Morning. . .
"Aku masih menyukaimu, tapi rasa marahku padamu juga masih sangat besar." ujar Alibaba setelah selesai menangis.
Setelah tenang, mereka duduk di lantai sambil menyadarkan punggung pada pintu lemari. Alibaba duduk di samping Sinbad, ia sandarkan kepalanya di bahu lelaki itu. Mereka bergenggaman tangan. Seluruh lampu dimatikan dan mereka mengandalkan pencahayaan dari sinar bulan yang menyusup masuk melalui jendela.
"Saat Alea bertanya tentang papanya, aku bingung harus menjawab apa dan terpaksa berbohong padanya kalau kau sedang pergi jauh." ia lanjut bercerita. "Karena kau meninggalkanku enam tahun lalu, kupikir kau takkan mengejarku kemari. Sebelumnya Alea sempat melihat orang yang mirip denganmu di depan TK nya, aku tak ingin berharap lebih, jadi aku membuat anak itu menangis dan mengatakan kalau itu bukan dirimu."
Sinbad mendengar dengan seksama dan mengeratkan genggaman tangannya.
"Aku benar-benar tak menyangka kedatanganmu hari ini. Aku bahkan tak habis pikir Alea bisa benar-benar bahagia bertemu denganmu. Selama pergi tadi, anak itu tidak mau lepas darimu. Itu membuatku senang sekaligus gundah. Apa yang harus kulakukan padamu? Apa yang harus kulakukan untuk melenyapkan amarahku?" ujarnya sedih.
Lelaki Alpha itu menghirup nafas dalam-dalam. "Sejak kau hamil, aku selalu meminta ayahmu untuk mengirimkan foto keadaanmu di sini. Karena itu aku tahu saat kau bekerja keras ketika mengandung dan juga foto ketika kau membawa Alea yang masih bayi ke tempat kerjamu. Aku terus menerima foto itu sebulan sekali selama enam tahun. Itulah satu-satunya penyemangatku. Lalu ketika akhirnya aku bisa menemuimu, ayahmu hanya memberikanku alamat apartemenmu." ceritanya.
"Aku sampai di sini seminggu yang lalu dan menemukan apartemenmu, tapi aku tak berani menemuimu. Aku pun mencari toko tempatmu bekerja dan TK Alea lewat foto yang pernah ayahmu berikan, tapi lagi-lagi aku hanya bisa mengawasi kalian dari jauh."
Alibaba menatap marah Sinbad. "Tunggu. Jadi yang Alea lihat itu benar-benar kamu?"
"Haha. Waktu itu aku akhirnya berhasil menemukan lokasi TK nya, tapi aku hanya bisa melihat anak itu dari jauh karena aku takut dia akan menangis bertemu dengan orang asing. Aku tidak tahu kalau anak itu melihatku." Sinbad membela diri.
Alibaba menggembungkan sebelah pipinya. "Kau takut menemuiku? Lalu sekarang kau tiba-tiba muncul di hadapanku dengan sikap santaimu yang tak berubah, meminta maaf padaku, dan berharap kita bisa mengulang semuanya. Kau benar-benar Alpha yang egois, Sinbad." gerutunya.
"Aku harus egois demi mendapatkanmu kembali. Kalau tidak begitu hatiku akan terus kosong tanpa terisi oleh siapa pun kecuali dirimu." Sahut Sinbad dengan percaya diri.
Alibaba menyandarkan kepalanya lagi pada pundak Sinbad, ia sedikit ngambek tapi senang mendengarnya.
