. . . continue

Alibaba menidurkan Alea di kamarnya setelah melepas sepatu anak itu. Sinbad diizinkan melihat hanya sampai pintu kamar.

"Duduklah di sofa dan kita selesaikan kesalahpahaman ini." Ujar Alibaba dingin saat melewati Sinbad.

"Oke." Sinbad tidak akan melawan, karena pilihannya sekarang ini hanya harus menghadapi lelaki Omega tersebut kalau ingin masalahnya cepat selesai.

Alibaba membuatkan teh untuk Sinbad dan dirinya. Ia bahkan menaruh teko di atas meja untuk persiapan, tapi bukan persiapan untuk melempar wajah lelaki Alpha itu dengan teh panas. hanya ada satu sofa di sana dan keduanya duduk berjauhan. Alibaba lah yang mengambil jarak lebar.

"Tidak perlu malu, Alibaba. Alea sedang tidur. Kita bebas melakukan apa pun." Goda Sinbad. Sekadar berbasa-basi.

"Aku tidak mau dekat-dekat denganmu." Jawab Alibaba ketus.

Sinbad hanya tersenyum. Ia menyandarkan punggung padan sandaran sofa yang empuk, di tatapnya Alibaba yang duduk disebelahnya dengan menyilangkan kaki ke depan, memangku dagu, dan menjauhkan wajah darinya.

"Jadi bagaimana rasanya pengalaman mengandung dan melahirkan?" tanya Sinbad.

Alibaba melirik sejenak. "Kau tidak peduli dengan kehamilanku, kenapa baru bertanya sekarang?"

Sorot mata Sinbad berubah menjadi serius. "Aku peduli pada kehamilanmu dan bahkan aku selalu mengawasi pertumbuhan Alea sejak dia lahir."

Lelaki Omega itu menolehkan kepala. "Apa buktinya?" tantang Alibaba.

Sang lelaki Alpha tak mundur. "Uang yang kau terima selama berada di sini, itu semua dari aku." jawabnya.

Alibaba mengerutkan alis. "Tidak mungkin. Jelas-jelas tertulis di buku rekening tabunganku yang mengirimkan uang padaku adalah ayahku." ia membantah. walau sebenarnya di dalam hati dia sempat mulai merasa ada sesuatu yang aneh.

"Aku tidak bohong." Sinbad mempertegas. "Saat ayahmu tahu kau mengandung anak kita, ia membuangmu ke sini untuk menutupi aib keluarga, kan?"

Deg

Itu kalimat tabu yang tak ingin didengar Alibaba meski sebenarnya adalah fakta. Ia kembali membuang wajah dengan alis berkerut.

"Tapi itu hanya bagian luarnya saja yang kau dengar dan semua alasan yang diberikan hingga kau sampai di sini. Hal yang sebenarnya terjadi ada hubungannya denganku. Kalau kau mau mendengarkannya, maukah kau mempertimbangkan untuk memaafkanku karena meninggalkanmu enam tahu lalu?" pinta Sinbad.

Alibaba enggan menoleh lagi. Tapi ia berpikir sebentar. "Kalau alasanmu memang cukup untuk jadi pertimbanganku." katanya akhirnya.

Sinbad menghela nafas. Halangan pertama sudah ia lewati. "Enam tahun lalu, kita menjalani hubungan tanpa sepengetahuan orangtua kita, namun sebenarnya mereka sudah tahu sejak musim panas."

Alibaba sudah menduga hubungan mereka akan ketahuan ayahnya sudah sejak lama. Apalagi saat musim panas enam tahun lalu frekuensi mereka bertemu lebih banyak. Wajar kalau ada satu atau dua anak buah ayahnya tidak sengaja melihatnya sedang bersama Sinbad.

"Awalnya mereka membiarkan kita sering bertemu. Tapi ketika hubungan kita sudah semakin dalam, Orangtuaku pun mulai memperingatiku, karena aku sudah memiliki calon yang akan segera dijodohkan."

Alibaba menahan nafas mendengar itu. Ia mengepal tangan kuat-kuat.

