Something Wrong Happened Here! (2)
Menghitung dua minggu sejak Sean Jackson terbaring di rumah sakit, dan kondisinya masih tak menunjukkan tanda-tanda kalau anak itu akan sembuh dalam waktu dekat, bahkan lebih buruk. Meski begitu Ken tetap rutin berkunjung. Biasanya akhir pekan, karena di hari-hari lain dia harus bekerja di kedai kopi atau melatih permainan biolanya bersama klub musik sekolah.
Sekarang hari Sabtu. Ken sudah bersiap ke halte bus bersama topi merah muda favoritnya sebelum sebuah sedan hitam parkir di depan rumahnya. Seorang pria dengan setelan kemeja kotak-kotak biru dan celana coklat panjang keluar dari sana.
Ken tahu siapa orang itu, meski sempat lupa namanya. Beruntung dia memperkenalkan diri. "Ken Jackson. Kita bertemu lagi. Masih ingat aku, kan? Clay Ashtray, ICPD. Bagaimana kabarmu, anak muda?"
"Tentu, Sir. Aku masih ingat, dan aku baik." Ischar City Police Department. Mereka sudah bertemu dua kali sebelumnya, dan masing-masing dalam agenda yang tidak menyenangkan. Pertama adalah saat kasusnya bersama Gina. Clay salah satu detektif yang melakukan penyelidikan dan memberikan bukti bahwa Ken tidak bersalah dan pelaku yang asli tak pernah diketahui—meski bantuan tersebut tidak begitu menyelamatkan Ken.
Kedua adalah kematian ibunya.
Ken tak menduga apapun soal kemunculan polisi tersebut di sini. Tidak bahkan berpikir kalau mungkin ada sesuatu tentang perkembangan kematian ibunya.
"Apa ... Anda butuh sesuatu, Sir?"
"Ya, anak muda, tapi sepertinya kau ingin ke suatu tempat?" tanya Clay setelah memperhatikan penampilan Ken dari atas ke bawah. Sebenarnya tak ada yang mencolok selain topi itu. Entah bagaimana detektif tersebut dapat menyimpulkan demikian.
"Ya. Sebenarnya aku ingin ke rumah sakit."
"Ah, kalau begitu aku minta maaf karena harus memintamu menunda kunjungan itu. Aku harus membawamu ke kantor polisi."
Ken terdiam sejenak. Memikirkan kalau mungkin Clay benar-benar punya perkembangan soal kasus kematian ibunya, bisa jadi polisi telah mengubah status kematian tersebut dari bunuh diri menjadi pembunuhan. Ken hanya dapat menduga hal tersebut.
"Baiklah, Sir. Tentu." Clay tersenyum, dan meminta Ken segera masuk ke mobil. Saat di depan pintu lah Ken baru menyadari satu hal.
Dia baru ingat kalau ada satu orang lagi dari keluarganya yang sudah tewas. Dia, ini mungkin dia. Ini pasti dia. Ayahnya. Sungguh aneh dan bodoh Ken sampai lupa hal tersebut hanya karena Nen telah membuang mayatnya di jurang. Sejak awal pria itu sudah memperingatkan kalau Ken harus bersiap. Artinya siap saat polisi akan mencarinya.
Dia sudah terlanjur menyetujui perintah Clay. Seharusnya memang Ken bertanya dulu sebelum masuk ke mobil. 'Kenapa aku harus ke kantor polisi?', 'Apa ada sesuatu, Sir?', 'Aku tidak bisa pergi, adikku menunggu di rumah sakit'.
Ken tak pernah mengatakan apapun meski mobil sudah melaju. Mobil yang mungkin akan mengantarnya ke balik jeruji besi. Dia teringat kembali dengan mimpi-mimpi buruk yang selalu terjadi akhir-akhir ini. Melihat saat orang-orang di dekatnya menunjuk Ken sembari mengatakan kalau dirinya adalah pembunuh.
Mungkin sebenarnya itu bukanlah mimpi, tetapi ramalan. Lagi pula dia memang pembunuh, dan Ken juga sadar kalau dirinya kini resmi menjadi penjahat yang selalu orang-orang dan ayahnya sendiri katakan.
