5
5
FOTOKOPIAN
“Mereka cerai pas usia Kimkim enam bulan. Mamanya Kimkim nikah lagi dan sekarang sudah punya anak dari suami baru. Kimkim tinggal sama papanya. That’s it.”
“Lah masak..” Kami menengok ke asal teriakan itu. Pak Revan. “Ceritanya cuma segitu, Vel?”
Gubrak!
“Iya, segitu aja.” Mbak Velia mendengkus cantik. Selalu cantik, Genks.
“Papanya Kimkim available dong?” Gendis senyum sumringah. Kalau yang lain bicara sih tidak masalah, lah ini tunangan orang tapi masih ganjen sama pamud.
“Mau nikah, jangan godain cowok lain.” Tya si waras satu-satunya di ruangan ini memberi wejangan. Dia role model guru-guru lain karena beberapa alasan, yaitu dewasa dewasa dewasa, udah itu aja.
“Kan cuma ngomong,” bela Gendis.
“Kalo papanya Kimkim jelek, masih mau?” Sherly mengerling usil.
“Kalo Benz udah lunas juga Gendis terima,” sosor Elfin.
“Wait, gue udah ada yang punya. Centil-centil dikit nggak masalah tapi jangan cap gue matre ya. Gue penganut feminis.” Gendis mengangkat dagunya pongah.
“Gua sih realistis. Ada uang ya aman,” kataku. Dan berlanjutlah obrolan itu menjauhi Kimkim dan keluarganya.
yyy
Acara pesta ulang tahun yang diadakan setelah jam sekolah telah usai setengah jam yang lalu, tapi anak-anak masih berkeliaran di sekitar ruang gym, tempat berlangsungnya acara. Para Mommy membuat gerombolan kecil mengobrol di hallway. Beberapa guru terlihat larut dalam gerombolan itu. Pekerja dari event organizer hilir mudik merapikan perlengkapan dekorasi pesta dan kotak-kotak besar berlabel toko kue.
Lobi tak kalah ramai oleh rombongan orangtua dan murid yang pulang. Meski ramai, sofa-sofa beludru merah dan krem yang berjajar sepanjang dinding sepi dari pengguna. Aku duduk pada salah satu sofa merah menemani satu-satunya muridku yang belum dijemput, Baby judes Kimkim. Hubunganku dan Kimkim sudah lebih dekat sejak kami berempat—baca: aku, Arsee, Kimkim, dan Pak Yadi—berbelanja kebutuhan cooking class. Kimkim juga sudah mau bermain dengan teman lain tanpa perlu kata-kata motivasi dari Mommy Luth.
“Miss San,” panggil Kimkim. Aku sudah sering kali mengingatkannya untuk memanggilku dengan nama jelas. Kalau ‘Miss San’ kan terdengar seperti mimisan.
“Kenapa, Nak?”
“Aku ngantuk.” Kimkim mengucek matanya.
“Sini.” Aku mengangkat tubuhnya ke pangkuan. Wajahnya langsung menyeruk ke dadaku dan tangannya melingkar di perutku. Posisi Kimkim yang menempel badanku memudahkan aku mengelus punggungnya sambil menyenandungkan lagu ‘Itsy bitsy’ versi sangat lambat. Setiap kali lagu ini diputar di kelas, gestur Kimkim akan berubah dan menyenangkan sekali mengetahui ada satu lagu anak yang Kimkim suka.
Lama duduk di lobi membuatku menerima beragam sapaan. Ada yang dengan ramahnya mengucap ‘hello’ dan ‘see you’, ada pula yang datang dan tersenyum tipis sambil mengangguk seperti laki-laki yang duduk di sofa seberangku.
Aku menempelkan pipi di atas puncak kepala Kimkim. Deru napasnya beraturan, tanda dia sudah terlelap. Tadi diajak ke kelas, dia menolak. Mungkin dia sedih karena melihat teman-temannya yang lain sudah dijemput.
“Kak, Mommy Luth kasih kita ayam penyet.” Arsee datang membawa kabar membahagiakan. Inilah alasan aku selalu menyukai pesta ulang tahun murid. Selain mendoakan kebaikan bagi the birthday child, kami pun menerima berkah. Ulang tahun murid di sekolah berarti tambahan makan siang buat guru. Ahayy!!
“Ambilin gue yang dadanya ya,” pintaku tanpa repot menutupi keriangan.
“Udah disimpanin Kak Elfin,” jawabnya. Elfin pasti memilih dada ayam untuk meledek ukuran dadaku. Aku susah percaya pada kebaikan Elfin yang spontan. Dua orang di sekolah ini yang patut dicurigai saat berbuat baik adalah Elfin dan Sherly. “Kimkim belum dijemput?”
“Belum, nggak tau mana yang jemput Kimkim,” kataku sambil melihat keluar pintu kaca. Pelataran depan masih berjejal mobil-mobil tapi tidak ada Benz krem Kimkim.
