19

"Semua terkendali," ucapku untuk ke... err aku tidak yakin kesepuluh atau sembilan. Oh, mungkin kelima. Ya, siapa tahu. Aku mengucapkan kalimat motivasi itu berulang-ulang sambil mengambil pakaian dari lemari, mencocokan atasan dan bawahan di depan cermin, melemparnya ke kasur, mengambil pakaian yang lain, mencoba di depan cermin, lempar ke kasur, dan terus begitu. Sekarang aku dibuat meringis atas jiwa stylish-ku yang gagal mengeksplorasi isi lemari untuk menaikan drajat kekeceanku.

Aku memandang nelangsa kemeja krem berlengan puff yang sangat vintage—atasan terakhir dari koleksi lemari, tapi kurang cocok dengan rok jeans. Dress midi yang aku beli beberapa bulan lalu sebenarnya bagus, tapi warnanya hitam dengan aksen gliter dan belt-nya kecil sekali. Aku tidak dalam rangka pergi ke acara makan malam atau kondangan. Aku butuh pakaian yang menampilkan sisi dewasa, elegan, dan feminim. Aku akan bertemu Mas Dinan, berbicara, dan barangkali saja kami akan membuat sebuah keputusan mengenai masa depan.

Oke, aku sadar itu berlebihan. But who knows.

Sekarang fokus ke pakaian apa yang tepat untuk makan siang bersama Mas Dinan. Sesuatu yang cantik dan modis. Aku tidak ingin membuat Mas Dinan malu berjalan bersamaku. Dia pernah menjadi suami Selv— aku tidak mau menyebut nama seseorang itu saat ini. Pokoknya, sebagai ex dari model, Mas Dinan pasti mengenal fashion dan malas berhadapan dengan perempuan yang gagal mix and match pakaian. Aku harap aku tidak terhitung sebagai cewek malesin baginya.

Aku menyugar rambut dengan gemas. Momen wajib tampil maksimal untuk seseorang sudah lama terlewati. Aku nyaris lupa pentingnya pendapat orang sejak putus dari AAKH... pas sudah move on, jejak-jejak masa lalu kembali dan menggerogoti kewarasan. Aku menoleh pada cermin sembari memajukan bibir bawah. Cuitan twitter memang benar, ketemu mantan sedetik maka gagal move on tahunan.

"Woah, kena gempa nih?!"

Aku berpaling pada pintu kamar dan menemukan Elfin melotot takjub. Sherly masuk belakangan dan bersiul pada gunungan kain di atas kasur. Duo kampret ini terlahir cantik dengan cara mereka. Dalam balutan celana jeans tercabik-cabik dan kaos 35 ribu dari Blok M, mereka tetap cetar.

"Silakan masuk. Silakan duduk," kataku sarkas pada tingkah songong dua tamu ini.

"Gue haus, San. Air dingin dong. Sherly malesin banget. Gue dilarang bikin dingin mobilnya." Elfin melirik Sherly sambil mencibir.

"Udah numpang, nggak usah banyak mau." Sherly memutar badan, lalu menghadapku. "Dimana gue bisa duduk?"

Aku mendesah. Apa aku pernah bilang kalau mereka ini bukan jenis tamu yang kamu harapkan masuk ke kamar? Jiwa urakan mereka sering membuatku naik darah. "Di lantai aja bisa kan? Udah dipel tadi pagi, jaminan aman." Aku menunjuk lantai, satu-satunya area kamar yang bisa mereka kuasai.

Aku segera kabur dari kamar sebelum tambah banyak mendengar rengekan Princess Sherly dan keluhan Elfin. Aku pergi ke dapur dan menyiapkan air sirup dingin untuk mereka. Kemudian kembali ke kamar. Sherly dan Elfin sudah duduk anteng di lantai. Tumben mereka mau nurut, pikirku.

"Cerita dong tentang Bayu. Gila banget lo nggak bagi-bagi kisah ngenes gini," ceplos Elfin begitu aku ikut bergabung bersama mereka di lantai.

"Kok omongan lo nyebelin ya?" Aku mendelik pada Elfin yang cengengesan.

"Kalo lo tahu Bayu nikah sama emaknya Kimkim which is lo juga tahu kalo papanya Kimkim duda sejak awal dia masuk?" Sherly memulai investigasinya.

Aku mengangguk sekali. Semalam aku menangis sampai tertidur. Pagi ini aku mencuci muka tiga kali agar wajah sembab bak Sodako lenyap, makan semua makanan dengan kandungan gula tinggi, menonton empat video stand up comedi Panji Pragiwaksono di youtube, dilanjut membongkar isi lemari. Jika dihitung seksama, aku harusnya sudah balik normal. Nyatanya, membahas ulang Bayu malah membuatku baper lagi.

"Boleh gue tahu alasan detailnya Bayu dan lo nggak lanjut?" tanya Sherly sangat berhati-hati.

