You Or You -- 20

"Nggeh bu niki sampun dugi Lempuyangan." (Ya bu ini sudah sampai Lempuyangan.)

"Niteh taxi mawon kulo, Bu." (Naik taxi saja saya, Bu.)

"........"

"Nggeh, Waalaikumsalam."

Klik!

Panggilan terputus, kemudian Dinda memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas. Berjalan menuju jejeran taxi di depan stasiun Lempuyangan Jogja.

Ya, hari ini ia pulang ke rumah orang tuanya bersama Mei meskipun tujuan mereka berbeda. Mei bertandang ke Surabaya hendak menemui Rangga sekaligus menghindari Denis yang beberapa kali sempat mengajaknya berbicara saat di rumah Dinda. Mei yang mengira mereka berpacaran selalu menghindar. Ia tidak sanggup menyaksikan kemesraan sahabat dan seseorang yang pernah menempati ruang khusus di hatinya,dulu dan sepertinya masih tetap sama sampai detik ini.

♡♡♡

"Piye Nduk kabare?" tanya ibu Dinda sesampainya ia di rumah. Kini mereka berempat tengah menikmati gudeg bikinan Dina adik Dinda yang masih sekolah kelas tiga SMA.

"Baik, Bu, sehat juga kok," balas Dinda meyakinkan. Ia memang baik-baik saja bukan?

"Ehmm, Nduk?"

"Wes to Buk, Dinda masih capek baru sampai. Ngomongnya nanti saja," Bapak menyela seolah ada permasalahan penting yang akan terjadi setelah ini, dan hal tersebut membutuhkan kondisi dan waktu yang siap.

"Ada apa to Buk, Pak?" Penasaran juga Dinda dengan tingkah kedua orang tuanya yang seakan amat ragu dan menyembunyikan sesuatu di belakang.

"Kamu istirahat saja dulu nanti kita bincang-bincang lagi " Bapak melerai keraguan yang tercipta dengan menyuruh anak sulungnya segera beristirahat. Dan benar saja, perjalanan Jakarta - Jogja lumayan menguras tenaga meski hanya duduk manis di dalam kereta api.

Selesai mandi segera Dinda membaringkan tubuh di ranjang kecil kamarnya. Tempat selama bertahun-tahun ia tidur berdua dengan Dina karena rumahnya juga kecil. Hanya ada tiga kamar. Satu kamar Ibu dan Bapak, satu kamar milik Dinda bersama Dina. Satu lagi kamar tempat melaksanakan ibadah yang kadang beralih fungsi jadi gudang maupun kamar tamu jika ada saudara yang menginap.

Saat berbaring santai sambil menatap langit-langit kamar, Dina masuk dan duduk di tepian ranjang.

"Mbak, Dina mau ngomong sama Mbak." Dengan suara lirih adik semata wayang Dinda itu meminta izin.

"Enek opo to, Din?"

"Mbak, sawah Bapak gagal panen, banyak warga yang rugi termasuk milik kita." Ada jeda dalam ceritanya. Dinda tahu jika gagal panen itu memang terjadi bulan lalu saat sebagian besar tanaman palawija terserang abu vulkanik, menyebabkan daya jual turun. Modal selangit namun untung nol. Contohnya saja harga tomat yang per kilogramnya saja hanya lima ratus rupiah. Modalnya saja sangat mahal untuk benih, obat dan sewa tanah pula.

"Trus?"

"Bapak hutang sama Pak Sodik buat nutupin rugi. Tapi karena kita juga punya hutang dengan jumlah bunga yang besar, membuat Bapak dan Pak Sodik membuat perjanjian." Dinda mulai tertarik.

"Bapak menerima tawaran Pak Sodik untuk ngepek mantu sampeyan buat anak pertamanya Pak Sodik." Bagaikan disambar petir di siang bolong, mendengar Dina mengatakan kenyataan tersebut.

Mata Dinda terpejam, seolah berharap kabar ini hanya bunga tidur namun saat dilihat Dina menangis tertunduk membuatnya iba. Ia mungkin merasa bersalah atau kasihan melihat kakaknya menjadi bayaran hutang keluarga. Dengan penuh ketenangan yang Dinda paksakan, ia mencoba mereda tangisannya.

"Udah, Din, Mbak yang salah belum bisa bayar hutang kita."

Padahal hidup di Jakarta sudah Dinda usahakan amat irit agar kiriman ke kampung lebih banyak.

