You Or You -- 21

Dinda mengumpulkan seluruh anggota keluarganya di ruang tengah tempat biasa mereka menonton televisi bersama.

"Dinda menerima lamaran Pak Sodik." Terlihat Ibu, Bapak dan Dina kaget dengan keputusan Dinda. Ibu yang duduk di sebelah Dinda langsung menggenggam telapak tangan putri sulungnya sambil menitikkan air mata.

"Udah, Nduk, nggak usah berkorban lagi. Kamu sudah banyak kami repotkan dari dulu. Biar Ibu sama Bapak yang mikir. Rumah ini masih bisa buat bayar hutang kita." Ibu meremas-remas tangan Dinda sambil berlinangan air mata. Semua hal sudah banyak dikorbankan oleh putri sulungnya tapi sungguh, kedua orang tua dan adiknya amat tidak rela harus mengorbankan masa depan Dinda untuk kesekian kali.

Masih dengan tatapan kosong, Dinda beruja,r " Biar Dinda yang temui Pak Sodik langsung."

Kini gantian Bapak yang memeluk anaknya. Dina yang duduk di kursi sebelah langsung bersimpuh merangkul kedua lutut kakaknya.

"Jangan, Nduk. Sudah nggak usah dipikirkan masalah ini. Dari awal memang Bapak yang salah sudah menerima tawaran Pak Sodik memintamu jadi mantunya," tutur lelaki paruh baya merasa bersalah. Dinda bergeming dengan berbagai keberatan yang ditujukan dari seluruh anggota keluarga atas keputusanya.
Pandangan Dinda masih menerawang mengingat bagaimana ia hidup sangat pas-pasan, nasi aking saja pernah ia makan untuk mengganjal perut yang saat itu masa paceklik melanda dan kejadian itu pun sudah sangat lama. Bagaimanapun juga ia begitu ingat bagaimana susahnya Bapak dan ibunya berebut mencari singkong dengan warga lain yang sama kelaparannya. Bapak rela didorong bahkan diinjak karena mempertahankan singkong dalam genggamannya.
Belum lagi Ibu yang susah payah mencari ranting bersamanya yang saat itu masih duduk di bangku SD. Menggendong Dina bergantian yang sedang demam, berdua mencari ranting untuk memasak singkong yang diperoleh Bapak. Meski hanya sebatang singkong yang berhasil didapat Bapak, mereka menikmati berempat. Jika kemaren makan nasi aking, hari ini singkong maka besok akan memutar otak bersama mencari pengganjal perut meski berebut dengan warga lain.
Jika ingin menikmati nasi beras yang nikmat harus rela membeli dengan harga amat mahal pada Pak Sodik. Dan bagi mereka, uang dari mana jika panen gagal, paceklik melanda? Hutang? Sudah berapa banyak hutang yang ia tinggalkan pada Pak Sodik. Belum lagi bunga yang setiap hari seakan mencekik.

"Pengorbanan Dinda tidak sebanding dengan pengorbanan Ibu sama Bapak buat hidup kami. Sudah saatnya Dinda membalas semuanya, asal rumah ini tidak hilang " Dinda menatap sekeliling seakan mengingat kembali rumah yang menjadi saksi bisu perjalanan hidup keluarganya dari keadaan susah, senang semua berbagi.

"Mbak, biar Dina saja yang nikah setelah lulus sekolah. Biarin ndak usah kuliah, lagian Mbak udah banyak membantu sekolah Dina selama ini." Dinda mengusap lembut rambut adiknya yang duduk bersimpuh di bawahnya.

"Kamu harus mengejar cita-citamu, Din." Dinda langsung berdiri berjalan ke arah pintu. "Doakan Dinda semoga ini keputusan yang terbaik."

Meski dicegah dengan cekalan tangan Bapak dan rengkuhan Ibu, Dinda tak merubah keputusannya. Kakinya tetap melangkah keluar, dihempaskan tangan kedua orang tuanya yang berusaha mencegah. Derai tangis dari ketiga orang di dalam rumah mengiringi kepergian Dinda menemui Pak Sodik jika ia bersedia menukar masa depannya menebus hutang kelurga dengan menikah dengan anaknya.

Maafkan aku
Hanya ini yang bisa aku lakukan disaat satu-satunya harapan menyadarkanku bahwa semua tentangmu tak perlu kupertahankan.

