1
1
Kejutan Murid Trial
"Lo kelihatan nggak bersemangat pagi ini." Itu ucapan paling peka yang dilontarkan seorang Elfin. Setahun lebih kami berteman sejak bekerja di sekolah ini, baru sekarang Elfin menggunakan 'endusan'-nya yang fenomenal itu untuk sesuatu yang menyentuh. Andai dia bisa membuat aku terlepas dari kekalutan, tanpa sungkan aku akan menangis haru.
"Kelihatan banget ya?" tanyaku. Kami dalam perjalanan menyusuri hallway menuju ruang kelas masing-masing yang secara kebetulan berseberangan.
"Karena murid trial?" Tebakan Elfin menghentikan langkahku. 'Endusan' fenomenal Elfin pasti sedang bekerja. Mari pikirkan suatu solusi yang barangkali dimilikinya.
"Lo ngerasa Mbak Velia tampak over excited membahas murid yang akan trial di kelas gue?" tanyaku balik. Aku menarik Elfin masuk ke dalam ruang perpustakaan yang berada di dekat situ. Aku tak berharap tambahan telinga memperkeruh isi kepalaku.
"Masak sih?" Elfin berjalan menuju rak yang memajang buku cerita. Aku paham dia tengah membentuk suatu alibi bahwa kami berdua berada di perpustakaan dalam rangka bekerja dan bukan menggosip. Aku pun melakukan hal yang sama dengan mengambil beberapa pop up book bertema hewan.
"Pagi tadi, Mbak Velia bilang kalau gue harus berusaha buat murid ini enjoy di kelas," kataku mengingat bagaimana tadi pagi Mbak Velia berbinar-binar membicarakan si murid trial.
"Ngejar target akhir tahun kali."
"Gue tahu Mbak Vel merangkap marketing tapi agak mencurigakan karena-"
"Bulu mata palsu dan makeup cetarnya?" lanjut Elfin yang membuatku meringis.
"Kita lihat seperti apa murid lo, mungkin anak ini punya bokap duda yang bisa di-prospect. Atau keluarga si anak adalah bakal calon shareholder di sekolah ini. Mungkin juga..." Elfin membekap mulutnya dan menatapku horor, "anak ini di-endorse buat memasarkan sekolah ke media massa."
Aku menyeringai. Tebak-tebakan Elfin memang terdengar konyol, tetapi rekam jejaknya lumayan bagus untuk menginvestigasi keabsahan segala praduga yang terkemuka. Misalkan sebulan yang lalu, Elfin menebak seorang murid sipit berkulit cokelat sebagai anak Jepang. Ada banyak anak Indonesia tulen yang bermata segaris dan kulit cokelat. Ye, kan? Kebetulan murid itu speech delay dan tidak bisa ditanya-tanya seputar hal personal dan kami semua belum pernah bertemu orangtua anak ini sejak si anak menginjak sekolah. Semua kebutuhan anak ini diurus oleh asisten neneknya dan di data murid hanya tercantum nama ibu. Seminggu kemudian, Elfin bertemu seorang teman yang berteman dengan ibu si anak sipit dan membenarkan tebakan Elfin. Ekstra bonusnya, anak itu merupakan anak orang berpengaruh di Jepang sana. Menurut pengasuh si anak, kabar itu memang benar adanya. Luar biasa sekali 'endusan' Elfin.
"Gue harap lo punya bukti omongan barusan," kataku sembari melirik jendela panjang berukuran lima puluh kali lima belas senti pada pintu saat beberapa murid melintas. "Good info, ibunya anak ini masuk portal gosip."
"Aktris?"
"Mantan model."
"Siapa namanya?"
"Selviana Aryani."
Mengharapkan Elfin akan mengendus sesuatu yang aku curigai sebenarnya agak berisiko, terutama dengan sangkut paut seseorang dari masa laluku. Lupakan siapapun orang itu, Sandra. Ingat sepenggal lirik lagu Mbak Inul, 'masa lalu biarlah masa lalu'. Aku hanya penasaran pada ke-over excited Mbak Velia, bukan yang lainnya. Ya, tentu saja.
"Gue nggak kenal, mungkin juga lupa. Kalau gue ingat namanya pas meet up teman gue yang profesi model juga, gue coba tanya. Tapi, San," mata Elfin memicing padaku, "lo tumben kepo. Biasanya paling telat kalo nggak berkaitan duit."
