You Or You -- 17

Diam tanpa kata, itulah yang dilakukan Dinda maupun Rangga. Meski menahan malu karena pernyataannya,mau tidak mau Dinda tetap pulang dalam boncengan Rangga karena tidak ada bus yang langsung menuju rumahnya. Kalaupun ada harus berganti dua kali.

Dinda mati-matian menahan rasa malunya sedangkan Rangga sedari tadi memang diam namun senyum terukir terus menerus sepanjang perjalanan.

Motor Rangga masih melaju hingga tak lama kemudian berhenti.

"Kok ke sini, Ngga?" tanya Dinda begitu ia melihat tulisan DUNIA FANTASI di depanya. Meski bingung, Rangga hanya diam saja membuat Dinda menurut apa yang Rangga lakukan.

Berjalan beriringan menuju loket, Rangga masih diam. Begitu masuk ke dalam suara riuh dari pengunjung yang menikmati berbagai wahana memacu adrenalin membuat Dinda sedikit melupakan rasa malunya.

"Ngga, naik itu ya?" pinta Dinda begitu melihat wahana tornado. Rangga mengangguk tersenyum seraya mengacak-acak rambut Dinda.

"Nah kalo gini kan enak, nggak canggung kayak tadi," ujar Rangga membuat Dinda kembali mengingat rasa canggungnya sepanjang perjalanan karena insiden saat di taman.

"Nggak usah dipikirin. Aku denger apa nggak, biar kamu gak canggung. Santai saja seperti tadi."

Dinda sedikit lega karena Rangga tidak membahas masalah bibir perawanya yang terpaksa menerima ciuman Rangga kala itu.

Terpaksa? Bukan! sepertinya memang amat menerima ciuman laki-laki di sampingnya.

"Ehm, sorry ya, Ngga, aku...."

"Lama amat sih? Ayo! Katanya mau naik itu?" Digandenganya tangan Dinda menuju wahana yang menegangkan tersebut.

Saat wahana mulai bergerak, tanpa sadar Dinda menggenggam erat tangan Rangga yang duduk tepat di sampingnya.

Saat tornado beraksi, semuanya berteriak sekencang-kencangnya tak luput Dinda dan Rangga.

Menjerit seolah melepas beban yang menumpuk dalam pundak mereka. Kadang hanya dengan berteriak mengeluarkan emosi, perasaan yang mengendap dalam batin dapat tersalurkan.

Selesai dengan tornado, keduanya mencoba halilintar, kemudian kora-kora, gajah, ontang-anting, arung jeram dan terakhir mereka memasuki rumah boneka. Tidak semua yang dapat mereka nikmati wahananya karena waktu sudah hampir sore.

"Capek?" tanya Rangga melihat Dinda mengipas-ngipaskan telapak tangannya ke arah wajah. Rangga yang datang langsung menyodorkan sebotol minuman dingin.

"Capek belum? Apa masih ada yang pengen kamu naiki sebelum kita pulang?" tawar Rangga yang dijawab gelengan kepala.

"Hem. Udah yuk kita pulang!"
Dinda berjalan dengan lemas mengingat hari ini ia begitu lelah dan suaranya terasa habis untuk berteriak. Rangga yang menyadari langkah Dinda semakin perlahan segera menggandengnya jalan beriringan.

Dalam perjalanan pulang, Dinda tertidur dengan kepala menyender di punggung Rangga. Menyadari hal itu Rangga memelankan laju kendaraanya dan meraih tangan Dinda yang sedari tadi merengkuh pinggangnya. Digenggamnya erat tangan Dinda yang kini telah ia pindah semakin ke depan tepat di perutnya. Satu tangannya memegang kemudi dan satunya menggenggam erat punggung tangan Dinda.

Makasih, Din untuk hari ini. Mungkin setelah ini kita tak bisa saling tertawa bersama membagi kebahagiaan. Meski awalnya kita sering bertengkar tapi tahukah kamu kalau aku amat menyayangimu. Dan karena itulah aku harus pergi. Bahagialah dengan lelaki pilihanmu.

