True Love Comes From Family! (4)

Ken menjulurkan kepala ke dalam kamar. Di atas ranjang susun ada Sean yang terbaring dengan lelap, membuat Ken harus mengambil langkah pendek-pendek saat berjalan menuju meja belajarnya.

Di tangannya ada kantong kertas, isinya lalu diletakkan di atas meja. Sean pasti akan suka ini, gumamnya sambil tersenyum.

Sebuah topi dengan warna jingga yang dia dapatkan dengan uang dari pekerjaannya sebagai pramusaji di kedai kopi. Ken mengelus permukaannya seakan menghilangkan debu tipis yang mungkin menempel. Cowok itu membelinya, berpikir kalau ini adalah cara untuk membuat mereka menjadi saudara yang serasi.

Suara erangan kemudian terdengar. Adiknya sudah bangun, Ken berbalik dengan sudut bibir yang semakin tinggi.

"Sean, lihat apa yang aku--" Ken sontak terdiam, matanya membelalak tak percaya saat melihat Sean.

"Sean! Ada apa denganmu?!" Wajah adiknya dipenuhi darah, cairan merah itu masih nampak segar mengalir dari matanya. Kemudian bau menyengat segera menusuk penciuman Ken.

"Kau kakak yang buruk." Suara Sean terdengar sangat serak dan berat, Ken tahu itu bukan suara adiknya. Remaja itu langsung menjatuhkan topi di tangannya kemudian mundur perlahan karena ketakutan.

"S--Siapa kau? Di mana Sean?!"

"Kau membiarkan ayah membunuhku!" teriak Sean saat mendekat. Seketika Ken merasa udara menipis, tak mampu mengontrol napasnya dengan baik. "Aku membencimu!"

"Tidak! Hentikan! Hentikan!" Ken terjatuh duduk. Dia menunduk, menutup mata dan telinganya dengan kedua tangan. Tenggorokannya semakin tercekik, Ken sontak menangis dalam kengerian.

"Aku mohon hentikan!"

"Aku membencimu!"

"Bukan aku yang melakukannya!" teriak Ken dan mengangkat kepalanya. Ketika itu wajah Sean juga berada tepat di hadapannya, dan menemukan raut mencekam di balik darah yang tak berhenti mengalir. Seluruh tubuh Ken terasa membeku.

"Bohong!"

***

"Aaaaaaa!"

"Raaaaagghhh! Astaga!" Shiro yang sebelumnya duduk terdiam sontak melompat terkejut begitu Ken bangun dan berteriak.

"Hah! Kau membuatku kaget, Ken," ucapnya tertawa pendek, hingga tersadar kalau tidak ada yang lucu sekarang.

Sementara Ken--yang terduduk di brankar--merasakan nyeri hampir di sekujur tubuhnya. Sebelum menyadari perban yang melilit dada, lengan, dan kain kasa yang menempel di dahinya.

Dindingnya serba putih. Ada jendela besar di dekatnya yang memperlihatkan langit malam tanpa ada bintang di luar sana. Ken segera tahu ini adalah rumah sakit.

"Shiro?" Panggil Ken masih coba untuk pulih.

"Ya? Apa kau ... lupakan. Apa yang terjadi padamu?" tanya Shiro langsung. "Aku menemukanmu dan adikmu di jalanan. Kalian pingsan dan terluka, apa yang--"

"Sean?!" Ken tersentak saat baru bisa mengingat adiknya. Remaja itu mencoba untuk turun dari kasur, tetapi Shiro dengan segera menahannya.

"Hei! Kau mau ke mana? Kau sedang terluka dan butuh istirahat sekarang."

"Adikku. Di mana dia?! Di mana Sean?!"

"Dia ada di kamar lain. Aku tidak tahu apapun, tetapi kau juga butuh istirahat sekarang. Kau benar-benar terluka parah, bung."

Ken tak mendengarkan. Melainkan meronta berusaha melepaskan diri dari Shiro yang masih menahannya. Namun, tentu saja dia tidak berhasil karena terlalu lemah.

Sampai satu-satunya yang menghentikan Ken adalah ketika pintu terbuka, dan seorang pria lengkap dengan jas putihnya masuk ke dalam.

"Apa yang terjadi di sini?" ucapnya sembari memperbaiki kacamata biru di wajahnya.

Shiro memperhatikan dengan cepat pria itu, dan menemukan sebuah bros nama bertulisan Dr. Leonardo Harry.

"Uh ... halo, Dokter Leonardo. Aku hanya berusaha menahan Ken, dia memaksa ingin pergi."

"Aku harus melihat adikku, Sean," tukas Ken masih berusaha untuk bangun, tetapi Shiro juga tak membiarkannya untuk pergi.

"Tidak usah menahannya. Ken sebenarnya baik-baik saja."

Mendengar itu membuat Shiro langsung melemahkan tangannya dan kemudian menoleh pada Dokter tersebut. Sementara Ken tak memanfaatkan kesempatan yang ada untuk segera pergi.

