17
Aku membaca ulang pesan terakhir yang dikirim Elfin setengah jam lalu, melihat sekeliling, dan memastikan obyek pencarianku berada di jarak pandang. Mencari orang bukan keahlianku di malam hari, apalagi dengan fakta Blok M selalu ramai pengunjung dan aroma makanan angkringan mengganggu fokus.
Satu tangan melambai-lambai ke arahku. Aku berjalan mendekat.
"Bukannya manggil," gerutuku setelah bergabung di meja angkringan. Aku susah menemukan perempuan berkulit eksotis satu ini di jajaran meja lesehan. Biasanya Elfin selalu tampil menonjol.
"Malas banget teriak-teriak. Suara gue jualan gue ya." Elfin mengibas rambutnya dengan tangan kanan. Pongah sekali perempuan jogja ini.
"Telpon kek," sindirku.
"Tambah males. Lo yang butuh, gue yang modal. Lo lah yang kudu modal," balasnya tak kalah nyolot.
"Gue kan membantu lo menjauhi dosa Jumat malam, sewajarnya lah take and give." Aku suka bermain lempar kata judes dengan Elfin. Kata Pak Revan, itu cara kami bertahan hidup di tengah kejamnya ibukota. Lebay. Cuma lucu-lucuan.
"Yang ngomong kayak solat aja kalo nggak diingetin emak. Gue mau ibadah nih." Elfin menyeruput teh hangatnya.
"Ibadah dari segitiga bermuda. Gue tau lo mau ke club. Mana Sherly?"
"Mabok dia."
"Hah? Serius? Baru jam setengah delapan nih?!" seruku kaget.
Elfin menoyor dahiku. "Bukan mabok itu. Dia mabok masuk angin."
"Ooh!" Aku mengangguk-angguk. "Terus kemana dia?"
"Toilet. Makan yuk. Gue lapar nih. Mestinya masih di rumah malah lo telpon paksa ketemuan. Untung itu vampir udah rapi di rumahnya. Gitu gue jemput tinggal beres-beres dikit di mobil. Tau kan lo setan di badan Sherly tuh gila kalo diganggu pas lagi dandan. Untung malaikat gue baik, bebas tuh kuping gue dari omelannya. Dia ngomel dikit sih tadi di mobil, tapi masih bisa ditoleransi."
Nah, lihat kan Elfin bak panci panas terbuka. Mengepul terus tanpa ditiup. Pengandaiannya sesuai dengan karakter Elfin.
"Gue mau bakso," kataku setelah menyisir semua tukang jualan di sekitaran.
"Pesenin teh anget buat Sherly sekalian ya," kata Elfin saat melihatku hendak berdiri.
"Oke." Aku berjalan ke tukang bakso. Memesan dua mangkuk bakso dan segelas teh hangat. Setelahnya aku memilih menunggu pesananku di meja yang sudah diduduki Elfin dan Sherly.
"Udah baikan Sher?" tanyaku. Wajah Sherly masih cerah, mungkin efek makeup tebal.
"Lumayan. Ada permen nggak San?"
Aku menyodorkan permen dari kantong kecil di tasku. Sherly langsung menyambarnya, lalu mengulumnya seperti bocah yang tidak pernah menikmati manisan.
"Asem ya mulut lo?" tanya Elfin.
"Namanya muntah mah asem. Gue nggak nyaman aroma mulut gue. Nggak kece dong bau mulut, ntar nggak ada yang mau nempel." Sherly nyengir kuda.
"Jijik," dengus Elfin. Sementara aku tertawa sambil satu tanganku meraup wajah Sherly. Membuatnya ngomel makeup-nya hancur.
"Mau ngapain sih lo ajak ke sini?" tanya Sherly.
Belum sempat jawab, abang bakso datang dengan pesananku. Aku mengarahkan teh hangat ke Sherly. "Baksonya buat lo apa Sherly?" tanyaku pada Elfin.
"Lo mau bakso Sher?" tanya Elfin.