Aku benci jika 'endusan' Elfin berbalik padaku. Elfin kadang memang tidak sesederhana kelihatannya. Tingkat kemampuan Elfin mengejutkan fungsi organ dalam sama hebatnya dengan kelihaian Arsee menambah keriput pada wajahku. "Gue kepo karena Mbak Vel nggak seperti biasanya," balasku sembari berhati-hati untuk tidak bertemu pandang dengan Elfin.
"Dibilang dia lagi ngejar target akhir tahun. Makanya lo wajib memberikan the best entertainment ke murid trial, prospect dia sampe daftar ke sini. Kasih ciuman becek penuh pelet lo ke si anak biar merengek ke ortunya buat sekolah di sini."
"Lo pikir usaha sekolah ini asuransi pakai prospect segala."
"Sekolah ini dibuat perusahaan, bukannya yayasan. Wajar dong kalau money oriented. Jangan sok polos ah, San." Elfin mengibas tangannya yang tak memegang apa-apa, mengirim kode untuk keluar perpustakaan. Kami harus ke kelas karena keramaian suara murid telah menggema sepanjang hallway.
Aku membuntuti Elfin ke luar perpustakaan lalu menjerit kecil manakala Elfin memutar badan tiba-tiba dan membuatku spontan menendang daun pintu dengan ujung kuku kaki kiri. Sengatan nyeri menjalar dari ujung jari hingga ke atas badan. Elfin tanpa rasa bersalah mendorongku masuk ke dalam perpustakaan. Semburanku hendak terlontar, tetapi bekapan Elfin pada mulutku mencegah aksi tersebut.
"Gue sekarang ngerasa kepo dengan Mbak Velia," desis Elfin. Matanya mengintip situasi di luar melalui jendela pada pintu.
Kakiku berjinjit ikut mengintip dari belakang Elfin dan tak mendapati apapun yang menarik di luar sana. "Ada apa?"
"Mbak Vel," desis Elfin sok misterius, "dia baru jalan ke arah kelas lo."
"Kalau gitu gue harus ke kelas, Congki," sentakku.
"Dia bareng sama seseorang," lanjut Elfin sama sekali tidak terpengaruh kekesalanku.
Oh, bagus, apakah orangtua dari murid trial? Selviana itu? Atau... Aku menggigit bibir bawah menahan lonjakan emosional yang meningkat. Aku telah melewati puluhan purnama dan membangun benteng kokoh, tingkat stabilitas diriku jelas berbeda dengan aku yang tiga tahun lalu. Kendati ingin bersikap tenang, jantungku berdetak tidak karuan. Aku akan keluar dan mungkin bertemu dia.
"Anak kecil, San." Ucapan Elfin menampar kesadaranku.
"Si, siapa, Fin?" tanyaku tergagap. Aku masih mengumpulkan puing kesadaran yang hancur oleh tamparan ucapan Elfin.
"Anak kecil. Bukan murid sini," jawab Elfin. Tampangnya serasa tengah membagi nomor undian yang akan keluar. Sial, aku termakan kabar paling tidak bermutu.
Aku menggeser badan Elfin menjauhi pintu lalu membukanya. Satu gerakan kaki saat keluar perpustakaan mengingatkanku pada insiden tabrakan ujung kuku dan pintu, sengatan nyeri kembali terasa. Aku memaksakan kaki berjalan melintasi koridor. Sekelompok murid dari kelas K-2 menyapaku dan aku sapa balik. Hallway berujung pada pertigaan, satu menuju lobby, ke kanan menuju ruang kelasku dan kelas Elfin, dan ke kiri menuju ruang gym serta ruangan lain. Lobby ramai dipadati murid yang menunggu giliran health check yang dilakukan Yossa dan Gendis. Kamu tahu kan checky checky kuku sebelum masuk sekolah dulu? Nah, health check di sini mirip begitu, ditambah check rambut bebas kutu, suhu badan, dan kondisi badan anak. Jangan sampai murid datang bersama red spots di telapak tangan dan kaki, atau ada luka lecet dari rumah yang dituduhkan orangtua berasal dari sekolah.
Elfin membuntutiku lalu berpisah saat tiba di depan pintu kelas masing-masing. Aku memindai ruang kelas yang masih sepi pada pukul setengah sembilan. Dua anak sedang bermain di atas karpet. Kemudian ada Arsee yang tengah berjongkok dekat pintu. Sebelas murid dalam data absensi kelas dan baru ada dua murid yang datang adalah suatu kenormalan dalam kelas kami.
Tunggu!
Aku memutar kepala kembali pada Arsee. Apa yang bocah dengan otak kurang sesendok itu lakukan dekat pintu?
