4

4
LAH MASAK

Ruangan kelas sudah lebih tenang. Dari sepuluh murid, tersisa dua anak yang belum dijemput hari ini. Revi dan Kimkim. Aku menyetelkan video musik di laptop untuk mereka tonton. Revi seru menirukan gerakan dance Baby Shark sementara Kimkim hanya duduk—dengan bibir maju, alis mengerut, dan aura judes. Aku tersenyum geli melihat tingkah kontras kedua anak itu.

“Tumben dua anak ini yang telat jemput. Ada konfirmasi nggak?” tanya Arsee sembari menumpuk kursi ke pojok ruangan.

Aku yang sedang membereskan sisa bahan craft dari pelajaran literacy jadi terdiam. Iya juga, tumben dua anak ini yang telat jemput. Aku merogoh kantong celana dan mengecek ponsel, barangkali ada WhatsApp atau sms pemberitahuan.
Nihil.

“Paling macet di jalan kali.” Aku menyimpan lagi ponselku ke kantong celana.

“Siang, Miss!”

Aku dan Arsee menengok ke arah pintu. Seorang perempuan bergamis hijau dengan kerudung syari berdiri di depan pintu.

“Mamaaaa,” pekik Revi ceria sambil merentangkan tangannya. Mama Revi menerima pelukan putrinya dan mengelus punggung Revi.

“Maaf telat. Ban mobilnya bocor di tengah jalan. Aku nggak ngerti harus gimana, jadi tunggu orang bengkel datang.” Mama Revi bercerita sambil mengambil tas dan botol minum anaknya di cubby hole.

“Nggak apa, Ma. Revi juga senang kok di sini. Sekalian temani Kimkim,” kataku. Kami memanggil orangtua murid sesuai bagaimana murid memanggil orangtua mereka. Itu adalah aturan yang diberlakukan di sekolah ini. Singkatnya, aku akan memanggil Mama ke ibunya Revi dan Mommy ke ibunya Luth. Bukan berarti aku jadi anak mereka loh.

Mama Revi menatap sosok mungil yang sejenak kami lupakan kehadirannya. Tidak benar-benar lupa, cuma dicuekin sedikit. “Ini ya teman baru Revi. Kimkim, kan? Revi sering cerita punya teman cewek baru. Sukanya mojok. Ditarik Luth dulu baru mau ikutan main.”

Aku menggiring Kimkim mendekati Mama Revi. Ayolah Kim, mamanya Luth yang berpakaian serba minimalis aja kamu suka. Kalau yang bergaun panjang menutup aurat dan bertutur lembut ini pasti bikin kamu lebih suka, suara bathinku.

“Ayo, Nak, perkenalkan diri kamu.” Aku mengarahkan tangan Kimkim. Mama Revi menjabat tangan mungil itu lalu dengan gerakan cepat Kimkim mengubah posisi tangannya jadi di bawah tangan Mama Revi lalu mengecupnya sambil berkata, “Assalamu alaikum.”

Omaigoot!! Aku benar-benar tidak berniat menyuruhnya salim, cuma memintanya shake hand. Kok jadi ngerenyuh gini sih momen pas si Baby judes mengucapkan salam.

“Waalaikumsalam, anak manis. Pintar sekali kasih salamnya. Diajarkan siapa?” Mama Revi mengelus-elus puncak kepala Kimkim.

“Dari Papa,” jawabnya dengan tampang malu-malu.

Aku dan Arsee mendadak menemukan isi kepala kami dalam satu frekuensi. Ada lagi life booster Kimkim mau ke sekolah. Bagooos!

“Subhanallah. Anak solehah ya. Pasti Papa dan Mama Kimkim happy. Tante dan Revi pamit pulang duluan. Lain kali kamu ikut playdate sama teman-teman. Bye, Kimkim. Assalamualaikum.”

“Waalaikum salam,” jawab kami bertiga bersamaan. Kami menatap pintu kelas yang sudah ditutup dengan lembut oleh Mama Revi. Kalau aku selembut itu bisa kali aku sekarang sudah bergelar istri dari seorang pria dewasa.

“Miss.” Aku menunduk melihat Kimkim yang menarik ujung seragam poloku.

“Kenapa?”

“Aku kapan dijemput?”

“Mungkin sebentar lagi Pak Yadi datang, Sayang. Sabar, ya.” Selama dua minggu Kimkim bersekolah, selalu Pak Yadi yang mengantar dan menjemput Kimkim. Pernah dua kali Pak Yadi datang bersama dua orang perempuan berbeda yang mengenakan seragam khas nanny tapi semua perempuan itu sudah tidak lagi bekerja sebagai pengasuh Kimkim. Baru dua minggu di sini, sudah dua nanny yang resign. Kalau kata Mbak Pom, pengasuh salah satu murid, bisa jadi majikan yang sulit atau pembantu yang tengil sampai keluar masuk gitu. Menurut intel gosip sekolah slash Pak Rajmin yang disampaikan melalui Agen Elfin, pengasuh Kimkim kabur karena nggak kuat. Nggak kuat sama siapa? Aku tidak tahu.