“Saya yang jemput Kimkim.” Aku dan Arsee terpekur menemukan asal suara itu. Pria yang duduk di sofa seberang sekarang berdiri di hadapan kami.
“Maaf, Bapak siapanya Kimkim?” tanyaku sesopan mungkin. Aku berusaha menghilangkan raut kaget, curiga, aneh dan absurd dari wajah lewat seperempat abad ini.
“Saya papanya Kimkim,” jawabnya sambil tersenyum. Dia berdiri menyalamiku dan Arsee. Ini becanda kan. Aku yakin dia terlalu muda dan tampan. Ok, coret alasan terakhir.
Aku berdiri lalu menyerahkan Kimkim yang tidur kepada Arsee. Ini tidak salah ketik, aku menyerahkannya ke Arsee bukan ke pria asing yang mengaku papanya Kimkim. “Saya ambil barang-barang Kimkim dulu ya, Pak.” Aku pamit ke kelas.
Sampai di kelas, aku langsung men-dial nomor ponsel Mbak Velia.
“Napa, San?” Suara Mbak Velia terdengar tepat setelah deringan kedua.
To the point banget, pikirku.
“Mbak, ada yang jemput Kimkim ngaku papanya Kimkim. Boleh tolong dicek Mbak,” pintaku. Aku mengepit ponsel di antara telinga dan bahu, sementara tanganku bergerak cepat merapikan botol minum ke dalam tas Kimkim dan mengambil souvenir plus cupcake dan balon ulang tahun.
“Orangnya dimana?”
“Lobi—”
Tuut tuut...
Fast response ya, Mbak. Aku mencibir kesal pada layar ponselku yang menggelap setelah teleponku diputus tanpa basa-basi.
Aku bukannya tidak percaya pria itu papanya Kimkim. Dia punya jejak kemiripan dengan Kimkim. Misalkan rambut cokelat tua, kulit putih, alis, dan bentuk mata. Pria itu seperti foto kopi Kimkim versi pria dewasa yang tidak gendut. Kecurigaanku timbul karena penampilannya yang terlalu muda, mungkin pertengahan atau akhir dua puluhan. Sumpah demi apapun aku mengutuk kulit wajah pria itu yang mulus dengan warna biru tipis di sekitar dagu dan rahang.
Aku kembali ke lobi. Kimkim sudah berpindah tangan ke pria itu. Arsee menatap khidmat saat pria itu mengelus punggung Kimkim. Ingatkan aku untuk menggetok wajah bodoh Arsee. Malu-maluin.
“Selamat siang, Mas Dinan.” Mbak Velia yang baru datang langsung mengangsurkan tangan ke pria itu. Aku takjub pada kemampuan si pria yang masih mau membalas jabatan tangan Mbak Vel. Tolong ya, itu Kimkim gendutnya bukan diisi angin doang. “Ini baru pulang kantor?”
Dia menggeleng. “Saya cuma ke sini pas jam istirahat. Mau jemput aja.”
Mbak Velia melirikku. Senyumnya itu kode banget. “Mas, ini guru kelas Kimkim, Miss Sandra dan ini guru yang membantu Miss Sandra di kelas, Miss Arsee.”
Pria yang dipanggil Mbak Velia Mas Dinan mengangguk ke arahku dan Arsee. Gayanya sama seperti saat masuk pertama kali ke lobi, mengangguk dan tersenyum. Aneh banget, kan, jika pria itu sekonyong-konyong mengaku papanya Kimkim. Ngapain saja sejak tadi duduk di seberangku?
“Saya sering dengar soal Miss San dan-”
“Miss Sandra,” potongku cepat. Pria itu seperti paham ketidaksukaanku dipanggil sepotong begitu.
“Maaf. Miss Sandra dan Miss Arsee. Kimmy sering cerita dia dipanggil Kimkim di kelas,” lanjutnya.
“Wah, seru tuh kalo Kimkim sudah banyak cerita di rumah. Boleh sharing ke Miss Sandra dan Miss Arsee di kelas.” Tampang Mbak Velia lagi-lagi over excited. Karena lawan bicaramu ganteng, Mbak?
Pria itu melirikku. “Mungkin lain kali saya bisa ngobrol banyak dengan Miss Sandra. Saya pamit ya Miss Velia, Miss Sandra, Miss Arsee. Terima kasih,” katanya.
Kami bertiga menjawab kompak. “Sama-sama, Pak!”
“Ayo ke kantor,” ajak Mbak Velia setelah bapak dan anak itu hilang dari pandangan kami.
yyy
“Itu bapaknya Kimkim?” tanya Gendis. Arsee mengangguk mantap.
“Dia kayak foto kopi Kimkim banget,” timpal Sherly sama bersemangatnya dengan Gendis.
“Gue suka lihat penampilannya. Kemeja lipat sesiku, rambut agak berantakan, dan terpenting tampang kece buat dibawa kondangan.” Elfin mengaduk-aduk Popice yang dibelinya di warung seberang sekolah.
