3

3
AKU SEDIH

Hening adalah kata yang patut dicurigai dalam ruang guru. Dengan squad tempur yang mayoritas diisi perempuan, ketenangan yang membisukan merupakan satu pertanda. Begitu yang terjadi pada kami hari ini. Semua miss ceriwis mendadak bungkam. Satu-satunya yang membuat kami masih tercatat makhluk hidup adalah gerak koordinasi tangan dan mata serta deru napas. Jam dinding menunjuk pukul 15.50. Sisa sepuluh menit sebelum batas akhir pengumpulan lesson plan ke Mbak Velia. Itulah pertanda yang kumaksud, tidak akan ada ketenangan dalam ruangan ini kecuali tenggat kerja menohok kebebasan berleha-leha after school hours. Tenggat kerja guru tak pernah jauh dari lesson plan, weekly report, term report, dan PTC.

Alasan lain Miss-Miss ceriwis dapat bekerja fokus adalah stabilitas emosi Mbak Vel. Biar cantik dan baik, tetapi kami hapal satu weak point principal lajang itu. All out setiap marah. Nggak jarang dia bisa menongkrongi kami di belakang kursi cuma untuk memastikan kerjaan kami kelar atau marah sambil berujar, “Berapa lama kerja sampai nggak nambah pintar menyelesaikan beginian?”

“Gue kelar!” Elfin mengangkat tinjunya ke udara. Bagus, satu orang terbebas dari bebatan kemurkaan Mbak Vel.

“Loading banget Dropbox sekolah,” keluh Sherly yang mengindikasi dia telah menyelesaikan lesson plan kelasnya dan menunggu proses penyimpanan ke Dropbox. Ini makin menegangkan, Genks!

Aku mengetik makin menggebu. Kelasku tahun ajaran ini berbeda dengan kelas yang aku ajar tahun lalu sehingga kumpulan lesson plan yang pernah aku buat tahun lalu tak akan berguna di tahun ini karena target belajar yang berbeda. Menggunakan lesson plan tahun ajaran lalu pun sangat ditentang Mbak Velia karena dianggap kurang kreatif, yang mana aku tidak masalah dianggap tidak kreatif asal bisa selesai on time. Kembali lagi, para cungpret wajib mengikuti perintah ketua cungpret daripada penilaian kami merosot lantas memengaruhi bonus performance.

“Waktunya ngemil,” kata Gendis yang disahuti Elfin suka cita. Mereka berdua beralih ke telepon di ujung ruang guru, menghubungi sekuriti di pos agar menghentikan tukang bakso yang melintas tiap jam empat di depan sekolah. Gendis telah menyusul Elfin dan Sherly menyelesaikan lesson plan. Tersisa aku dan Tya.
Arsee yang sejak tadi menggunting kertas origami untuk material belajar besok menatapku harap-harap cemas. Aku melihat gestur tak nyamannya yang duduk semeja denganku sore ini.

“Submit done,” lirih Tya, sama sekali tidak menarik perhatian orang dalam ruangan kecuali aku yang menahan napas saking terkejut.

Lesson plan mudah, sungguh, andaikan anak-anak dalam kelasmu tidak punya masalah dalam target belajar. Semester satu adalah ajang babak belur bagi guru dan murid agar di semester dua kelak kelas berjalan lebih santai mencapai target belajar. Karena itulah, aku selalu paling buncit menyelesaikan lesson plan. God knows how hard I put my efforts into the class.

“Sandra, mana lesson plan lo?”
Oh my my, loading Dropbox sama berengseknya dengan isi rekening. Aku memutar kursi ergonomis ke belakang, menghadap Mbak Velia yang berdiri di ambang pintu ruangannya. Dia mempertanyakan lesson plan-ku yang artinya lesson plan buatan guru lain sudah diperiksa. Acungkan jempol untuk kehebatan Mbak Vel mengoreksi lesson plan begitu cepat.

“Loading, Mbak,” jawabku sambil memasang cengiran kuda.

Mbak Velia mendengkus dengan cantik. Mind it, Genks, dengan cantik. “Dropbox bermasalah?”

“Koneksi internet,” aku memperlebar cengiran yang ditanggapi seringai Mbak Vel, “yang buruk kali.”

“Save ke flashdisk biar bisa copy ke laptop gue,” saran Mbak Velia.

Aku bergegas mengambil flashdisk untuk mengopi data lesson plan lalu menyerahkannya pada Mbak Velia. Setelah mematikan laptop dan mengambil dompet, aku bergegas keluar dari ruang guru. Elfin dan Gendis tengah bersantai di pos sekuriti, menunggu Abang Bakso menyiapkan pesanan mereka. Aku membelokan langkah ke pos karena panggilan Elfin.

