7
Rabu, pukul 18.30
Aku menarik satu sudut bibir. Ada perasaan bangga saat aku berhasil datang lebih awal dari perjanjian. Sejak Senin—hari aku mendial nomor Papa Kimkim, Mbak Velia mendadak jadi reminder. Kerjaannya mengingatkan aku mengenai 'Tepat waktu', 'Jangan telat', 'Datang lebih awal'. Dan Yes, aku berhasil. Tentunya atas kerjasama dari Bapak Grab.
Aku segera menuju musolah di lantai atas untuk menjalankan ibadah lalu turun satu lantai ke bioskop sekedar mengecek film yang sedang tayang. Syukur syukur kalau ada yang cocok dan bisa dicantumkan ke rencana weekend ini.
Papa Kimkim
Malam, miss. Saya sudah di GI.
Aku menimbang balasan apa untuk membalas SMS Papa Kimkim. Harus yang sopan, sekaligus ramah dan baik hati. Orang-orang mengharapkan anak mereka diajar oleh guru yang baik luar dalam, hal itu perlu tercermin pula di chat.
Aku
Saya sedang di bioskop. Kita bertemu dimana pak?
Satu detik.
Lima detik.
Sepuluh detik.
Mana balasannya, Pak? Bathinku.
Aku duduk di bangku depan bioskop sembari menatap layar ponsel. Takut aku tidak menyadari pesan masuk.
Lima menit berlalu tanpa balasan. Aku mendengkus. Begini sebalnya kalau menunggu klien kali ya, pikirku membayangkan omongan orang-orang yang bekerja dengan meeting dan appointment padat.
"Miss Sandra."
Aku mengangkat kepala untuk melihat si pemilik suara. Papa Kimkim sudah berdiri di depanku. Jika aku memotret penampilannya sore ini lalu kupamerkan ke para miss ceriwis, pasti liur mereka menetes.
"Miss." Dahi Papa Kimkim berkerut. Mungkin bingung melihat aksi diamku.
"Apa kabar, Pak?" Aku bangkit berdiri. Berbasa-basi tanpa berusaha menawarkan jabat tangan. Bukan maksud sombong, cuma menghindari khilaf kulit. Sentuhan dengan laki-laki kece berpotensi membawa dosa. Aku cukup sadar diri pada level penyakit jomlo nelangsa yang aku idap. Sebaiknya tidak ada sentuhan sama sekali dan jiwaku tetap di jalur yang tepat.
"Kabar baik, Miss sendiri apa kabar?" Senyumnya mengembang menyebabkan hati jomlowatiku lumer. Kan, susah menjaga imej.
"Baik juga, Pak." Aku mendadak mati gaya, padahal aku biasa berhadapan dengan orang tua murid sejak memilih profesi ini enam tahun lalu. Bertemu orangtua murid pada malam hari pasti adalah alasan aku kaku. Aku yakin itu. Orangtua murid, pukul tujuh malam, GI, dan wajah pasca naik ojek adalah kompilasi sempurna aku canggung bersikap di depan Papa Kimkim.
"Kita mau mengobrol dimana, Miss?"
"Di emm.." Aku mati gaya. GI bukan lahan jajahanku. Mestinya di awal aku menolak bertemu di sini dan memilih Blok M yang jelas lebih dekat dari sekolah. Demi murid ya sudah jalani, suara malaikat hatiku. "Sini," lanjutku dengan tampang sok ceria— yang barangkali juga dungu.
Mata Papa Kimkim membesar sepersekian detik lalu balik normal. Kaget pasti. Aku menunjuk ke arah sofa yang barusan kududuki. "Di sini?" tanyanya sarat akan kehati-hatian.
Aku mengangguk. Maaf maaf saja, ini keputusan mendadak. Memilih tempat makan bukan keahlianku. Semua makanan enak asal tidak membuat lidahku kepanasan, kepedasan, dan keasaman, serta familiar di perut. Sementara lawan bicaraku tidak tampak seperti seseorang yang punya selera sekelasku. Aku duduk lagi, berpura-pura tidak menyadari gelagat ketidaknyamanannya. Mau diadukan ke Mbak Velia pun aku pasrah. Aku menolak keras jika nanti ada pemberitahuan penolakan reimburse makan bersama orangtua murid di luar lingkungan sekolah.
"Bapak ada rekomendasi tempat mengobrol lain?" Aku bertanya basa-basi.
Dia tersenyum. "Kalau Miss nyaman mengobrol di sini, saya tidak masalah." Dia duduk di sampingku.
Ssstt.. diam-diam aku sudah mengincar satu film yang sedang tayang di bioskop dan berencana akan menontonnya setelah ini. Biarlah Bapak ganteng duduk di sini, yang penting aku tidak perlu jalan jauh ke bioskop. Satu kebiasaanku yang butuh diperbaiki, malas gerak.
"Saya baru menjadi guru Kimkim selama sekitar sebulan. Saya akui Kimkim menunjukan banyak perkembangan selama sekolah. Saya mengajak Bapak bertemu agar kita bisa share info Kimkim di sekolah dan di rumah. Jadi kita bisa encourage Kimkim di dua tempat itu, Pak."