"Tadi itu, aku sedikit terlambat datang melihat Alea karena harus mengurusi sesuatu. Sampai di sana aku kaget karena Alea berlari keluar gerbang TK karena mengejar orang yang mirip denganku. Ia berteriak memanggil papa dengan riangnya, lucu sekali. Aku mengejarnya dan segera menangkapnya yang tersesat di antara kerumunan orang-orang yang lalu lalang. Syukurlah anak itu tidak menangis, dia malah sangat senang melihatku dan aku pun tak bisa menahan rasa bahagiaku saat dia memanggilku papa." Sinbad mengecup pucuk kepala Alibaba. "Terima kasih kau sudah membesarkan Alea dengan baik, Alibaba. Maaf aku tak bisa bersamamu saat kau sedang kesusahan. Kau sudah bekerja keras sampai saat ini." Puji sang Alpha kepada Omeganya seraya ia juga menyandarkan kepala pada Alibaba.
Lelaki Omega itu terbelak. Hatinya pun luluh atas apresiasi yang Sinbad berikan untuknya. Kegundahannya perlahan menghilang. Ia jauh lebih tenang dari sebelumnya ketika bersama dengan lelaki Alpha di sampingnya. "Satu hal lagi yang ingin kuberitahukan padamu."
Sinbad menatap Alibaba.
"Enam tahun lalu, di hari terakhir kita bertemu. . . sebenarnya hari itu, paginya aku sedang masuk masa periodeku."
Sang Alpha mengerjap, sudut bibirnya tertarik. "Serius?" Ia terbengong mendengar pernyataan Alibaba walau sebenarnya sudah sempat menduga. "Tapi waktu itu kau terlihat biasa-biasa saja."
"Itu karena aku menggunakan supresan jenis suntik. Menjelang siang panas tubuhku sudah menurun dan malamnya kau memanggilku ke apartemenmu. Mungkin karena itulah aku bisa hamil. Aku juga yang ceroboh waktu itu." tambah Alibaba.
"Setelah hamil, aku batal melanjutkan jenjang kuliah. Dikirim ke sini seorang diri dan harus berjuang mengandung anak kita sambil bekerja. Aku bahagia menunggu kelahiran Alea dan tambah bahagia saat dia lahir. Bagiku, dia lah alasanku harus melanjutkan hidup. Tidak peduli betapa miripnya anak itu denganmu dan selalu mengingatkanku padamu, sebelum kau datang, hanya Alea lah yang kumiliki." tiba-tiba Alibaba merasa kantung matanya terasa berat. Ia pun juga merasa nyaman dengan posisinya saat ini.
"Aku tahu kau sangat menyayangi anak itu. Kau membentakku saat aku menggendongnya dan begitu protektif ketika memeluknya. Dan anak itu membalas kasih sayangmu dengan tawanya yang ceria. Dia memang mirip denganku, tapi matanya sangat mirip denganmu."
Sinbad mendengar suara nafas Alibaba yang teratur. Lelaki Omega itu jatuh tertidur dengan pulasnya di tengah Sinbad sedang membicarakan dirinya. Sang Alpha memberikan ciuman selamat malam di pucuk kepala Alibaba lalu memindahkan tubuhnya ke tempat tidur. Ia mengecek jam di smartphonenya. Masih belum lewat tengah malam, jadi dia bisa diam-diam kembali ke hotel tempat dia menginap.
Namun ketika melirik Alibaba yang tertidur di kasur, Sinbad pun memikirkan sebuah ide jahil.
. .
Alibaba merasakan hangat menyelimuti tubuhnya dan empuk kasur yang ia tiduri. Begitu nyaman posisi tidurnya, ia pun semakin merapatkan diri pada sumber kehangatan. Omega ini mulai merasakan keganjilan. Dengan terpaksa ia membuka matanya dan mencari hal aneh yang mengganggu tidurnya. Tangannya meraba-raba acak, jemarinya menyentuh sebuah bibir dengan bentuk familiar. Alibaba memutar kepala, membulatkan mata, dan hampir sulit berbicara saking terkejut saat melihat Sinbad tidur satu kasur dengannya. Ia terduduk dan segera menjaga jarak.
Lelaki itu terbangun karena tubuh hangat yang ia peluk selama tidur menghilang. "Alibaba. . . Selamat pagi." Sapanya sambil menguap lebar. Tangannya langsung menangkap tangan Alibaba.