♡♡♡

"Eugh...."

Dinda mengerjapkan matanya yang terasa berat.

Saat matanya terbuka, ia merasa pernah melihat bentuk langit kamar, selimut serta perabot yang ada didalam kamar ini. Segera ia bangun dari posisinya berbaring.

Ceklek.

Pintu terbuka dan muncullah wajah Mei dari balik pintu.
"Udah bangun? Tidur apa pingsan sih dari tadi nggak bangun-bangun!" Mei menghampiri Dinda yang masih mencerna kalimat Mei.

Tidur?

Bukanya tadi ia sedang bermain wahana di Dufan bersama Rangga? Apa kencan yang mereka jalani hanya mimpi?

"Ah belum loading ya? Padahal nggak mabuk tapi udah kayak orang bego aja," ujar Mei melihat Dinda malah melamun.

"Mei ... aku di mana?" tanya Dinda akhirnya.

"Di kamarnya Rangga. Kamu tadi tidur di motor makanya sama Rangga digendong taruh sini. Masalahnya kunci rumahmu dia nggak tahu," jelas Mei membuat Dinda merasa bersalah merepotkan Rangga. Lagipula kenapa ia tidak merasakan apa-apa saat tertidur di motor Rangga?

"Lah, kok dirimu ada di sini juga?"

"Iyalah, orang Rangga yang telepon aku suruh dateng."

"Trus Rangganya mana?"

"Pergi," jawab Mei membuat Dinda bingung. Hari ini, Minggu. Dan tidak mungkin juga Rangga pergi bekerja.

"Ke mana?"

"Nggak tahu. Tapi dia nitip surat buat kamu, bentar aku ambilin."

Dinda masih belum paham kenapa Rangga pergi dan membuat surat untuknya?

Mei datang membawakan sebuah amplop. Sebelum diserahkan ke Dinda, terlebih dulu Mei berpesan. "Sorry ya, Din, aku nggak bisa jawab Rangga pergi ke mana, yang jelas setelah baca surat ini kamu yang sabar aja. Rangga tuh orang baik kok, dia nggak bakalan nyakitin kamu. Ya, meskipun kadang bikin sebel."

Diserahkanya surat Rangga kepada Dinda. Dibaca perlahan. Sesekali ia mengusap air mata yang menetes keluar bahkan semakin deras membuat Mei tak tega melihat sahabatnya sesenggukan. Diambilkanya tisu dan menyerahkan pada Dinda yang menangis. Mei yang menyaksikan hanya diam sambil menepuk-nepuk pundak Dinda menguatkanya.

♡♡♡

Seminggu berlalu semenjak kepergian Rangga. Rumah kontrakan milik Rangga kini ditempati Mei. Selama seminggu ini pula Dinda merasa hampa, saat mengajar pun tak bisa seriang biasanya. Untung saja Mei sebagai partner kerjanya amat mengerti dengan situasi sahabatnya itu hingga Mei lebih banyak membantu menyiapkan kelas daripada Dinda.

"Din, kamu masih kepikiran Rangga?" tanya Mei saat keduanya membereskan hasil mewarnai murid kelasnya.

"Ehm, nggak juga kok. Maaf ya akhir-akhir ini kamu kerjanya berat. Ntar biar aku aja yang koreksi," sanggah Dinda yang tak ingin merepotkan Mei terus menerus.

"Din, kamu jangan kayak gini, yakin Rangga baik-baik aja. Udah ya, sekarang kita pulang," hibur Mei mengajak Dinda pulang.

Mereka pun pulang bersama dengan Mei yang membonceng Dinda. Kini keduanya bertetangga yang mana membuat keduanya semakin akrab.

Sesampai di rumah, Dinda langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur. Memejamkan mata mengingat terakhir kali kebersamaannya dengan Rangga. Ah memikirkan Rangga membuat air matanya kembali menetes.

Kenapa kamu pergi, Ngga?
Kenapa kenangan manis itu mengakhiri pertemuan kita?
Kenapa kamu pergi saat kita benar-benar begitu dekat?
Kenapa, Ngga? Kenapa tepat disaat hati dan pikiran ini selalu tertuju padamu?