"Begitu ya, Miss." Ekspresi Papa Kimkim berubah serius.
"Jika ada issue di rumah atau sekolah yang mau Bapak bahas, boleh silakan."
"Kimmy pernah sedih karena Mommy Luth," katanya.
Oke, ini sedikit bergeser dari prediksiku. "Apa yang diceritakan Kimkim soal Mommy Luth?"
Dia memandang lantai dengan sinar mata menerawang. Jujur, aku merasakan auranya berubah. "Kimmy ingin punya ibu seperti Mommy Luth."
Tepat seperti tebakanku dulu. Kimkim terlihat terlalu bersemangat jika bertemu Mommy Luth. "Sekarang dia tidak mau membicarakan Mommy Luth lagi karena Daddy Luth," lanjut Papa Kimkim.
"Bapak pernah menanyakan alasan spesifiknya?"
"Karena dia melihat Daddy Luth. Itu saja. Saya jadi berpikir emm.." Wajah Papa Kimkim menimbang-nimbang sesuatu. "Begini, Miss. Kimmy besar di keluarga yang berbeda dengan anak lain. Saya dan Bunda Kimmy sudah berpisah sehingga pola asuh kami pun tidak sempurna bagi Kimmy. Saya melihat kecenderungan Kimmy mengagumi Mommy Luth karena mencari pengganti sosok yang hilang sebagai pendamping saya. Memang Kimmy punya Bunda tapi sosoknya sangat jarang ditemui apalagi setelah bundanya punya bayi yang butuh perawatan lebih. Saya juga menyadari kehadiran saya bagi Kimmy masih kurang."
Ada gelitikan lembut di bathinku. Sosok gadis kecil yang selalu menarik perhatianku dengan segala penolakannya berkelibatan. Bocah itu terlalu kecil untuk meratapi nasibnya namun juga tidak cukup bodoh untuk menyadari ketidaksempurnaan hidupnya.
"Apa pernah Bapak membahas masalah Bapak dan Bunda Kimkim hidup terpisah tapi tetap menyayangi Kimkim?"
"Saya pernah membahas itu dulu."
Aku berada di ujung ketangguhanku. Membicarakan lebih banyak mengenai Kimkim akan membuatku semakin mengasihaninya dan bukan itu yang kuharapkan. Aku ingin mencintainya tulus tanpa tedeng iba dan kasihan. "Pak, saya akan coba membahas mengenai perbedaan kondisi tiap keluarga di kelas, semoga bisa membantu memberikan Kimkim pemahaman mengenai keadaannya." Aku menggigit bibir bawah demi menahan ledakan emosi dalam dada.
"Terima kasih, Miss," ucapnya lembut.
"Apa ada lagi, Pak?"
Papa Kimkim menggaruk keningnya. "Mama Revi, Miss."
Aku memiringkan kepalaku bingung. "Maksudnya?"
"Kimmy juga sepertinya mengagumi Mama Revi." Ekspresi malu-malu Papa Kimkim sungguh imut. Boleh nggak pose begini sepuluh detik biar saya videoin buat pengantar tidur?
"Kimkim sepertinya menyukai ibu teman-temannya ya. Sangat wajar, Pak. Kadang saya sebagai orang dewasa juga mengagumi mereka yang bisa bekerja keras merawat anak mereka sebegitu bagusnya."
"Bukannya Miss lebih hebat bisa mendidik anak-anak jadi pintar."
"Eh masak sih?" Mulut tercela, mudah sekali terpancing pujian.
"Tentu saja, Kimmy sekarang bisa dekat dengan anak lain tentu atas bantuan Miss."
Itu sih karena Mommy Luth yang memberi motivasi, bathinku. "Saya tidak sehebat itu, Pak. Nyatanya saya datang ke sini karena ada banyak kekurangan saya mendidik Kimkim di kelas yang mungkin bisa diberikan solusinya oleh Bapak." Aku menutup ucapanku dengan tawa kecil untuk mencairkan suasana.
Papa Kimkim mengulum senyumnya. Aku mengalihkan pandanganku ke arah eskalator. Kata orang, jangan kebanyakan melihat orang cakep karena cakepnya bisa membuat kita lupa diri dan berharap lebih—yeah you know lah 'lebih' yang aku maksud. Ada beberapa pasang muda mudi lewat di depan kami. Banyak dari mereka tidak malu menunjukkan kemesraan seperti rangkul pinggang dan pegangan tangan. Namun tidak jarang juga beberapa perempuan yang melirik ke arahku. Lemme clear, ke arah di sebelahku. Aku mah cuma butiran debu.
"Miss bisa bantu saya untuk terus memperhatikan Kimmy."
Aku melirik cepat. Kalimat barusan terasa seperti sentilan bagiku. Biar aku kelihatan tidak acuh dan kurang manis pada anak-anak, bukan berarti aku tidak memperhatikan mereka. I just have my own way to express it. Ingin sekali aku berkata, tanpa Bapak minta, saya tahu apa yang seharusnya saya lakukan sejak saya memilih profesi ini. Dan akhirnya aku berkata, "Tentu saja, Pak." sambil tersenyum.