“Menurut Kimkim, siapa yang jemput Kimkim hari ini? Mama atau papa?” tanya Arsee.

Eh, betul juga. Aku belum pernah bertemu atau menjalin komunikasi dengan orang tua Kimkim.

“Bunda sibuk sama adik bayi dan Om. Papa sibuk kerja.”

Arsee menggigit bibir bawahnya melirikku. Aku angkat bahu dan menelaah cerita Kimkim. Jadi, begitu. “Kimkim kalo di rumah main sama siapa?” Arsee kembali bertanya.

“Sama Pak Yadi, sama Mbak Murni.”

“Ngapain?”

“Nonton tv.”

“Kalo sama Bunda?” Mulutku sudah tidak tahan mengorek kehidupan pribadi Kimkim.

“Makan siang terus ke taman.”

“Kalo sama Papa?” Arsee menyerobot giliran bertanya.

“Main ke mol.”

Ke taman, lalu main ke mol? Aku tersenyum miring. Anak ini benar-benar hanya disimpan di rumah dan kurang dikenalkan pada lingkungan. Tidak heran sikapnya tiap bertemu orang asing di sekolah selalu penuh kewaspadaan.
Aku mendudukan Kimkim di pangkuanku. Sekali ini dia tidak menolak berdekatan denganku. Hatiku jadi terenyuh. Aku mengelus kepalanya penuh sayang. Belakangan jemariku mulai terbiasa dengan kelembutan rambutnya yang kusisir tiap datang ke kelas.

“Kimkim suka play apa?”

Kimkim menatapku. Mata bulat itu berkedip-kedip kebingungan. “Nggak tahu.”

“Kimkim suka masak-masakan?”

“Mbak Murni suka masak-masakan.” Aku dan Arsee tertawa.

“Do you like reading a book?”

“Om reading book big big.”

Om? Om yang mana? Dia? Aku jadi tertarik untuk bertanya, “Kalo di taman, Kimkim ngapain sama Bunda?”

“Walking walking aja.”

Dahiku mengerut. Kimkim memang tergolong anak yang susah bergaul di kelas tapi kodratnya sebagai anak yang sehat pasti membuat tubuhnya suka bergerak, lari-larian misalnya.

“Kalo di mol sama Papa ngapain?”

“Mandi bola, sliding, play car goyang-goyang.”

Ada yang paham apa itu play car goyang-goyang?

“Kimkim ke mol sama Bunda dan Papa?” Arsee bergabung bersama kami di karpet reading corner.
Kimkim terdiam. Aku dan Arsee dibuat saling pandang. Timbul kecurigaan soal keluarga Kimkim.

“Sama Papa aja ke mol,” jawabnya.
Aku melingkarkan lenganku pada tubuh anak ini. Kimkim lantas mengikuti gerakanku, dia memelukku. Jujur, ini merupakan pengalaman pertamaku dan Kimkim saling berpelukan. Kalau anak-anak lain sudah menyodorkan diri minta dipeluk tiap datang dan pulang, Kimkim selalu menolak rentangan tanganku dan Arsee dengan mata... err intimidasinya. Susah dideskripsikan, sih. Semacam mata nyolot gitu.

“Mau Miss San ajak aku main?”

Aku melonggarkan pelukanku agar bisa melihat matanya. Ya ampuuun, aku baru sekali ini mendapat pandangan cling cling Kimkim yang biasanya ditujukan bagi Mommy Luth. Satu langkah maju, Sandra, sorakku dalam hati.

“Kimkim mau bermain dengan Miss Sandra dan Miss Arsee?” tanyaku antusias.

Kimkim mengangguk dengan tampang datarnya.

Aku berpikir sejenak. “Boleh, kalo Kimkim diizinkan oleh Papa atau Bunda main sama Miss, kita bisa pergi belanja bareng besok.”
Arsee menatapku horor. Aku memberikan senyuman paling lebar dan dia malah mendengkus. Nggak sopan nih si Arsee.

“MAU!” pekik Kimkim di depan wajahku.

Duh, suaranya bayi ini benar-benar deh.

Keseruan kami terinterupsi suara ketukan. Arsee bangkit membukakan pintu. “Pak Yadi’s coming. Go home, Kim.”

