Chapter 11 Driver's License

Malam itu di dalam kamarnya, Wonbin duduk di sisi tempat tidurnya. Ia berpikir keras sambil memutar-mutar ponselnya. Ia sudah sangat tidak sabar untuk memenuhi janjinya makan malam bersama Karin. Namun, yang mengganjal di pikirannya adalah bagaimana cara agar ia bisa menjemput dan mengantar pulang gadis itu? Ia tidak punya SIM dan tidak tahu cara berkendara.

Selama ini Wonbin hanya diantar jemput oleh supirnya, Pak Agus. Dalam pikirannya, tidak mungkin ia menjemput Karin dengan Pak Agus jadi obat nyamuk di antara mereka. Ia juga tidak ingin menjemput Karin dengan taksi online. Tidak mungkin ia mengajak Karin naik KRL. Tidak mungkin pula ia menyuruh Karin untuk bertemu langsung di restoran.

Meskipun Wonbin adalah murid cerdas, namun ego dan naluri remajanya terkadang membuatnya menjadi tidak rasional, kekanak-kanakan, dan manja. Entah apa yang ada di pikiran anak 17 tahun itu. Ia berlari ke kamar neneknya.

"Neeek! Neneeek!"

"Kenapa Bin?" tanya sang nenek yang sedang membaca dokumen kantor di sofanya.

Wonbin tersenyum jahil di depan pintu neneknya. Mode "cucu manja" kemudian muncul di dirinya. Ia menghampiri sang nenek di sofa.

"Beliin mobil dong nek," rayu Wonbin sambil menyenggol pelan lengan neneknya.

"Hah? Mobil yang kamu pake ke sekolah itu kan mobil kamu Bin! Nenek beliin itu buat kamu!"

"Ehh? Itu bukan punya nenek ya?"

"Kamu lihat kan mobil nenek tuh udah banyak di bawah!"

"Ya kali nek aku bawa Vellfire gede gitu. Beliin mobil dong nek. Yang kecil-kecil aja!"

"Kamu pasti punya pacar ya sekarang? Makanya ngga mau diantar Pak Agus lagi?"

Wajah Wonbin dalam sekejap memerah. Jantungnya berpacu cepat. Ucapan neneknya sebenarnya tidak sepenuhnya salah. Wonbin tidak langsung menjawab pertanyaan mematikan itu. Dia dengan cepat memutar otaknya. Matanya berseliweran.

"A... aku kan udah 17 tahun, nek! Masa dianterin supir mulu! Kapan bisa bawa mobilnya?" ujar Wonbin mencari alasan. "Atau kalau nilai fisikaku dapat A plus nanti gimana? Atau harus semua mata pelajaran? Hmm... atau pas pulang sekolah aku magang di perusahaan nenek seperti yang nenek mau gimana? Please..."

Wonbin memelas super manja seperti anak kucing. Sang nenek menatap Wonbin dengan ekspresi ragu. Tumben-tumbennya anak itu meminta sesuatu darinya. Namun, jika dipikirkan, selama ini Wonbin tidak punya banyak permintaan macam-macam. Selama ini, Wonbin selalu berprestasi di sekolahnya. Lingkup pergaulannya juga tidak aneh-aneh. Ia tumbuh menjadi sosok cucu yang begitu ia inginkan. Apa ia harus luluh pada permintaannya? Apa ini efek dari masa pubertasnya? Sang nenek menghela napas dan memijat dahinya.

***

"Seok, pinjam mobil lo dong, buat belajar, boleh ngga?" tanya Wonbin menghampiri Eunseok di depan lokernya. "Lo mau latihan basket sampe malam kan?"

"Buat belajar? Enak aja! Minta beliin ama nenek lo tuh!"

"Ngga boleh ama nenek gua."

"Lo kan punya Vellfire. Pake aja!"

"Kegedeean, Seok! Gue janji bakal hati-hati deh!"

"Hhh... awas ya lo nabrak!" ancam Eunseok seraya menyerahkan kunci mobilnya. "Panggil Taro atau Sungchan buat nemenin lo."

Senyum Wonbin merekah. Ia menepuk keras bahu Eunseok. "Thanks, Bro!"

Sore itu sepulang sekolah, Wonbin berjalan ke parkiran sekolah. Setelah menemukan mobil Eunseok, ia membuka pintu mobil dan duduk di kursi kemudi. Sabuk pengaman kini telah terpasang di depannya. Dengan grogi ia menekan tombol start dan mesin mobil pun menyala. Wonbin menggembungkan kedua pipinya dan menghembuskan napas berat. Ia meraih ponselnya dan mengirim chat kepada Sungchan.

Chan, lo masih di student council room ngga? Temenin gue belajar mobil dong, ini gue di parkiran, bawa mobil Eunseok

Namun, belum sempat ia menerima balasan dari Sungchan, Wonbin melempar ponselnya ke kursi di sampingnya. Ia sangat tidak sabaran untuk menjalankan kendaraan tersebut. Pria itu lalu menurunkan rem tangan dan menyetel persneling ke huruf R.

