You Or You --14

Rangga bertemu Mei. Pertemuan tak terduga di rumah Dinda. Setelah tiga tahun Mei pergi meninggalkannya menyesali sikap bodoh, tak berdaya menghadapi rapuh perasaan perempuan yang amat  ia sayangi itu.

Dan kini keduanya tengah mengganti waktu yang hilang tiga tahun terakhir dengan menikmati es krim di kafe dekat kantor tempat Rangga bekerja. Masih dengan seragam OB kebanggan, Rangga menjemput Mei di rumah. Mengenang saat keduanya masih bersama dahulu bahkan rasa vanilla kesukaan Mei pun tidak pernah  Rangga lupakan.

"Mei, kamu udah ketemu dia?" Dilihatnya wajah Mei berubah murung.

"Hem."

"Bilang sama aku kalau dia macam-macam!" tawar Rangga menahan emosi.

"Iya, tenang aja, Ngga, aku masih bisa atasi kok!" Senyum terpaksa tersungging di wajah manisnya.

"Sorry waktu itu aku nggak ada di samping kamu," sesal Rangga mengingat saat gadis di hadapannya dulu pernah mengalami hal terburuk dalam hidup. Sayangnya Rangga sedang tak bisa di sampingnya.

"Udah ah, nggak udah dibahas Aaaakkk!" Disendokkanya es krim vanilla milik Mei mengarah ke mulut Rangga. Rasa manis membuncah dalam mulut, mewakili rasa senangnya bertemu dengan kawan lama saat ini.

Jika beberapa hari lalu Rangga selalu sibuk di rumah Dinda atau ia yang tidak bisa izin makan di luar membuat janji bertemu, dan mengenang masa lalu terhambat.

"Kok kamu bisa ngontrak rumah sampingan ama Dinda?" tanya Mei dengan mulut penuh.

"Cuma itu yang kosong," jawab Rangga acuh.

"Beneran? Apa karena mau PDKT ama Dinda?" Selidiknya yang membuat Rangga tersedak jus melon. Melihat reaksinya Mei terpingkal-pingkal.

"Yah ... nglamun!" kekeh Mei.

"Hehehe aku cuma lagi inget zaman kita masih sekolah dulu," dusta Rangga. Tak mungkin juga mengatakan jika ia sedikit  menaruh hati dengan teman baru Mei ini.

"Habis ni mau balik ke kantor?" tanya Mei saat makanan keduanya tandas tak bersisa.

"Yah, namanya pegawai rendahan Mei. Nggak punya waktu bebas," keluh Rangga.

"Ya, pegawai rendahan tapi dompet penuh ATM unlimited. Aku bayarin kali ini mumpung baru gajian." Mei segera mengeluarkan dompetnya.

Sialan! kenapa bahas ATM segala sih.

"Baik, Bu Bos !" Dengan tangan membentuk sikap hormat padanya.

Selepas membayar di kasir Rangga mengantar Mei ke rumah, kemudian kembali ke kantor.

♡♡♡

"Rangga!" panggil Pak Denis saat beliau berjalan di belakang Rangga. Seketika Rangga menoleh dan menghampirinya.

"Ya  Pak" jawabnya sopan.

"Di ruangan saya ada Ibu Sinta, tolong kamu bawakan minuman untuknya. Saya mau keluar sebentar," perintah Denis.

Rangga  memang berada di lantai dasar karena baru saja datang dan Denis baru akan keluar. Untung saja bukan teguran,  karena Rangga terlalu lama izin keluar. Rangga sudah ketar-ketir. Bagaimana lagi. Setelah dari kafe ia harus mengantar Mei ke rumah dengan arah berlawanan dari kantor serta jarak yang menjadi lebih panjang.

"Baik, Pak" Denis melangkah keluar dan Rangga segera menuju pantry melaksanakan perintah Denis.

Setelah mengerjakan perintah, Rangga kembali disibukan dengan pekerjaan mengepel, menfotokopi berkas sesuai perintah beberapa karyawan dan membelikan camilan atau makanan di luar kantor sesuai perintah karyawan yang "sibuk" hingga tak sempat melangkahkan kakinya sendiri. Toh mereka pikir dengan sedikit tips dan jabatan mereka bisa menyuruh apa saja pada karyawan sebangsa Rangga.

***

Hari sudah menunjukkan saatnya pulang. Setelah berganti baju Rangga juga bersiap pulang namun, lagi-lagi orang itu datang menemuinya setelah dulu pernah diusir di depan teras rumah kontrakan.

"Kenapa lagi?" tanya Rangga dingin.

"Sa ... saya hanya...." Dengan tergagap menjawab pertanyan Rangga.

"Sebentar lagi. Bilang padanya tunggu sebentar lagi." Tanpa menoleh, Rangga meninggalkanya yang masih menunduk ketakutan.

Dikendarai sepeda motor dengan kecepatan penuh. Rasa kesal menyelimuti benak setelah kedatangan Orang itu.

Apakah keputusanku konyol?
Haruskah menerima paksaannya?

Gumaman dalam hati menemani perjalanan membelah kota Jakarta.

