6

Akhir tahun bukan sekedar menunggu libur natal dan tahun baru di sekolah. Akhir tahun pun dijejali agenda sekolah. PTC, PTM, December event, training akhir tahun, lesson plan semester baru, dan ubah dekorasi kelas adalah rentetan target yang mencekik. Satu-satunya hiburan adalah teachers' party sebelum liburan. Yehee\(^o^)/

PTM (Parents Teachers Meeting) semacam rapat pihak sekolah dan seluruh orang tua murid membahas aktivitas sekolah selama satu semester dan agenda sekolah di semester berikutnya.

Report card sudah diperiksa Mbak Velia, tinggal tunggu hasil pemeriksaan dari owner. Pemilik sekolah kami memang sangat memerhatikan detail kerja karyawannya dan mau turun tangan melakukan double check untuk report card dan agenda sekolah. Kemudian kami menyiapkan pembagian student report card. Selain pembagian report card, ada pula PTM yang akan membahas kalender kegiatan sekolah semester depan—yang dengan sangat menyebalkannya, membuat para guru harus menambah hapalan tanggal-tanggal mana saja ada event. School event di bulan December biasanya bertajuk charity dan sekali lagi kami mengulang pemilihan tema charity di bulan December, Love in Blue begitu judul acaranya. Menampilkan masing-masing kelas membuat lukisan dengan dasar warna biru yang nantinya akan dilelang kepada para orang tua murid. Hasil pelelangan akan disumbangkan ke panti asuhan. Tiga kesibukan ini dikebut dalam satu setengah bulan.

Bukan tanpa alasan kami baru mengerjakannya sekarang. Mbak Velia gagal membuat owner puas dengan emailnya yang mempresentasikan kegiatan-kegiatan tersebut hingga terpaksa menunggu Nyonya Besar, sebutan kami untuk owner, pulang dari liburannya ke Eropa untuk membahas ulang semua kegiatan tersebut sesuai kehendak bos besar.

"San, lo udah bikin report Kimkim?"

Entah kenapa belakangan ini nama Kimkim lumayan sering jadi topik di kantor guru. "Udah. Kenapa gitu?"

Elfin mendekatkan kursinya ke arahku. "Kira-kira yang ambil report Kimkim bapaknya apa emaknya?"

Aku melengos. "Meneketehe." Aku kembali menekuri perintilan dekorasi stage December event yang menjadi jatah kerjaku. Kerja jadi guru TK memang susah lepas dari karton, gunting, dan lem. Ada saja craft yang dibuat. Konyolnya, aku yang rendah jiwa seni visual malah selalu tercantum di tim dekorasi akibat pertemananku yang baik bersama gunting. Elfin selalu terbebas dari segala detail kerja perguntingan karena ketidaksabarannya menggunakan gunting dan di-blacklist oleh semua guru ceriwis dari tim dekorasi. Aku bisa saja menolak aktivitas menggunting, sayang jiwa hematku sering tersentil kalau melihat ada rekan kerja yang sembarangan membuang sisa kertas guntingan yang masih bisa difungsikan untuk hal lain. Kata Pak Revan, jiwa missqueen-ku tergerak untuk memulung sampah.

"Tadi gue lihat Kimkim dijemput sama Selviana," kata Elfin lagi.

Gerakanku terhenti otomatis. Aku melirik Elfin yang masih asik mengedit musik untuk pertunjukan anak. Tangan dan matanya tidak lepas dari laptop. Lantas aku kembali ke kertas di genggaman. "Gue lihat juga," kataku agak berbisik. Susah mengakui jika ibu kandung Kimkim adalah perempuan yang lebih pantas disebut bidadari daripada manusia. Daging di badannya pun berada di tempat yang tepat dan tidak berlebihan. Sukar dipercaya yang seperti Selviana sudah pernah turun mesin, dua kali pula.

"Gila, cantiknya nggak tertolong. That's why Kimkim biarpun tampangnya judes tetap saja menggemaskan. Gen nyokap dan bokapnya nggak becanda," decak Elfin. Dia melipat tangan di dada dan menoleh padaku. "Gue jadi curiga Kimkim judes gitu karena pengaruh orangtua yang cerai sejak dia masih seciprit."

"I second that (gue setuju). Dampak perceraian orangtua memang sensitif. Kimkim bukan hanya judes, dia juga suka main sendiri, mendadak tenggelam di dunianya. Langsung nurut sama Mommy Luth. Kocak, kan. Gue dan Arsee harus jatuh bangun buat dapatin hati dia. Nggak tahu gimana emak dan bapaknya ngasuh dia di rumah." Ada perasaan marah yang mendadak ingin meledak sejak bertemu Selviana. Tentu alasannya bukan hanya disebabkan hubungan Kimkim dan Selviana. Namun aku enggan mengakui jika kemarahanku ini masih tersangkut urusan masa lalu. Aku sadar modeku sedang tidak menyenangkan apalagi jika ucapanku barusan terdengar orang lain. Barangkali kompetensiku sebagai pendidik langsung dipertanyakan. Nyatanya, aku tetap saja manusia yang mudah menilai orang lain lebih jelek tanpa mau repot berkaca diri. Itu namanya manusia, genks.

