True Love Comes From Family!

Terlalu lama. Sudah lebih dari sejam. Mereka sudah sangat jenuh, bahkan staf itu juga berpikir tidak seharusnya kedua murid tersebut berada di ruang detensi sampai kelas berakhir hanya untuk pelanggaran ringan.

"Kalian tunggu di sini sampai aku kembali." Staf itu keluar, mungkin menuju kantor guru untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi.

Ken dan Lucy menunggu dalam diam. Pikir mereka ini akan membutuhkan waktu dua menit, tetapi staf tadi kembali dalam beberapa detik. Tidak sendirian. Dia bersama seorang murid lain yang tengah tersenyum aneh.

"Shiro?"

Cowok itu melambai. Sementara staf itu menyilangkan tangannya cemberut. "Kalian benar-benar beruntung."

Keduanya masih tidak mengerti. Mereka hanya diminta untuk meninggalkan tempat itu dengan segera. Sementara Shiro dengan santai berjalan paling depan dengan kedua tangan berada di belakang kepalanya.

"Shiro, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Lucy sudah tidak sabar.

Dia berbalik dan menampilkan senyuman anehnya lagi. Lalu bolak-balik menatap kedua wajah yang semakin penasaran tersebut. Baru saja akan membuka mulut dan suara gemerisik terdengar dari pengeras suara di atas mereka.

"Selamat pagi, Ischar High. Kami ingin mengumumkan kalau sekolah harus segera dikosongkan dalam satu jam ke depan. Silahkan keluar dengan tertib dan langsung pulang ke rumah."

"Itu. Karena itu ...," jelas Shiro. "Guru Fisika kita memintaku untuk membebaskan kalian. Jadi bisa dibilang kalian selamat. Mungkin. Entah mungkin besok atau kapan kalian akan tetap berurusan dengan konselor, tetapi hari ini kalian beruntung."

Shiro mengedikkan bahu kemudian berjalan kembali menuju lokernya. Ken dan Lucy hanya saling menatap mendapati nasib baik mereka. "Omong-omong apa yang terjadi? Tiga hari sebelumnya kita juga harus pulang lebih awal."

"Siapa yang peduli. Apapun untuk waktu sekolah yang pendek," terang Shiro seakan wajahnya ditumbuhi bunga-bunga.

Masih dalam perjalanan, mereka disambut beberapa orang yang tiba-tiba muncul. "Lucy? Kudengar kau baru saja dari ruang detensi."

"Hei, Alisha."

Gadis berambut merah muda itu kemudian beralih pada Ken. "Kulihat kau bersama murid baru itu? Hai, Ken, kau masih ingat padaku, kan?"

Hanya anggukan, dan Alisha sudah cukup senang. "Baguslah kalau begitu."

"Alisha. Ayolah, kita harus pergi sekarang." Laki-laki dengan kemeja kotak-kotak di sampingnya yang hanya bermain ponsel memanggil, sepertinya sedang terburu-buru. Cewek itu memberi anggukan lain, dan akhirnya mereka pergi.

"Sampai jumpa," ucapnya sebelum itu.

Lucy melambai padanya. Ken hanya berdiri terdiam menatap mereka berdua menghilang di belokan lorong.

"Kau sepertinya kebingungan." Cowok lainnya yang tadi bersama Alisha kemudian memanggil. "Dia saudara kembar Shiro. Namanya Cyan."

Laki-laki yang memakai hoodie dengan headphone yang mengalung di lehernya. Orang-orang di sekolah ini sepertinya sangat menyukai hoodie.

"Ouh. Itu menjelaskan," paham Ken.

"Benar juga. Kau pasti terkejut kami punya wajah yang sama," tambah Shiro. Ken memang merasa demikian. "Jangan khawatir, kau bisa dengan mudah membedakan kami. Aku seratus kali lebih keren daripada Cyan."

"Dalam hal apa?" tanya Lucy ingin menggodanya. "Dia masuk sepuluh besar, dia anggota dewan--"

"Dan dia berpacaran dengan Alisha," sambung laki-laki itu.