“Kere banget sampai jajan Popice?” ledek Pak Revan.
“Yang begini enak tauk,” balas Elfin nggak terima dan Arsee yang sama-sama jajan Popice pun mengangguk, “Nggak nyampe sepuluh ribu dan lo bisa minta topping keju parutnya ditambah sampai luber.”
“Ada bubble drink kekinian di mol, kan?” Pak Revan menarik satu sudut bibirnya, jelas-jelas mengejek selera jajan Elfin. Aku mengakui omongan Elfin ada benarnya. Bubble drink memang menjamur, tapi harga Popice tetap juara.
“Papa Kimkim masuk hot daddy ya,” kata Tya dan menarik kami kembali ke topik utama. Tumben Tya mau menimpali obrolan rendah manfaat.
Obrolan itu terus berlanjut seputar pujian, penilaian, khayalan, dan banyak lagi soal Papa Kimkim. Aku cuma mendengarkan sambil mengemil mentimun utuh yang sengaja aku simpan di kulkas sekolah agar dingin saat dimakan siang hari. Jangan berharap aku akan repot memotongnya atau dijadikan jus. Hasil akhirnya akan tetap teraduk di perut, pikirku praktis.
“Kayaknya Sandra kelewat terpesona sampai nggak berkata-kata nih.” Pak Revan yang sejak awal jadi pendengar, kini tergelitik masuk arena gosip. Sialnya, aku yang kena.
Aku melirik santai. Jujur lihat pria ganteng bin manis bin muda bin kaya siapa yang tidak tergoda. Aku hanya kepo terhadap satu hal. “Kok muka papanya Kimkim kayak masih dua puluhan gitu?” gumamku sambil menerawang ke luar jendela.
“Udah tiga puluh tahunan kok,” balas Mbak Velia.
Yossa bangkit dari duduknya. “Mbak Velia tau banyak soal papanya Kimkim?”
“Dari profil Kimkim. Terus juga emm..” Mbak Velia menjeda, mencari kesenangan dari penantian kami. “Dia itu adik kelasnya abang gue di MIT.”
Aku dan Elfin ber-OH ria. Sementara Arsee dan Yossa merapat saling berpelukan. “Yang available kayak gitu emang enaknya cuma diliatin aja ya.” Yossa mengiyakan omongan desperate Arsee.
“Karena dia lulusan MIT?” tanyaku.
Arsee dan Yossa kompak mengangguk. Gendis, Sherly, dan Tya cekikikan. Duo ini memang pecinta fairytale. Percaya adanya pangeran dan keajaiban. Baru kali ini mereka mau pasrah mengikhlaskan pria model pangeran macam papanya Kimkim tidak masuk dalam imaji mereka.
“Siapa tau jodoh salah satu dari lo berdua,” kataku memberi semangat. Biar Arsee semangat kerja di kelas juga, pikirku culas.
“Kalo papanya Kimkim jodoh Kak Sandra gimana?”
Aku membelalakan mata terkejut. Arsee selalu tahu cara mematikan fungsi jantungku sekian detik dan menambah keriput. Pendengar lain di ruangan ini pun menyikapi pertanyaan barusan tak kalah horor.
“Ya bagus dong kalo jodoh gue. Perbaikan keturunan, bisa punya anak selucu Kimkim, pamer di kondangan, bikin lo semua iri, dan punya Benz,” kataku sambil menghitung dengan jari berapa banyak keuntungan yang aku cetuskan.
“Amin,” lirih Elfin dengan tampang serius. Seketika bulu kuduk meremang. Horornya mengalahkan film Sodako. Ini kita bahas duda loh. Duda.
“Itu kalo jodoh. KA-LO ya, Fin. Jangan lupa lo mau ajak kenalin teman lo ke gue,” kataku sengit.
“Nggak mau ama pamud?” tanya Pak Revan.
Tumben aku susah menggeser topik pembicaraan di sini. “Lihat nanti aja.”
“Wah Mbak Velia posting foto ama si Daru tadi pagi.” Gendis mengarahkan layar hapenya ke sekeliling ruangan. Senyum licik kami langsung mengembang tahu romantisme sedang merambah si bos.
“Siapa Daru?” tanya Mbak Velia.
“Dasi Biru!!” koor kami guru ceriwis kompak.
###
03/11/2019
Daru udah disebut di sini...
Inget siapa Daru, genks?
Kemarin tuh ya gw kan mencari referensi adegan2 romantis kaya apa yang bikin deg2 seerrr, pas marathon drama selesai, gw baru ngeh kalo udah lama ga apdet Sandra. Sawrii genks, gw sibuk mengamati cowok2 korea hihihi...
ヽ(*´∀`)ノselamat tidur dan menyiapkan diri buat besok. Yang malas ketemu Senin, ngacung ☝️☝️☝️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top