"Ada banyak memar dan luka, terutama di dada dan kepalamu. Kau juga tidak sadarkan diri, tapi harus kukatakan kau tidak separah saat datang kemari, dan bisa sembuh dengan cepat. Lalu--"

"Lalu bagaimana dengan adikku?" potong Ken.

"Soal adikmu ...." Dokter itu terdiam sejenak untuk menghela napas. "Dia ... mengalami cedera kepala berat. Dengan berat hati harus kukatakan, adikmu koma."

Saat itu, Ken merasa tubuhnya menjadi dingin, tetapi malah terbakar di dalam. Napasnya terasa pendek begitu mendengarkan penjelasan singkat dari dokter tersebut. "Kami melakukan segala cara, saat ini adikmu berada di ICU dan--"

Tak membuang waktu lagi, Ken melompat turun dari brankar dan berlari keluar. Shiro yang sejak tadi hanya memperhatikan berusaha untuk mengejarnya.

Namun, kali ini Shiro yang ditahan pergi oleh dokter itu. "Selain keluarga pasien, tidak ada yang boleh masuk ke dalam ICU."

"Tapi pasienmu baru saja berlari," kata Shiro menunjuk pintu keluar.

"Sudah kubilang dia baik-baik saja. Percayalah."

Shiro menatap pintu itu yang masih terbuka lebar. Dia keluar dan melihat Ken sudah menghilang di sudut lorong. Lalu dokter itu juga keluar dan berhenti di samping Shiro.

"Daripada mengkhawatirkan sahabatmu, lebih baik kau pulang. Jam besuk sudah berakhir. Suhu tubuhmu juga tidak normal. Kau mungkin saja akan demam."

"Benarkah? Maksudku ... sebenarnya aku memang kedinginan." Seketika Shiro memeluk dirinya sendiri.

Sementara Ken terus berlari melewati lorong yang tengah kosong sekuat tenaganya. Remaja itu berusaha menutup wajahnya, mencoba menahan air matanya. Namun, tangisnya tetap tumpah begitu akhirnya tiba di ICU.

Tepat di hadapan brankar, dia melihat ada banyak benda-benda yang tak diketahui Ken terpasang di tubuh adiknya. Ken menunduk saat air matanya terus jatuh, kedua tangannya mengepal dengan erat.

"Kau bodoh! Kau kakak yang bodoh, Ken!" teriak Ken dan memukul keras dinding di belakangnya.

"Lemah!"

Dia memukulnya lagi meski buku-buku jarinya sudah memerah.

"Payah! Bodoh! Bodoh! Kau benar-benar bodoh!" Sampai Ken berhenti begitu saja dan menjatuhkan dirinya. Punggungnya bergetar bersama isaknya yang teredam, merasa dirinya memang selemah itu untuk melewati seluruh skenario hidup tidak adil yang dituliskan untuknya.

Dia tidak mampu menghadapi Neal yang terus menghajarnya, atau terlalu takut dengan ayahnya sendiri yang tidak berhenti menyiksanya. Tidak tahu harus apa saat ibunya tewas dan kini Sean koma karena melindunginya. Ataukah memang hidupnya hanya akan diisi penderitaan yang terus menyakitinya dan tidak akan berakhir?

***

Penderitaan benar-benar tidak berhenti saat yang berikutnya datang.

"T--Tiga puluh juta?!" tanya ulang Ken memastikan.

"Ya," balas pegawai yang berada di meja administrasi. "Harus dilunasi paling lambat dua hari ke depan."

"I--Itu ...." Ken kehabisan kata-kata, dan kemudian meninggalkan tempatnya untuk duduk di salah satu kursi.

Sebelumnya Ken bertemu dengan Dokter bernama Leonardo tersebut--yang hanya meminta dipanggil Leo--dan menjelaskan hasil pemeriksaan lebih lanjut soal kondisi Ken dan juga adiknya. Lalu diminta untuk menghubungi keluarganya.

Setelah menggunakan alasan palsu mengenai orangtuanya yang tidak bisa datang, pada akhirnya Ken sendiri yang diminta menuju meja administrasi di lobi rumah sakit. Ken sudah menduga kalau ini pasti mengenai biaya atau apapun. Lalu benar saja, akan tetapi Ken tidak menduga akan jadi semahal itu.

Di kursi itu, Kepala Ken terasa semakin membesar setiap detiknya dan berpikir tidak lama lagi akan benar-benar pecah. Mendapatkan tiga puluh juta tentu saja akan sangat mustahil. Pekerjaannya sebagai pramusaji saja setidaknya butuh sepuluh tahun, meminjam uang pun tidak akan berhasil. Ken hanya remaja biasa.

Lalu ayahnya. Ken sudah tahu ayahnya tidak akan mau.

Tolong katakan padaku kalau ini hanya mimpi ... gumamnya.

"Sepertinya tiga puluh juta adalah harga yang besar, eh?" Ken sontak mengangkat kepala saat mendengarnya, dan baru menyadari ada seseorang yang duduk di sampingnya. Pria dengan tubuh agak besar, memakai jaket vest biru tebal dan kacamata hitam. Setelah melirik sedikit lebih lama, Ken yakin pria itu tidak sedang mengajaknya bicara. Mungkin hanya perasaanku saja.