"Ya," aku membuang pandangan ke langit-langit, "Bayu minta pisah. Dia bilang, ada perempuan lain."

"Anj-AKH!" Elfin mengelus pinggangnya yang kena cubit Sherly.

"Manner please," desis Sherly. "Jangan ampe kita di-blacklist ortu Sandra gara-gara lo ngomong bad words."

"My bad." Elfin menjulurkan lidah sambil mengernyit.

Aku tersenyum kecil. Ibu dan Bapak sudah tahu gimana watak mereka. Siapa yang tidak bisa menebak segimana parah mulut mereka, kalau mereka sudah sering datang dan membuat geger rumah karena suara serta umpatan mereka mengalahkan kebisingan obral Tanah Abang?

"Lo udah tahu kalo Selviana yang jadi alasan Bayu minta pisah?" Giliran Elfin yang bertanya.

Aku menggeleng. "Gue tahu saat hari pertama Kimkim trial di sekolah. Tingkah lebay Mbak Velia memaksa gue googling orangtua Kimkim, then I found the article about it. Selviana dan Bayu."

Sherly dan Elfin menganga sembari angguk-angguk. Mereka berbagi lirikan yang tidak aku mengerti.

"Sebenarnya ini nggak etis buat gue ucap, tapi..." Sherly menarik napas. "They're fucking couple."

"Katanya manner," sindir Elfin.

"Jiwa lady gue tersentil kalo ceritanya begini. Lo gimana, San? Udah nonjok si Bayu?"

"Sher, manner."

"Berisik lo. Manner belakangan. Balas dendam dulu. Perlu gue bantu hajar Bayu?"

Elfin menjauhi Sherly responsif. Sherly sendiri cuek saja pada tingkah Elfin dan tetap pasang wajah siap tawuran untuk meyakinkanku. Ini tawaran menggiurkan. Membalas Bayu tidak pernah masuk dalam pikiranku beberapa tahun lalu. Aku terlanjur patah hati dan tergesa-gesa menutup segala akses dengannya. Sherly pasti punya banyak akal menyakiti Bayu. "Nggak, Sher. Gue nggak akan dapat apapun dari nonjok Bayu. Sakit gue bukan di fisik dan kasus itu udah tutup buku. Gue dan Bayu udah selesai. Itu aja sekarang." Dan inilah keputusanku.

"Lo nggak dendam?" Elfin dan Sherly bertanya berbarengan.

Aku tertawa kecil. Gila saja aku harus dendam setelah tiga tahun jungkir balik menata hati. Marah, sudah pasti, tapi itu dulu. "Gue kan punya dua teman paling kampret sedunia preschoolers, masak gue repot-repot menyimpan dendam," candaku sambil merangkul bahu mereka.

"Jijik!" Sherly melepas rangkulanku. "Lo mau donasi baju lo?"

"Nggak."

"Lo beres-beres lemari ngikutin cewek di drama Korea pas patah hati?"

"Nggak juga."

"Terus?" Elfin dan Sherly bertanya berbarengan lagi.

"Gue diajak lunch sama Mas Di."

"Bangke! Big news nggak bagi-bagi!" Elfin melotot tidak terima.

Sherly berdiri dan mengambil sepotong baju di tumpukan teratas. "Gue bantu lo milih baju," katanya. Aku tersenyum girang dapat volunteer yang melek mode seperti Sherly.

"Gue lupa cerita," kata Elfin yang nimbrung mengacak-acak tumpukan bajuku. "Mas Di itu anaknya Ahmad Syaidan loh."

"Beneran?" aku dan Sherly dibuat melongo pada kabar Elfin. Ahmad Syaidan si bos properti. Wow banget.

"Anak istri kedua," lanjut Elfin agak ragu.

"Then..." Aku memancing Elfin melanjutkan endusan yang berhasil didapatnya.

"Selviana itu rencananya jadi tunangan anak Ahmad Syaidan dari istri pertama, nggak jelas gimana, malah nikah sama Mas Di. Gue rasa Mbak Velia pasti tahu. Abangnya Velia lumayan dekat sama papanya Kimkim."

"Lo tahu dari mana papanya Kimkim dan abangnya Mbak Vel temenan?"

"Temen gue itu kebetulan model yang kenal Selviana dan abangnya Mbak Velia." Elfin menarik bolero hitam dengan hiasan bunga dari manik di dada kiri. "Gue nggak nyangka, lo pernah pake baju begini, San. Jaman masih pacaran sama si setan yang nggak usah kita sebut namanya Bayu slash bokap tiri Kimkim ya?"

Aku merebut bolero yang memang benar seperti tebakan Elfin. "Emang gue kurang kelihatan feminim punya koleksi begini?"

"Nggaklah!" jawab mereka kompak.

Kampret!

###

28/02/2020

Ini yang fresh dari cerita Sandra uwooooow...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top