Sesampai di depan rumah, Rangga melihat ada motor Mei di halaman rumah Dinda. Dengan perasaan senang ia menghampiri masuk ke dalam ruang tamu rumah Dinda tanpa mengetuk ataupun menyapa. Ternyata Mei sedang makan mi sendirian.

"Dor...!" kaget Rangga pada Mei yang membuatnya tersedak kuah mi yang panas. Sontak Mei terbatuk-batuk dan segera Rangga menyodorkan minuman padanya.

"Kayak setan aja main masuk" gerutu Mei sambil menyeka air mata akibat tersedak.

"Kamu hobi banget sih numpang di sini. Rumah gedonganmu udah nggak guna?" sindir Rangga karena Mei yang dilihat sering menginap di sini.

"Males aku di rumah suruh buruan kawin. Kan aku cintanya sama...."

"Loh, Ngga, udah pulang ?" tanya Dinda yang baru saja selesai mandi. Terlihat handuk masih meliliti rambutnya, memperlihatkan bagian leher.

"Iya, sorry nggak permisi dulu tadi langsung masuk. Lihat ada nih cewek bening langsung pengen ke sini aja," celoteh Rangga sambil memencet hidung Mei. Kulit putih Mei yang 'bening' membuat efek warna hidung hasil perbuatan Rangga menjadi merah.

"Owh, ya udah lanjutin dulu." Dinda pergi ke kamarnya meninggalkan berdua.

"Jangan bilang kamu napsu lihat Dinda habis mandi."

"Nggak lah. Enak aja nuduh kayak aku omes aja."

"Lah kelihatan banget dirimu nelen ludah aja susah payah gitu."

"Sok tau banget. Aku mau pulang ja!" pamit Rangga sebelum Mei benar-benar membuktikan ucapannya jika ia sempat ber-omes ria.

"Stop!" yeriak Mei menghentikan langkah Rangga.

"Apalagi sih?"

"Aku ikut...," manja Mei dengan wajah imutnya membuat Rangga menghela napas.

"Hem." Mendengar jawaban Rangga, Mei begitu senang.  Ia lantas mengetuk pintu kamar Dinda untuk pamit jika ia akan bertandang ke gubuk Rangga.

Dinda hanya menjawab dari dalam kamar tanpa membuka. Mei megikuti langkah Rangga menuju rumah tepat berada di samping rumah ini.

Masuk ke dalam rumah langsung ditelitinya setiap sudut ruangan. Dari depan hingga belakang. Dari samping kanan hingga samping kiri membuat Rangga pusing sendiri melihat tingkah Mei berjalan mondar-mandir.

"Aku bobok sini ya, Ngga?" pinta Mei saat Rangga membuka baju di dalam kamar. Untung cuma buka baju atas. Kalau dibuka bawah sekalian, Mei bisa langsung minta kawin mungkin.

"Terserah, tapi kamu tidur di sofa."

"Ye ... nggak mau. Aku tidur di kamarmu. Terserah dirimu yang di sofa apa kita tidur berdua."

"Terserah maumu aja deh aku mandi dulu." Rangga sudah gerah dan ingin segera mandi.

"Kita dulu kan sering bobok bareng, Ngga."

Tak ditanggapi lagi ucapan Mei,  karena Rangga segera berjalan ke kamar mandi. Selesai mandi dengan hanya melilitkan handuk di area bawah, Rangga membuka pintu depan dan berjalan menuju teras. Diambil sebuah handphone yang baru saja dibeli tadi siang dari dalam jok motor yang memang masih kuparkir di teras rumah.

Mengambil dengan cepat kotak handphone tersebut dan berjalan masuk kembali. Dilihat tidak ada pergerakan maupun suara Mei membuat Rangga segera mengeceknya di dalam kamar.

Astaga ... dia tidur.

Dengan ide jahil, Rangga mencari ikat pinggang dan mengikatkan pada kedua pergelangan kaki Mei agar menyatu.

Setelah itu dilemparkan bantal tepat mengenai wajah Mei hingga ia terbangun. Masih dengan mengerjap-ngerjapkan mata, Mei melirik ke arah Rangga yang menenteng sebuah baskom air.

"Aaaaarrggghhhhhh!" teriak Mei begitu tahu kakinya djikat hingga ia kesulitan bangun.

Segera Rangga cipratkan air dalam baskom yang ia bawa ke arah wajah. Membuat Mei mengumpat kesal.

"Rangga! Sialan kamu. Sakit!"
Mei menghindari cipratan air dengan bantal sambil kakinya bergerak-gerak.

"Kenapa? Udah basah sekalian basah," kata Rangga tak mau kalah.

"Udah, Ngga, stop!"

Brrraaaaaaaaaaaakkkkkkk!

Seketika mereka berdua menoleh ke arah sumber suara. Pintu kamar Rangga dibuka dengan cukup keras dan di sana tengah berdiri Dinda yang menatap Rangga dan Mei bergantian.

"Aaaaaaaaaarrrrgghhhhhh!"

Mei dan Dinda berteriak bersama, membuat Rangga menutup telinga sedangkan kedua perempuan itu menutup mata dengan telapak tangan.

Hingga Rangga sadari bahwa handuknya sudah....

--------------

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top