24

Follow IG missbebeklucu untuk update informasi seputar YTMS dan Note of Kim. See you there, gaessss

Ruang tv yang biasanya menjadi tempat favoritku bersama Kimkim, tidak lagi semenarik kemarin. Balita gembil itu boleh berceloteh riang betapa bahagianya dia dijemput oleh ayahnya. Keputusan yang paling kusesali karena berujung pada 'tamparan' paling konyol bagiku.

Mas Dinan mengelus rambut Kimkim sambil masih fokus mendengarkan celotehan anak tiga tahun itu. Sesekali dia mengangguk menanggapinya. Atau tersenyum. Ah, aku marah tapi masih tidak bisa menepis senyuman itu yang membiusku.

Aku mengalihkan pandanganku pada ponsel. Berusaha tidak mengacuhkan keakraban ayah dan anak yang duduk di sofa panjang.

Membuka instagram mungkin tidak buruk. Elfin punya tas baru yang dia beli lewat ig olshop. Murah, katanya. Aku sudah follow akun itu, tinggal mengecek foto-foto produknya. Ada banyak model tas yang dijual, ada yang kw super brand mendunia, tas produsen lokal hingga manca negara. Aku melirik satu foto yang menampilkan tas berwarna burgundy dengan tali panjang berwarna serupa. Pilihan warnanya hanya sedikit. Aku belum menemukan minat pada warnanya padahal sudah sreg dengan bentuknya yang sederhana.

"San."

Aku menoleh ke asal suara. Mas Dinan sedang duduk sendirian di kursi panjang yang tadi diduduki juga oleh Kimkim.

"Mana Kimkim?" tanyaku.

"Di kamar. Tidur."

Saking serunya aku mengubrak-abrik akun belanja itu sampai tidak sadar Kimkim sudah tidur dan dipindahkan ke kamar oleh Mas Dinan. Payah kau, San. Ketahuan deh kelemahanmu kalau sudah window shopping. Lupa segalanya.

"Sini." Mas Dinan menepuk sofa kosong di sebelahnya. Aura wajahnya tampak lebih hangat daripada saat di mobil tadi.

"Buat apa?" Biar bertanya ketus begitu aku tetap menurutinya. Aku pindah ke sofa di sebelahnya.

"Apa saya sudah salah bicara di mobil?" tanyanya.

Ada. Aku mengerucutkan bibir. Sosok di depanku ini kelewat matang sampai langsung tembak ke point masalah, sangat tidak ahli melunakkan hati perempuan. Bisa jadi dia menggampangkan aku sebagai salah satu dari miss Kimkim yang mana levelku sederajat dengan dua perempuan di daycare tadi. Sabodo.

Aku ambil sikap paling aman. Menjaga profesionalitasku. Enyahkan tawarannya di warung soto. Barangkali itu hanya guyonan kelas jetset kepada perempuan low end macam aku. Bertindak tidak berlebihan sebagai pekerja di bidang jasa akan lebih baik, setidaknya pekerjaanku masih ada tahun depan. Walau status ibu Kimkim sudah menguap ke awan.

"Tidak ada."

Bagus. Pertahankan gesture berkelas itu.

"Tapi kamu mendadak berubah pikiran di mobil."

"Mungkin hanya pemikiran Mas saja."

Kontrol emosi, nasihat hatiku. Menghadapi seorang pria yang usianya lebih tua harus lebih elegan. Aku harus menjaga ekspresi dan suara. Jangan sampai lawan bicaraku ini menganggap aku terlalu kekanakan untuk diajak berdiskusi. I ain't ready to talk it though.

"San, saya yakin ada yang kamu sembunyikan. Ada apa?"

"Tidak ada apa-apa."

Aku mulai suka pembicaraan ini. Aku suka ketika aku menjadi fokus sekaligus aku yang tidak terpengaruh lawan bicaraku. Apalagi setelah aku melihat Mas Dinan memijat pangkal hidungnya frustasi. Membuat egoku semakin membesar.