"Tentu saja aku mengajakmu bicara, Jackson. Kau pikir siapa lagi?" Ken terkejut sekali lagi lalu mendongak, dan kali ini memicingkan mata untuk memastikan. Nampak pria itu hanya menatap kosong di balik kacamatanya, tetapi Ken jelas-jelas mendengar namanya dipanggil. Apa orang ini buta?

"Aku mengajakmu bicara bukan berarti kau harus menatapku seperti itu. Kembali lah ke posisi di mana kau berharap jantungmu berhenti." Ken yang masih terperangah memilih untuk mengikuti instruksinya. Pura-pura menunduk tetapi telinganya tertuju pada pria asing tersebut.

"S--Siapa kau? Dari mana kau tahu namaku?"

"Ah, Ken Jackson. Itu mudah, aku membacanya dari gelang yang kau kenakan." Lantas Ken mengangkat tangan, dia baru melihat ada gelang pasien berwarna biru yang terpasang di sana.

"Tidak punya asuransi kesehatan? Karena tiga puluh memang angka yang wajar."

"Aku ... aku sebenarnya tidak tau. Kurasa tidak ada," jawab Ken sebisanya.

"Tidak tahu? Kenapa tidak tanya orang tuamu? Atau kau tidak punya orang tua?"

Ken terdiam sejenak, lalu menghela napas pendek. "Aku tidak ... aku punya seorang ayah."

"Jadi kau punya seorang ayah. Kalau begitu kenapa kau harus ambil pusing?"

"Karena dia tidak akan mau membayarnya." Kali ini suara Ken sedikit meninggi, dia sudah mulai kesal karena terus ditanya. "Dia tidak peduli, karena dia yang ... sudahlah. Untuk apa aku mengatakan ini, aku bahkan tidak tahu siapa kau."

"Kalau begitu apa yang akan kau lakukan?" Pria itu masih bertanya.

"Aku tidak tau." Kali ini Ken terdengar hampa. "Kuharap aku bisa melakukan apapun."

Pria itu tersenyum, walau Ken tak melihatnya. "Kalau begitu kita bisa membuat kesepakatan."

Dia merogoh saku jaketnya, dan mengambil sebuah kartu yang lalu diberikan untuk Ken. Sejenak remaja itu dibuat bingung kembali. Pikirnya itu adalah kartu nama atau apapun, tetapi hanya ada nomor telepon di sana.

"Aku akan membantumu," katanya.

Ken terdiam sejenak, memikirkan apa yang baru saja pria itu katakan, mungkin dia sedang bercanda. "Sungguh? Kau akan membantuku?"

Pria itu mengangguk, kemudian berdiri. "Kau bilang akan melakukan segalanya, bukan? Akan kubantu ...."

Dia kembali tersenyum, kali ini Ken bisa melihatnya. "Jika kau mau membunuh ayahmu."

Ken terdiam lagi. Pikirnya orang itu benar-benar sedang bercanda, tetapi sedetik kemudian dia menyadari tak ada yang tengah bergurau di situasi seperti ini.

"K--Kau bilang apa?" tanya Ken masih tidak percaya. "Bunuh ...?"

"Jika kau sepakat, silakan bunuh ayahmu lalu hubungi aku, tapi aku tidak akan menawari dua kali." Pria itu lalu pergi dengan santai, tak sedikitpun berbalik bahkan setelah melewati pintu. Meninggalkan Ken yang masih membeku di tempatnya.

Dia bersitegang dengan kepalanya sendiri. Apa itu tadi? Apa dia serius? Ken sampai kesulitan bernapas hanya untuk berpikir. "Membunuh? Membunuh ayah?"

Ken tahu dia bahkan tidak pernah menyakiti siapapun dalam hidupnya. Justru sebaliknya, Ken menghabiskan hidupnya menjadi seorang korban. Menjadi orang yang lemah dan berakhir kalah. Jika kini Ken harus melawan balik, apa dia mampu?

Lalu dia ikut meninggalkan rumah sakit. Langkahnya tertatih terutama saat melewati tangga. Di trotoar yang sudah benar-benar sepi, Ken beberapa kali memelan sebelum berjalan kembali.

Ken menggigit ujung bibirnya. Seakan seluruh hidupnya yang penuh penderitaan baru saja melintas. Sean berada di sana sampai akhirnya dia sekarat, orang terakhir yang melindungi Ken. Sekarang keadaannya terbalik, Ken adalah orang terakhir yang dapat menyelamatkan Sean.

"Akan kulakukan apapun ...."

Ken mulai berlari. Kepalanya terangkat tinggi, matanya menghitam dengan napas hampir memburu. "Ayah ...."

Tak memelan sedikitpun, meski dadanya terasa menghimpit, Ken tak mencoba untuk berhenti. Karena api telah menyala di dalam dirinya.

"Kau harus membayar ini!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top