16

Kakiku tak henti bergerak gelisah. Kalau tadi aku bisa sok pamer ke grup akan makan malam bersama Mas Dinan, kenyataannya aku ngerasa begitu salah. Aku mengutuk setan mau untung dalam badanku— kalau benar endusan Elfin soal keberadaan setan ini ada padaku. Aku akan terjebak dalam momen canggung dalam beberapa menit ke depan. Berapa menit Mas Dinan butuh merapikan diri? Aku harap dia butuh setahun untuk mandi dan ganti baju.

"San."

Aku melonjak di sofa. Kapan sih doaku terkabul dalam sekejap?

"Hai, Mas." Aku menggigit bibir bawah. Apanya yang hai sementara kami sudah bertemu sejak tadi.

Mas Dinan memaksakan senyum. Sebaiknya aku mendaftar kursus komunikasi efektif. Kemampuan verbalku anjlok. Pasti dampak penampilan Mas Dinan usai mandi dan ganti pakaian. Aroma sabun dan samphoo dikombinasikan rambut setengah basah, kaos polos, dan celana khaki benar-benar buruk bagi konsentrasi. Tak ayal, aku paham sepenuhnya mengapa Mas Dinan selalu masuk top chart pergosipan di ruang guru. Elfin, Sherly, dan Gendis— the most gossip agents— pasti sudah membayangkan visual Mas Dinan dalam versi kantoran dan rumahan. Sial. Aku lebih handal menghitung diskon tanpa kalkulator daripada menilai kadar ketampanan pria.

"Makan di sini, nggak masalah?" tanyanya.

"Iya." Aku berdiri dan berjalan ke ruang makan yang bergabung dapur, lalu berhenti. "Ayo makan," ajakku pada Mas Dinan yang masih diam di tempat. Aku itu bekerja di sini, bukan tuan rumah.

Kami duduk berseberangan di meja makan. Saat Mas Dinan hendak mengambil sendok nasi, aku lebih dulu meraihnya. Duh, jiwa pembantuku selalu selangkah di depan akal. Tapi akan terdengar menggelikan kalau aku menjelaskan kebiasaan menyiapkan makanan orang lain adalah bakat lain yang bisa aku banggakan selain menghemat uang. "Saya bantu ambilkan nasi." Huft, sedikit kemampuan verbalku masih berfungsi di tengah kekacauan.

"Oh, ya, tolong."

Aku mengambil piring yang diangsurkan Mas Dinan, menyendok dua centong nasi, dan mengembalikannya. Aku sungguh-sungguh berusaha menahan tanganku agar tidak bergerilya membantu apa yang tidak perlu dibantu. Mas Dinan tampaknya bukan tuan rumah yang butuh bantuan pembantu untuk menyendok lauk ke piringnya. Sudah cukup dengan nasi dan aku mencoreng muka sendiri.

Masakan Mbak Murni sudah dingin tapi rasanya masih lezat. Menunya pun menarik minat makan. Hari ini ada tahu dan tempe goreng, nugget lele, dan capcay. Selera makanku belum pernah kendor setiap makan di sini. Kadang aku meminta resep untuk menu unik yang dibuat Mbak Murni. Sayang sekali aku belum berkesempatan mempraktikan di rumah. Setiap pulang, aku lebih senang berhaha-hihi menonton SNL.

Kami mulai makan dengan hening. Mas Dinan makan dengan khidmat. Lain halnya denganku yang lidahnya gatal ingin berceloteh. Aku suka menghabiskan waktu makan dengan obrolan. Ada yang melarang makan sambil bicara, itu hak mereka. Pendapatku, asal saat bicara tidak ada makanan di dalam mulut itu sudah cukup sopan. Tidak muncrat kemana-mana kunyahan dalam mulut. Elfin sih yang sering ngomel kalau aku ngomong sambil mengunyah. Biar jelek mulutnya, dia penggila kebersihan. Korban terbaik bagiku dan Sherly yang paling malas bersih-bersih.

"Mas."

Fix, ini lidah udah nyeri sendi nggak dipakai ngomong.

"Hmm." Mas Dinan memfokuskan dirinya padaku. Napas San. Tarik. Hembuskan. Bagus. Relax. Orang ganteng memang kodratnya bikin mau mati yang dilihatin.

"Tadi di kantor gimana?"

Shit. Pertanyaanku. Sok akrab banget sih.