"Kenapa kau tidur denganku? Kau tidak macam-macam padaku yang sedang tertidur, kan?" Tanya Alibaba dengan pandangan curiga.
"Tadi malam kau tertidur saat aku sedang mengungkapkan perasaan padamu. Karena sudah larut jadi kuputuskan menginap. Tenang saja, sepanjang malam aku hanya memelukmu, kok." Jelas Sinbad. Kepalanya masih nyaman menempel dengan bantal, tapi dia berusaha mencegah kalau lelaki Omega itu berniat kabur.
"Kenapa harus satu kasur denganku?" Protes Alibaba lagi.
"Tidak apa-apa, kan? Lagipula kau bilang masih mencintaiku dan kita berdua memakai cincin yang sama. Tinggal saling mengucapkan sumpah setia di depan pendeta lalu berciuman, kita akan resmi menikah." Ucapnya dengan senyum percaya diri yang tampan.
Alibaba melirik jari manis Sinbad yang sudah terselip cincin yang sama dengan miliknya. "Tapi, aku-"
"Aku tak keberatan kau tidak memaafkan kesalahanku selama enam tahun ini. Aku hanya ingin bersamamu. Ingin menikahimu, ingin tinggal bersamamu, dan aku ingin membesarkan anak kita bersama. Sulit kah permintaanku ini, Alibaba?" Lelaki Alpha itu mencium punggung tangan Omega miliknya dengan penuh cinta tulus.
Wajah Alibaba memerah. Sebenarnya ia sudah punya jawaban jelas untuk hal ini. Tapi. . .
"Mammah. . . " Alea yang merengek karena saat bangun mamanya tidak ada, masuk ke kamar Alibaba yang pintunya sengaja tidak ditutup. Gadis kecil itu mengusap mata dan melihat sosok papanya masih ada di dalam rumahnya. "Papah. . ." Ia berlari ingin memeluk Sinbad.
"Pagi, Alea." Lelaki Alpha itu bangkit, ia menangkap tubuh mungil Alea dan mengangkatnya tinggi lalu memeluknya. Sinbad duduk di pinggir kasur.
Alibaba mendekat. Ia mengusap kepala anaknya. "Alea manja sama papa, ya. . . " sebenarnya dia cemburu karena perhatian Alea yang biasa selalu ada untuknya hari ini di ambil sang Alpha duluan.
Sinbad tergelitik ingin menggoda Alibaba. "Mama juga boleh manja sama papa, kok." Ia merentangkan tangan dan memberi ruang untuk sang Omega di dalam pelukannya.
Alea ikut-ikutan. "Mammah peluk." Serunya senang.
"E-eehhh. . . . ." Alibaba malu-malu, dia berpikir dulu hingga akhirnya menurut, mendekatkan diri masuk ke dalam pelukan keduanya.
"Alibaba, duduk di pangkuanku." Kata Sinbad. Ia memberikan Alea pada Alibaba, lalu menarik pinggang lelaki omega itu untuk duduk di pahanya.
"Tu- Sinbad, ini maksudnya. . ." Alibaba salah tingkah.
"Kalau begini aku bisa memelukmu dan juga Alea sekaligus." Ia melingkarkan kedua tangannya pada tubuh kecil Alibaba sekaligus Alea yang ada di pelukan sang Omega.
Mata Alea berbinar-binar. "Peluk! Alea di peluk mammah sama papah." Serunya antusias.
Alibaba gemas melihat tingkah lucu Alea. Ia memeluk erat gadis kecil itu. "Mama tidak akan melepaskan Alea."
"Kyaaa~" Alea berseru senang.
"Kalau begitu papa juga tidak mau melepas Alea." Sinbad juga ikut memeluk erat keduanya dan tertawa bersama.
"Peluk~" Alea bergelung dengan pipi merona di dalam pelukan kedua orangtuanya.
Pagi ini ketiga orang yang akan menjadi keluarga itu mengawali pagi dengan senyum ceria.
.