Lupakan janji palsu yang kau tulis indah dalam kebohongan. Aku merelakan jika memang jalanmu bukan denganku.

♡♡♡

"Aku senang akhirnya dia jadi mantu ku," ucap Pak Sodik pada kedua orangtua Dinda.
Dua hari setelah insiden Dinda menemuinya, hari ini lintah darat itu datang bersama anak pertamanya yang akan dijodohkan dengan Dinda. Penampilanya tidak mengecewakan atau bisa dibilang lumayan untuk ukuran orang kampung. Mungkin memang pengaruh pekerjaannya yang katanya seorang manajer di sebuah perusahaan di Surabaya. Dinda tak tahu dan tak ingin tahu.
Namanya Burhan, usianya lima tahun di atas Dinda dan katanya sejak Dinda SD sudah menyukainya. Dari tatapan mata yang melirik ke sana sini bisa dipastikan Burhan seorang mata keranjang. Bahkan Dinda berani bertaruh jika bukan ia saja yang menjadi--orang yang katanya disukai sejak SD--kalau melihat matanya yang jelalatan.

"Nikahnya mau dipercepat atau gimana?" tanya Pak Sodik yang sepertinya akan dijawab oleh Burhan, namun segera disambar duluan oleh Dinda.

"Lebih baik kami saling mengenal dulu," putus Dinda yang pada akhirnya disetujui.

"Ya sudah kalau begitu, Bur, ajak Dinda ke Surabaya buat lihat tempat kerjamu di sana," pinta Pak Sodik pada Burhan yang dengan cepat dianggukinya.
Sepulangnya Pak Sodik dan Burhan, Ibu menghampiri Dinda di teras.

"Kamu beneran sudah mantep dengan keputusan ini, Nduk?" tanya ibu Dinda meyakinkan. Direngkuh tangan sang ibu yang keriput, bukti cinta kasih yang beliau salurkan lewat genggaman hangat tangannya.

"Iya, Buk." Dinda paksakan sebuah senyum terbit, guna menenangkan. Namun lama kelamaan rontaan hatinya ingin segera keluar lewat buliran bening melewati kedua pipi. Dinda dan Ibu sama-sama menangis.

♡♡♡

"Kita naik pesawat langsung ke Juanda," putus Burhan ketika keduanya berada dalam mobil yang mengantar ke Bandara.
Dinda hanya mengangguk saja karena memang tidak tahu harus menanggapi apa.

Perjalanan dari Jogja -Surabaya diisi dengan cerita kesombongan Burhan dengan pekerjaannya. Rumahnya yang berada di kawasan elite, hari-harinya yang sibuk, jam tangan yang baru saja ia beli di Eropa saat liburan, dan banyak hal lain yang amat tidak penting.

Sesampai di Surabaya, Dinda meminta Burhan memesankan hotel karena ia tidak mau tinggal di rumah yang laki-laki itu bilang nanti akan menjadi rumah mereka setelah menikah. Namun itu kan masih nanti, sedangkan mereka belum resmi. Setidaknya meminimalisir tindak asusila dari buaya darat seperti Burhan. Kenapa Dinda menyimpulkan begitu saja? Karena sejak tadi tangannya berusaha menyentuh pantat, memeluk, bahkan hampir menciumnya. Bisa-bisanya Burhan mencari kesempatan dalam kesempitan.

Setelah beristirahat di hotel, esoknya Burhan mengajak Dinda ke perusahaan tempatnya bekerja. Sebuah perusahaan besar milik Abimana grup menjulang tinggi, kokoh dan megah. Dinda berjalan mengikuti langkah Burhan. Sejak tadi ia berusahan menggandeng tangan Dinda namun selalu ditepis halus, sehingga Dinda memutuskan berjalan di belakangnya.

Saat melewati meja resepsionis Dinda mendengar Burhan diminta datang ke ruangan Pak Tama. Setelah mengucapkan terima kasih dan mengedip genit pada resepsionis itu, keduanya melangkah menuju lantai paling atas. Ruangan pemimpin perusahanan tersebut.

"Beberapa hari ini Pak Tama selalu curiga pada kinerjaku," gerutu Burhan ketika keduanya dalam perjalanan menuju lift.

"Dia pimpinan perusahaan ini?" tanya Dinda.

"Iya. Baru beberapa minggu berada di sini karena sebelumnya dia menempati perusahaan yang di Jakarta."Dinda hanya ber oh saja karena hal itu juga tidak penting baginya.