Mas Dinan menarik kedua sudut bibirnya. Senyum tipis. "Biasa. Sibuk."

Fine, kerja kantoran tidak jauh dari kata sibuk. Hei, aku juga pernah sibuk. Emm. Kapan ya? Awal Desember sepertinya bisa disebut sibuk.

Mas Dinan terkekeh sendiri. Tampangku pasti seperti pelawak yang gagal kasih punchline malah diketawain karena muka cengonya. Malu emak!

"Saya nanya yang nggak penting ya?" tanyaku ragu.

"Nggak, nggak, cuma udah lama banget nggak ada yang nanyain gitu ke saya. Jadi lucu."

Boleh aku tersemu malu? Nggak cocok? Yasudah lupakan.

"Kayaknya kerja di kantoran nggak jauh dari kata sibuk ya Mas."

"Gitu deh."

"Kalo saya ditanya gimana kerja tadi. Udah panjang bisa cerita. Bisa kali dapat dua bab per hari. Ada aja kejadian di luar rutinitas. Berhubungan sama anak-anak kan banyak aja yang beyond," cerocosku.

Mas Dinan angguk-angguk mendengarkan.

"Mas berhubungan dengan orang-orang dewasa. Nggak ada yang menarik gitu?"

Aku masih belum bisa menghentikan ocehanku. Siapa suruh kurang responsif, aku jadi tertantang mengambil sebanyak mungkin pembicaraan. Ini pula satu sebab Mbak Vel melarang duet Sandra-Elfin, Sandra-Sherly dan Sandra-Gendis di dalam kelas. Katanya bisa menyebabkan polusi suara dan anak-anak kehabisan kesempatan berpendapat.

"Contohnya?"

Aku menarik napas. Mari bermain ulur-ulur sebanyak yang Mas Di mau. "Ada yang kejepit lift, rok karyawati kantor sebelah melorot, Mas salah masuk mobil, OB masukin garam ke kopi, ada undangan pernikahan teman sekantor-"

"Oke." Dia mengangkat tangannya untuk menghentikanku. Ini baru sedikit, Mas. Aku malah pernah micro teaching di depan murid yang dituntut selesai dalam tiga puluh menit.

"Tidak ada yang kejepit lift, tidak ada rok karyawati yang melorot, saya tidak salah masuk mobil, OB benar memasukkan gula ke kopi, dan saya tidak terima undangan pernikahan teman sekantor," katanya seraya tersenyum menahan tawa.

"Oh." Aku mengangguk. "Oke."

"Gantian saya yang nanya?"

"Silakan. Jangan yang susah."

Dia tertawa lepas. Apa segitu lucunya?

"Gimana Kimmy hari ini?"

Inilah pertanyaan yang kutunggu sejak menjabat nanny infal Kimberly Putri Andityo. Pertanyaan yang akan kujawab tuntas. "Kimkim hari ini tidak rewel. Sebenarnya Kimkim tidak pernah rewel. Tidak punya keluhan." Aku berhenti. Menunggu responsnya.

Dia pun bertanya, "Apa itu bisa dibilang baik?"

Aku menghentikan kegiatan mengacak-acak isi piringku. Memegang lebih erat peralatan makanku. Seolah menyalurkan emosi labil. "Saya tidak bisa bilang itu baik. Tidak juga buruk."

Dahi Mas Dinan mengerut. Jemari kedua tangannya menyatu. Manik matanya menatapku lekat. Dia menanggapi serius ucapanku dan itu bagus. Kami butuh berada dalam atmosfer yang sama soal topik ini."Maksudnya?"

Aku menarik napas sebelum mulai bicara. "Sederhananya begini, jika anda ingin bermain bola lalu diberikan panci. Apa sikap anda?"

"Bertanya mana bola saya."

"Betul. Anak-anak juga akan begitu. Mempertanyakan ketidaksesuaian permintaan mereka dengan yang ditawarkan. Sejauh ini, Kimkim tidak menunjukkannya."

Raut wajah terkejut Mas Dinan yang berikutnya kulihat. "Apa saya harus bawa Kimmy ke psikolog anak?" tanyanya serius.

Bahuku kontan melorot. Mudahnya hidup versi orkay. Melenceng sedikit langsung panggil pakar. Tidak ada usaha perbaikan dari diri sendiri.