"Terima kasih, Miss. Saya benar-benar terbantu," katanya sambil tersenyum dan mengedip begitu polos. Satu lagi ekspresi wajah Papa Kimkim yang aku catat akan membuat guru lain rela bertukar kelas.
"Jangan sungkan untuk menceritakan seputar Kimkim pada saya. Itu akan sangat menyenangkan. Saya masih harus mempelajari Kimkim di rumah agar saya bisa membuat Kimkim nyaman di kelas. Saya nggak mau anak murid saya mogok sekolah karena saya menekan mereka dengan target belajar yang berlebih apalagi jika tanpa kerja sama dari pihak keluarga. Saya mau kita bisa kerja sama untuk kebaikan Kimkim."
Papa Kimkim tersenyum yang kubalas senyum singkat. "Sepertinya Kimmy beruntung masuk di kelas Miss Sandra."
"Saya harap begitu," lirihku sambil membuang pandanganku pada pintu bioskop. Di sana, tidak lebih dari sepuluh meter, berdiri seseorang yang menatapku. Bola mataku membesar ketika menyadari siapa orang itu.
"Pak, saya harus segera pulang." Aku berdiri sambil menggendong tasku penuh kepanikan.
Papa Kimkim berdiri. Mulutnya terbuka lalu tertutup tanpa mengeluarkan suara.
"Aidan!"
Papa Kimkim melongok melintasi bahuku. Badanku menegang sempurna. Aku masih mengingat jelas suara itu apalagi pemiliknya. Aku enggan balik badan, jika bisa aku ingin lenyap dari tempat ini ke dimensi berbeda asal tidak bertemu orang itu.
"Jason." Senyum di wajah Papa Kimkim mengembang. Dia menggeser badannya ke sebelahku. Ini gila, jelas-jelas aku menolak dengan keras berada di situasi ini tapi tubuhku malah menolak mengikuti perintah otakku untuk kabur. Jiwa profesionalitasku masih berada di puncak agar tidak pergi tanpa berpamitan.
"Sedang apa di sini?"
Bulu kudukku meremang. Suara bariton di belakangku seolah punya kekuatan magis mempermainkan dalam dan luar diriku. Situasi bertambah buruk karena Papa Kimkim tampak mengenal dia.
"Sedang membahas sekolah Kimmy. Kenalkan, ini guru Kimmy di sekolah." Papa Kimkim menelengkan kepalanya dan memberi kode lewat mata.
Aku berputar pelan sambil merapalkan umpatan bagi orang yang mendadak muncul di antara aku dan Papa Kimkim. Aku melirik sekilas ke arah pria yang tadi berdiri di depan bioskop. "Hai," desisku lalu buru-buru menundukkan kepala.
Terdengar suara kekehan kecil. "Apa kabar, Sandra?"
"Kalian saling kenal?" Pertanyaan Papa Kimkim membuat leherku tertohok. Ogah banget menjawab ya untuk pertanyaan Papa Kimkim, tapi aku terpojok di kondisi dengan alasan pribadi dan profesi. Kredibilitasku akan merosot kalau Papa Kimkim menemukan keganjilan dalam hubungan kami. Terasa aneh jika ada guru yang tidak bisa berhubungan baik dengan orang lain di saat guru itu sendiri mengajarkan muridnya untuk berbuat baik pada semua orang. Sementara aku adalah manusia murni yang tersusun dari emosi yang butuh lebih dari kata forgive dan forget untuk kembali berhubungan baik. Semua orang dewasa dengan otak waras tentu tahu permasalahan ini di luar konteks profesi mereka. Kamu juga, kan?
"Kami.."
"Satu kampus," potongku cepat. Aku meneguk ludahku sendiri. Itu jawaban jujur tapi berdampak kering kerongkongan seperti tengah berbohong.
Papa Kimkim dan pria itu bertukar pandang. Awas saja jika pria itu mengirim telepati atau kode aneh ke orang tua murid baruku ini.
"Kami dulu pernah kerja bareng. Sekarang sudah lewat lima tahun nggak pernah ketemu," papar Papa Kimkim.
Lima tahun.
Otakku berputar pada kejadian lima tahun yang lalu. Aku tersenyum tipis sambil HANYA memandangi wajah Papa Kimkim. Aku sengaja tidak mengacuhkan orang di hadapan kami yang belum juga melepaskan pandangannya dariku.
"Kalau begitu saya pamit saja, biar Bapak punya waktu reuni dengan teman lama." Aku masih tidak melepaskan mataku dari Papa Kimkim. Sabodoh omonganku sebelumnya yang bilang pantang melihat orang cakep. Makhluk Tuhan satu ini cukup low profile untuk tidak senyum tepe-tepe dilihatin perempuan. Apa karena yang liatin aku yang pas-pasan gini kali?
"Loh mau pulang, Miss? Nggak mau makan dulu?"
Masih bahas makan? Duh Gusti, tolong! "Tidak, Pak. Saya sebaiknya pulang saja, sudah malam. Permisi." Aku melangkahkan kakiku terburu-buru.
###
31/01/2020
Sarapan pagi buat kamu 😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top