Begitu sampai di depan pintu ruangan yang Dinda yakini milik Pak Tama, sekretaris yang mejanya berada di depan ruangan segera menelpon memberitahukan jika Burhan sudah sampai. Setelah dipersilahkan masuk, Dinda hanya mengikuti Burhan dari belakang.

Ruangan yang rapi dengan meja kerja yang penuh dengan tumpukan berkas. Si pemilik ruangan duduk membelakangi keduanya hingga hanya punggung kursi saja yang terlihat.
Dengan perlahan kursi itu berbalik. Seorang laki-laki dengan setelan jas hitam dengan tatapan mata setajam pisau yang siap menikam siapa pun tengah menatap tepat di manik mata Dinda. Pandangan keduanya bertemu, membuat napas Dinda tiba-tiba sesak. Suaranya tercekat, padahal ingin sekali memanggil namanya. Tatapan dingin dan mengintimidasi beralih ke Burhan. Dinda menundukkan wajah sambil memainkan ujung lengan kemeja, mengurangi rasa gugup yang tiba-tiba datang.

"Sepertinya Anda tidak sendirian, Pak Burhan," tanya suara sang atasan.

"Oh iya, saya bersama calon istri saya." Burhan mengenalkan Dinda.

Mencuri pandang sedikit pada gerakan tangannya yang meremas sebuah bolpoint hingga menimbulkan suara gemerutuk membuat Dinda ngeri.

"Hanya mengingatkan, serahkan laporan keuangan paling lambat besok pagi." Kemudian menyuruh keduanya segera keluar.
Tanpa menatapnya, Dinda ikut berjalan keluar ruangan bersama Burhan. Hati Dinda amat berdegup. Berbagai pertanyaan menghiasi pikiran. Terlalu banyak kejutan saat pertama kali ia datang ke tanah kelahiran dan sekarang berada di kota Pahlawan.

Langkah keduanya sampai di lantai bawah, sebentar lagi Dinda akan keluar dari tempat ini. Pergi dari kehidupan yang amat mengejutkan. Dinda tak mengerti, kenapa ia bisa mengenal atasan Burhan meski dalam pribadi lain. Orang yang pernah menawarkan kebersamaan, membagi suka duka , meninggalkannya dengan sepucuk surat dan semalam oh ... telinganya masih normal untuk mendengar suara desahan perempuan. Menjijikan!

"Sebentar, ada telepon." Burhan kemudian menjauh dan Dinda berhenti begitu saja. Baru saja ia hendak mengeluarkan handphone dari dalam tas, sebuah tangan menariknya paksa mengikuti langkah lebar. Dengan tergesa-gesa Dinda mengikuti meski agak terseok. Dibawanya Dinda memasuki lift.

Laki-laki itu mendorong tubuh Dinda hingga menempel pada dinding lift. Dilihat matanya berkilat penuh amarah. Napasnya tersenggal seakan habis berlarian.

"Jelaskan apa yang terjadi." Suara laki-laki itu amat ditekan penuh tuntutan. Belum sempat Dinda menjawab, mulutnya dibungkam dengan bibir. Sedikit kasar dan menuntut. Dinda meronta, mencoba melepaskan tubuhnya yang seakan menempel. Kedua tangannya mengurung Dinda hingga tenaganya kalah kuat.

Hingga Dinda mencoba menerima perlakuannya, menghilangkan daya pikir yang meronta ingin memaki.

Aku merindukanmu.

Dewi batin keduanya seolah mengatakan jika memang sama-sama merindukan. Ciuman itu tak terelakkan. Dinda tak lagi meronta, melainkan melingkarkan kedua tangan pada leher. Memperdalam rasa bibir yang saling menghisap, menumpahkan kerinduan begitu dalam, lembut dan membuai.

Mengambil napas beberapa detik, dan melanjutkan lumatan yang semakin menggila seakan kerinduan selama ini begitu meronta. Hingga suara deheman menyadarkan Dinda. Spontan Dinda mendorong tubuh laki-laki ini hingga menubruk seorang perempuan yang berdehem mengingatkan perbuatan kami barusan.

"Sakit ah, kakiku kamu injek!" gerutu perempuan muda yang kakinya terinjak akibat Dinda mendorong laki-laki di depannya dengan keras.

"Kayaknya aku butuh penjelasan. Siapa duluan?" kata Dinda pada dua orang yang kini berada satu lift bersamanya.

------

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top