***
Rasanya sangat berbeda seperti kunjungan-kunjungan sebelumnya. Dulu lorong kantor polisi selalu terang meski menyedihkan. Ken selalu mendapat kabar buruk di tempat ini.
Kali ini dia sudah dapat memastikan akan mendapatkan kabar buruk lainnya, tetapi bedanya dalam keadaan gelap dan mencekam, seakan ada sesuatu yang akan menyekap Ken di belakang, menutup kepalanya dengan sebuah karung goni sebelum melemparnya ke sel bawah tanah yang berbau kotoran.
Itu hanya imajinasinya. Otaknya banyak melakukan hal aneh belakangan ini. Ken bertanya-tanya apakah itu efek samping setelah membunuh seseorang? Apa mungkin semua pembunuh di dunia ini juga suka berandai-andai tentang sesuatu.
Ken nyatanya tidak ke mana-mana selain bertemu dengan satu detektif lain yang juga telah dikenalnya. Kali ini Ken bisa mengingat namanya. Dia juga lebih rapi dengan seragam kepolisian Ischar yang dikenakannya.
Pria itu duduk di mejanya sembari menuliskan sesuatu, dan tidak menyadari seseorang baru saja masuk sampai Clay akhirnya memanggil. "Hansel, dia sudah di sini."
Begitu mengangkat kepala, detektif tersebut segera menyambut. "Ken Jackson. Senang bisa bertemu denganmu lagi."
Ken tidak langsung menjawab, butuh waktu lama karena udara terasa makin tipis baginya. Kedua tangan dan kakinya bergetar hebat, Ken berusaha sekuat tenaga agar polisi-polisi di dekatnya tak melihat itu. "Sir, ya. Aku juga senang bisa bertemu dengan Anda kembali."
Hansel mempersilahkannya mengambil duduk. "Bagaimana kabarmu, Ken?"
"Aku baik ... kurasa."
"Kau rasa? Kudengar adikmu ada di rumah sakit."
Kali ini Ken hanya mengangguk kaku, takut kalau berbicara maka mereka akan bertanya apa yang terjadi, dan itu berarti harus menyebut nama ayahnya. Sejujurnya Ken tidak tahu harus apa. Karena meski sangat ketakutan, dia juga tidak bisa lagi menunggu kapan Hansel atau Clay akan menyebut nama ayahnya.
"Semoga dia segera sembuh," ucap Clay. Pria itu sendiri tidak duduk, melainkan berdiri di samping Ken. Remaja itu juga khawatir kalau-kalau Clay mungkin akan memegang pundaknya dan dapat merasakan tubuh yang gemetar itu. Untungnya hal tersebut tidak pernah terjadi.
"Bagaimana dengan ayahmu, apa dia baik?" Ini dia. Seluruh ruangan kini terasa sangat sempit dan seolah-olah membangkitkan klaustrofobia Ken yang sebenarnya tidak ada. Gugup menguasainya, dia harus mengatakan sesuatu, tetapi lidahnya kaku seperti daging dalam freezer.
Menyikapi hening yang tak wajar tersebut, Hansel kembali bertanya. "Apa ayahmu sedang pergi?"
Namun, Ken masih belum mengatakan apapun selain mulutnya yang setengah terbuka.
Hansel kini memperbaiki posisi duduknya, menaruh kedua tangan di meja lalu meminta agar Ken mengangkat kepala.
"Sejauh yang kuketahui, ayahmu adalah seorang pekerja kantoran yang sering melakukan perjalanan keluar kota. Apa dia sedang keluar kota, Ken?"
"A–Aku tidak tau, Sir."
"Tidak tahu? Dia tidak mengabarimu?" Ken menggeleng lagi.
"Kenapa ayahmu tidak mengabarimu? Atau kau tidak pernah menghubunginya? Bukankah adikmu sakit?" Hansel yang tak berhenti bertanya membuat kepala Ken terasa ingin pecah. Dia berharap ini seperti mimpi-mimpi konyol yang selalu tiba-tiba muncul, tetapi setiap detik duduk di sana semakin menyadarkan Ken kalau kali ini adalah situasi yang nyata.