"Tapi meski begitu, aku lebih memilih bersamamu dan menentang perjodohan itu. Kupikir karena hubungan perusahaan kita baik, pasti akan gampang saja aku melamarmu. Makanya saat kita pertama kali melakukan, aku bisa dengan percaya diri mengatakan akan menikahimu. Tapi kenyataan tak semudah itu. Calon tunanganku tak menerima aku menolak perjodohan kami, lalu ayahmu memperburuk situasi dengan mengatakan takkan memberikanmu padaku hingga mempertaruhkan hubungan perusahaan. Aku benar-benar terpuruk saat itu. Aku bingung harus melakukan apa untuk bisa terus mempertahankanmu dan semuanya. Kau ingat hari terakhir kita bertemu? itulah saat-saat itu."

Lelaki Omega itu perlahan mulai melunak. Bola matanya melirik ke arah Sinbad.

"Waktu itu, saking aku tak ingin melepasmu, aku nekad mengikuti instingku sebagai Alpha. Memperlakukanmu dengan kasar dan menandaimu, tapi aku tak tahu kalau kau bisa sampai hamil. Makanya setelah itu aku meninggalkanmu karena kupikir itu yang terbaik untuk kita. Mungkin saat itu kita melakukannya tanpa pengaman, tapi saat itu kau sedang bukan masa periodemu, bukan? Makanya aku sampai tak percaya mendengar kau hamil."

Alibaba tampak seperti menyembunyikan sesuatu saat Sinbad mengangkat masalah itu. Ia mengalihkan mata saat Sinbad menatapnya.

"Aku mendengar berita kehamilanmu dari ayahmu. Beliau menuntut tanggung jawab dariku. Tetapi keberuntungan berada di pihakku karena itu. Aku menggunakan berita ini dan berhasil memutuskan perjodohan dengan calon tunanganku. Setelah lepas dari dia, aku tiba-tiba langsung rindu padamu."Sinbad lanjut bercerita sambil sesekali melirik sebelahnya.

"Kemudian tanpa memperbolehkan aku melihatmu lagi, beliau mengirimmu ke sini. Tapi waktu itu pun aku merasa tak pantas memperlihatkan wajahku setelah memberi surat tersebut padamu, tetapi meski begitu aku menyesal sudah melakukannya dan ingin minta maaf. Aku memohon pada ayahmu hingga bersujud dihadapannya agar aku dipertemukan denganmu lagi dan membesarkan anak kita. Ayahmu bilang, aku sudah melakukan kesalahan dengan meninggalkanmu, apa aku siap menerima pukulan kerasmu saat kita bertemu lagi? Aku menjawab dengan yakin, kalau pukulan tidak cukup maka aku akan memberikan seluruh waktuku untukmu agar kau memaafkanku."

Sinbad dan Alibaba saling bertemu pandang.

"Kau gila." celetuk Alibaba.

Sinbad tertawa. "Mendengar jawabanku, beliau pun akhirnya mau mempertimbangkan keinginanku. Tapi dengan syarat aku harus segera menggeser kursi direktur dan menggunakan uangku sendiri untuk menghidupi kau juga Alea selama di sini namun pengirimannya melalui rekening ayahmu. Aku menerima tantangan itu. Hanya saja butuh enam tahun hingga akhirnya usahaku membuahkan hasil dan karena itulah aku baru mendatangimu sekarang. Maafkan aku, Alibaba. Ayo kita ulangi semua ini dari awal bersama Alea." ucapnya sungguh-sungguh dan pelan-pelan mendekatkan jarak mereka.

Alibaba menghirup nafas dalam-dalam. ia mencoba untuk berpikir dewasa. "Sebelum itu. . ." dia pun akhirnya mau menghadap Sinbad. "Beritahu aku alasanmu yang sebenarnya kenapa meninggalkan tanda dan juga cincin padaku?" ujarnya.