"Lagi ngapain?" tanyaku sambil meletakkan semua barang yang kubawa ke salah satu cubby hole.
"Kak Sandra sejak kapan masuk kelas?" tanyanya balik penuh keterkejutan.
"Baru. Kenapa?"
"Ini loh, Kak..." Mata Arsee bergerak-gerak aneh ke sebelah kiri. Aku menatap curiga pada sebelah kiri Arsee, tepatnya pada sesuatu yang menarik perhatian Arsee di balik pintu. Kakiku melangkah lambat mendekat.
BAK!
"ADUH!" jeritku. Adegannya masih kuingat, aku berjalan mendekati pintu kelas yang terbuka. Menatap penasaran apa yang ada di balik daun pintu berwarna kuning itu. Lalu sejengkal lagi aku bisa meraih kenop, pintu yang awalnya bergeming mendadak bergerak dengan cepat diikuti bunyi hantaman daun pintu pada pipiku. Sakit.
"Nggak apa-apa, Kak?"
Mataku menatap nyalang karena pertanyaan super positif Arsee. Bagian mana yang nggak apa-apa saat pintu kayu itu menghantam keras wajah tak berdosamu? Jawabannya, TIDAK ADA.
"Apanya yang nggak apa-apa?" desisku sinis, melempar segala kemarahan pada Arsee. Sebelah tanganku menggosok pelan pipi kanan yang terkena benturan.
Arsee meringis lantas berkata, "Itu Kim emm Kim..."
"Kim Kim siapa?" tanyaku mulai lepas kontrol pada suara.
"Miss Sandra okay?" Anif, salah satu murid laki-laki bertanya.
Aku berjongkok menyamakan tinggi badannya yang sebatas pinggang. "Miss Sandra is fine. Thank you, Anif," balasku seriang mungkin meski pipi kanan terasa nyeri saat bicara.
"Say sorry to Miss Sandra."
Pandanganku teralih pada Revi yang menarik seorang anak perempuan gemuk dari balik pintu. Anak itu tidak menggunakan pakaian seragam, berbeda dengan Anif dan Revi yang mengenakan seragam kuning gading dan biru. Dia meronta berusaha melepaskan cengkeraman Revi pada lengan kanannya.
"Revi, please don't pull your friend's hand," pintaku yang dipatuhi Revi. Dia melepas tangan gemuk anak perempuan itu. Revi begitu mudah menuruti perintahku dan aku hadiahi senyum singkat dan ucapan Thank you.
Aku merapati anak perempuan gemuk berwajah datar itu. "Hi, I am Miss Sandra. What is your name?"
Anak ini diam menatapku. Aku ingat si anak berasal dari New York dan bahasa Inggris jelas konsumsi hariannya, kecuali dia memiliki suatu masalah dengan bahasa? Bodoh sekali aku meninggalkan lembaran kertas data diri anak ini di ruang guru. Bahkan aku lupa nama anak perempuan ini. Pada akhirnya, aku menyerah memaksa otak rendah kapasitasku mengingat nama si anak. Aku berdiri untuk menyenggol lengan Arsee sambil berbisik, "Siapa namanya?"
Arsee memasang cengiran luar biasa lebar. Instingku menerka Arsee sama bodohnya denganku dan dia mengiyakan lewat jawaban, "Lupa, Kak. Aku ingat Kim apa gitu."
Bagus sekali, dua orang guru dalam satu kelas yang sama-sama melupakan nama murid trial. Aku tak akan terkesan jika Mbak Velia menyemburkan napas naga saking murkanya kepada kami.
"Good Morniiiiiiiiiing, good friends!"
Kepala kami beralih pada lengkingan lucu yang datang dari luar kelas. Luther, bocah laki-laki peranakan Indonesia-Austria berdiri merentangkan tangan dan tersenyum lebar menatap kami satu per satu. Dia melepas tas punggungnya ke lantai dan berlari ke arah anak baru.
"Who are you?" tanya Luth, sangat antusias. Senyuman selalu melekat pada bibirnya.
Si anak menatap balik tanpa minat. Aku tidak menemukan satu pun gerakan kecil yang mengindikasi anak ini merespons sikap bersahabat Luth kecuali dua kali kedipan kecil. Unsur apa yang dipakai orangtua anak ini untuk membesarkan anaknya sampai sebegini kaku untuk ukuran bayi tiga tahun?
"Luth, put yout bag into your cubby hole."