"Ssst," desis Sherly yang duduk di seberang meja Elfin. Matanya mengerjap konyol.

Aku dan Elfin saling lirik, lalu tersenyum mencemooh. Apa-apaan tingkah guru narsis yang hobi mengaku sebagai kloning Baek Suzy ini. Mau menyuruh kami berhenti berisik karena dia susah menyelesaikan tugas kelasnya? Sorry, itu bukan urusan kami.

"Gue mikir ortu Kimkim nikah siri." Elfin melanjutkan obrolan kami.

Kamu tahu kenapa kromosom perempuan terdiri dari XX? Alasannya karena X pertama untuk gosip dan X kedua untuk berteman dengan tukang gosip. Akhirnya kami akan tetap bergosip. Sherly kali ini melotot, tak lama dia menggeleng kecil. Sherly mau tobat ngegosip? Huh, impossible!

"Kalo nikah siri, Kimkim nggak akan pakai akta lahir atas nama bapaknya," sahutku.

"Dan urusan lo apa ke akta lahir Kimkim?"

Seketika punggungku dan Elfin menegak. Kami juga meringis. Sherly menunduk, menyembunyikan wajah di balik tangannya yang bertengger di kening. Sial. Sherly semestinya membagikan kode yang lebih awam, misalkan mengucapkan 'Mbak Velia' tanpa suara sehingga kami paham harus mengerem obrolan kami. Kalau begini, matanglah!

Elfin memutar kursi duluan, lalu memutar paksa punggung kursiku. Mbak Velia berdiri dengan kedua tangan di pinggang. Apa aku pernah bilang, secantik-cantiknya Mbak Velia, mulutnya itu dapat berubah jadi moncong harimau dan pose tolak pinggangnya adalah gaya superior yang menunjukan siapa bos di sini? Kalau belum, mungkin ini waktunya mengenal lebih dekat Kepala sekolah kami.

"Kami lagi diskusi, Mbak." Elfin menebar senyum lebar. Sebagai sesama perempuan, aku akui senyum Elfin manis. Sayangnya, tidak mempan pada Mbak Velia.

"Diskusi Kimkim tuh ke parents biar bantu encourage anaknya di rumah, bukan di ruang guru dan bahas pernikahan orangtuanya," cecar Mbak Velia yang tumben lebih irit.

"Gimana mau bahas ama papanya? Ketemu aja sekali pas ultah Luth doang. Ketemu emaknya baru tadi, itu juga tingkahnya kayak bakal ketinggalan kereta mudik." Aku yang kini memberanikan diri membela diri. Apapun alasannya, yang penting ngeles. Ngeles sebagian dari usaha.

Mbak Velia memajukan bibir bawahnya. Ini pertanda dia sudah sampai level kesal ditahan. "Makanya baca profil Kimkim yang gue kasih. Di situ lengkap nomor hape dan telepon rumah orang tuanya."

"Ada nomor hapenya Selviana." Muka Elfin antusias. Rasanya menyesal ruang kantor melarang pemakaian sandal. Berguna buat dilempar ke muka Elfin yang nyeplos tidak sesuai dengan kondisi.

"Lo butuh nomor Selviana? Perlu gue kasih?" Aku mendelik.

"Iihh, nyolot."

"Ketauan kan siapa yang nggak berusaha menjalin komunikasi efektif dengan parents." Mbak Velia mendekati susunan map bantex di mejaku, mencari-cari sesuatu sampai tangannya menarik beberapa lembar kertas yang disteples. "Nih, catat nomornya terus kirim pesan atau telepon basa basi apa gitu. Ini bukan pengalaman pertama lo ngobrol sama parents, so be smart ya."

Aku mengambil kertas yang diletakan oleh Mbak Velia. Mataku menelusuri tulisan di kertas itu sampai pada bagian yang diminta Mbak Velia. Aku mengetik sederetan nomor itu lalu melirik ke Mbak Velia. "Terus?"

Mbak Velia melotot. Aku meringis ngeri. Ragu-ragu aku sentuh ikon dial pada ponselku. Nada dering pertama belum ada sahutan. Aku melirik ke arah Elfin. "Gue ngomong apa ke bapaknya?"

"Tanya mau diajak makan dimana?" celetuk Sherly.

"Mau diajak makan dimana?" ulangku.

Then..

"Ya, halo."

Duar!!

Napa diangkat?!

"Halo.. halo.. Miss Sandra"
Itu namaku yang disebut kan? Berarti Papa Kimkim menyimpan nomor ponselku. Kok bisa? Ya bisalah buat emergency call pas anaknya di sekolah maybe.