"Saya pernah dengar jawaban 'tidak apa-apa' dulu. Kemudian segalanya berubah kacau. Bahkan Kimmy ikut terseret," lirih Mas Dinan.

Bibir bawahku jatuh. Menerka ke arah mana ucapan Mas Dinan barusan. Kepalanya menunduk dengan mata terpejam seolah takut bertemu pandang denganku. Suaru tarikan napasnya yang berat pelan-pelan berubah teratur, barulah Mas Dinan mengangkat kepala. Kemudian dia memasang senyum kesukaanku. Tapi aku tidak buta untuk tidak menyadari sinar matanya yang sendu.

"Ayo kita—"

Belum sampai Mas Dinan bangkit berdiri, aku lebih dulu mencekal lengan kirinya. Aku tidak ingin dia melanjutkan ucapannya. Aku juga tidak ingin diminta pergi. Tidak, di saat aku baru memahami maksud perkataannya beberapa saat lalu.

"Mas."

Mas Dinan kembali ke tempat duduknya semula. "Ya?"

"Soal tadi.."

Mas Dinan mengangkat kedua alisnya. Menungguku melanjutkan kalimatku.

"Soal... miss-nya Kimkim," cicitku. Aku tidak berani memandang wajahnya.

"Kenapa dengan miss-nya Kimkim?"

"Mas bilang aku miss-nya Kimkim." Pilih kata yang pinter dikit dong San. Kamu berhadapan dengan konsultan loh ini.

"Ya kamu memang miss-nya Kimkim."

Tuh kan, kalo ngomongnya muter-muter Mas Di nggak bakal ngerti. "Mas bilang aku dan dua perempuan itu miss-nya Kimkim."

"Memang benar kan."

"Aku sama seperti mereka?"

"Beda." Aku tidak bisa menahan senyumanku. Aku dibilang beda, sodara-sodara. "Kamu miss di sekolah. Mereka miss di daycare."

Duarr!!

Mana pisau? Mana tali? Biar hayati pergi saja ke alam sana daripada di angkat lalu dibanting begini, Bang.

"Sa-ma?" tanyaku penuh penekanan. Sisi sentimentilku sudah mengambang.

Mas Dinan membingkai wajahku dengan kedua tangannya. Lalu kedua ibu jarinya bergerak mengusapku. "Huss.. jangan nangis." Dia mengusap air mataku yang menumpuk di sudut mata. Sudah kubilang aku sedang sensitif. Bukan tanpa sebab. Melainkan karena ah kalian sudah tahu.

"Kamu nyaris tidak sama dengan mereka," bisiknya di telingaku.

Aku beranikan menatap kedua matanya. Tarik napas, San. Ingat dia punya jampi-jampi di matanya, jangan sampai tenggelam. "Nyaris?"

Dia tersenyum. Kedua tangannya yang berada di sisi wajahku semakin menekan pipiku lembut. Menarik wajahku mendekati wajahnya.

"Kalo tadi kamu terima lamaran saya, kamu pasti sudah sangat berbeda dengan mereka," katanya dengan mata terus menyorotiku.

Lamaran.

Aku menepis kedua tangannya. Mendorong bahunya menjauh. "Lamaran di warung soto itu betulan kan?"

Dia mengangguk.

"Nah kenapa saya masih disamain sama mereka?"

"Kamu kan belum jawab terima atau tolak."

"Harusnya saya sudah beda dong dengan mereka," sengitku.

"Kalo belum terima masih belum beda," balasnya sambil pamer seringai nakal. Aku jelas paham dia sedang menggodaku namun magnetnya juga menarikku jadi bodoh.

"Kan tadi kita mau pindah tempat buat ulang lamarannya. Lagian kenapa sih ngelamar nggak pake persiapan?"

Mas Dinan tidak menjawab. Tapi cengiran lebarnya saat ini mengingatkanku pada ekspresi serupa yang pertama kali kulihat di mobil tadi, membuatku menyadari sesuatu.