“Gue ingat siapa Selviana Aryani,” kata Elfin tanpa basa-basi. Aku mengambil duduk di sebelahnya, cukup tenang karena Gendis baru saja meninggalkan kami untuk menyebutkan pesanan Pak Revan dan Sherly.

“Ada yang seru?” tembakku langsung.

Elfin merapatkan badan, pertanda bagus bahwa topik pembicaraan ini sangat rahasia atau terlalu menarik untuk menjadi gosip berjamaah. “Selviana pernah nikah delapan atau sembilan tahun lalu,” sorot mata Elfin tak mengenakan, “terus cerai. Besar kemungkinan, Kimkim anak dari pernikahan pertamanya. Tapi pernikahan itu nggak di-publish ke media.” Aku menautkan alis menyimak info dari Elfin. “Karena apa? Gue nggak tahu. Besar kemungkinan mereka terlanjur down payment,” lanjut Elfin dengan volum suara menurun.

Aku menganga, antara terpanah dan kehilangan kata. Otakku serasa dilanda tsunami. Ada fakta perihal Kimkim yang menyangkut orang dari masa laluku. Seketika perasaan mual merambati leher. Aku tidak bisa bertahan lebih lama berdekatan Elfin atau ‘endusannya’ akan menyerangku. “Nggak heran kalau Kimkim rada aneh di kelas,” ujarku sebelum bangkit berdiri.

“Mau kemana?” Gendis datang membawa dua mangkok bakso yang mengepulkan asap. Saking penatnya kepala, aroma bakso tidak merangsang penciumanku.

“Gue mau beli kunciran di toko depan!”

“Buat Kimkim ya, Kak? Sekalian beli sisir dan jepitan deh. Tadi pagi, ampun rambut Kimkim nggak banget kayak habis kena puting beliung.” Arsee datang dan menyerbu dengan celotehan yang memaksaku bertahan. Mesti banget ini anak monyet hadir di momen nggak tepat.

“Gue malah tadi health check anak dan kaget lihat muka Kimkim ada kerak susu dan belekan,” timpal Elfin.

“Mana susternya Kimkim? Kok nggak dirapikan sih penampilannya sebelum masuk sekolah?” Aku menyeringai miris saat Gendis ikut berbaur.

“Kata sopirnya Kimkim, suster Kimkim kabur.” Nah, tambah lagi satu yang memanaskan gosip. Aku menoleh pada Pak Rajmin, kepala sekuriti sekolah, yang tahu-tahu sudah duduk di sebelah Elfin sambil memegang mangkok bakso. Benar-benar deh, baik itu guru ceriwis maupun sekuriti, semuanya sama-sama tukang ngomongin anak orang. Mau gimana lagi, kami bekerja di industri yang mentok ketemu bocah itu, emak itu, sopir itu, dan suster itu. Beginilah topik yang menguap di antara kami.

“Kok bisa kabur, Pak?” Elfin yang nama tengahnya Doyan Gosip langsung kelabakan tertinggal kabar terbaru.

Benar ya, kalau aku tetap di situ, pasti ada seratus episode yang akan tayang dengan judul ‘Insert Pos Sekuriti’. Aku berjalan tanpa menghiraukan teriakan Elfin yang mencegahku pergi sebelum bertemu kata tamat. Duh Gusti, kepalaku serasa mau meledak.
Begitu keluar gerbang sekolah, langkahku terhenti. Ucapan pertama Elfin di pos teringat lagi.
Itukah alasan dia? Selviana ... kah?

yyy

Kimkim berdiri dekat loker tas, diam, dan memerhatikan keseruan anak-anak lain. Kebiasaan aneh, sekaligus wajar. Aneh bagi orang dewasa yang paham makna bersosialisasi. Wajar bagi anak yang baru beradaptasi. Aku mengambil benda yang aku beli kemarin sore, lalu berjalan mendekatinya. Musik, mainan, dan gelak tawa teman sekelas masih gagal mendorong Kimkim untuk berbaur. Aku harap periode observasi Kimkim di kelas kami akan segera berakhir. Toh, anak kecil yang nggak main itu sama dengan orang dewasa yang nggak menyentuh smartphone selama sejam. Sederhananya kita sebut hambar. Lagi-lagi lagu Mbak Inul terngiang, bagai sayur tanpa garam. Ck, dangdut banget analoginya. Kimkim tidak akan nimbrung bersama temannya kalau Luth’s Mom belum datang dan Luth menarik paksa Kimkim ke tengah kelas.