Setelah mengantar Alea ke TK, Sinbad lanjut mengantar Alibaba ke tempat kerjanya.
"Kalau aku mengabulkan permintaanmu. . . Itu artinya kau akan membawaku dan Alea kembali ke sana, kan?" Tanya Alibaba.
"Sudah sewajarnya, kan." Sinbad mengangkat satu alis.
"Kalau sampai harus kembali, kenapa sebelumnya aku ditaruh disini?" Komentar sang Omega.
"Itu karena saat kau hamil, status ayah dari anak yang kau kandung belum resmi. Waktu itu aku masih harus berurusan dengan calon tunanganku dan ayahmu belum merestui kita. Kalau kau masih tetap di sana sampai anakmu lahir, aku rasa Alea takkan seceria seperti sekarang ini. Tapi sekarang sudah berbeda, kalau kau menikahiku." Jawab Sinbad. Ia pun senang karena Alibaba dipastikan akan memberinya jawaban positif.
"Oh." Alibaba melempar pandangan keluar jendela, ia senang mendengarnya tapi malu menunjukkan ekspresinya pada sosok di samping.
Sinbad menyetir dengan bersenandung pelan. Moodnya hari ini sedang bagus.
"Kalau harus kembali. . . Alea. . . Anak itu harus tahu soal ini dan menyetujuinya dulu. Kalau Alea bilang tidak mau pindah, berarti kau yang harus pindah kesini." Ujar Alibaba.
"Aku berharap Alea menyetujui pindah ke sana." Sinbad tertawa kecut. Tapi dia sungguh berharap. Lebih gampang membawa keduanya kembali kesana daripada dia yang terpaksa harus menetap disini.
Ckiiitt
Mobil menepi di depan toko kue tempat Alibaba bekerja.
"Te- terima kasih sudah mengantarku." Alibaba buru-buru melepas sabuk pengaman.
Grab
Sinbad menangkap Omega itu sebelum dia keluar. "Pergi tanpa memberi ciuman?" Tanyanya dan mengulas senyum yang berniat ingin jahil tapi juga serius.
"Eh?" Merah di wajah Alibaba menguap hingga telinga. "Sekarang? Kalau di lihat orang. . ."
"Satu ciuman saja." Sinbad menutup mata seraya mendekatkan jarak mereka.
Alibaba kalang kabut. Ia malu kalau orang-orang yang lewat melihat mereka tapi Sinbad terus menunggunya dan takkan melepasnya sampai mendapatkan yg dia mau. "Ukh. . ." Lelaki Omega ini mengepal tangan. Ia pun menahan malunya seraya memberikan satu ciuman ringan di bibir Sinbad.
Sinbad membalas ciuman itu sekali. Alibaba kaget karena tak siap.
"Oke. Selamat bekerja, Alibaba." Katanya sambil mengusap bibir Omega dengan wajah merah yang manis itu.
Alibaba kesal karena dipermainkan tapi dadanya berdebar karena sentuha Sinbad. Ia pun langsung keluar dari mobil dan berjalan cepat memasuki toko tempatnua bekerja. Karena terlalu gugup, lelaki Omega itu tak sengaja tersandung saat melangkah masuk ke dalam toko. Sinbad tertawa dari dalam mobil. Alibaba melirik ke arah sang Alpha sekilas dan sudah curiga orang di dalam mobil itu tertawa. Ia melempar tatapan cemberut kemudian menutup pintu toko.
Sinbad masih tertawa. Perutnya sakit melihat kelucuan Alibaba yang tidak berubah. Ah, mungkin malah semakin lucu, ya. Apalagi setelah lama tidak bertemu dan melahirkan, lelaki Omega itu semakin memancarkan pesonanya yang manis.
.
Alea melewati pelajaran di TK dengan sangat menyenangkan. Senyumnya tambah merekah, saat biasanya dia harus menunggu mamanya cukup lama namun hari ini sang papa sudah menjemputnya.
Sinbad melambaikan tangan. "Alea."