Wonbin terkejut. Ia tak menginjak apapun. Namun, mobil tersebut mundur secara perlahan. Ia dengan panik menginjak rem dalam-dalam hingga mobil tersebut berhenti. Setelah beberapa saat mencoba untuk mundur, pria itu akhirnya mengerti apa yang harus dilakukannya.

Tangannya kirinya kemudian menyetel persneling ke huruf D. Mobil akhirnya melaju ke depan. Wonbin tak kuasa menahan senyumnya. Ia merasa begitu bangga pada dirinya saat itu, meskipun mobil melaju selambat siput. Dengan begitu hati-hati, ia belajar mengemudikan mobil mengitari lapangan sekolah. Begitu ia mulai terbiasa, Wonbin agak sedikit menambah kecepatan mobilnya.

Di sisi seberang lapangan, tiba-tiba mata Wonbin menangkap sosok yang menarik perhatiannya. Nampak Karin sedang berjalan menuju dorm bersama seorang pria. Cahaya matahari sore yang kemerahan agak memburamkan pandangannya. Namun, jika tidak salah lihat, sepertinya itu Shotaro. Mereka berbincang sambil tertawa lepas. Wonbin tidak dapat mendengar mereka dari dalam mobil. Dalam hati Wonbin membatin, kira-kira apa yang mereka bicarakan?

Sudut mata Wonbin menangkap adanya tiang besar yang terletak tidak jauh di depannya. Ia sadar bahwa dari tadi ia tengah memikirkan hal lain. Wonbin pun panik. Ia hendak menginjak rem. Namun sialnya, kakinya justru menginjak dalam-dalam pedal gas.

Alhasil, mobil dengan kencang menabrak tiang. Suara benturannya cukup keras. Tubuh Wonbin tertahan oleh sabuk pengaman. Ia menutup matanya kuat-kuat. Begitu ia membuka mata, mulutnya otomatis terbuka lebar hingga rahangnya hampir jatuh. Ia dalam masalah besar. Dengan cepat ia mengecek benturan mobil di depannya.

Duh! Mampus gua!

Mendengar benturan tersebut, Karin dan Shotaro dengan sigap berlari ke arah Wonbin dengan raut khawatir. Mereka terkejut melihat bagian depan mobil yang penyok.

"Lo ngga papa Bin? Ngga luka kan?" tanya Karin cemas, mengecek kondisi Wonbin.

"Hah?" Wonbin bengong. Ia hanya tidak menyangka Karin menanyakan keadaannya terlebih dahulu. Pria itu mengangguk pelan. "Gue ngga papa, tapi mobilnya ancur sih."

"Lo belajar mobil? Kok ngga WA gue?" tanya Shotaro.

"Gue udah WA Sungchan tapi dia sibuk kayaknya."

Shotaro memotret kondisi mobil dengan ponselnya dan mengirimkannya kepada Eunseok. Tidak butuh waktu lama, Eunseok menelepon Wonbin. Melihat nama Eunseok di layar ponselnya, Wonbin menghembuskan napas berat dan menutup mata.

"KAMPRET DAH!" teriak Eunseok dari ponselnya. "LU BAWA MOBIL SENDIRI?"

"Iya maafin gua," jawab Wonbin pelan, masih menutup matanya.

Samar-samar terdengar suara Sohee di sana.

Napa lo Seok marah-marah?

Ini si anying Wonbin barusan nabrakin mobil gua

Geraman Eunseok kembali terdengar jelas di ponsel. Berbagai umpatan otomatis keluar dari mulutnya.

"Ehh pokoknya semua biaya lo tanggung! GUE TERIMA BERES!" teriak Eunseok.

Wonbin masih menutup matanya sambil memijat dahi. "Iya... iya... gua bayarin... berisik deh!"

***

Setelah kejadian tersebut, nenek Wonbin akhirnya membelikan cucunya itu mobil yang berukuran lebih kecil. Wonbin pun akhirnya memilih untuk masuk ke sekolah mengemudi. Setelah melewati berbagai pelatihan, ia akhirnya memiliki SIM-nya sendiri.

Malam itu di tempat tidurnya, ia dengan bangga membolak-balikkan benda tersebut di tangannya. Ia lalu mengambil ponselnya dan mengirim DM kepada Karin.

Karinnn I got my driver's licensee

Wahhh congrats ya Bin!

Cieee finally setelah nabrakin mobil Eunseok wkwkwk

Wonbin tersenyum lebar. Di sisi lain hatinya, ada sedikit rasa penyesalan karena telah menguras dompet neneknya. Namun tidak seberapa jika dibandingkan rasa senangnya.

Ini tuh demi elo tau.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top