Arsee bergeser agar Pak Yadi, sopir Kimkim, bisa masuk. Heran deh, kok orangtua Kimkim bisa mempercayakan anak perempuannya diantar-jemput oleh sopir laki-laki. Biasanya sopir yang menjemput akan didampingi sanak saudara dari si murid atau pekerja rumah tangga. Hanya Kimkim seorang yang dijemput sopir saja.

“Maaf terlambat,” kata sambutan pertama dari mulut Pak Yadi. Aku sudah kenyang ucapan serupa seharian ini. Aku maunya kenyang makan. Sudah jam dua dan perutku belum terisi nasi. “Saya tadi antar papanya Kimkim ke Priok dulu. Jauh balik lagi ke sini.”

“Nggak apa-apa, Pak. Kita seru ngobrol bareng,” ceplos Arsee, “kalo sibuk, kenapa nggak mamanya Kimkim yang jemput?”

Palu, palu, mana palu? Aku butuh palu untuk menggetok bibir Arsee. Gampang sekali dia bertanya hal demikian ke Pak Yadi. Sebenarnya aku tidak masalah kalau Arsee mau menjalin komunikasi ke pihak keluarga atau pekerja dari murid di kelasku. Bagus malah kalau dia bisa akrab ke mereka. Tapi ini Kimkim. Mengapa Arsee tidak bisa menangkap keanehan dari cerita Kimkim soal Papa dan Bunda?

“Bunda Kimkim tinggal di Cakung, Miss. Ada adik bayi juga. Susah jemput ke sini,” kata Pak Yadi. Aura wajah Pak Yadi ini menentramkan dan sikap santainya membuat aku mendesah lega. Terima kasih atas kebijaksaan Pak Yadi menanggapi pertanyaan ceplos-ceplos Arsee.

“Ooohh, Kimkim tinggal di Cakung,” seru Arsee sembari membantu Kimkim memasukkan botol minum ke tas. Arsee, tolong mingkem!

“Nggak, Miss. Kimkim tinggal di Simprug sama papanya. Bunda dan omnya tinggal di Cakung,” jawab Pak Yadi kikuk.

Aku merasa tidak enak hati pada Pak Yadi yang serba salah, tapi juga tidak bisa melimpahkan semua salah ke Arsee. Namun aku sendiri bingung mau bicara apa saat aku tahu ke mana ujung kecanggungan ini.
Pak Yadi memutar posisinya jadi membelakangi Kimkim. Dia melirik Kimkim sekilas lalu dua telunjuknya merapat dan menjauh sambil mulutnya bergerak tanpa suara menyebut CE.RAI.

Aku mengangguk pelan dan merutuki kemalasan Arsee membaca profil Kimkim. Sekarang Arsee tidak bisa menutupi raut iba pada anak perempuan berumur tiga tahun ini. Aku mengangguk pada Arsee, memberi kode agar dia tenang dan jangan mengucap ulang kata yang disebut Pak Yadi di depan Kimkim. Arsee mengangguk, tanda dia memahami kodeku. Sekali ini, si anak monyet bisa memfungsikan otaknya lebih baik dari biasanya.

“Okay, done.” Arsee menyerahkan genggaman tangan Kimkim ke Pak Yadi. Aku bisa melihat gelagat Arsee iba pada Kimkim. Syukurlah, Kimkim tidak menyadari perubahan raut wajah Arsee.

Pak Yadi dan Kimkim berpamitan. Sebelum benar-benar keluar ruangan, aku memanggil Pak Yadi lagi. Ada hal yang aku lupakan.

“Pak, besok Kimkim ada rencana pergi?”

“Kenapa, Miss?”

“Saya mau ajak Kimkim belanja keperluan cooking class di supermarket dekat sini besok. Itu juga kalo diizinkan.”

“Wah kalo saya mengizinkan tapi saya tanya sama Bapak dulu. Besok kan, Miss? Abis pulang sekolah?”

“Iya, Pak. Saya tadi ngobrol dengan Kimkim, saya jadi mau ajak dia belanja sebentar.”

“Besok pagi saya kasih tau diizinkan ato nggak sama Bapak. Permisi, Miss.”
Aku menoleh dan mendapati gadis di sebelahku menatap horor. “Bikin nggak cantik loh mata melotot gitu.”

“Itu apa?”

Aku berlalu meninggalkan Arsee di kelas. Nyatanya, gadis muda itu mengejarku.

“Kak Sandra belum jawab aku.”

Aku bergidik jijik, bahasa Arsee kayak cewek yang minta penjelasan kenapa pacarnya jalan sama cewek lain di malam minggu. “Jawab apaan deh?”

“Ya, itu.” Arsee membukakan pintu kantor untukku.