"Papah." Alea berlari riang ke arah papanya.
Lelaki Alpha itu menyambut pelukan Alea dan mengangkat gadis kecilnya tinggi sambil berputar sekali lalu menangkapnya dalam pelukan lagi.
Alea berteriak senang tanpa merasa takut dan memeluk papanya erat.
Para orangtua yang sedang menjenguk anaknya tersenyum melihat ke akraban papa dan anak itu.
"Papah." Alea membuka tasnya dan mengeluarkan kertas besar yang ia gambar dengan crayon. "Gambar Alea dapat bintang dari bu guru." Seru gadis itu dan memamerkan karyanya.
"Alea hebat. Anak papa pintar." Sinbad bangga dan memberikan ciuman di pipi gadis kecil itu.
"Papah, mammah kerja?" Tanya Alea.
Sinbad mengangguk. "Iya. Alea selalu menunggu mama menjemputmu, ya?"
Gadis kecil itu tersenyum. "Mammah kerja untuk Alea, jadi Alea harus jadi anak baik untuk mammah, soalnya Alea sayang mammah." Katanya polos.
Sinbad terbelak. Ia pun tersenyum bangga mendengar jawaban Alea. "Kalau begitu ayo kita temui mama." Ajaknya.
.
Hari ini pengunjung toko cukup ramai berdatangan. Alibaba terus memperhatikan jam dinding. Sudah lewat beberapa menit dari jam pulang TK dan seperti biasa ia harus meminta Alea menunggu mamanya menjemputnya, meski anak itu tak pernah protes.
Ketika keadaan sudah agak lenggang, tiba-tiba Alibaba di kagetkan dengan keberadaan Sinbad di depan etalase toko sambil menggandeng Alea. Sang Alpha dan gadis kecil itu melambai padanya.
Pemilik toko tak sengaja melihat. "Loh, itu Alea, kan? Siapa lelaki tampan yang sedang bersamanya, Alibaba? Kalau dilihat sekilas mereka mirip, ya." Tanya perempuan Beta yang sudah berumur tua itu dan menduga-duga sedikit.
"Eh. . . Dia itu. . . " Alibaba canggung memperkenalkan Sinbad.
Klining
Bel di depan pintu berbunyi ketika Sinbad dan Alea masuk. "Selamat siang, maaf sudah menganggu." Sapa lelaki Alpha itu ramah dan memperlihatkan kharismanya yang memesona.
Alea berlari ke Alibaba. "Mammah, tadi papah yang jemput Alea. Papah juga beliin Alea jajanan enak." Ceritanya.
Alibaba menatap Sinbad tajam. "Kau tidak kasih yang aneh-aneh ke Alea, kan?"
"Aku tadi mengajaknya makan parfait dan crepes di cafe saja, kok." Sinbad membela diri. Hanya ketika di depan Alibaba lelaki Alpha itu memperlihatkan sisi lainnya yang sedikit masokis.
"Tadi jajanannya enak. Mammah harus makan juga." Seru Alea.
"Kalau begitu kapan-kapan kita makan sama-sama, ya." Kata Alibaba dan mengusap kepala Alea.
Sinbad tersenyum jahil. "Aku ingin melihatmu makan tiga gelas parfait jumbo seperti dulu, Alibaba."
Wajah Alibaba memerah. Ia menutup mulut Sinbad. "Jangan buka-buka aib orang disini, dong." Serunya malu.
"Kenapa malu? Kau biasanya bisa menghabiskan sepuluh crepes dan satu lingkaran penuh kue strawberry sendiri. Aku bahkan masih menyimpan fotomu yang makan kue dengan lahap waktu kita kencan dulu." Sinbad semakin menjahili Alibaba sambil menghindari tangan lelaki Omega itu yang ingin menghentikannya.
"Hentikan. Hentikan. Alea nanti meniru." Alibaba menghentikan Sinbad sambil memukul-mukulnya gemas dengan ekspresi malu dan marah.