Hingga raut wajah Ken berubah seketika. Rahangnya turun bersama kedua tangan yang tiba-tiba memukul meja. "Aku tidak mengerti maksud Anda, Sir! Apa yang sebenarnya ingin Anda bicarakan?! Mengapa membawaku kemari?! Dan apa hubungan semua ini dengan ayahku?!"
Hansel tersentak, Clay juga. Sepertinya bukan sesuatu yang sering ditemui kedua polisi tersebut. Bagi mereka tak ada alasan jelas mengapa Ken sampai marah, remaja itu sendiri juga tidak menyangka akan melakukannya, dan sedetik kemudian langsung menyesal. Ini tindakan yang salah. Mereka pasti sudah semakin curiga.
Setelah jeda singkat atas situasi panas barusan, Clay segera berpindah ke samping Hansel. "Dengar, anak muda, maaf jika ada sesuatu yang membuatmu merasa tidak nyaman. Hanya saja, kami berdua adalah detektif, dan bukanlah hal aneh jika kami mengetahui banyak hal, termasuk hal-hal privasi."
"Ya, tapi apa maksudnya?"
"Maksudnya, kami tahu orangtuamu bercerai, dan bagaimana hubunganmu dengan ayahmu tidak baik, dan mungkin masih belum baik. Jadi Hansel hanya ingin memastikan, apa kau tahu sesuatu tentang ayahmu? Apa dia mengabarimu sesuatu? Atau apapun?"
Hansel meraih tangan Clay, menghentikannya bicara. "Ken ...."
Tatapan pria itu kemudian berubah menjadi tegas. "Kami menemukan ayahmu sudah tidak bernyawa di perbatasan kota." Iris Ken melebar. Akhirnya polisi-polisi itu menyampaikan inti pembicaraan yang telah diketahuinya sejak awal.
"Jatuh ke dalam jurang bersama mobilnya. Kemungkinan waktu kematian adalah tiga hari saat mayatnya ditemukan."
"Dan sepertinya kau masih belum tahu kalau ayahmu sudah tewas ...." Clay melanjutkan dengan suara yang lebih hangat. Berpikir penjelasan Hansel yang terdengar kaku itu akan membuat Ken menangis, marah, atau mungkin pingsan.
"Tewas?" kata Ken terkejut, di mulutnya. Sementara hatinya menambahkan: 'ya, dia tewas, aku sudah tahu, karena kebetulan aku yang membunuhnya, dan seseorang juga membantu membuang mayatnya ke jurang'.
"Dia tewas ...? Kalian bilang ayahku tewas?" Ken pura-pura ingin menangis. Dia pikir dirinya harus menangis sekarang, tetapi tak ada sedikitpun air mata yang jatuh.
Sementara itu giliran kedua polisi tersebut yang terdiam. Hansel menutup matanya lalu menghela napas, sementara itu Clay menunduk dan membisikkan dengan pelan, "aku turut menyesal, Ken."
Hansel juga mengatakan hal yang sama. Tiga kali mereka bertemu, dan selama tiga kali ini hanya untuk memberinya berita buruk. "Maafkan kami, Nak, karena harus terus memberimu kabar yang seperti ini."
Sudut bibir Ken naik-turun, tak dapat mengendalikan diri antara ingin menangis agar nampak berduka tetapi takut terlihat tidak natural, atau mungkin tersenyum untuk disangka tegar tetapi takut dikira sudah gila.
Alam bawah sadarnya memilih yang kedua. "Apa hanya itu yang ingin Anda bicarakan, Sir?" tanya Ken setengah berbisik.
Kedua polisi itu saling bertatapan. Setelah Hansel mengangguk, mereka berdua mulai menanyakan lebih banyak pertanyaan, dan Ken menjawab seperti sebelumnya. Sebagian besar dengan gerakan kepala atau kata-kata yang singkat. Dia tak menyangka akan melakukan ini, pun tak mengira akan berhasil. Ken baru saja membohongi dua detektif.
Ketika akhirnya pembicaraan tersebut berakhir, mereka berpamitan, dan Clay meminta agar Ken berdiri untuk keluar. "Akan ku selesaikan ini semua, Ken. Aku berjanji akan menemukan jawabannya," ucap Hansel saat Ken masih ada di ambang pintu, tetapi remaja itu tidak berhenti untuk mendengarkan.
