pintu masuk, dua gadis tengah memperhatikan aktivitas Galih, Krystal dan Mutiara dengan penuh tanya. Satu dari keduanya terlihat geram namun juga kesal. Ia penasaran, ada hubungan apa kedua gadis itu dengan sang ayah tiri?
"Apa yang kalian lakukan di sini?" cecarnya saat mendatangi meja yang dipesan oleh Galih. Ketiganya langsung menoleh, saat mendengar pertanyaan dari gadis yang sudah mendatangi mereka.
"Sylvia!" seru Galih yang tampak terkejut melihat kedatangan anak tirinya itu. "Bella, kenapa bisa ada di sini?"
"Kita mau makan juga, Yah." Bella menjawab.
"Kenapa Ayah bisa sama mereka?" tanya Sylvia tidak sabar.
"Bella, Sylvia duduk dulu biar Ayah jelaskan!" Meski kesal, Sylvia menurut lalu duduk sesuai perintah Galih sama halnya dengan Bella. "Maaf sebelumnya karena Ayah belum menceritakan hal ini kepada kalian."
"Nggak perlu basa-basi, langsung aja ke intinya!" teriak Sylvia dengan nada memerintah.
"Dek, jaga sikap!" Bella memberi peringatan kepada sang adik.
Krystal dan Mutiara tidak habis pikir dengan sikap kasar yang ditunjukkan oleh Sylvia terhadap ayahnya. Meski Galih merupakan ayah tiri, tetapi harusnya Sylvia bisa menjaga sopan santun pada orang yang lebih tua.
"Krystal dan Mutiara adalah anak kandung Ayah dari pernikahan sebelumnya," jujur Galih pada kedua anak tirinya. Mata Sylvia memelotot kaget, sementara Bella masih bergeming di tempat duduknya.
"Apa?" Sylvia merasa tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar dari mulut Galih. Sama halnya dengan Bella, namun gadis itu lebih bisa menguasai situasi.
Yang benar saja, Krystal saudara tirinya. Bagaimana mungkin, hal ini bisa terjadi? Sylvia merasa tidak terima dengan fakta yang baru saja didengarnya. Kenapa Sylvia harus bersaudara dengan musuh bebuyutannya?
"Jadi mereka berdua anak kandung Ayah?" Bella ikut bertanya kepada Galih.
"Betul Bella, Ayah harap kalian bisa menganggap Krystal dan Mutiara sebagai saudari kalian." Galih mengatakan penuh harap. "Ayah tahu, sebagai anak kalian merasa kecewa dengan sikap kami para orang dewasa. Secara tidak langsung kalian juga sudah menjadi korban atas keegoisan kami di masa lalu. Tapi, semua ini sudah terjadi dan harapan terbesar Ayah adalah kalian bisa rukun sebagai saudara."
"Aku nggak bisa terima ini." Sylvia hendak beranjak dari tempat duduknya namun Bella menahan. "Sampai kapanpun aku nggak bakalan terima mereka jadi saudaraku!"
"Dek!" panggil Bella, mencoba menenangkan sang adik. Kemudian Sylvia berdiri dari tempat duduknya karena sudah merasa muak.
"Ada masalah apa ini?" tanya Vita yang baru saja sampai di sana. Sebelumnya ibu dari dua anak itu, memang sudah merencanakan pertemuan dengan kedua anaknya di restoran ini.
Ketegangan mendominasi tempat tersebut, apalagi Krystal dan Mutiara. Kedua gadis itu menatap semua orang dengan raut wajah penuh kekhawatiran.
"Galih, ternyata kamu masih saja berhubungan dengan masa lalumu?" Vita menatap sinis ke arah suaminya. "Kamu lupa apa yang sudah aku katakan waktu itu?"
"Vita, kita bisa bahas masalah ini di rumah bukan di sini. Kamu mau makan 'kan sama anak-anak? Ayo gabung!"