Wajah Shiro lantas memerah. "Hei, aku kapten tim sepakbola sekolah ini."

Keduanya lalu tertawa dengan puas, Ken yang memperhatikan ikut terkekeh.

"Oh, yah. Omong-omong, Aku Sera Sphere. Senang akhirnya bisa bertemu denganmu. Ken, Si Topi Pink," lanjutnya memperkenalkan diri. "Shiro sering membicarakanmu."

"Membicarakanku?"

"Yah. Panggilan video. Kebiasaan kami setiap malam," jelas Sera.

"Sudahlah. Sera aku mau makan sebelum pulang," panggil Shiro.

"Ya, aku juga lapar." Kedua laki-laki itu akhirnya pergi.

Seketika sudut bibir Ken turun. Dia harus pulang. Ken belum mau pulang, dia sangat takut untuk kembali ke rumahnya. Kondisinya sekarang pun dirinya memang tidak boleh ke sekolah, tetapi berada di sana justru jauh lebih buruk.

Walau Sean sudah menjelaskan kalau ayahnya sedang keluar dan kembali entah besok, tetapi dia tidak pernah menyukai rumah lamanya itu. Terlalu banyak kenangan buruk, terlalu banyak rasa sakit.

"Bagaimana denganmu, kau mau makan?" Ken sontak berbalik begitu Lucy memanggil. Dia bahkan tidak tahu gadis itu masih ada di sana.

"Kukira kau pergi makan siang dengan mereka."

"Aku sebenarnya tidak begitu lapar," ujar Lucy mengangkat bahunya pendek.

"Aku juga, tapi ... aku belum mau pulang," suara Ken terdengar lebih pelan.

Kepala Lucy terangkat sedikit, dagunya ditekan kecil dengan telunjuk. Sampai sebuah lampu kuning menyala terang di atasnya. "Kita masih punya kurang lebih satu jam sebelum sekolah dikosongkan. Bagaimana kalau kita mulai tur sekolahmu? Seperti yang kujanjikan."

Dahi Ken lantas terangkat. Dia bahkan sudah lupa soal itu, tetapi tur bukanlah pilihan yang buruk, malah dia sebenarnya tidak punya pilihan apapun.

"Ya. Aku mau," jawabnya.

Mendengarnya membuat Lucy tersenyum merekah. "Kalau begitu mari kita mulai dengan gedung C."

***

Ischar High katanya salah satu sekolah terbaik di kota. Gedung besar dengan fasilitas lengkap membuat banyak orang berpikir kalau sekolah ini berada dalam taraf internasional.

Sekolah terbagi dalam tiga gedung utama yang dinamai sederhana, gedung A, B, dan C. Gedung A khusus untuk kelas dan loker siswa. Gedung B khusus untuk ruangan penunjang seperti auditorium, laboratorium, ruang seni, dan sebagainya.

Gedung C adalah yang terluas dan kebanyakan murid-murid menghabiskan waktu mereka di sini. Seluruh gedung disediakan untuk kegiatan klub, dan ini termasuk lapangan basket, kolam renang, arena panahan, ruang musik, bahkan dapur untuk klub masak.

"Jadi kakakmu adalah ketua klub renang?" tanya Ken, dan Lucy membenarkan. Cowok itu mengangkat alisnya tanda terkesan. "Dan kau bergabung dengan klub memasak? Aku bahkan tidak tahu sekolah ini punya dapur untuk klub memasak."

"Ya, tapi aku lebih sering membantu ibuku di kedainya daripada memasak di sekolah."

Sudah hampir 20 menit sejak Ken memulai turnya. Dia tidak menyangka akan menemukan banyak hal-hal menarik di sekolah barunya.

"Ini dojo, sekolah sendiri hanya punya klub taekwondo dan mereka biasa latihan di sini." Walau mereka tidak benar-benar masuk, Lucy hanya menjelaskan dari pintu masuk. "Akan kupastikan kau bertemu dengan Lang Fisher saat dia pulang."