Aku menggigit jari saking gugupnya. Mbak Velia melambaikan tangan memberi kode. Elfin mengepalkan tangan sok memberi semangat. Di ujung sana, Sherly terkikik geli berhasil mengusiliku.

"Ini benar Miss Sandra? Anda ajak saya makan?"

Kenapa bagian ajak makan terdengar? Ya Allah, Sandra anak baik, tolong permudah acara telepon di bawah pelototan Mbak Velia.

Aku menarik napas lalu menghembuskan. "Iya, Pak. Ini saya Miss Sandra. Saya berniat mengajak Bapak berbicara mengenai perkembangan Kimkim di kelas." Sabodo aku pakai nama panggilan sayangku buat anaknya yang sebenarnya dipanggil Kimmy di rumah.

"Oh begitu. Oke boleh. Dimana? Sekalian makan, Miss?"

"Ma-kan." Aku seperti orang bodoh sekarang. Cognitive advance-ku soal bohong berbohong mendadak lenyap.

"Tadi Miss yang bilang ajak makan." Ada nada geli yang terdengar dari ucapan Papa Kimkim.

"Tidak sebaiknya di sekolah saja, Pak?"

"Emm saya belum punya waktu lowong sampai akhir tahun ini, Miss."

Lah kenapa aku mesti repot-repot ajak ketemu untuk membahas Kimkim kalau waktu luang saja dia tidak punya. "Apa Bapak bisa hadir saat PTC minggu depan?"

PTC (parents teachers conference) adalah acara pembagian rapor.

Lima detik hening. Lima detik yang aku hitung dalam hati.

"Sepertinya saya tidak dapat hadir, Miss."

"Kalo bunda Kimkim?"

Lima detik hening lagi. Suka banget lama ngasih jawaban, sih?

"Dia akan di Eropa sepanjang bulan Desember ini. Berangkat besok."

Aku merasakan panas menyerang mataku. Kasihan sekali nasib Kimkim. "Kalau begitu kapan saya bisa bertemu Bapak untuk membicarakan mengenai progress Kimkim sejak masuk sekolah?"

"Saya punya waktu luang di malam hari."

Ini obrolan yang makin menjengkelkan. Kabut di mataku sudah meleleh di pipi. "Kalau Bapak tidak keberatan bertemu saya di malam hari, boleh saya tahu hari apa saya bisa bertemu Bapak?"

Ada suara embusan napas berat dari seberang telepon. "Hari rabu, saya bisa bertemu Miss jam tujuh."

Jam tujuh. Aku menimbang sebentar. Belum pernah aku punya pertemuan dengan orang tua murid di jam segitu. Kalau ikut nimbrung playdate murid dan orang tua biasanya dari sore sampai malam, bukan dimulai malam hari. "Baik, Pak. Rabu jam tujuh. Tolong nanti kirimkan alamat tempat bertemunya. Terima kasih."

Aku mematikan sambungan telepon sebelum mendengar balasan 'sama-sama' dari lawan bicaraku. Aku mengusap pipi dengan kasar. Ini pengalaman yang terasa kejam bagiku. Anak usia tiga tahun terjebak dalam kondisi keluarga yang terlihat tidak sehat. Bagaimana mungkin aku bisa menahan buncahan emosi atas nasib murid baru kesukaanku?

"Does something go wrong?" Mbak Velia mengusap-usap pundakku.

Beruntung di ruangan ini hanya ada aku, Elfin, Mbak Velia, dan Sherly. Tidak terbayang jika banyak sorot mata prihatin akan terarah padaku. Bukan, bukan padaku. Pandangan prihatin itu akan terarah ke Kimkim begitu mereka mendengar penuturanku perihal perbincangan di telepon tadi.

"Mau cerita?" tawar Sherly begitu lembut.

Aku menggeleng sambil berdesis, "Nanti." Aku mengotak-atik ponsel karena teringat sesuatu dan benar saja dugaanku. "Mbak, ini pulsa gue habis gara-gara nelepon papanya Kimkim. Beda operator bikin pulsa tersisa gope. Reimburse pulsa ya, Mbak."

Mbak Velia nyengir kuda. "Salah lo sendiri nelepon pakai hape pribadi. Pake telepon sekolah mestinya. Nggak ada reimbursement pulsa di peraturan sekolah."

Elfin dan Sherly, si duo kampret, terbahak bahagia di atas kemalanganku. Aku menekuk muka. Begini banget nasib awal bulanku.

# # #

30/01/2020

Miss Bekcu yang olweiss ngeksis di hidup kamu kembaleeee...

mana suaranya????

YTMS mengalami perubahan gede dari versi awalnya ya gaess. Seneng duonkss Miss Bekcu balik ke cerita ini buat publish part2 ngegemesin Sandra, Kimkim, dan papa berkartu ajaib.

Yang mau baca lanjutannya sini komen hihihi...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top