Pemilik toko tersenyum melihat keakraban mereka, terutama Alibaba yang biasanya mengulas senyum yang seperti dipaksakan, hari ini bersikap terbuka dihadapan lelaki yang lebih tinggi darinya itu. Alea pun tampak senang bersama lelaki itu.
"Alibaba. . . Siapa lelaki tampan ini? Kenalanmu?" Tanya sang pemilik toko dan mendekati mereka.
"Ah. . . Dia ini. . ." Alibaba kalang kabut dengan wajah memerah.
"Papah Alea." Hela Alea dengan suara riang.
Suasana hening sesaat.
"Ehem." Sinbad menengahi. "Maaf belum memperkenalkan diri, nyonya. Nama saya Sinbad. Terima kasih sudah menjaga Alibaba dan Alea selama disini." Ia memperkenalkan diri dengan mengeluarkan kharisma tampannya sebagai Alpha.
Sang pemilik toko hampir terpesona dengan ketampanan Sinbad, namun rupanya wanita ini cukup bijak mengatur hati. Ia sempat melihat cincin dengan model yang sama di jari Alibaba dan Sinbad. "Ah, begitu rupanya. Jadi kau ayahnya Alea. Alibaba jarang membicarakan tentang dirimu, mungkin supaya dia tidak cemburu karena kau sangat tampan." Ujarnya dan tersenyum ramah.
"Ap-" Alibaba ingin protes.
"Terima kasih, nyonya. Anda juga masih terlihat cantik." Puji Sinbad.
"Selain tampan ternyata kau juga lelaki yang baik, ya." Wanita baya itu tersanjung. Ia menatap Alea dengan sorot keibuan. "Anak ini juga terlihat sangat menempel padamu. Pasti dia sudah merindukan sosok ayah di sampingnya."
Alibaba ikut menatap Alea, di dalam hatinya ia ikut setuju dengan kata-kata pemilik toko. Begitu pula Sinbad.
Alea yang tidak mengerti hanya menatap ketiga orang dewasa yang mengelilinginya dengan sorot polos. "Papah, Mammah, ayo pulang." ia menarik baju kedua orangtuanya bersamaan.
"Maaf, Alea. Mama masih harus bekerja." jawab Alibaba sedih.
Sinbad menekuk lutut. "Alea pulang sama papa dulu, ya. Kita main di rumah berdua sampai mama pulang." Ia membujuk gadis kecil itu.
Alea menatap Alibaba. "Mammah akan pulang cepat, kan?"
"Iya. Alea tunggu di rumah sama papa, ya." Alibaba ikut bertekuk lutut. "Nanti sampai di rumah mama akan masak makan malam." ia mengusap wajah putrinya denga penuh kasih.
Gadis kecil itu mengulas senyum. "Alea mau pulang. Alea akan jadi anak baik. Jadi Alea akan menunggu mammah pulang di rumah sama papah." ucapnya.
Alibaba senang mendengar kata-kata Alea dan mencium pipi gadis kecil itu. "Tunggu mama, ya."
"Kalau begitu bawalah roti-roti ini untuk cemilan." pemilik toko membungkus beberapa roti untuk Alea.
"I-ibu Smith. . . tak perlu repot-repot. . ." Alibaba segan seraya berdiri lagi. Sinbad juga ikut bangkit
"Tidak apa-apa. Ambillah. Anggap saja ini hadiah untuk Alea yang sudah jadi anak baik hari ini." kata wanita itu dan memberikan bungkus berisi roti pada Alea.
"Terima kasih, bibi." Alea menerima itu dengan senyum lebar.
Sinbad melirik Alibaba. Ia mengacak-acak rambut Omega itu. "Jangan cemas. Tersenyumlah seperti Alea." suruhnya.
Alibaba sedikit merengut karena rambutnya di acak, tapi kata-kata Sinbad ada benarnya. "Jaga Alea baik-baik."
"Iya. Iya." Sinbad menggandeng tangan Alea. "Ayo pulang, Alea."