"Kamu nggak berencana ngelamar saya ya?" pekikku.

Aku berdiri. Membelalakan mata tidak percaya pada pria yang sedang memandangku polos itu. Luar biasa. Aku dilamar tanpa ada persiapan. Di warung soto pula. Akkhh!! Malu banget cerita ama anak cucu kalo gini.

"Tenang, San," pinta mas Dinan. Tangannya sudah terulur untuk menyentuhku namun aku menghindar.

Pikirkan hal positif Sandra. Coba pikirkan ulang. Bukannya dia serius tentang lamarannya. Semuanya masih bisa dikomunikasikan. Pasti San. Ingat, sedikit lagi kamu hampir jadi nyonya kaya dengan tunggangan Benz. Bego. Singkirkan sebentar soal Benz. Cari stimulus lain yang merileksasi tegang otakku saat ini.

"Oke, anggap saya tidak permasalahkan kamu yang tidak prepare soal itu. Boleh saya tahu alasannya?" Aku menyilangkan kedua tanganku di depan dada. Dengan posisiku saat ini yang berdiri dan dia yang duduk memvisualkan aku sebagai pelaku dominan. And I love it.

"Karena semalam," jawabnya.

"Semalam?" Aku mengangkat satu alisku. Heran dengan jawabannya. Apalagi tampang minim ekspresinya. Susah kubaca apa isi pikirannya.

"Kamu dan Bayu." Wajahnya masih datar. Aku sampai memicingkan mataku demi memastikan lawan bicaraku ini benar-benar pasang wajah lempeng tanpa kedutan atau garis halus di ujung matanya yang bisa mengindikasi emosi dalam ucapannya. Hasilnya nol.

"Aku dan Bayu? Kamu tahu apa aku dan Bayu?" pancingku. Aku adalah yang superior dalam percakapan ini. Dia tidak boleh melihatku terusik dengan ucapannya.

Mas Dinan tersenyum. Senyum yang simpel tapi manis. "Kamu mantan Bayu."

Tubuhku menegang. Ternyata dia banyak tahu soal aku. "Lalu?" Aku mengangkat kepalaku, bersikap aku-tidak-peduli yang aslinya 'jangan batal lamarannya, Mas'.

"Daripada kecolongan sama yang lain, ya saya lamar. Apalagi kamu cantik banget hari ini. Bisa berabe kalo yang naksir kamu maju duluan."

Aku mengulum senyum geli. Pintar juga mulutnya merayu. Eits, aku belum selesai memberinya pelajaran.

"Terus lamarannya?"

"Gimana kalo di restoran bawah?"

Aku menggeleng sok elegan. "Nggak. Aku ada penawaran lain."

"Apa?"

"Pergi ke Tifannys dan beli cincin berlian ato round solitare termahal yang ada di sana."

"Mau bikin saya bangkrut ya?"

"Mau bikin Mas nggak rela ninggalin saya karena modalnya aja udah gede buat lamaran."

Mas Dinan mendesah. "Baiklah."

"Saya tunggu paling lambat satu jam."

"Dua jam."

"Ngapain nego-nego?"

"Sekalian beli makan siang buat kita."

"Ehm." Kok manis banget?

"Boleh?"

"Boleh deh."

"Baiklah, calon ibu Kimkim. Silakan duduk di sini menunggu hamba menghabiskan uang pensiun saya demi cincin."

"Manisnya. Hati-hati."

Sebekum mencpai pintu, aku mencegah Mas Dinan pergi dengan ucapan monologku. "Biasanya pria romantis menambahkan bunga mawar merah seratus kuntum sebagai pendamping cincin," kataku sambil berpura-pura sibuk dengan kuku-kuku tanganku.

"Nggak nambah tiket ke Maldives?"

"Boleh?" tanyaku penuh antusias.

"Kamu beneran niat bikin saya bangkrut ya?" Mas Dinan bersidekap memandangku dengan wajah malas.

"Berlebihan deh, Mas," cibirku.

###

09/03/2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top