"Saat itu aku egois." Sinbad mengaku. "Aku tak ingin kehilanganmu tapi meninggalkanmu adalah pilihan yang terbaik. Alasanku meninggalkanmu karena aku tahu hubunganmu di keluargamu kurang baik karena kau yang seorang Omega. Lalu aku pun berpikir, kalau kau kuseret ke dalam masalahku itu hanya akan memberatkanmu saja. Tapi sekali lagi, saat itu aku egois. Aku tak ingin kau melupakanku. Kuberikan cincin yang kubeli untuk melamarmu dan juga tanda di tengkukmu supaya tidak ada Alpha yang mengambilmu. Tapi ternyata kau hamil dan itu malah membuat masalahmu semakin buruk, karena itu aku ingin minta maaf." ia menundukkan kepala di hadapan Alibaba dan memperlihatkan rasa sesal yang terus dipendamnya selama enam tahun.

Rasa marah Alibaba runtuh melihat Alpha yang ia sukai menundukkan kepala di depannya. Di sisi dalam hatinya ada kepuasan melihat laki-laki itu akhirnya minta maaf padanya.

"Dan juga." Tambah Sinbad lagi. Ia mengangkat kepalanya. "Aku ingin mengatakan bahwa sampai sekarang aku masih menyukaimu. Sejak awal pertemuan kita, hanya kau yang selalu memenuhi ruang pikirku. Aku tak bisa melupakanmu, Alibaba. Sudah terlanjur jatuh cinta terlalu dalam padamu, karena itu menikahlah denganku." Tak ada kebohongan di setiap kata yang keluar dari mulut lelaki Alpha itu seraya ia mengulurkan tangannya pada Alibaba. Ia tulus. Sorot matanya pun lurus dan mantap.

Lelaki Omega itu tak bisa berpikir. Ia sudah berpikir kalau pasti ada salah paham di antara mereka. Tapi tak ia sangka ini juga berhubungan dengan ayahnya yang notabene ia kenal hanya memetingkan perusahaan dan penerusnya haruslah Alpha.

"Ayahku. . . Kau bilang alasanku dikirim kesini hanya luarnya saja. Katakan apa yang sebenarnya ayahku rencanakan. Kau pasti tahu, kan, Sinbad?" Alibaba melempar satu pertanyaan lagi sebelum menjawab lamaran Sinbad.

"Jawabannya sederhana." Lelaki Alpha itu mengulas senyum. "Ayahmu ingin melindungimu."

"Eh?" Alibaba membulatkan mata.

"Setelah aku mendapatkan posisi sebagai direktur, ayahmu menceritakan padaku alasannya dan bagaimana cara dia melindungimu." Sinbad semakin merapatkan jarak mereka. "Mungkin sama sepertiku yang berpikir meninggalkanmu adalah cara terbaik. Ayahmu mengirimmu kemari demi melindungimu dan Alea dari sorotan orang-orang yang memandangmu rendah di sana. Kalian memang hidup sederhana di sini, tapi setidaknya kalian bahagia. Itulah yang beliau pikirkan. Uang yang kuberikan untukmu, beliau menyisipkan uang pribadi miliknya ketika mengirimnya. Aku diam-diam mengambil print salinan buku rekening yang digunakan untuk mengirim uang yang kuberikan untuk jaga-jaga dan menemukan jumlah lebih dari total yang seharusnya. Setelah kutelusuri, ayahmu pun mengaku. Beliau menitipkan salam padaku untukmu dan juga untuk Alea. Lalu kalau perlu apa-apa beritahulah beliau, ayahmu pasti akan sangat senang mendengar permintaanmu."

Jarak mereka pun akhirnya menyempit. Sinbad tanpa basa-basi lagi langsung merangkul pundak Alibaba dan menyusupkan ciuman mesra di leher lelaki Omega tersebut.

"Tu-tunggu! Sinbad!" Alibaba tidak sadar karena terlalu fokus berbikir. Lelaki Omega itu mendorong tubuh Sinbad, menolak keras Alpha yang sudah menandainya. Dia sudah di ujung sofa dan sulit kabur dengan posisi seperti ini. "Aku masih marah padamu. Jangan seenaknya kau menyentuhku dan berpikir dengan menceritakan itu semua masalah langsung selesai. Aku belum memaafkanmu." ujarnya setelah berhasil menjauhkan wajah lelaki Alpha tersebut.