“Ya nanyanya juga gaje gitu gimana mau jawab.” Aku meletakan laptop dan kertas lesson plan di atas meja, sementara Arsee masih berdiri di sampingku.

“Itu soal Kakak kenapa ajak Kimkim belanja buat cooking class kita?!”
Detik berikutnya guru-guru ceriwis melontarkan pertanyaan ‘kenapa, lalu kenapa, dan kenapa sampai kenapa lagi’ kepadaku termasuk Pak Revan dan Mbak Velia yang tadinya sibuk diskusi soal banner sekolah. Ingatkan saya untuk mengajarkan Arsee mengatur volume suaranya. Tidak apa ngobrol di kantor guru asal bisik-bisik gitu loh.

“Menciptakan bonding aja antara ibu guru dan murid,” jawabku rada cheesy.

“Bener nih?” Gendis bersedekap di mejanya yang berhadapan mejaku.

Aku mendengkus. Beginilah dampak punya teman geser, dikasih jawaban benar tidak percaya. “Gue mau ngerasain Benz punya Kimkim. Kayaknya enak tuh.”

“Nah gitu, jujur,” seru Elfin. Aku mendelik ke Elfin yang duduk di sebelahku.

“Mending minta ditemani Luth atau Revi aja. Mama-mamanya kan pake Alphard, Kak,” timpal Yossa. Ini mereka benar percaya pada alasan bohongku?

“Iya, sih. Pake Alphard lebih nyaman buat bawa belanjaan. Mama Revi malah ganti interior Alphardnya jadi ungu semua tuh. Lu suka ungu kan, San?” Elfin sekarang menuang bensin pada obrolan kami. Terus saja ngaco, mataku berusaha menyebarkan pesan itu yang gagal ditangkap siapapun.

“Tapi jangan pakai alasan menemani belanja cooking class buat nebeng mobil murid, San. Nggak sopan ah.” Mbak Velia berkacak pinggang, mode Boss ON.

“Pake Grabcar apa taksi, San. Nanti tinggal reimburse kantor berapa biayanya.” Kali ini Pak Revan pasang wajah serius. Ini benaran mereka percaya?

Aku memutar bola mata. “Tadi dikasih jawaban benar mau membuat bonding antara saya dan Kimkim pada nggak percaya. Dijawab asal, mau nyoba Benz malah ditanggapi serius. Sumpah ya, nyebelin banget sampe pengen makan orang.” Aku melotot ke semua orang di ruangan ini.

Mbak Velia dan Pak Revan yang pertama langsung sok sibuk membahas banner. Elfin pura-pura membersihkan wajah dari makeup. Gendis akting mengetik dengan hape. Dan yang lainnya serentak putar badan menghadap meja masing-masing.

“Bilang aja kakak lapar.” Arsee menepuk bahuku lalu duduk di kursinya. Terdengar cekikikan tertahan. Aku malas meladeni, mending buka bekal makan siang dari ibu tercinta.

“Bu Velia!” Arsee memanggil Mbak Velia yang masih berdiri dekat meja Pak Revan. Dia guru yang memegang teguh panggilan Bu untuk Mbak Velia.

“Kenapa?”

“Ortunya Kimkim divorced?”

Aku sontak tersedak makanan dalam mulut dan terbatuk parah. Elfin meringis jijik terkena muncratan dari mulutku. Semua mata mengarah padaku sekejap, lalu balik menatap Arsee dan putar kepala menghadap Mbak Velia. Itu antena gosipnya pasti langsung tremor mendengar hot topic dilemparkan Arsee.

“Emangnya kamu nggak baca profil yang aku kasih ke Sandra?”

“Nggak,” aku Arsee sambil cengengesan. Aku mendelik sebal padanya.

Mbak Velia menarik napas. Oke, ini kondisi yang menyenangkan bagi penggila gosip. Semua mengatur posisinya menghadap KepSek kece kami. Then the story begins...

“Gue cerita tapi nggak dipotong ya.” Semua mengangguk takzim termasuk Pak Revan. “Mereka cerai pas usia Kimkim enam bulan. Mamanya Kimkim nikah lagi dan sekarang sudah punya anak dari suami baru. Kimkim tinggal sama papanya. That’s it.”

“Lah masak..”

###

25/10/2019

Inget siapa yg ngomong bagian terakhir itu?
Hayooo... ingat2
Buat para pembaca baru, welcome...

Gw tu lagi pengen banget makan cakwe. Duh, tapi temen2 gw sibuk mulu.

Btw, siapa yg mo ikut gw nonton Frozen2? Ngacung ☝️☝️☝️

Nobar yuk! Bulan November tuh... nabung yuk buat nonton ☺☺☺

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top