"Un!" Alea mengangguk.
"Kami permisi pulang dulu ya, nyonya. Terima kasih rotinya. Tolong terus jaga Alibaba." pamit Sinbad.
"Kau tak perlu khawatir. Alibaba sudah ku anggap putraku sendiri." jawab pemilik toko sambil menepuk punggung sang lelaki Omega.
"Syukurlah." Sinbad tersenyum menatap Alibaba yang canggung menutup ekspresi senangnya.
"Dadah Mamah. Dadah bibi." Alea melambaikan tangan sambil di tarik Sinbad.
Alibaba dan pemilik toko membalas lambaian tangan itu. "Hati-hati." pesan sang Omega.
Blam
Pintu ditutup. Alibaba memperhatikan keduanya yang masuk ke mobil melalui kaca etalase toko. Setelah mobil melaju pergi, ia melirik bosnya. "Ibu Smith, uang roti tadi akan kuganti nanti." ia masih segan dengan kebaikan dari wanita baya itu tadi.
"Tidak perlu." Sang pemilik toko menolak. "Senyum Alea dan dirimu yang lebih terbuka di depan suamimu itu saja sudah cukup membayar roti-roti tadi." ia menyusun roti-roti di nampan ke tempat yang sesuai dengan jenis rotinya di etalase.
Alibaba mengerjap. Kata-kata bosnya membuat ia merasa aneh dengan diri sendiri. "Apa aku selama ini terlihat tertutup dengan yang lain?" tanyanya. Ia baru menyadarinya.
Wanita itu tersenyum. "Begitulah. Sampai-sampai aku khawatir. Kau memang selalu tersenyum, namun senyummu tak tulus. Seperti ada hal menyedihkan yang kau simpan sendiri bahkan pada anakmu, tapi kau tak pernah menceritakannya pada siapa pun." jawabnya. Ia berkata demikian sebagai orang yang sudah lama mengamati Alibaba sejak lelaki Omega itu bekerja dengannya.
Alibaba mengepal tangan. Insting sang pemilik toko sebagai perempuan dan orang yang sudah sering bertemu dengan macam-macam orang cukup tajam, padahal orangnya sendiri tak sadar. "Maafkan aku, ibu Smith. Aku hanya. . . tak bisa jujur pada diriku sendiri sebelum ini." ucapnya sambil meraba cincin di jarinya.
"Apa itu ada hubungannya dengan suamimu?"
Dengan berat hati Alibaba mengaku. "Aku sebenarnya belum menikah dengan lelaki itu. Tapi dulu aku dan dia memang sempat memiliki hubungan spesial. Kami berpisah sebelum aku datang kemari dan dengan kondisi sedang mengandung Alea."
Wanita baya itu mendekati karyawannya. "Berarti dia datang kemari untuk minta maaf padamu, kan?"
Alibaba mengangguk. "Aku sangat marah sekali karena waktu itu dia meninggalkanku dan juga anak kami. Apalagi karena dia, rencana masa depanku hancur lalu aku dikirim ke sini oleh ayahku. Tapi . . . ketika dia muncul lagi dihadapanku dan menjelaskan semuanya kemudian minta maaf sampai mengajakku menikah, aku jadi bingung. Meski pun marah, tapi ternyata aku masih mencintainya." dadanya terasa sesak saat teringat kejadian kemarin. "Ditambah, Alea sangat senang sekali bisa bertemu dengan orangtuanya satu lagi. Melihat ekspresi Alea, aku sebagai orang yang melahirkannya ingin sekali anak itu terus tersenyum seperti itu."
"Sudah sewajarnya Alea ingin bertemu dengan ayahnya. Apalagi di umur segitu, dia pasti ingin dimanja oleh kedua orangtuanya." ujar pemilik toko.