Namun Sinbad tak melepaskan rangkulannya di pundak Alibaba. Ia menggenggam tangan kiri Alibaba dan memegang cincin darinya. "Tapi kau yang sepertinya terus memakai cincin dariku membuatku berharap sangat besar, Alibaba. Aku yakin kau sebenarnya masih mencintaiku juga."

Alibaba tak bisa membantah kata-kata itu. "Tapi aku tetap masih marah. Kau pikir enam tahun waktu yang sebentar? Apa kau tahu rasanya waktu aku yang seorang diri berjuang mengandung dan melahirkan Alea di negeri asing ini? Di saat aku membutuhkanmu kau malah tidak ada. Lalu sekarang kau muncul seenaknya, menceritakan semua yang sebenarnya terjadi, dan lalu dengan kejamnya mengatakan masih mencintaiku lagi. . . " Lelaki Omega itu sudah tak sanggup menahan airmatanya yang turun dengan deras mewakili isi hatinya teracak-acak oleh orang di depannya. Lagi dan lagi.

Sinbad memeluk Alibaba. "Sudah kubilang kan, alasanku kemari untuk minta maaf padamu dan mengajakmu mengulang lagi semuanya bersama. Kalau permintaan maafku tidak cukup, akan kuberikan diriku padamu seumur hidup untuk mengganti kekosongan selama enam tahu ini. Aku tak bisa hidup tanpamu, Alibaba." ucapnya lembut. Kedua tangannya yang hangat merengkuh tubuh Omega yang sudah dia tandai dengan penuh kasih sayang.

Hati Alibaba berteriak keras. Kehangatan dan kelembutan ini, sudah lama sekali ia merindukan sentuhan dari orang ini. Namun hatinya yang sakit berkali-kali membuatnya hampir melupakan semua hal indah yang dulu pernah mereka lakukan, dan sekarang Alibaba bingung harus memberi jawaban seperti apa di saat seperti ini. Ia tak boleh melakukan hal gegabah, karena Alea pasti juga pasti akan sedih.

"Beri aku waktu." ucap lelaki Omega itu. "Saat ini pikiranku tak bisa berpikir jernih dengan semua yang sudah terjadi dan semua kata-katamu barusan. Aku butuh ruang untuk memikirkan semuanya dan juga aku ingin mempertimbangkan permintaan maaf serta keinginanmu itu." katanya seraya mendorong pelan tubuh Sinbad. Ia menghadap ke arah lain untuk menyembunyikan wajahnya yang merah.

Sinbad tersenyum senang. "Baiklah. Kuharap kau memberi jawaban secepatnya, karena aku juga hanya bisa sebentar di sini."

Alibaba hanya melirik dengan pipi merah dan bibir mengkerucut. Ia masih mode ngambek tapi hatinya sudah lebih terbuka dari sebelumnya. 

Tiba-tiba Sinbad membuka kancing kemeja Alibaba dan mencium leher Omega itu lagi. Sang Omega tersentak karena kaget. Ia mendorong tubuh sang Alpha.

"Sin- tunggu! Alea. . .kh. . ." Alibaba mendesah. ciuman Sinbad membangkitkan instingnya sebagai Omega yang sudah lama terpendam. Apalagi setelah sekian lama tidak mencium bau yang ia sukai dari Alpha tersebut, Alibaba mulai mabuk feromon.

"Aku paling suka baumu, Alibaba. Menenangkan dan selalu membuatku rindu. Sejak pertama kali bertemu, karena mencium bau manis inilah aku tertarik padamu." ujar Sinbad, ia meraba tanda yang diberikannya di tengkuk Alibaba.

aku juga, Alibaba berteriak di dalam hati. Tapi kalau ia jujur sekarang, bisa-bisa Sinbad besar kepala. Ia pun semakin tersudutkan di ujung sofa di tambah posisi tubuh keduanya yang terus merosot jatuh.