"Nggak, gue malas makan. Tadi sore udah makan."
"Fine, jatah gue berarti." Elfin mengambil satu mangkuk bakso. "Cerita lo!"
Aku urung menyuap bakso. "Sambil makan?"
"Biasanya juga makan sambil ngomong," sindir Sherly.
"Yang penting jangan muncrat." Elfin memicingkan matanya, mengintimidasiku.
"Diusahakan," desisku.
Aku pun mulai menceritakan pengalaman makan malamku dengan Mas Dinan pada Kamis malam lalu. Sebisa mungkin aku menuturkannya tanpa memasukan unsur pendapat agar kedua temanku ini bisa menangkap kisah ini seobyektif mungkin. Walau aku tidak terlalu yakin aku sudah menceritakannya tanpa unsur opini pribadi.
"Shit!" umpat Elfin. "That's crazy!"
"Lo tinggal lima langkah lagi melepas status upik abu," seru Sherly girang.
Helloo, ada yang butuh teman Jumat malam dugem. Saya punya dua nih. Boleh silakan diambil dua-duanya. Salah tempat curhat. Aku menepuk dahi sok dramatis.
"Gue butuh omongan lain. Whatever ama umpatan lo Fin. Dan lo Sher, berguna dikit dengan saran daripada sok fairytale," ketusku.
"Lo ngomong apa setelah teriak 'WHAT!' gitu?" Elfin menirukan gaya teriakanku saat makan malam itu.
"Gue bilang 'ayo lanjut makan Mas, jangan sampe mubazir rezeki dari Allah'. Sumpah gue mati gaya."
"Ketara banget udah lama jomlo. Kaku lo," kata Elfin. "Biar begitu, gue bangga ama kemampuan modus lo. Belajar dari Sandra, Sher, kalo mau jago modus."
Elfin dan Sherly menertawakan hal yang enggan kupahami. Aku memutar bola mata jengah. Mana pencerahaan yang kuharapkan dari dua kampret ini.
"Seharian ini lo gimana ama papanya Kimkim?" Sherly pasang wajah serius.
"Ya gitu.." kataku menggantung.
"Ya gitu apanya? Gue siram bakso nih kalo tanggung-tanggung gitu jawabnya." Elfin tidak pernah bisa jauh dari ancaman. Selain umpatan pastinya.
"Tadi pagi pas ketemu, Mas Dinan kaya nyoba ajak ngomong tapi gue alasan kebelet. Ngedon tuh gue di kamar mandi. Sore tadi dia mau ajak ngomong lagi, gue langsung ngacir."
Sherly mengangguk sekali. Elfin menatap Sherly. Aku juga begitu.
"Kalo papa Kimkim serius gimana?" tanya Sherly. Wajah analisisnya biasa membuat ngakak kini menyebabkan ketar-ketir.
"Nggak tahu." Aku menggeleng cepat.
"Kalo dia serius, lo mau nggak dinikahin?" Sherly bertanya tidak sabaran.
Aku menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal, kebiasaan mengalihkan kebingungan. "Gue belom punya jawaban."
"Kalo gitu cari jawabannya," kata Sherly. Dia meminum habis tehnya. Dirasa belum cukup, dia meminum air mineral milik Elfin. "Gini nih yang bikin gue malas sama curhatan cewek. Jelas gampang, dibikin ribet sama tetek bengek pikiran nggak jelas. Fokusnya gini, lo pastiin diri lo siap nggak dinikahin. Nggak usah ribet soal cinta. Soal prinsip. Kalo cocok mah lanjut sampe mati."
Aku saling lempar pandangan dengan Elfin.
"Masalahnya papa Kimkim baru kali ini nawarin. Kemarin-kemarin nggak ada sentilan soal itu. Wajar Sandra bingung. Bisa saja tawaran ini lelucon," bela Elfin. Cinta gue kalo si kunti mulai lurus.