"Siapa itu Lang?"

Mereka terus berjalan--kali ini keluar dari gedung menuju lapangan sepakbola lalu terus ke belakang--sebelum Lucy menjawab. "Lang Fisher. Dia atlet taekwondo kebanggaan sekolah. Baru saja menyelesaikan pertandingan kejuaraan Nasional. Dia juga sudah mendengar banyak tentang kau dari Shiro."

"Shiro? Apa dia memang suka membicarakanku?"

"Dia suka membicarakan orang-orang. Hampir setiap malam kami selalu melakukan panggilan video. Aku, Rick, Alisha, Shiro, Cyan, Lang, Sera, dan Andy. Kebanyakan pembicaraan kami hanya memang membicarakan orang-orang."

"Jadi kalian ... tukang gosip?" Mereka tertawa. Keduanya berhenti tidak lama. Mata Ken bersinar terang begitu menemukan pemandangan begitu indah berada di hadapannya. Sebuah rumah kaca dengan banyak bunga-bunga indah di dalamnya.

"Terakhir, rumah kaca. Milik klub kebun. Andy ketuanya sekarang," lanjut Lucy. Ken sampai menyandarkan telapak tangannya di dinding kaca untuk melihat lebih jelas. Begitu cantik dari tempatnya memperhatikan, semua bunga itu tumbuh dengan subur dan tertata rapi.

"Ini sangat indah." Ken tak mampu menyembunyikan rasa terkesannya. "Tadi kau bilang Andy juga ketua klub kebun?"

Lucy mengangguk. Ken lalu berkata, "Rick ketua klub renang, Shiro kapten tim sepakbola, Cyan anggota dewan siswa, Andy ketua klub kebun. Kau anggota klub masak. Apa ada yang aku lewatkan?"

"Ya. Sera salah satu pemain basket di sekolah, Alisha juga atlet panahan."

Ken hanya bisa menggaruk tengkuknya. Lucy lalu mengajaknya untuk pulang sekarang. "Bagaimana kalian semua bisa berteman? Maksudku, tidak semua orang akan menghabiskan waktu dengan temannya setiap malam dengan panggilan video."

Lucy berhenti sejenak dan sontak membuat Ken terkejut, tetapi gadis itu lalu mengatakan, "kami punya kesamaan."

"Kesamaan?"

"Tadi pagi kubilang kalau ayahku menikah dengan ibunya Rick. Sebenarnya ibu kandungku tewas dalam kecelakaan mobil."

Mata Ken melebar seketika. Sementara itu Lucy terus melanjutkan walau kepalanya mulai menunduk. "Itu kesamaan kami. Kami semua tidak bisa merasakan kasih sayang orangtua dengan sempurna."

Remaja itu berdehem, dengan hati-hati memilih kata yang pas. "Maksudku, kalian semua ... orangtua kalian ...."

"Ya," pungkasnya. "Cyan dan Shiro kehilang ibunya saat masih kecil. Sera bahkan tidak mengenal orangtuanya sama sekali, dia tinggal dengan seorang ayah angkat. Ibu Lang tewas saat dia dilahirkan. Kedua orangtua Andy dinyatakan menghilang saat bertugas dan sekarang tinggal bersama neneknya."

"Itu ...." Ken masih tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Namun, jauh di dalam hatinya dia merasa mengerti mereka semua. Ingin mengatakan dengan keras kalau ibunya sudah tewas, tetapi untuk apa? "Aku benar-benar ...."

"Jangan khawatir. Itu hanya sesuatu yang kami rasakan saat masih kelas sembilan. Sekarang kami berteman dengan banyak orang." Lucy menaikkan senyumnya. "Maksudku ... kau juga temanku sekarang, Ken."