Kepala kami yang berada dalam ruangan serentak beralih ke pintu kelas. Mommy Luth berdiri di muka pintu sambil memegang tas anaknya yang tadi tergeletak di lantai. Mataku memindai penampilan Mommy Luth yang terbungkus kaos putih tipis dipadu celana leggings sebatas lutut, masih cukup sopan dari penampilannya kemarin yang mengenakan hotpants sebatas garis selangkangan.
"Mommy, look, new friend," seru Luth. Tingkat antusiasnya masih tinggi meski ditanggapi dingin oleh anak ini. Yah, anak kecil dan dunia besar di sekeliling mereka jelas berbeda dengan para orang dewasa dan harga diri kami.
"Oh," Mommy Luth terkejut senang lalu maju mendekati kami, "siapa namanya, Miss?"
"Namanya..." Lupa!
Aku melirik Arsee yang menggeleng kuat. Mommy Luth masih menunggu jawabanku. "Kim ... kim." Aku tidak yakin menyebut nama itu menggunakan nada pernyataan atau pertanyaan, tetapi Mommy Luth tidak menyadari nada bicaraku.
"Lucu banget nama panggilannya," kata Mommy Luth dengan binar antusias mirip Luth. Dia berjongkok di depan anak trial. "Hi, Sweetie. I'm Luth's Mom. Nice to meet you. If you join to our school, we're going to have playdate after school hours."
Anak ini diam menatap Mommy Luth. Ucapan panjang Mommy Luth mungkin susah dicerna. Namun aku masih berharap mendapati sedikit respons darinya.
"I want," desis si anak.
Mommy Luth melirikku. Kami seolah berbagi pesan lewat mata yang intinya senang mendengar suara si anak. "Sure, it'll be great. But you have to join Miss Sandra's class first. Would you come to school tomorrow morning?" ucap Mommy Luth.
Hening. Anak ini malu-malu melirik satu per satu orang yang melingkarinya sebelum berbalik menatap Mommy Luth. "Yes," desisnya masih cukup terjangkau pendengaranku.
Mommy Luth tersenyum sembari mengusap puncak kepala si anak. Dia berdiri dan mengirim tatapan usil padaku. "Good luck ya, Miss, buat murid barunya. Tadi bilang mau join sini tuh," bisik Mommy Luth.
"Thanks, Mom," balasku tulus. Jujur, muncul perasaan tersentil karena Mommy Luth lebih ahli membuka mulut si anak dibandingkan diriku dan Arsee. Barangkali pakaian Mommy Luth memengaruhi.
"Luth, I have to go home. Tidy up your bag and listen to Miss Sandra and Miss Arsee. We're going to meet after school. Bye!" Mommy Luth memeluk Luth sebentar lalu meninggalkan kelas.
Luth menyimpan tas ke dalam lokernya lalu ditarik Anif dan Revi untuk bermain bersama di atas karpet. Arsee menyusul ketiga anak itu untuk mengawasi. Sementara aku memilih bertahan bersama Kimkim-setidaknya ada bagian nama anak ini yang memang benar Kim dan kami butuh nama panggilan, bukan sekadar panggilan 'anak trial'.
"Nice to hear that you are going to join my class tomorrow morning," kataku dengan senyum yang sukar lepas dari bibir.
Mata bulat hitam Kimkim membesar lalu berkedip-kedip lucu. "Who tell you that?" tanyanya dengan nada tidak percaya yang sangat kental.
"You told me so, Kim."
Kimkim mengerutkan bibir, menyebabkan dua gumpalan pipi menghimpit hidung mungilnya. Jariku gatal ingin mencubit pipi gemuk kemerahannya yang menggemaskan, tetapi tindakan itu berpotensi membuat kami makin susah dekat. Aku pun belum mengenal karakter Kimkim. Jadi aku menautkan kedua tanganku dan mengulum geli.
"You kuping my talking," tuduh Kimkim dengan wajah masam. Sangat menarik, untuk pertama kalinya aku menerima tuduhan yang dilayangkan seorang bayi tiga tahun. Aku tertawa yang berakhir lenguh kesakitan akibat pipi kanan yang tadi membentur pintu.
Ingatkan aku agar menjaga jarak aman dari Kimkim sampai dia bisa dinyatakan bebas dari segala tindakan spontan yang membahayakan kecantikan seorang guru lajang di umur 28 tahun. Karena seorang murid trial di kelasku, sepanjang pagi hari aku telah mendapat dua 'kejutan'. Nyeri di ujung kaki kiri dan pipi kanan.
###
10/10/2019
Inilah alasan utama cerita ini berjudul you told me so 😆😆😆
Tahu bulat telah hadir, mana suara polower tahu bulat? 🤩🤩🤩
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top