"Mungkin belum diperlukan. Mas aja yang coba buat pendekatan dengan Kimkim. Saya punya satu teori sejauh ini tapi mungkin salah. Dan saya berharap itu salah." Jeda. Aku mengatur napas. Meneliti ekspresi tegang lawan bicaraku yang biasanya santai dan kalem. "Kimkim berusaha diterima dalam lingkungan tapi dia punya perasaan insecure di saat bersamaan."

"Kenapa begitu? Kamu ada saran mengatasi ini, San?"

"Mungkin karena Kimkim baru pindah ke Jakarta dan masih butuh waktu adaptasi. Saran saya, bangun komunikasi dengan Kimkim. Buat dia percaya dengan orang-orang di sekitarnya."

"Banyak penjahat anak sekarang," potongnya cepat.

"Tambahkan pemahaman soal orang-orang yang tidak baik dalam lingkungan juga."

"Apa dia tidak jadi pusing nantinya? Yang mana orang baik, yang mana orang jahat?"

Dipotong sekali lagi, kasih cium nih, Mas. Alah modus.

"Paparkan apa-apa saja ciri orang baik dan tidak baik."

"Ada orang jahat yang pura-pura baik."

Kasih cium nggak ya?

"Makanya penting adanya pengawasan dari pihak keluarga terdekat. Ada baiknya anak perempuan diajak berbicara dengan ibunya. Anak laki-laki dengan ayahnya. Pendekatannya diharapkan lebih sesuai karena si anak bisa menjadikan orangtua yang diajak bicara sebagai role model. Women's talk. Men's talk. Biarpun dengan anak-anak, mereka punya daya tangkap yang baik. Mungkin proses mengolah informasinya saja yang tidak bisa secepat orang dewasa karena mereka belum punya banyak pengalaman untuk di-compare dengan informasi dari orang tua. Cukup percaya hasil tidak pernah menghianati usaha, Mas." Aku pasang senyum mengakhiri paparanku.

Di depanku, wajah Mas Dinan sudah pias. Aku salah bicarakah?

"Apa kamu bisa membantu pendekatan dengan Kimmy? Women's talk itu?" pintanya. Ada nada ragu dan sedih. Aku merasakan kejanggalan.

"Tidak bisa," jawabku tegas.

"Kenapa?" Dia bertanya sangat lirih.

"Saya memposisikan diri saya sebagai guru Kimkim. Orang boleh bilang guru adalah orang tua kedua tapi bukan berarti guru plek-plek sama dengan orang tua kandung. Saya di kelas berhadapan dengan dua belas murid dengan karakter berbeda. Jujur tiap anak butuh pendekatan yang berbeda-beda pula. Masalahnya saya dikejar waktu dan target belajar. Dibanding menjadi perempuan super yang bisa switch gesture sesuai kebutuhan anak-anak, saya membentuk pribadi saya sebagai ibu yang disiplin. Kadang saya bisa membaca gestur murid yang ingin bermanja-manja. Jika ada kesempatan, mungkin saya turuti tapi tidak menjadi prioritas. Kalo satu anak ingin digendong, mana mungkin saya membiarkan sebelas murid saya yang lain menatap cemburu. Saya hanya punya sepasang tangan. Sementara ibu punya waktu eksklusif bersama anak. Bisa memanjakan anak. Pendekatan yang terbentuk akan lebih personal dan tepat sasaran."

Aku pernah baca perihal semesta yang berkonspirasi membangun suasana syahdu. Ditemani detak jarum jam dinding, izinkan kali ini si jomlo Sandra beranggapan sedang berada dalam suasana syahdu itu. Diam dan saling menatap. Berkedip tanpa memalingkan pandangan.

Mas Dinan yang pertama melepas tatapan kami. Aku mendengkus. Apa aku bilang mendengkus? Mungkin refleks, genks.

"Saya pikir kamu yang paling cocok dengan Kimmy. Dia berubah banyak sejak jadi murid kamu."

Aku baru saja merasa bersalah membuat seorang laki-laki berbicara dengan nada sefrustasi itu. Hingga, "Apa kamu bisa menjadi ibu Kimmy?"

"WHAT??"

I do need Elfin and her silly best buddy, Sherly.

Ini bapak ganteng makin ngaco (╯⊙ ω ⊙╰)


###


20/02/2020


Angkanya cantik ya gaeeessss...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top