"Nggak sudi aku gabung sama anak dari wanita itu!"
"Jaga mulut kamu, Vita!" Galih sudah berdiri dari tempat duduknya.
"Kenapa?" Vita justru menantang.
"Aku sudah bilang, bicarakan masalah kita di rumah!" Galih kembali memberi peringatan. "Aku mau mengantar Krystal dan Mutiara dulu setelah itu aku akan pulang."
"Mereka punya kaki, tidak perlu kamu antar!"
"Ayah, aku sama Mutiara naik taksi aja. Ayah nggak perlu khawatir," ujar Krystal seraya menggandeng lengan sang adik, bersiap untuk meninggalkan rumah makan tersebut.
"Kamu yakin?" Krystal dan Mutiara mengangguk yakin, membuat Galih merasa lega secara tidak langsung. Memang kedua anaknya mirip sekali dengan Intan, tidak pernah mau merepotkan orang lain. "Ya sudah kalian hati-hati ya!"
Setelah kepergian Krystal dan Mutiara, Galih menatap istrinya dengan tajam. Sementara Sylvia ikut keluar dari rumah makan tersebut. Ia sudah jengah melihat drama yang baru saja terjadi di depan matanya.
Sesampainya di pelataran restoran, Sylvia melihat Krystal masih menunggu taksi di sana. Ia sangat gemas, dalam artian kesal melihat gadis yang selama ini sudah dianggap sebagai musuh olehnya bisa menjadi saudaranya. Sungguh mimpi yang sangat buruk.
"Sejak kapan lo tau?" tanya Sylvia. "Tentang fakta ini?" Sylvia masih berdiri di belakang Krystal.
"Belum lama ini." Krystal masih setia menggandeng lengan Mutiara, tanpa harus repot-repot menatap wajah Sylvia.
"Dan lo justru menerima?" Sylvia masih berkata sinis. "Krystal, inget ya. Sampai kapanpun gue nggak akan pernah mau menganggap lo sebagai saudara gue!" tukasnya frontal.
"Aku juga nggak berharap kamu nerima. Lagipula keluargaku nggak bersalah, yang ada Mama kamu tuh yang cinta buta sama Ayahku." Krystal berusaha membela diri, terutama orang tuanya.
"Kurang ajar lo ya, berani banget ngomong begitu sama gue!" Sylvia menarik kasar lengan Krystal, sehingga gandengan tangannya pada Mutiara terlepas. "Nyokap lo kali yang udah nggak bisa ngasih kebahagiaan sama bokap lo!"
"Jaga ucapan kamu!"
"Kenapa? Ucapan gue bener ya?"
"Fakta sebenarnya adalah Mama kamu yang udah ngerebut Ayah dari Bundaku. Dan itu nggak akan pernah bisa kamu hindari, Sylvia."
Krystal tidak ingin harga diri keluarganya diinjak-injak begitu saja. Dan hal tersebut justru menimbulkan amarah yang semakin membuncah bagi Sylvia. Gadis itu meremas pergelangan tangan Krystal cukup keras, membuat gadis itu meringis kesakitan
"Kamu jangan kasar ya. Lepasin tangan Kak Krystal!" perintah Mutiara, tak tahan dengan sikap arogan Sylvia.
Adu mulut terjadi cukup alot, mengingat Sylvia dan sifat keras kepalanya sulit untuk dikendalikan. Sampai akhirnya seseorang datang menghampiri mereka dengan santai bak superhero.
"Lepasin cewek gue! Atau lo mau gue laporin sama satpam di sini?"
***
Welcome back, selamat menikmati cerita ini.
Apa yang mau kamu lakukan, kalau ketemu cewek macam Sylvia?
A. Bales dong
B. Cuekin aja
C. Isi sendiri
Happy Saturday Night
Jangan lupa ikutan giveaway ya! Lumayan dapat hadiah loh, dari pada bengong 'kan malam minggu begini.
16 Maret 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top