"Cewek matre kaya Sandra mah udah paling bener dapat papa Kimkim. Pake alasan bingung, nggak beres. Hajar aja." Ini Sherly sudah kembali ke mode abnormal. Baik, kita bisa coret namanya dari daftar pemberi pencerahaan.
"Lo kira gue apa deh? Asal hajar."
Sherly tertawa pendek. "Sensi nih calon emaknya Kimkim," ledek Sherly. Elfin ikut menertawakanku. Dasar duo kampret, aku susah paham di mana humor ucapan Sherly.
"Gue butuh yang menolong, bukan yang nambahin pusing." Aku memijat pelipisku dengan dua tangan.
"Buka diri lo terhadap segala kemungkinan. Kalo papa Kimkim serius, dia nggak akan nyerah cuma karena lo menghindar. Apalagi cowok yang pernah gagal kayak dia, pertimbangannya pasti besar soal lo." Wajah Sherly kembali serius sekaligus hangat. Senyuman terukir dari bibirnya. Sherly ini tipe cewek yang tanpa senyum pun cantik, begitu senyum, tidak perlu tanya bagaimana respons lawan jenis. Klepek-klepek terlalu sederhana mendeskripsikan sikap mereka ke Sherly.
"Gue harap Mas Dinan cuma salah ngomong" kataku, lebih pada diri sendiri.
"Buka diri. Inget kata Sherly. Pakar cowok nih. Jangan buang nasihat pakar cinta kita bersama," omel Elfin. Sherly menepuk bahu Elfin dan lagi-lagi mereka tertawa. Otakku tidak dalam frekuensi yang sama dengan mereka berdua dan mentok memasang wajah letih.
"Gue harus gimana kalo Senin ketemu dia lagi?" tanyaku setelah tawa mereka usai. Aku tidak punya pilihan teman curhat lain selain mereka yang jelas-jelas selalu punya waktu luang di malam ini. Topik ini sensitif, tapi kurang pantas diangkat sebagai topik berat mengingat cara mencetuskan Mas Dinan yang seperti main-main.
Sherly masih seru dengan ponselnya. Elfin dan aku mencebik kesal. Si playgirl pasti tidak mengacuhkan kami entah buat si Dendy atau si Arman, mungkin si Rusdi.
"Jawab dong Sher," kata Elfin.
"Oh gue ya yang ditanya? Bentar, Ivan ajak gue ngebar. Gue balas dulu." Matanya tidak lepas sepersekian detik dari ponsel. Nama cowok baru disebut. Aku dan Elfin hanya lempar tatapan usil mengingat rekam jejaknya soal kedekatan dengan kaum adam.
"Cowok baru lagi?"
"Temen." Sherly sudah meletakkan ponselnya di atas meja. "Kalo lo ketemu papanya Kimkim mending biasa aja. Kalo dia coba ngedeket ya terima aja. Dia ajak makan, terima aja. Dia ajak belanja, terima aja. Usahakan kartu dia yang gesek di kasir. Kalo ajak nikah emm..."
Aku dan Elfin mencondongkan tubuh kami ke arah Sherly. Sepertinya baik aku dan Elfin tidak ingin kehilangan kesempatan mendengar satu kata pun dari mulut comel homeroom teacher kelas baby ini.
"Jauhan ah, muka lo berdua kayak mupeng gitu ama gue." Sherly mendorong wajah kami dengan kedua tangannya. Menghasilkan raut kesal di wajah kami masing-masing.
"Kalo dia ajak nikah, lo tanya apa alasan dia nikahin lo. Kalo alasannya cinta ya balas prove it. Kalo alasan lain, diskusikan deh. Udah pada gede kan," lanjutnya.
"Kesannya lo yakin dia ada niatan serius ke gue."
Sherly menepuk bahu Elfin yang duduk di sebelahnya. "Minta cewek ini endus modus papanya Kimkim. She's the expert."
###
26/02/2020
Taburkan bintang yang banyak ya 🤩🤩🤩
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top