"Ibu sama Bapak nggak berani ngomong, takut Mbak nanti marah sama mereka. Bukan salah Mbak, ini salah Dina juga ngeyel minta uang buat daftar seleksi, biaya fotokopi buku buat olimpiade. Harusnya Dina nggak ikut lomba itu dan Dina nggak berharap bisa kuliah."

Tangis Dina semakin pecah. Dinda memeluk erat tubuh sang adik yang gemetar. Sejak kecil adiknya memang pintar. Berkali-kali mendapat juara dalam lomba namun hasil yang ia dapat hanya sebuah sertifikat yang tertumpuk dalam lemari. Pihak sekolah tidak memberikan kompensasi apa-apa, padahal sudah mengharumkan nama sekolah dan piala juga diserahkan pada pihak sekolah.

"Maaf, Nduk, kalau Bapak sama Ibu jahat sama kamu."

Tiba-tiba Bapak dan Ibu sudah berdiri di ambang pintu yang mungkin sedari tadi sudah memperhatikan percakapan dua anaknya.

"Kalau kamu ndak setuju, nggak apa-apa. Biar kita undur bayar bunganya. Bapak bisa menyerahkan sertifikat rumah dan sementara kita tinggal di Bantul numpang di rumah Bulek Har." Bapak memberikan solusi.

Tidak, rumah ini adalah kenangan yang tidak bisa diganti dengan apa pun. Tapi bagaimana mungkin aku mendapatkan uang bunga sebanyak itu? Atau menerima perjodohan ini? Haruskan aku mengorbankan seumur hidupku untuk menjadi milik orang yang tidak kukenal sama sekali? Dan Pak Sodik? Lintah darat itu amat licik dan rakus. Tidak hanya rakus harta pun rakus wanita. Sudah berapa banyak perempuan yang silih berganti kawin cerai dengannya? Dan anaknya pasti tak jauh beda dengan bapaknya.

Semakin memikirkan semakin Dinda amat pusing. Apa ja menerima lamaran Denis agar terbebas dari perjodohan ini? Tapi Denis dan Mei, keduanya masih jelas-jelas menyimpan perasaan satu sama lain. Dan ia tidak ingin merusak persahabatan dengan Mei dan Denis.

"Nanti Dinda pikirkan, Bu, Pak. Dinda pengen istirahat dulu," alasannya agar susana mencekam penuh haru biru ini semakin cepat selesai. Ibu dan Bapak pamit keluar, Dina ke kamar mandi membasuh air matanya. Sedangkan Dinda masih termenung dengan segala pikiran yang seakan semakin berat. Kantuk yang menyerang seakan hilang entah ke mana.

Dinda mencoba menelepon Mei sekadar menceritakan masalahnya dan mungkin saja sahabat Dinda itu punya solusi. Setidaknya mungkin Mei bisa meminjamkan uang untuk membayar cicilan bunga hutang pada Pak Sodik.

Dicoba berkali-kali, namun tak juga diangkat. Hingga panggilan kesekian kali akhirnya terangkat juga. Belum sempat Dinda mengucap kata, orang di seberang sudah menyerobot duluan

"Hah, hah ... ah..." Suara di seberang terengah-engah. Tunggu! Ini bukan suara Mei. Ini suara yang amat Dinda kenal.

"Mei pergi ke Ketintang pulang besok pagi." Benar. Itu suara dia, tapi....

"Ah, lebih cepat sayang."

Suara desahan perempuan?
Dan itu tak salah lagi. Rangga!

"Heh, kamu siapa? Aku sibuk di sini."

Klik.

Air mata Dinda seketika tumpah. Masalah ekonomi di rumah sudah membuatnya pusing, perjodohan yang membuat ragu dan sekarang, suara Rangga yang terengah-engah bersama jerit kenikmatan seorang perempuan?

Astaga .... bodohnya aku sudah percaya pada penjahat kelamin seperti Rangga. Harusnya kamu tidak bilang sayang padaku jika pada akhirnya semua hanya palsu.

Ditariknya selimut sampai menutupi seluruh tubuh Dinda. Air mata semakin deras. Merutuki diri sendiri begitu percaya pada Rangga yang memintanya menunggu, yang mengatakan amat menyayangi, yang mengatakan kalimat palsu semata.  Semua yang ditulis Rangga di surat itu semua palsu.

Dinda mengerang frustrasi.  Seketika itu juga ia sudah mengambil keputusan untuk besok. Ia harap ini bukan keputusan yang salah karena dengan ini Bapak tidak akan menyerahkan sertifikat rumah, hutang beserta bunga akan lunas dan Dina akan tetap melanjutkan kuliahnya.

Ya ... Dinda sudah memutuskannya.

-------------------------------

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top