Melainkan berhenti saat mendekati pintu keluar menuju halaman depan kantor polisi. Clay ikut berhenti. Ken menatap keluar, memperhatikan langit yang sudah jingga. "Apa Anda akan mengantarku pulang?"
"Tentu saja. Aku yang membawamu kemari. Atau mau ke suatu tempat? Masih ingin ke rumah sakit?"
"Ya ... maksudku. Terima kasih, Sir. Hanya saja, aku ingin sendirian untuk sekarang."
Dahi Clay terangkat. "Kau serius?"
Ken menyunggingkan senyum kecil, lalu mengangguk. "Aku akan baik-baik saja, sungguh."
Clay sejenak terdiam, bimbang antara harus mengikuti keinginan anak itu atau tidak. Baginya, seorang detektif harus selalu memikirkan segala kemungkinan, dan seorang remaja yang untuk kedua kalinya mengetahui ada seseorang di keluarganya yang mati, kemungkinannya untuk menyakiti diri sendiri atau bahkan bunuh diri sangat besar.
Namun, dia menepis segala kemungkinan itu dengan sebuah anggukan. "Baiklah, tetapi jangan ragu menghubungi kami jika ada masalah."
"Tentu, Sir, dan terima kasih." Ken beringsut pergi. Ketika mencapai trotoar dia berdiam diri kembali untuk waktu yang lama. Senyum itu perlahan turun dan berubah datar saat memperhatikan orang-orang yang lewat serta mobil derek putih yang terparkir di seberang jalan. Barulah setelah jeda panjang tersebut Ken berjalan maju dan langsung masuk ke mobil tersebut.
Seseorang duduk di kursi pengemudi, dan Ken disambut dengan siulan pendek. "Akting yang bagus. Aku sangat terkesan. Kau bisa mendapatkan penghargaan untuk itu."
"Sejak kapan kau ada di sini, Nen?" tanya Ken langsung. "Dan bagaimana kau bisa mendengarkan semuanya? Melacak alamatku adalah satu hal, tapi ini kantor polisi."
"Tempat itu? Kau pikir sulit masuk ke sistemnya? Kantor polisi bahkan lebih mudah daripada sekolah. Juga biar kuingatkan kembali, Ken, aku bekerja untuk sebuah organisasi besar, dan kau pikir tidak ada seorang polisi di organisasi besar itu."
Mulut Ken terbuka, hampir tak percaya. "Baiklah, lupakan soal Black Soul-mu itu. Apa yang kau lakukan di sini, Nen."
"Dark Soul, dan aku hanya mampir. Ingin melihat bagaimana kau melaluinya. Jadi seperti apa rasanya? Mendebarkan? Menyedihkan? Apa ada sesuatu yang menyuruhmu berteriak 'aku yang membunuh ayahku'?"
Nen mulai menunjukkan senyuman aneh itu lagi, dan kali rasanya semakin mengintimidasi saja. "Sudah kubilang kau harus siap."
"Baiklah, aku sudah mengerti. Kau puas?"
Nen tertawa keras, entah mengapa. Ken yakin kalau dia tidak mengatakan hal yang lucu. "Dasar remaja. Omong-omong, kau suka sushi?"
***
Malam sudah naik saat mereka berdua tiba. Ken tak menyangka akan dibawa sejauh ini bahkan hampir mencapai perbatasan kota. Awalnya dia pikir Nen ingin kembali ke jurang tempat mayat ayahnya dibuang, tetapi pria itu memang mengajaknya ke sebuah restoran Jepang.
"Hei, aku orang Asia. Shigihara, ingat? Dari wajahku juga sudah jelas," singkap Nen saat menemukan raut yang terkejut.
"Tentu saja aku tahu, tapi kita melewati banyak restoran sushi tadi. Kenapa malah jauh-jauh ke sini? Apa karena ini dekat dengan tempat kita 'melakukan bisnis'?" tanya Ken mengutip jarinya.
Nen tertawa singkat. "Kau terlalu buruk sangka. Aku hanya lebih suka sushi di tempat ini, terasa lebih ... otentik."