Kedua mata berwarna kuning dan emas itu saling bertatapan. Dari kontak mata sekilas, mereka berdua mengakui telah takluk oleh bau masing-masing dan tak bisa lagi lari dari jeratan feromon yang mengikat keduanya sejak pertama bertemu. Alibaba jatuh terbaring di sofa, Sinbad yang berada di atas mengunci pergerakannya dan memberikannya ciuman setelah sekian lama.

Klek

"Papah. . . Mammah. . ." panggil Alea yang tiba-tiba terbangun.

Plak!

Alibaba spontan menampar Sinbad dan mendorong tubuh lelaki Alpha tersebut. Ia bangun dari posisinya dengan panik.

"Ah. Alea sudah bangun, ya." Alibaba bersikap natural mungkin. Ia menyuruh Sinbad untuk duduk menjauh sementara menyambut Alea yang berlari ke dalam dekapannya.

"Selamat sore, Alea. Tidurmu nyenyak?" Sinbad pun ikut bersikap netral sambil menahan sakit dipipinya yang memerah dengan bekas telapak tangan yang masih tercetak samar-samar. Ia mengusap pipi Alea yang chubby. Lelaki itu cuek duduk di samping Alibaba.

"Papah dan Mammah bertengkar?" tanya gadis kecil itu sambil melihat Alibaba dan Sinbad bergantian.

Alibaba ragu untuk menjawab. Sinbad akhirnya yang turun tangan. "Tidak. Papa dan mama tidak bertengkar."

Mata besar Alea berbinar. "Kalau begitu papah dan mammah sudah saling sayang lagi?"

Pertanyaan gadis kecilnya lagi-lagi membuat Alibaba bingung harus menjawab apa. Saat ini dia masih mempertimbangkan untuk memaafkan Sinbad. Bukannya tak ingin mengaku kalau sebenarnya Alibaba masih menyimpan rasa terhadap lelaki Alpha itu, tapi itu bertentangan dengan sikapnya sekarang.

"Papa sayang Alea. Papa juga sayang mama."  ucap Sinbad. ia mengedip pada Alibaba dan dibalas tatapan membunuh dari sang Omega.

"Kalau mammah?" gadis kecil itu menatap dalam-dalam mamanya.

Alibaba merasakan lagi kemiripan dari Alea dan Sinbad, sulit sekali kabur dari keduanya kalau mereka sudah mendesaknya. "Alea. . . mama belum tahu apa mama sayang papa atau tidak, soalnya papa sudah jahat ke mama."

"Papah jahat?" Alea mengerjap.

"Iya, papa sudah meninggalkan Alea dan mama. Lalu tiba-tiba datang tanpa memberikan kabar apa pun. Papamu orang yang jahat. kau jangan jadi sepertinya, Alea." Alibaba memeluk erat tubuh putrinya seraya menyembunyikan wajahnya di tubuh Alea.

Alea menatap marah Sinbad. "Papah minta maaf ke mammah." serunya. "Kalau papah sayang mammah, papah harus minta maaf ke mammah."

Sinbad terbelak lalu sedetik kemudian dia tersenyum. Lelaki itu menatap Alibaba, mengusap kepala Omega tersebut. "Maaf ya, mama. Papa takkan meninggalkan mama lagi dan akan selalu berada di sisi kalian selamanya." ucapnya lembut.

Alibaba merasa senang mendengar itu. Tapi karena sedang mode ngambek, dia hanya diam saja.

Alea mengangkat wajah mamanya. "Mammah mau maafin papa?"

Saat menatap kedua bola dengan sorot polos yang mirip dengannya itu, Alibaba tak bisa melawan lagi. Ia selalu luluh pada ketulusan putrinya yang masih kecil. "Kalau papa janji mau tanggung jawab dengan kata-katanya, mama mau memaafkannya."

"Mammah janji mau maafin papah?" Alea mengangkat jari kelingking.

Alibaba mengaitkan jari kelingking mereka. "Mama janji."