Drrrttttt...

Getaran pada ponsel Dinda membuatnya tersadar dari isakan tertahan mengingat kebersamaanya dengan Rangga.

"Hallo, Den.."

"......."

"Oke bentar ya?"

"......."

Dinda langsung berjalan membukakan pintu rumahnya. Tampak Denis sudah berdiri dengan jas yang selalu membalut tubunya.

"Hai, Din?" sapa Denis begitu mendapati Dinda membukakan pintu.

"Denis! Kapan sampai? Katanya seminggu di luar kotanya?" tanya Dinda begitu Denis sudah di depan rumahnya.

"Dari kemarenn. Udah lebih dari seminggu ini Din. Pasti kamu sibuk banget ya sampai lupa aku udah pergi seminggu lebih?"

"Heheh iya. Terlalu sibuk sama anak-anak jadi hari kayak cepat berlalu," bohong Dinda. Padahal ia tidak mengingat kapan Denis berpamitan pergi dan sekarang sudah datang kembali. Pikirannya begitu penuh dengan Rangga.

"Ayo masuk, Den!" Dinda mempersilakan Denis masuk.

"Hari ini Adel libur les, Din," ucap Denis begitu Dinda menyuguhkan minuman pada Denis.

"Iya. Tadi mamanya udah telepon kok katanya ada acara di rumah neneknya."

"Kamu sibuk nggak?"

"Nggak lah. Kan Adel nggak les, jadi aku free."

"Kita makan malam ya?" pinta Denis. Sejenak Dinda berpikir apa salahnya menerima ajakan Denis makan, toh dia memang belum makan.

♡♡♡

"Den, ini ada acara apa sih kok aku disuruh pakai gaun begini?" bingung Dinda melihat Denis menggandengnya ke sebuah restoran ternama namun sebelumnya ia diajak Denis membeli gaun panjang nan mewah di salah satu butik langgananya.

"Udah, tenang saja. Kita cuma makan malam kok."

Restoran yang dipilih Denis teramat mewah dengan gaya klasik. Denis sudah menyewa ruang VVIP untuk makan malam kali ini.

Begitu pelayan menyajikan makanan pembuka, Denis segera mempersilakan Dinda menikmati. Keduanya makan dengan dentingan sendok beradu dengan piring, tanpa pembicaraan. Hingga tiba pada makanan penutup, puding dengan hiasan strowberry di atasnya datang. Dinda menyendoknya perlahan. Memasukkan ke dalam mulut, merasakan lumeran cokelat meleleh di lidahnya. Dua sendok sudah ia nikmati, begitu sendokan ketiga ia merasakan sesuatu yang keras mengganjal di mulutnya. Dikeluarkan sesuatu berbentuk lingkaran sebesar jarinya itu kemudian menatap Denis di hadapanya, seolah meminta penjelasan.

"Aku tahu kita baru saja berkenalan, bahkan belum begitu mengenal masing-masing. Namun aku yakin hanya dirimu yang aku inginkan untuk selamanya. Dinda. Menikahlah denganku."

Dinda terdiam menatap Denis yang baru saja menyatakan keinginan yang amat ditunggu jutaan perempuan yang sedang menjalani hubungan dengan kekasihnya.

Tapi ia ... dan Denis? Yakinkah akan sejauh itu?

Denis begitu baik padanya, selalu mendukungnya, memberikan semua waktu dan kebahagiaan sebagai seorang teman pada awalnya.

Haruskah Dinda sanggup menerima hati Denis merangkai janji sehidup semati?

Iya ... Denis orang yang tepat. Tidak ada kekurangan dari diri Denis. Wajah, sikap, materi semua ia miliki.

Tapi sanggupkah Dinda meyakinkan hatinya menerima Denis dalam hidup sepanjang sisa umurnya bersama lelaki itu?

"Den, aku..." 

Ya. Dinda tahu jawabanya.

---------------------------

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top