Saat keluar mobil, Nen melanjutkan, "dan aku butuh juga tempat aman untuk berbicara denganmu."
Ken sudah menduga kalau Nen tidak sekedar melihat bagaimana interogasinya berjalan, dan sudah jelas pula kalau ini tentang sesuatu mengenai organisasi anehnya itu. Sudah terlalu malam untuk kembali ke rumah sakit, jam besuk pasti akan berakhir saat dia tiba di sana.
Remaja itu segera menyusul masuk, mengambil duduk di samping Nen yang sudah bersama piring-piring dari sushi roll dan sebotol alkohol. Mungkin sake. Seisi restoran ternyata sangat sepi, hanya ada kedua laki-laki itu dan seorang koki yang bahkan tak mau menatap mereka.
"Kau mau?" Nen menawari minumannya.
"Kau tahu aku tidak boleh meminum itu."
"Sekarang kau takut melakukan hal ilegal?" Sekali lagi pria itu tertawa puas saat menemukan Ken memalingkan wajahnya yang sudah memerah.
"Aku tidak mau mabuk, dan belum mau."
"Tenang lah, aku hanya menggodamu." Nen masih tertawa hingga cukup membuat koki tadi mengangkat kepala, tetapi kemudian menjauh. Mungkin alasan sebenarnya mengapa Nen memilih restoran ini karena tak ada banyak pengunjung dan tukang masaknya cuek.
"Jadi apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Ken langsung, dan tetap memelankan suara.
Setelah selesai dengan beberapa sloki dan sushi-nya, Nen menjawab, "kurasa sudah jelas. Ini tentang Dark Soul."
Ken menghela napas. "Dengar, aku hargai segala bantuan dan tawaranmu. Aku bahkan sangat senang adikku bisa menjalani pengobatannya dan ayahku yang bajingan itu bisa tewas, tapi aku tidak bisa bergabung." Ken mengangkat kedua tangan, menatap telapak tangannya dan membayangkan masih ada darah milik ayahnya di sana. "Tidak lagi. Tidak akan pernah."
"Keberuntungan tidak datang hingga dua kali, Ken. Mungkin polisi-polisi itu memang belum menanyakan banyak hal, tapi mereka mencurigaimu, dan percayalah padaku kalau nomor satu dari daftar tersangka mereka adalah namamu. Kau sungguh ingin berada di balik jeruji besi lalu adikmu terbangun dari komanya dan tidak menemukanmu? Atau ayahmu? Akui saja, Ken. Kau masih butuh bantuanku."
Ken belum memikirkan hingga sejauh itu, dan Nen ada benarnya. Baginya semua ini sudah selesai dan tersisa menunggu adiknya untuk sembuh. Membunuh ayahnya adalah akhir, dan bukan awal.
"Aku tetap tidak mau. Aku tidak peduli kalau memang mereka akan menangkapku. Adikku sembuh, itu yang terpenting," kata Ken, tetapi kedua tangannya segera mengepal. Tentu saja dia tidak mau berakhir di penjara, tetapi dia mengatakannya agar pria itu percaya.
Sementara Nen tersenyum kembali. Tangannya bergerak mengambil lagi satu piring sushi. Ken juga mulai ikut menyantap makanannya. "Aku hargai keputusanmu, hanya saja Dark Soul punya aturan yang tidak hanya berlaku untuk kami, tapi juga untuk orang luar sepertimu."
"Dan apa itu?"
"Tak bisa kuberitahu, kau bukan Dark Soul."
Ken merasa pembicaraan ini sudah mencapai ujungnya, meski Nen mungkin masih ingin mengatakan sesuatu, tetapi pria itu sudah berdiri dari tempatnya. "Aku mau pulang sekarang."
"Pulang lah sendiri. Aku masih mau di sini. Kau punya ratusan juta." Nen menoleh dengan senyum anehnya. "Lagi pula kau tidak butuh bantuanku, kan?"
Kemudian berbalik lagi dan memanggil koki tadi. "Hei, C! Anak ini bersamaku."
Koki itu hanya mengangkat jempol. Ken menyaksikan dalam diam dan tak mengerti apa maksudnya, tetapi dia segera pergi. Nen tak menghentikannya, berbalik pun tidak.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top