Gadis kecil itu menatap Sinbad. "Papa juga janji dengan mama." suruhnya dengan wajah polos dan meminta keduanya melakukan yang ia lakukan.

Sinbad mengulurkan jari kelingkingnya dengan senang. Alibaba sedikit enggan, tapi karena demi Alea ia pun mengaitkan jari kelingking mereka. "Papa janji akan menepati kata-kata papa." lelaki itu tak bisa melepas senyumnya. Alibaba langsung menarik tangannya dengan malu-malu.

Alea berteriak senang. Ia berganti meminta peluk papanya. "Alea sayang papah."

Sinbad memeluk erat putrinya. Memeluk buah hati yang sudah lama ingin direngkuhnya dengan penuh kasih sayang.

Alibaba hanya bisa menatap wajah bahagia Alea dalam pelukan Sinbad. Kalau sudah begini Alibaba pun dilanda dilema harus menerima permintaan maaf lelaki itu secepatnya kalau tidak sekarang. Ah, tidak. Jangan sekarang.

Lelaki Omega itu menghela nafas panjang. Ia bangkit dari sofa, namun tangannya segera di tangkap Sinbad.

"Kau mau kemana, Alibaba?"

"Aku hanya mau buat makan malam." Alibaba berusaha melepas genggaman di tangannya tapi kalah kuat.

"Tidak perlu. Malam ini kita makan diluar. Aku yang traktir."

Alis san Omega mengerut. "Hah?!"

"Papah makan sama Alea?" Tanya Alea.

Sinbad mengangguk. "Iya. Kita bakal makan enak."

"Bareng papah sama mammah!" Alea menatap Alibaba dan Sinbad berganti dengan senyum lebar dan mata berbinar-binar.

Alibaba menepuk jidat. Kalau Alea sudah senang, ia pun tak bisa menolaknya. Sinbad tersenyum tanpa dosa menatap Alibaba yang balas menatapnya horror.

.

Keduanya memasuki sebuah departemen store dan mencari restoran keluarga yang ada permainan anak-anak.

Selama di jalan Alea terus meminta Alibaba dan Sinbad jalan berdampingan sambil menggandeng tangannya. Kedua orang itu tak keberatan menggenggam tangan buah hati mereka, hanya saja sang Omega masih diam-diam memberikan tatapan marah pada sang Alpha dan dibalas dengan senyuman lelaki berambut ungu itu.

Sinbad duduk di meja makan seraya menunggu pesanan. Sementara Alibaba menjaga Alea yang bermain di spot bermain yang disediakan. Mereka tertawa riang saat Alibaba menangkap Alea yang turun dari perosotan. Sinbad ikut senang melihat keakraban ibu dan anak itu. Ia pun berpikir, seandainya saja waktu itu dia tidak meninggalkan mereka, pasti setiap harinya ia bisa melihat senyum keduanya seperti sekarang ini.

Pelayan yang membawa makanan datang ke meja mereka dan menyadarkan lamunan Sinbad. Untuk  menghindari kesan canggung, ia pun melempar senyum pada pelayan perempuan itu dan hampir membuat sang pelayan salah tingkah.

"Genit." Celetuk Alibaba yang datang mendekat sambil menggandeng Alea.

"Eh, Alibaba- tadi itu. . ."

"Papah." Alea menghambur pada Sinbad. Ia duduk di pangkuan lelaki itu.

Alibaba mengambil tempat duduk di hadapan Sinbad dan membuang muka. Ia diam-diam cemburu.

Sinbad mengerjap dan hampir lepas tertawa melihat tingkah Alibaba yang membuatnya gemas. Alea malah bingung melihat orangtuanya yang sibuk menyembunyikan wajah.

Alea tak mau berpisah dari Sinbad. Ia makan di pangkuan lelaki itu hingga Alibaba pun tak fokus pada makannya karena membersihkan makanan yang menempel di wajah gadis kecil itu. Sementara Sinbad fokus pada wajah Alibaba yang mendekatinya. Ia pun mencuri kesempatan ketika ada saus yang menempel di wajah Omega tersebut.