“Kimkim, boleh Miss Sandra sisir rambut kamu?” tanyaku setelah berjongkok persis di depannya.
Kimkim menyandarkan badan pada loker dan menurunkan pandangannya pada lantai parkit. Aku tahu Kimkim menolak memberiku akses. Sebenarnya menunggu adalah hal sederhana yang bisa aku lakukan. Menunggu momen aku dan Kimkim saling dekat. Perkaranya ialah Kimkim menolak aku dan Arsee. Jika salah satu dari kami berdua saja tidak bisa mengambil hatinya, kurang meyakinkan bahwa kami adalah kawan, dan tidak membuatnya nyaman, apa pelajaran yang bisa Kimkim terima dari kelas? Bermain saja? Sekarang memang hits belajar sambil bermain. Asal gurunya bisa membangun koneksi dengan murid dan mengarahkan permainan yang sesuai dengan pelajaran. Sementara aku dan Kimkim masih jalan di tempat.

“Good morniiiiing, good friends!”
Kimkim segera mengangkat kepala dan menengok melewati bahuku. Binar-binar matanya terang benderang. Bagooos, pikirku. Ini dia, life booster Kimkim hadir. Aku melihat Arsee mengendikan dagu ke arah belakangku. Tentu saja aku tahu siapa yang datang tanpa perlu memutar badan.

“Luth, walk please,” perintah perempuan yang baru masuk itu.

“Sorry, Mom,” balas Luth sekenanya. Dia terburu-buru mengambil tas dari tangan si mami dan meletakkannya ke dalam cubby hole.

“Morning, Mom,” sapaku.

“Morning, Miss Sandra. Hi, Miss Arsee.”

Sebelum Luth kabur ke rak mainan, si mami memanggil. Kimkim mendekat ke tempat Mommy Luth berdiri. Aku sebenarnya bingung kenapa sinar mata Kimkim sebegitu cling-cling kalau melihat ibu Luth.

“Hi, Kimkim.” Ibu Luth menyapanya. “Luth, say bye bye to Daddy first.”

Seorang bule pria berumur empat puluhan melongok ke dalam ruangan. Luth menubruk kaki pria itu. “Bye daddy,” kata Luth begitu riang.

“Bye, Son. See you at home,” balas Daddy Luth sambil mengupas puncak kepala putranya. Kedekatan Luth dan ayahnya sangat kental dan menyebabkan aku senyum-senyum sendiri. “Bye Miss Sandra and Miss Arsee,” pamit pria itu setelah melepas pelukannya dengan Luth.

“Bye, Daddy,” koorku dan Arsee berbarengan.

“Tumben Daddy datang antar Luth,” kata Arsee yang sudah berdiri di dekatku.

“Permintaan Luth. Daddy juga lagi nggak gitu sibuk. Sesekali deh, masak datang pas PTC aja,” sahut Mommy Luth santai.

PTC (parents teachers conference) semacam bagi rapor siswa.

Aku melirik sosok kecil di dekatku yang sudah menghilang. “Terus abis ini Mommy pulangnya gimana?” tanyaku.

“Mau pergi sama Mommy-nya Eden ke salon. Repot bawa dua mobil, ntar pulangnya sekalian jemput anak-anak ke sini,” jawabnya sembari memainkan ponsel. “Miss miss pamit ya udah ditungguin nih. Titip Luth, ya. Thank you.”

“Sure. Have a great day, Mom.”
“You too.”

Aku menyisir pandangan ke seluruh ruangan, mencari sosok mungil yang belum kurapikan tatanan rambutnya. Reading corner, sudut perpustakaan mini di dalam ruang kelas kami adalah tempatku menemukannya. Aku menuju area itu. Sebenarnya reading corner kelasku cukup nyaman dengan karpet bulu berbentuk persegi, bantal-bantal empuk berlogo sekolah, banyak boneka tangan, dan sebuah kelambu mungil berbahan kain tule hijau yang menggantung dari langit-langit hingga menyentuh lantai, jangan lupakan rak buku bertingkat dan buku-buku anak. Namun aura yang terpancar di sana berkebalikan yang semestinya. Kimkim duduk menghadap dinding. Badannya sedikit membungkuk dengan tangan memilin rok seragam. Rasanya aku yang mendadak ngenes.

“Kimkim kenapa, Sayang?” Aku mengelus rambutnya cokelat tuanya yang halus.

“Aku sedih,” bisiknya.

Hah?

###

19/10/2019

Miss San kembali...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top