"Teman?" Ken dibuat lebih terkesiap. Lucy malah tertawa melihatnya seperti itu, yang terjadi justru cowok itu merasakan denyut yang hebat di dadanya. Sesuatu seakan beradu di dalam sana. "Kita ... teman?"

"Ya, tentu saja. Kau pikir kenapa aku melakukan semua itu kalau kita bukan teman?"

"Tapi ...." Ken kehabisan kata-kata. Dia merasa senang, harusnya dia senang, bukan begitu? Ken berpikir akan kesulitan mendapatkan teman dan ternyata tanpa menyadari sedikitpun sudah mendapatkannya. Namun, di satu sisi dia merasa aneh, dan ketakutan.

"Kasih sayang orangtua?" gumamnya.

***

Dengan terburu-buru, tiga laki-laki itu menuju gudang sekolah. Sebenarnya mereka berempat, tepatnya ada satu orang lagi yang diseret paksa.

Begitu tiba di gudang, mereka dengan kasar melempar masuk laki-laki yang keempat sampai menyambar tiang-tiang kayu yang bersandar hingga jatuh. Topinya terlepas, kepalanya terasa sangat sakit. Teriakannya keras, tetapi tak didengarkan siapapun karena pintu langsung ditutup.

"Apa yang kalian lakukan?!" protesnya tidak terima. Dia sontak berdiri untuk membalas, tetapi dengan cepat sebuah bogem mentah mendarat di pipi kanannya hingga dia terjatuh lagi.

"Apa yang kami lakukan? Tentu saja memberimu pelajaran, dasar penjahat," balas remaja yang memukulnya tadi dengan amarah yang tinggi.

"Ya, Ken. Setelah apa yang kau lakukan pada Gina, dan kau kembali ke sekolah dengan wajah tak bersalah? Apa yang sebenarnya kau pikirkan?"

Ken merasakan asin di bibirnya, tetapi api di dalam dadanya menyala lebih terang. Napasnya jadi mengejar saat dia berhasil kembali untuk berdiri.

"Sudah kubilang aku tidak melakukannya! Apa kalian tidak mendengarnya dengan jelas?! Polisi sendiri juga--"

Belum bahkan selesai bicara dan laki-laki tadi kembali memukul Ken, kali ini di perutnya. Bukan hanya sekali, tetapi beberapa kali sampai menahan tubuh Ken agar tidak terjatuh. Saat puas, Ken dipaksa untuk duduk dengan rambutnya ditarik ke atas.

"Kau pikir aku percaya dengan polisi-polisi itu? Kau orang terakhir yang bersamanya. Kau menghancurkan hidupnya. Kau menghancurkan masa depan Gina."

Lututnya naik dengan cepat, dan mengenai dagu Ken keras. Kali ini remaja itu hanya bisa terbatuk dan memuntahkan darah.

Dia masih belum berhenti. Kerah baju Ken ditarik naik, memperlihatkan wajah yang sudah babak belur itu. Satu tangan sudah terangkat, siap memukul lagi. Namun, sebelum mendarat, tangannya segera ditahan.

"Kurasa itu sudah cukup, Neal. Kau bisa membunuhnya."
"Kau kira aku peduli? Dia Ken. Dia pantas untuk dibunuh."

"Kawan, kau bukan kriminal. Kau lebih baik daripada dia."

Remaja bernama Neal itu sempat terdiam, dan kemudian melepaskan Ken yang bahkan tak lagi bisa melakukan apa-apa. "Kau benar, aku tidak akan membunuhnya, tetapi aku akan terus memukulnya setiap kali aku melihatnya."

Lalu Neal dan kedua temannya pergi. Meninggalkan Ken yang masih berjuang untuk bangkit. Dia tidak hanya merasakan sakit di tubuhnya, hatinya hancur di dalam sana.

Tangis tak lagi dapat ditahan. "Bukan aku yang melakukannya ...." Suaranya begitu pelan, tetapi Ken berusaha mengumpulkan seluruh tenaganya sebelum kemudian berteriak dengan kencang.

"Bukan aku yang melakukannya!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top