"Mama makannya berantakan juga, ya." Goda Sinbad dan mengambil saus di wajah Alibaba lalu menjilatnya.

Alibaba membulatkan mata. Wajahnya seketika memerah dan dia langsung duduk lagi sambil menahan diri agar tidak marah di depan Alea.

Sementara Alea yang mengira mereka sedang melakukan permainan ikut membersihkan wajah Sinbad dengan tisu.

Setelahnya Sinbad membelikan satu stel pakaian untuk Alea, meski awalnya ada penolakan dari Alibaba tapi lelaki Alpha itu memaksa.

Keluar dari departemen store, ternyata di dekat sana ada taman yang diisi lampu-lampu lampion. Alea antusias ingin melihatnya. Sinbad mengangkat Alea dan membawa gadis kecil itu duduk di pundaknya.

Alea bersorak karena dia merasa sangat tinggi hingga bisa menyentuh lampion yang sejajar dengannya. Alibaba khawatir gadis kecil itu jatuh karena bergerak-gerak terlalu senang.

.

Sampai dirumah, Sinbad membawa Alea yang tertidur karena kecapekan ke kamar. Alibaba membuka sepatu serta jaket gadis kecil itu lalu memberikan selimut ketika Alea berbaring di kasur. Sinbad mengecup pipi putri kecilnya seraya mengucap selamat malam, sementara Alibaba mengecup kening Alea.

Lelaki Alpha itu masih belum ingin meninggalkan Alea. Ia mengusap kepala gadis kecil tersebut dan memandang wajah tidurnya yang damai.

"Ikut aku sebentar." Ucap Alibaba.

Sinbad tergerak karena sepertinya Alibaba hendak memberitahunya sesuatu. Ia pun bangkit dan mengikuti lelaki Omega itu, menuju kamarnya.

Alibaba membuka lemari bajunya dan mengeluarkan sebuah kotak yang sangat familiar bagi Sinbad. "Ku kembalikan." Ia menyerahkan kota berisi satu cincin yang tersisa di dalamnya.

"Sebelum aku mengambilnya, kenapa kau ingin aku memilikinya lagi?" Tanya Sinbad.

Alibaba diam sejenak. "Cincin yang ada di dalam sini. . . Itu milik, kan?"

"Lalu. . ."

"Bukan berarti aku memberikan jawaban iya. Tapi aku. . . .ukh. . ." Alibaba bingung bagaimana harus menjelaskannya. Semua kata-kata mengalir di dalam kepalanya hingga sulit ia pilih mana yang tepat.

"Alibaba. . ." Sinbad mencoba menenangkan. Tapi sesaat dia ragu menyentuh Omega itu karena takut di tolak seperti saat mereka bertemu di depan TK Alea.

"Aku. . . Selama enam tahun ini, aku tak bisa melupakanmu. Tapi aku juga sangat marah padamu karena meninggalkanku. Perasaanku begitu rumit. Awalnya aku berniat membuang kotak ini, tapi tanpa sadar aku memakai cincin darimu dan tak bisa melepasnya. Aku munafik terhadap perasaanku sendiri." Buncahnya kacau.

Sinbad hampir-hampir menahan nafas mendengar kalimat Alibaba. Siapa yang sangka keduanya saling tak bisa melupakan satu sama lain setelah enam tahun lamanya.

"Aku selalu teringat padamu setiap melihat cincin di dalam kotak ini dan itu membuatku sesak. Ambillah." serunya dan menyodorkan kotak itu hingga ia memukul dada Sinbad pelan. Ia menahan airmatanya yang akan tumpah sekuat tenaga.

Sinbad terdiam menatap Alibaba. Bukannya mengambil kotak itu, ia malah menarik tubuh Omega tersebut ke dalam pelukannya. "Apa aku sudah tak ada harapan lagi?"

Alibaba terhenyak, airmatanya jatuh.

"Apa kau masih mencintaiku?" tanya Sinbad lagi.

Alibaba menangis di dada Sinbad dan membalas pelukannya erat.

Lelaki Alpha itu mengusap punggung sang Omega.

.

.

.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top