Alibaba menyetujui itu di dalam hati. "Pagi ini dia mengatakan padaku, tidak apa-apa kalau aku tidak bisa memaafkannya, tapi dia ingin menikahiku, tinggal bersama denganku, dan merawat anak kami bersama. Aku. . . Aku senang mendengarnya tapi sekaligus bimbang, betapa rapuhnya aku yang bisa jatuh padanya lagi hanya dengan kata-katanya itu. sebegitunya kah aku tidak bisa melupakannya?" Ia hampir menangis saat menceritakan itu. Namun di tahannya sekuat tenaga.
Sang wanita baya, mengusap punggung karyawan yang sudah dia anggap sebagai anaknya sendiri itu. "Alibaba, dengar. Rasa marahmu, bimbangmu, dan semua perasaan rumit yang berkecamuk di dalam pikiranmu selama ini, itu karena kau mencintai lelaki itu."
"Tapi aku-" Alibaba hendak membantah.
"Kalau kau sungguh menolak keberadaan lelaki itu, kau pasti sudah membawa Alea jauh-jauh dan takkan membiarkannya melihat kalian lagi. Tapi kenyataannya, kau masih membuka diri padanya. Bahkan kau memperbolehkannya menjemput Alea dan juga menyentuhmu. Benar, bukan?" kata pemilik toko dengan ekspresi keibuan yang lembut.
Dada Alibaba terasa hangat. Ia merasa mulai mendapat pencerahan atas hal-hal yang berbelit-belit di dalam dirinya selama enam tahun ini. "Tapi. . . aku melakukan itu karena Alea sudah terlanjur bahagia bertemu dengan papanya. . ." ia masih ingin membantah perasaan di dalam hatinya.
"Alibaba." panggil sang pemilik toko. "Aku mengerti, sebagai ibu kita mengutamakan kebahagiaan anak. Tapi yang sekarang ini sedang kutanyakan adalah kebahagiaanmu sendiri. Menurutku kau masih mencintai orang itu dan mengharapkannya kembali. Dengarlah isi hatimu yang sebenarnya. Jangan sampai kau membohongi dirimu sendiri dan menyesal di kemudian hari."
Alibaba menggigit bibir. "Meski orang itu pernah meninggalkanku. . .?"
Wanita itu menggenggam tangan Alibaba. "Aku yakin dia meninggalkanmu demi kebaikanmu dan juga anakmu. Aku bisa tahu itu karena sorot matanya saat menatapmu dan juga Alea sangat lah tulus. Kalau dia memang sejahat yang kau duga, dia takkan mungkin jauh-jauh mengejarmu kemari dan meminta maaf. Aku tahu kau bisa memaafkannya. Memang bukan sekarang, tapi pelan-pelan kau pasti akan memaafkan perbuatannya dulu. Karena kau masih mencintainya, bukan?"
Sudah tentu kan kau mencintai Sinbad, Alibaba. Buktinya kau terus memakai cincin darinya dan juga membiarkannya memakai cincin bagiannya. Kau biarkan pikiranmu dipenuhi kenangan tentangnya setiap melihat wajah Alea yang mirip dengan lelaki Alpha itu. Kau bahkan sudah tahu bahwa kebimbanganmu menjadi bukti bahwa kau sebenarnya masih mencintai Sinbad, hanya saja kau selalu menepis hal itu karena rasa marahmu padanya selama enam tahun ini.
Sebutir airmata jatuh di pipi Alibaba. Ia pun akhirnya mau mengakui perasaannya yang sesungguhnya. "Iya. Anda benar. Aku masih mencintai Alpha bodoh satu itu." jawabnya dengan menangis terisak. Isi kepalanya langsung di penuhi bayangan wajah Sinbad, semua hal yang mereka lalui bersama, kebaikan serta sisi jahilnya yang selalu membuat Alibaba jatuh hati, dan juga Alea yang merupakan buah hati keduanya.
Pemilik toko tersenyum senang. Ia pun menenangkan lelaki Omega itu. Akhirnya Alibaba mau jujur pada dirinya sendiri setelah sekian lama angkuh dengan perasaannya yang sebenarnya.
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top